Ebnp Baru
Ebnp Baru
NIM : P.1337420919049
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Halusinasi pendengaran adalah klien mendengar suara-suara yang tidak
berhubungan dengan stimulasi nyata yang orang lain tidak mendengarnya
(Dermawan dan Rusdi, 2013). Sedangkan menurut Kusumawati (2010) halusinasi
pendengaran adalah klien mendengar suara-suara yang jelas maupun tidak jelas,
dimana suara tersebut bisa mengajak klien berbicara atau melakukan sesuatu.
Di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan,
dan 10% adalah halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan (Mamnu’ah,
2015). Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat di ruang 3 RSJD Dr. Amino
Gondo Hutomo Provinsi Jawa Tengah ditemukan 85% pasien dengan kasus
halusinasi.
Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien halusinasi untuk
meminimalkan komplikasi atau dampak dari halusinasi sangat beragam.
Penatalaksanaan ini bisa berupa terapi farmakologi, Electro Convulsive Therapy
(ECT), dan terapi non farmakologi. Terapi farmakologis berupa pengobatan
antipsikotik sedangkan terapi nonfarmakologis lebih mengarah kepada terapi
modalitas (Viebeck, 2008). Terapi modalitas adalah terapi kombinasi dalam
keperawatan jiwa, berupa pemberian praktek lanjutan oleh perawat jiwa untuk
melaksanakan terapi yang digunakan oleh pasien gangguan jiwa (Videbeck,
2008). Salah satu jenis terapi modalitas yang efektif untuk mengurangi gejala
halusinasi adalah psikoterapi agama atau terapi psikoreligius (Hawari, 2010)
seperti sholat, dzikir, membaca ayat Al-Quran atau mendengarkan murrotal bagi
pasien yang beragama Islam.
Menurut beberapa ahli ilmu jiwa, terapi psikoreligius sangat dianjurkan. Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyabudi (2012) yang
menyebutkan bahwa terapi Dzikir berpengaruh terhadap ketenangan jiwa dan
dapat menurunkan stres. Sedangkan menurut Al-qadhi (2010) dengan
menggunakan Al-Qur’an sebagai media relaksasi daya tahan tubuh dapat
dipengaruhi sehingga mampu melawan penyakit dan membantu dalam proses
penyembuhan.
Membaca Al-Qur’an dapat mendatangkan kesembuhan (Wiradisuria, 2016).
Mengingat Allah akan membuat tubuh rileks dengan cara mengaktifkan kerja
system saraf parasimpatik dan menekan kerja system saraf simpatik. Hal ini akan
membuat keseimbangan antara kerja dari kedua system saraf otonom tersebut
sehingga mempengaruhi kondisi tubuh. Sistem kimia tubuh akan diperbaiki
sehingga tekanan darah akan menurun, pernafasan jadi lebih tenang dan teratur,
metabolisme menurun, memperlambat denyut jantung, denyut nadi, dan
mempengaruhi aktivitas otak seperti mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas,
tegang (Maimunah,2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Fanada (2012) tentang penerapan terapi
psikoreligius mendapatkan kesimpulan bahwa dengan melakukan kegiatan shalat
dapat membantu menurunkan tingkat stress pada pasien halusinasi. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Hidayati (2014) tentang pengaruh terapi religius zikir
menyatakan bahwa kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran pasien
meningkat setelah dilakukan terapi zikir.
Penelitian Sri Mardiati (2018) tentang efektifitas mendengarkan murottal
Al-Quran mendapatkan hasil bahwa murottal Al-Quran dengan surah Al-Fatihah
efektif dalam menurunkan skor halusinasi pasien. Selain surah Ar Alfatihah surah
lain yang sering digunakan untuk terapi dalam kesehatan adalah surah Al Mulk,
Al Falaq, AL Ikhlas, An Nas, Al Baqarah, dan Al Fatihah. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Julianto dan Subandi (2015) didapatkan hasil bahwa
membaca Al Fatihah dapat menurunkan depresi dengan menurunkan produksi
hormon kortisol yang dipengaruhi oleh thalamus melalui coliculus superior dan
coliculus inferior dan hipothalamus dengan merangsang sistem endokrin.
Surah Al Fatihah memiliki kedudukan yang tinggi dengan sebutan Ummul
Kitab yang artinya induk dari seluruh Al-Qur’an. Surah Al Fatihah ini terdiri dari
7 ayat dan merupakan surah yang popular dan paling dihafal oleh umat muslim
(Ridha, 2007). Surah Al Fatihah merupakan obat dari segala penyakit dan
Rasulullah Saw. Telah mencontohkan berbagai macam pengobatan yang bisa
dilakukan dengan surah Al Fatihah (Alcaff, 2014). Membaca surah Al Fatihah
sebanyak 70 kali mampu menyembuhkan tremor atau biasa disebut gemetaran
(Pedak, 2009).
Hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 6 dan 10
September 2019 terhadap perawat yang bekerja di ruang 3 RSJD dr. Amino
Gondohutomo, mendapatkan informasi bahwa beberapa asuhan keperawatan yang
pernah diberikan pada pasien halusinasi adalah mengidentifikasi halusinasi, cara
mengontrol halusinasi, terapi aktivitas kelompok: stimulasi persepsi sensori
halusinasi, kegiatan kerohanian (ceramah agama), adapun terapi membaca surat
AlFatihah belum pernah dilakukan. Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan terhadap pasien didapatkan informasi bahwa lebih banyak pasien
yang hafal surah Al fatihah dari pada surah-surah pendek lainnya didalam Al-
Qur’an.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Pengaruh Terapi psikoreligius: membaca Al Fatihah
terhadap tingkat halusinasi pada pasien skizofrenia.
B. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengidentifikasi respon pasiien dengan halusinasi pendengaran selama
diberikan intervensi terapi psikoreligius: membaca Al Fatihah berdasarkan
EBP di ruang 3 RSJD dr. Amino Gondo Hutomo.
b. Tujuan Khusus
a. Mengindentifikasi gambaran pasien halusinasi pendengaran sebelum
diberikan intervensi terapi psikoreligius: membaca Al Fatihah
b. Mengindentifikasi gambaran pasien halusinasi pendengaran sesudah
diberikan intervensi terapi psikoreligius: membaca Al Fatihah
c. Mengidentifikasi respon pasien selama diberikan intervensi terapi
psikoreligius: membaca Al Fatihah
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pasien
Dengan diberi terapi psikoreligius: membaca Al Fatihah, pasien dapat
mengontrol halusinasi pendengaran yang muncul
2. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil studi kasus ini dapat menambah pengetahuan dan ketrampilan perawat
dalam menerapkan intervensi keperawatan terapi psikoreligius: membaca Al
Fatihah sebagai salah satu terapi pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien
halusinasi pendengaran
3. Bagi Institusi Pendidikan
Menambah literature tentang penderita gangguan jiwa khususnya penanganan
keperawatan halusinasi pendengaran, dan hasil peelitian dapat digunakan
sebagai sumber dalam pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Halusinasi
1. Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan sensori persepsi; halusinasi merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, penciuman, perabaan atau penghidungan.
Klien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat, 2010).
Berdasarkan Depkes (2000 dalam Dermawan & Rusdi, 2013) halusinasi
adalah gerakan penyerapan (persepsi) panca indera tanpa ada rangsangan dari
luar yang dapat meliputi semua sistem panca indera terjadi pada saat
kesadaran individu penuh atau baik.
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata (Farida, 2010).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud halusinasi adalah persepsi salah satu gangguan jiwa pada individu
yang ditandai dengan perubahan persepsi sensori seseorang yang hanya
mengalami rangsang internal (pikiran) tanpa disertai adanya rangsang
eksternal (dunia luar) yang sesuai.
2. Jenis
Menurut Farida ( 2010 ) halusinasi terdiri dari tujuh jenis:
a. Halusinasi Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara
berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas
berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara
dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana
klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan
sesuatu kadang dapat membahayakan.
b. Halusinasi Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar
kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bisa yang
menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi Penghidu atau Penciuman
Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses, parfum
atau bau yang lain. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan
stroke, kejang atau dimensia.
d. Halusinasi Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
e. Halusinasi Perabaan
Merasa mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau
orang lain.
f. Halusinasi Cenesthetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,
pencernaan makan atau pembentukan urine.
g. Halusinasi Kinestetika
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
3. Tahapan Halusianasi
Tahapan halusinasi menurut Depkes RI (2000 dalam Dermawan & Rusdi,
2013) sebagai berikut :
a. Tahap I (comforting):
Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi
merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik :
Klien mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
ansietas.
Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran.
Perilaku klien :
1) Tersenyum atau tertawa sendiri.
2) Menggerakkan bibir tanpa suara.
3) Pergerakan mata yang cepat.
4) Respon verbal yang lambat.
5) Diam dan berkonsentrasi.
b. Tahap II (Condeming)
Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi
menyebabkan rasa antipasti dengan karakteristik :
Pengalaman sensori menakutkan.
Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut.
Mulai merasa kehilangan kontrol.
Menarik diri dari orang lain.
Perilaku klien :
1) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah.
