0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
18 tayangan11 halaman

Pengharaman Sewa Rahim Dalam Islam

Hukum sewa rahim dalam perspektif pandangan islam disertai dalil-dalil yang shohih

Diunggah oleh

Zidni Hasanah
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
18 tayangan11 halaman

Pengharaman Sewa Rahim Dalam Islam

Hukum sewa rahim dalam perspektif pandangan islam disertai dalil-dalil yang shohih

Diunggah oleh

Zidni Hasanah
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 11

Pengharaman Sewa Rahim Dalam Islam

Zaini Ahmad

Sekolah Tinggi Ilmu Ushuludin Darul Qur’an,Bogor

Email : [email protected]

Rahmat Rizqy Kurniawan

Sekolah Tinggi Ilmu Ushuludin Darul Qur’an Bogor

Email : [email protected]

Abstract : In the national law context, surrogate mother or populary and the term often
used is “womb renting” is defined freely as an agreement between a woman who bind
themself with another party (husband or wife) to become pregnant with the result of
conception of the husband and wife that planted into her womb. Womb renting is a
condition of a woman that contracted or hired to raise a fetus that belong to other
woman or other spouse. On the other hand, the surrogate mother in Islam, commonly
called al-‘Ummu al-musta’jin or al-‘Ummu al-badilah or also known as ar-rahmu al-
musta’jin. In the implementation womb renting involves two parties, the first party is a
woman that rent her womb and the second party that rent the womb who have no
offspring. The price of rent according to an agreement between the parties.

Keywords : Surrogate Mother, Womb Rent, Contract

Abstrak : Dalam konteks hukum nasional Surrogate mother atau bahasa yang lebih
populer dan istilah yang sering dipakai “sewa rahim” secara harfiah disamakan dengan
“ibu pengganti” yang didefinisikan secara bebas sebagai suatu perjanjian antara seorang
wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami istri)
untuk menjadi hamil terhadap hasil dari pembuahan suami istri tersebut yang ditanam
ke dalam rahimnya. Sewa Rahim tersebut merupakan sebuah kondisi seorang
perempuan yang dikontrak atau disewa untuk mengandung atau membesarkan janin
dari perempuan atau pasangan lain. Sementara itu sebutan Surrogate mother (sewa
rahim) dalam islam, lazim disebut al-‘Ummu al-musta’jin atau al-‘Ummu al-badilah
atau dikenal juga dengan sebutan ar-rahmu al-musta’jin. Dalam pelaksanaannya sewa
rahim ini melibatkan dua pihak, yaitu; pihak pertama adalah wanita yang menyewakan
Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


rahimnya dan pihak kedua selaku penyewa adalah pasangan suami istri yang tidak
memiliki keturunan. Harga pembayaran/uang sewa rahim sesuai kesepakatan para
pihak.

Kata kunci : Ibu Pengganti, Sewa Rahim, Kontrak

Pendahuluan

Salah satu tujuan utama dari pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan.
Kurang lengkap rasanya jika sebuah keluarga tidak memiliki keturunan. Keturunan ini
di harapkan tentu tidak hanya untuk menunjang kepentingan duniawi tetapi juga untuk
kepentingan akhirat kelak, karena doa anak yang shaleh dan shalehah akan mengalir
terus kepada kedua orang tuanya meski mereka telah tiada. Banyak pasangan suami
istri yang mengalami kesulitan untuk mempunyai keturunan. Segala cara pun mereka
lakukan untuk dapat memperoleh keturunan. Seiring dengan perkembangan sains dan
teknologi, ditemukanlah program-program untuk mempunyai keturunan dengan
pembuahan di luar rahim sang ibu. Salah satunya yaitu melalui surrogate mother (ibu
tumpang) atau yang biasa disebut sewa rahim. Sepasang suami istri yang tidak bisa
memiliki keturunan melakukan pembuahan di luar rahim dengan cara mengambil sel
telur (ovum) dari sang istri dan sperma dari sang suami. Ketika pembuahan tersebut
berhasil dilakukan, embrio (cabang bayi) dari hasil pembuahan tersebut akan dititipkan
kepada seorang wanita (ibu tumpangan) yang rela untuk mengandung dan merawat
cabang bayi tersebut selama 9 bulan. Pasangan suami istri ini membayar sejumlah uang
kepada ibu tumpangan tersebut, berdasarkan kesepakatan bersama sebagai sewa/upah,
karena telah menjadi ibu tumpang dari benih mereka dengan syarat ibu tumpang akan
menyerahkan anak tersebut setelah dilahirkan atau pada masa yang telah dijanjikan.

