Nama : Riswanda Himawan
NPM : 0218052161
Kelas : Pagi D/VI
Mata Kuliah : Hukum Perdata Internasional
Dosen Pengampu : Esmara Sugeng, S.H., M.Hum.
1. Kasus pernikahan sesama jenis yang dilakukan oleh 2 orang laki-laki yang merupakan warga
Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yaitu Amerika Serikat. Mereka melangsungkan
acara pernikahan di Amerika Serita.
Analisa ;
Indonesia menganut prinsip nasionalitas yang artinya, seorang warga Negara Indonesia dapat
melangsungkan perkawinannya di luar negeri sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara
yang bersangkutan selama hukum tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan
kasus diatas, dimana perkawinan sesama jenis dilangsungkan diluar negara Indonesia, yakni
di Amerika Serikat berdasarkan State Nevada Marriage Certificate No. 20080909000685000,
kemudian para pihak meminta agar perkawinannya tersebut dapat dicatatkan sehingga telah
kemudian dicatatakan dalam Laporan Perkawinan Nomor 203/Perkawinan LN/08/2009
dengan Nomor Register 339/KHS/II/2008/2009 oleh Kantor Catatan Sipil dan Dinas
Kependudukan Tanggerang. Akan tetapi, Hukum Perkawinan Indonesia maupun Hukum
Perkawinan Islam dan atau kepercayaan yang ada di Indonesia hanya mengenal etimologi
perkawinan antara laki-laki dengan perempuan, sedangkan untuk etimologi perkawinan
sejenis kelamin tidak dikenal. Perkawinan Sesama Jenis dianggap merupakan perkawinan
yang tidak dapat dikatakan sebagai perkawinan dalam perspektif Hukum Perkawinan
Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah
diubah dengan UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan). Dalam perkawinan yang dilangsungkan diluar Negara Indonesia dikenal tata
cara pencatatan Perkawinan seperti yang tertera dalam Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 39
Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018. Apabila dalam kasus Penggugat dan Tergugat
telah berhasil mencatatkan Perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil dan Dinas
Kependudukan Tanggerang, dengan dasar bukti pencatatan perkawinan yang dikeluarkan
State Nevada Marriage Certificate Nomor 20080909000685xxx haruslah dinyatakan batal
dan tidak mengikat hukum. Karena ketentuan dalam Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 39 Peraturan
Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus perkawinan
sesama jenis diatas. Karena pada dasarnya hanya perkawinan yang sah saja yang dapat
dilakukan pencatatan. Perkawinan yang dilangsungkan tersebut juga bertentangan dengan
ketentuan dalam undang-undang Perkawinan dan tidak memenuhi unsur utama yang tersirat
dalam pengertian perkawinan pada Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 yang dengan tegas
mengatur bahwa suatu perkawinan harus terjadi antara seorang pria dengan wanita. Maka
dari itu perkawinan sesama jenis diatas bukan merupakan perkawinan yang sah menurut
Undang-undang Perkawinan. Karena hanya Perkawinan yang sah menurut aturan perkawinan
saja lah yang dapat dilakukan pencatatan, hal tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Kasus perjanjian sewa rahim yang dilakukan oleh pasangan suami istri secara diam diam di
Indonesia.
Analisa ;
Sewa rahim atau sering juga dikenal dengan istilah surrogate mother sebenarnya belum ada
pengaturannya dalam hukum Indonesia. Hukum di Indonesia hanya mengatur mengenai
upaya kehamilan di luar cara alamiah yang mana hasil pembuahan dari suami isteri tersebut
ditanamkan dalam rahim isteri dari mana ovum berasal. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 127 (“UU Kesehatan”). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
misalnya. Dalam Pasal 42 UU Perkawinan mengatakan bahwa yang dimaksud anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Muncul
berbagai kontroversi, dimana anak yang dilahirkan dari praktik sewa rahim dapat berstatus
menjadi anak luar kawin apabila ibu pengganti tidak terikat dalam suatu perkawinan. Praktik
sewa rahim ini bertentangan dengan pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri
sebagai kausa yang halal, dimana rahim itu bukanlah suatu benda (menurut hukum
kebendaan) dan tidak dapat disewakan (menurut hukum sewa menyewa) yang terdapat dalam
KUHPerdata. Selain itu di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(UU Kesehatan) juga menyebutkan bahwa kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan hasil pembuahan sperma dan
ovum suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
Sedangkan dalam praktik sewa rahim, hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
yang bersangkutan tidak ditanamkan pada rahim sang Istri. Melainkan pada rahim perempuan
lain yang kelak akan mengandung benih pasangan suami istri tersebut. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada 26 Mei 2006 juga telah memfatwakan praktik transfer embrio ke rahim
titipan merupakan praktik yang haram, karena menyangkut pada permasalahan nasab dan
warisan pada sang anak.