2) Perhatian dengan lingkungan berkurang.
3) Konsentrasi terhadap pengalaman sensorinya.
4) Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas.
c. Tahap III (Controlling):
Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman halusinasi tidak dapat
ditolak lagi dengan karakteristik :
Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi).
Isi halusinasi menjadi atraktif.
Kesepian bila pengalaman sensori berakhir.
Perilaku klien :
1) Perintah halusinasi ditaati.
2) Sulit berhubungan dengan orang lain.
3) Perhatian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik.
4) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan
berkeringat.
d. Tahap IV (Conquering):
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi, klien tampak panik.
Karakteristiknya yaitu suara atau ide yang datang mengancam apabila
tidak diikuti.
Perilaku klien :
1) Perilaku panik.
2) Resiko tinggi mencederai.
3) Agitasi atau kataton.
4) Tidak mampu berespon terhadap lingkungan.
Teori tahapan halusinasi ini dikuatkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sihotang dengan judul “Perubahan gejala halusinasi pasien jiwa sebelum
dan sesudah TAK stimulasi persepsi halusinasi di RS Grhasia Provinsi DIY”
bahwa gejala halusinasi pada responden penelitian ditunjukan pada 4 tahapan
halusinasi yaitu tahapan komforting, kondeming, kontroling dan konkuering.
4. Etiologi
Menurut Rawlins & Heacock (1988 dalam Dermawan & Rusdi, 2013)
etiologi halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi, yaitu :
a. Dimensi fisik
Halusinasi dapat meliputi kelima indera, tetapi yang paling sering
ditemukan adalah halusinasi pendengar, halusinasi dapat ditimbulkan dari
beberapa kondisi seperti kelelahan yang luar biasa. Pengguna obat- obatan,
demam tinggi hingga terjadi delirium intoksikasi, alkohol dan kesulitan-
kesulitan untuk tidur dan dalam jangka waktu yang lama.
b. Dimensi emosional
Terjadinya halusinasi karena ada perasaan cemas yang berlebih yang tidak
dapat diatasi. Isi halusinasi berupa perintah memaksa dan menakutkan
yang tidak dapat dikontrol dan menentang, sehingga menyebabkan klien
berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c. Dimensi intelektual
Penunjukkan penurunan fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan usaha
ego sendiri melawan implus yang menekan dan menimbulkan
kewaspadaan mengontrol perilaku dan mengambil seluruh perhatian klien.
d. Dimensi social
Halusinasi dapat disebabkan oleh hubungan interpersonal yang tidak
memuaskan sehingga koping yang digunakan untuk menurunkan
kecemasan akibat hilangnya kontrol terhadap diri, harga diri, maupun
interaksi sosial dalam dunia nyata sehingga klien cenderung menyendiri
dan hanya bertuju pada diri sendiri.
e. Dimensi spiritual
Klien yang mengalami halusinasi yang merupakan makhluk sosial,
mengalami ketidakharmonisan berinteraksi. Penurunan kemampuan untuk
menghadapi stress dan kecemasan serta menurunnya kualitas untuk
menilai keadaan sekitarnya. Akibat saat halusinasi menguasai dirinya,
klien akan kehilangan kontrol terhadap kehidupanya.
5. Rentang Respon
Ny. A berusia 30 tahun seorang janda dengan satu anak laki-laki. Sudah
pernah 4 kali masuk di RSJD Dr. Amino Gondo Hutomo Provinsi Jawa Tengah
dikarenakan pengobatan yang kurang berhasil yang disebabkan putus obat,
selain itu Ny. A kehilangan seorang ayah, hal ini yang menyebabkan Ny. A
mengalami gangguan psikologis. Pada faktor presipitasi diperoleh halusinasi pada
Ny. A dapat kambuh karena sering menyendiri, melamun dan tidak mau bergaul
dengan orang lain.
Dari hasil pengkajian didapatkan data Ny. A mengalami gangguan
halusinasi pendengaran. Ny.A mengatakan sering mendengar suara-suara yang
tidak ada wujudnya yang menyuruhnya mengamuk dan membanting barang, suara
tersebut muncul setiap saat dalam sehari bisa sebanyak 3 kali, biasanya suara
tersebut muncul saat sendiri dan melamun, dan respon ketika ada suara tersebut
Ny. A cuek. Disini penulis memprioritaskan diagnose keperawatan halusinasi
pendengaran.
Strategi Pelaksanaan 1 (SP 1) : membantu mengenal halusinasi pada Ny.A
dengan cara membina hubungan saling percaya dengan Ny.A, membantu klien
mengenal halusinasinya dengan mendiskusikan isi halusinasi, frekuensi, waktu
halusinasi muncul, situasi dan respon Ny.A ketika halusinasi muncul, menjelaskan
cara-cara mengontrol halusinasi, dan mengajarkan Ny. A menghardik halusinasi.