Indonesia belum memiliki aturan yang khusus dan spesifik mengenai surrogate
mother tersebut. Maka jika kita ingin mengetahui, aturan dan ketentuan yang terkait
dengan masalah surrogate mother tersebut, maka ia terkait dan berhubungan dengan
beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Misalnya
bagaimana status hukum anak yang lahir dari hasil sewa rahim tersebut. Maka kita
harus melihat terlebih dahulu pengertian mengenai anak yang sah dalam Pasal 42
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 42 UU
Perkawinan dikatakan bahwa yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


Sedangkan dalam hukum islam, berdasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yang dimaksud dengan anak sah adalah:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;dan

b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut.

Sebenarnya secara biologis, anak yang dilahirkan oleh si ibu pengganti dari
adanya sewa rahim tersebut adalah anak dari si pasangan suami dan istri tersebut, hanya
saja dilahirkan melalui perempuan lain.

Akan tetapi, mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat., untuk melihat
golongan anak dari kasus surrogate mother, harus dilihat dulu status perkawinan dari
wanita surrogate. Anak yang dilahirkan dari sewa rahim dapat berstatus sebagai anak
di luar perkawinan yang tidak diakui, jika status wanita surrogate-nya adalah gadis atau
janda. Dalam hal ini, anak yang dilahirkan adalah anak di luar perkawinan yang tidak
diakui, yaitu anak yang dilahirkan karena zina, yaitu akibat dari perhubungan suami
atau isteri dengan laki-laki atau perempuan lain.1

Akan tetapi, anak tersebut dapat menjadi anak sah jika status wanita surrogate-
nya terikat dalam perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan
adalah anak sah pasangan suami isteri yang disewa rahimnya, sampai si bapak (suami
dari wanita surrogate) mengatakan “Tidak” berdasarkan Pasal 251, Pasal 252, dan Pasal
253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dengan pemeriksaan darah
atau DNA dan keputusan tetap oleh pengadilan dan juga berdasarkan atas UU
Perkawinan Pasal 44: Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak
itu akibat dari perzinaan tersebut.

Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan


pihak yang berkepentingan.2

1
Desriza Ratman, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum, Jakarta, PT.Gramedia,
2012, hlm. 120-123
2
Letezia Tobing, “Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim”. http://www.hukumonline
.com/klinik/detail/ lt514dc6e223755/status-hukum-anak-hasil-sewa-rahim, diakses tanggal 15
Desember 2017
Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


Adanya praktik surrogate mother yang dilakukan oleh masyarakat,
menimbulkan banyak persoalan-persoalan hukum, yang harus direspon oleh semua
pihak. Berdasarkan hal tersebut, maka kita perlu melihat bagaimana sesungguhnya
keberadaan Surrogate mother tersebut dalam konteks hukum positif di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keabsahan perjanjian sewa rahim
menurut Hukum Islam, serta untuk mengetahui akibat hukum terhadap anak yang lahir
dari hasil perjanjian sewa rahim. Manfaat yang diberikan dari penelitian ini yaitu
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan referensi umum baik
untuk tenaga pengajar maupun mahasiswa terkait dengan perjanjian sewa rahim dan
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam membuat regulasi terkait dengan sewa rahim.

Pembahasan

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia “sewa” di artikan sebagai pemakaian


(pinjaman) sesuatu dengan membayar uang sewa3, sedangkan arti kata “rahim”
bermakna kandungan atau peranakan 4. Maka dapat diartikan istilah dari “sewa rahim”
merupakan pemakaian (peminjaman) kandungan dengan memberi/membayar uang
sewa. Dalam islam sewa rahim dikenal dengan al-‘Ummu al-musta’jin atau al-‘Ummu
al-badilah atau dikenal juga dengan sebutan ar-rahmu al-musta’jin. Dalam pengertian
sewa rahim ini melibatkan pihak kedua yaitu wanita yang menyewakan rahimnya
kepada pasangan suami istri yang tidak memiliki keturunan dengan membayar sesuai
kesepakatan. Sewa Rahim yang disebut ibu pengganti/surrogate mother menurut
kamus ringkas kedokteran merupakan seorang perempuan yang telah di kontrak untuk
mengandung bagi perempuan atau pasangan lain. 5 Intinya, perjanjian antara pasangan
suami istri dengan seorang wanita yang menjadi ibu pengganti tersebut bersedia untuk
mengandung benih dari pasangan suami-istri yang telah disatukan melaui tekhnologi
pembuahan In Vitro Fertilzation, dan dengan mendapatkam suatu imbalan tertentu atau
dengan sukarela.6

3
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,Edisi ke-3 Jakarta:
Modern English Press, 2002, hlm. 1414
4
Ibid., hlm.1223
5
John H. Dirckx, Kamus Ringkas Kedokteran Stedman Untuk Profesi Kesehatan, Edisi ke-4,
Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2004, hlm. 113
6
Linda Beeley, Surrogate Mother, Legal Correspondent of Medicolegal, British Medical
Journal, Volume 290, 26 Januari 1985, h. 308
Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


Perjanjian dapat dikatakan sah dan memiliki akibat hukum harus terpenuhinya
rukun dan syarat sah dari suatu akad tersebut. Oleh karena itu untuk sahnya perjanjian
sewa rahim menurut hukum islam tersebut, perjanjian sewa rahim harus memenuhi
rukun dan syarat akad tersebut:

A. Berdasarkan Rukun Akad

1) ‘Aqid atau pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu orang tua biologis yang
secara langsung melakukan akad dengan ibu pengganti atau surrogate mother, untuk
mengandung, melahirkan dan menyerahkan anak kepada orang tua biolohis pemilik
benih. Dengan kata lain pada kasus perjanjian sewa rahim sudah memenuhi rukun akad
yang pertama.

2) Lafazh (shighat) ijab dan qabul, yaitu ungakapan anatara orang tua biologis
dengan ibu pengganti untuk mengikatkan dirinya, dimana orang tua biologis, membuat
perjanjian kepada ibu pengganti untuk mengandung, melahirkan dan kemudian
menyerahkan anak tersebut (ijab), dan kemudian ibu pennganti tersebut menyetujui
dengan imbalan yang telah ditentukan sebelumnya (qabul).

3) Ma’qud atau objek perjanjian, yaitu barang-barang yang akan diakadkan,


seperti benda-benda yang akan disewakan dalam kegiatan sewa-menyewa. Dala hal ini
benda yang menjadi objek akad harus memenuhi persyartan sebagai berikut:

(a) Benda yang dijadikan objek perjanjian harus suci.

(b) Barang-barang yang digunakan sebagai objek perjanjian harus bisa


disyariatkan. Tidak boleh barang-barang yang tidak ada manfaatnya.

(c) Barang-barang yang dijadikan objek perjanjian harus bisa diserahterimakan.

(d) Barang yang diperjanjian harus sah dimiliki pihak yang melakukan
perjanjian.

(e) Barang yang diperjanjikan harus diketahui wujudnya.

Dalam kasus perjanjian sewa rahim yang dijadikan sebagai objek ialah rahim
seorang wanita. Lantas, apakah rahim seorang wanita dapat sebagai barang yang bisa
diperjanjian dan memenuhi persayaratan sebagai benda yang dapat dijadikan sebagai
obejk akad.

Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


Adapaun beberapa alasan yang menyatakan bahwa rahim tidak bisa dijadikan
sebgai objek akad karena tidak memenuhi persyaratan sebagai objek akad atau Ma’qud
sebagai berikut:

a. Objek perjanjian tudak suci.

Menurut Prof. Dr. Said Agil Sirad Al-Munnawwar, “memang sperma dan
ovum tersebut tidak termasuk najis, akan tetapi percanpuran anatara keduanya setelah
berurah menjadi alaqah (segumpal darah yang melekat pada dinding rahim) maka ia
kan sudah berubah menjadi najis. 7

b. Barang tidak bisa diserahterimakan secara langsung

Bahwa tidak sah rahim dijadikan sebagai objek perjanjian, baik sewa-menyewa
ataupun jual beli, karena rahim bukan termasuk kedalam golongan benda yang bisa
diserahterimakan secara langsung.

c. Barang yang dijadikan sebagai objek perjanjian adalah haram

Menurut Dr. Hindun Al-Hauli, rahim tersebut bukanlah suatu barang yang
diperbolehkan unruk didermakan. Karenan rahim tersebut berbeda dengan harta yang
boleh dijadikan sebagai objek perjanjian. Sama halnya dengan sewa-menyewa yang
mengharuskan objek nya adalah barang yang dibolehkan mengambil manfaatnya
menurut syara’. Dalam pandangan Islam menyewakan rahim tergolong kedalam
lingkungan yang diharamkan, karena rahim adalah organ tubuh manusia, dan organ
tubuh tersebut dilarang untuk di jual-belikan.8

B. Berdasarkan Syarat Sah Perjanjian

Dalam khazanah hukum Islam agar dapat dikatakan perjanjian tersebut sah,
selain harus terpenuhinnya rukun-rukun dalam aqad seperti yang sudah dijelaskan
diatas, perjanjian juga harus memenuhi syarat sah perjanjian, sebagai berikut :

a. Harus ada ridha, yaitu perjanjian yang dibuat antara orang tua biologis dengan
ibu pengganti/surrogatemother untuk mengandung, melahirkan dan kemudian
meyerahkan anak tesebut kepada orang tua biologis, harus bersumber pada kesepatakan