Respon Ny. A dapat mengenal halusinasinya dan dapat mempraktekkan cara
mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi.
Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) : mengajarkan mencegah halusinasi dengan
minum obat teratur. Respon Ny.A mampu menggunakan cara mengontrol
halusinasi dengan cara menghardik dan minum obat
Strategi Pelaksanaan 3 (SP 3) : mengajarkan klien untuk bercakap-cakap
dengan orang lain Disini Ny.A mencoba bercakap-cakap dengan pasien lain yang
pasien piker mampu memahami kalimatnya. Respon Ny. A mampu menggunakan
cara pertama dengan menghardik, cara kedua dengan minum obat cara mengontrol
halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain.
Strategi Pelaksanaan 4 (SP 4) : mengajarkan klien untuk melakukan
kegiatan dengan membaca Al-Fatihah. Disini Ny.A seorang muslim yang hafal
dengan surat Al-Fatihah. Respon Ny. A mampu menggunakan cara pertama
dengan menghardik, cara kedua dengan minum obat, cara mengontrol halusinasi
dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain., dan membaca surat Al-Fatihah.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Setelah dilakukan standart pelaksanaan pertama hingga keempat yang dilakukan
dalam 4 kali pertemuan. Di dapatkan hasil kondisi Ny.A dengan halusinasi
pendengaran sebelum diberikan intervensi terapi psikoreligius: membaca Al
Fatihah mengalami halusinasi sebanyak 6 kali dalam sehari. Kondisi Ny.A dengan
halusinasi pendengaran sesudah diberikan intervensi terapi psikoreligius:
membaca Al Fatihah mengalami halusinasi sebanyak 2 kali dalam sehari. Respon
Ny.A selama diberikan intervensi terapi psikoreligius: membaca Al Fatihah
kooperatif dan merasa senang bisa diajarkan cara mengontrol halusinasinya
B. Pembahasan
Al-Quran dianggap sebagai terapi yang penting dan utama, sebab
didalamnya memuat resep-resep mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit
jiwa manusia dengan terapi mendengar, membaca, memahami dan merenungkan,
serta melaksanakan isi kandungannya surat–surat tertentu yang ada hubungannya
dengan permasalahan, gangguan atau penyakit sedang dihadapi seseorang.
Dikarenakan al-Qur’an merupakan kitab Allah yang pernuh berkah dan mukjizat
yang memiliki kekuatan sekaligus penawar danobat yang paling baik untuk
mencegah dan menyembuhkan segala bentuk penyakit baik fisik maupun penyakit
psikis.
Membaca al-Qur’an dengan mentadaburkan setiap bacaan hingga meresap
kedalam hati dan pikiran akan mampu membersihkan kotoran-kotoran hati dan
dapat menentramkan jiwa yang gelisah, memberikan kesejukan dan kedamaian
dalam jiwa seseorang serta sebagai pelipur lara dan penyembuh luka yang diderita
seorang hambanya.
Membaca Al Fatihah yang dilakukan sebanyak 6 kali atau sesuai
kemampuan pasien. Surat Al Fatihah dibacakan dengan tempo yang lambat (<60
ketukan/menit) sehingga dapat mengatur irama detak jantung dan mengeluarkan
endorphin sehingga membuat kenyamanan dan ketenangan. Kahel (2010)
mengatakan bahwa membaca dan mendengarkan ayat Al Qur’an akan
menstabilkan getaran neuron sehingga bisa melakukan fungsinya dengan baik.
Ilmu kedokteran telah banyak membuktikan bahwa Al Qur’an dengan
kandungannya bermanfaat untuk pengobatan (Erita & Suharsono, 2014).
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kondisi Ny.A dengan halusinasi pendengaran sebelum diberikan intervensi
terapi psikoreligius: membaca Al Fatihah mengalami halusinasi sebanyak 3
kali dalam sehari
2. Kondisi Ny.A dengan halusinasi pendengaran sesudah diberikan intervensi
terapi psikoreligius: membaca Al Fatihah mengalami halusinasi sebanyak 2
kali dalam sehari
3. Respon Ny.A selama diberikan intervensi terapi psikoreligius: membaca Al
Fatihah kooperatif dan merasa senang bisa diajarkan cara mengontrol
halusinasinya
B. Saran
1. Bagi Pasien
Dengan diberi terapi psikoreligius: membaca Al Fatihah, pasien dapat
mengontrol halusinasi pendengaran yang muncul