7
Ma’ruf Amin, (2008), Fatwa Dakam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas. h. 293.
8
Rusli Hasbi, (2007), Fiqh Inovatif, Dinamikan Pemikiran Ulama Timur Tengah, Membongkar
Kasus Kontempore, Jakarta: Al-Irfan Publishing. h. 52
Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


yang tidak ada unsur paksaan dan penipuan, sehingga pihak-pihak yang melakukan
perjanjian sewa rahim ini melakukan kesepakatan dalam keadaan bebas dan sukarela.

b. Harus jelas, dalam perjanjian perjanjian sewa rahim harus dijelaskan secara
jelas menegenai hak dan kewajiaban masing-masing pihak.

c. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan syariat islam, yaitu
setiap orang bebas untuk membuat perjanjian tetapi perjanjian yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan hukum syariat islam, baik yang bersumber kepada pada Al-Quran
maupun hadist. Oleh karena perjanjian sewa rahim adalah suatu permasalahan yang
baru oleh karena itu dasar hukum mengenai perjanjian sewa rahim tidak ditemukan
ditemukan secara tegas, baik di dalam Al-Quran dan juga hadist, dan juga sulit
menukan terkait dasar hukum mengenai perjanjian sewa rahim di dalam kitab fiqih.
Oleh karena hal tersebut terjadi pertentangan pendapat ulama mengenai praktik sewa
rahim tersebut. Berikut pendapa-pendapat para ulama mengenai sewa rahim:

a) Munas Alim Ulama’ Nahdatul Ulama di Sukorejo Situbondo pada tahun 1983

Tidak sah dan haram hukumnya menyewakan rahim bagi suami istri yang cukup
subur dan menghendaki seorang anak. Namun kondisi rahim istri yang tidak cukup
sehat untuk mengandung seorang bayi. Selain hadist diatas para ulama peserta munas
pada hadist nabi yang terdapat dalam tafsir Ibnu Katsir Juz 3/326: (Rasullah bersabda,
“Tidak ada dosa yang lebih besar selain syirik di banndingkan seorang yang menauruh
spermanya di rahim wanita yang tidak halal baginya”).

b) Sidang Lembaga Fiqh Islam OKI III di Yordania pada tahun 1986

Dalam sidang tersebut memutuskan bahwa sewa rahim itu adalah haram
hukumnya dan dilarang mutlak bagi dirinya karena akan mengakibatkan percampuran
nasab dan hilangnya keibuan dan halangan syar’i lainya. Dan tidak dibenarkan
menitipkan rahim ke istri yang kedua, ketiga dan seterusnya bagi yang berpoligami.

c) Keputusan MUI No: Kep. 952/MUI/1990 tentang insenminasi buatan yang


pada intinya buatan yang diambil dari pasangan suami – istri untuk istri – istri yang lain
hukumnya haram.

d) Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 26 Mei 2006

Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


Praktik transfer embrio ke rahim titipan, telah difatwakan haram oleh MUI pada
tanggal 26 mei 2006. Menurut fatwa MUI, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
menfatwakan sebagi berikut:

(1) Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang
memilki hubungan pernikahan secara sah hukumnya mubah (boleh), sebab hal ini
termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaiadah agama.

(2) Bayi tabung dari pasangan suami istri dengan titpan rahim istri yang lain
(misalnya dari istri kedua dititipkan pada istri pertama) hukumnya haram berdasarkan
kaidah Sad Az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitanya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahrikan dengan ibu
yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan
sebaliknya).

(3) Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal
dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Saad Az-zari’ah sebab hal ini akan
menimbulkan suatu masalah yang pelik, baik kaitanya dalam penentuan nasab maupun
kaitanya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitanya dengan hal kewarisan.

(4) Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suatu
suami istri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan
kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah dan berdasarkan aidah Sadd Az-
zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina yang sesungguhnya.

Akibat Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Dari Hasil Perjanjian Sewa Rahim
Menurut Hukum Islam :

A. Status Anak Yang Lahir Dari Hasil Perjanjian Sewa Rahim

Untuk menentukan mengenai nasab anak tersebut hanya bisa disandarkan


berdasarkan Itjihad para ulama yang sebelumnya sudah dijelaskan diatas, yang mana
dari beberapa pendapat dan juga fatwa yang telah diuarakan tersebut, dapat disimpkan
bahwa perjanjian sewa rahim tersebut haram menurut hukum islam. Maka dengan
demikian jelaslah status anak yang dilahirkan oleh ibu pennganti atau surrogate mother
ialah sebagai anak zina atau anak luar kawin.

Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


Bahwa telah diketahui proses dari praktik sewa rahim ialah, sel telur dan sel
sperma disimpan kedalam tabung (tekhnologi bayi tabung), kemudian ditanamkan
kepada ibu pengganti atau surrogate mother. Maka dalam proses lahirnya anak tersebut
tidak melalui hubungan badan antara bapak dengan ibuk, dan juga tidak terikat
hubungan perkawinan yang syar’i, sehingga anak yang lahir tersebut digolongkan ke
dalam anak luar kawin. Dan hanya memiliki hubungan keturunan dengan ibunya.

Maka, berdasarkan uaraian diatas dapat disimpulkan bahwa anak yang


dilahirkan melalui praktik perjanjian sewa rahim melalui ibu pengannti atau surrogate
mother, baik yang sudah terikat dengan hubungan perkawinan yang sah atau berstaus
gadis atau janda dikategorikan sebagai anak luar kawin.

B. Hak Waris Anak Yang Lahir Dari Perjanjian Sewa Rahim

Di dalam Islam menetapkan ketentuan tentang waris dengan sangat sistematis,


teratur dan penuh dengan nilai-nilai keadilan. Ahli waris adalah mereka yang
mempunyai hak atas harta untuk ssebagian dari sipeninggal warisan. Seseorang yang
dapat mewarisi harta peninggalan karena 3 (tiga) hal, yaitu sebab hubungan
kerabat/nasab, perkawinan, dan wala’ (pemerdekaan budak).9 Dengan demikian pula
para ahli waris merupakan kerabat simaati yang menurut hukum ada bagian sebagai
ahli waris, disamping anak-anak yang di dalam hukum kewarisan merupakan golongan
yang utama.

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa anak hasil dari perjanjian sewa rahim di
kategorikan sebagai anak luar kawin, yang berarti anak tersebut hanya memiliki
hubungan hukum dengan ibunya dan keluarganya. Hal ini sesuai dengan rumusan di
dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Oleh karena itu anak yang lahir sebagai hasil dari perjanjian sewa rahim melalui ibu
pengganti hanya berhak mewarisi harta benda ibunya, oleh karena menurut anak
tersebut hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya berdasarkan Pasal
100 KHI.

Kesimpulan

9
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, (2017), Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum
Positif Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. h. 72.
Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


Dalam hukum Islam sendiri perjanjian sewa rahim tidak memenuhi unsur rukun
akad, yaitu mengani ma’qud atau objek perjanjian, karena rahim tidak memenuhi
persyaratan untuk dijadikan sebagai objek akad. Selaian itu perjanjian sewa rahim juga
tidak memenuhi syarat sah perjanjian karena perjanjian sewa rahim tersebut
bertentangan dengan syariat islam. Sebagaima para ulama berpendapat untuk
mengharamkan praktik sewa rahim. Oleh karena hal tersebut maka perjanjian sewa
rahim tersbeut dikatakan tidak sah, karena tidak terpenuhinya rukun dan syarat sah
akad. Maka, hukum sewa rahim atau bayi tabung dalam pandangan Islam di hukumi
haram.

Menurut Hukum Islam anak yang dilahirkan melalui perjanjian sewa rahim
termasuk ke dalam anak luar kawin, baik ibu pengganti tersebut sedang terikat
hubungan perkawinan atau tidak. Sehingga anak tersebut hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya dan kelurganya maka anak tersebut hanya berhak mewarisi harta
benda ibunya.

Daftar Pustaka

Desriza Ratman, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum, Jakarta, PT.Gramedia, 2012,
hlm. 120-123

Letezia Tobing, “Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim”. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/


lt514dc6e223755/status-hukum-anak-hasil-sewa-rahim, diakses tanggal 15 Desember 2017

Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,Edisi ke-3 Jakarta:Modern
English Press, 2002, hlm. 1414

Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,Edisi ke-3 Jakarta: Modern
English Press, 2002, hlm. 1223

John H. Dirckx, Kamus Ringkas Kedokteran Stedman Untuk Profesi Kesehatan, Edisi ke-4,
Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2004, hlm. 113

Linda Beeley, Surrogate Mother, Legal Correspondent of Medicolegal, British Medical


Journal, Volume 290, 26 Januari 1985, h. 308

Ma’ruf Amin, (2008), Fatwa Dakam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas. h. 293.

Rusli Hasbi, (2007), Fiqh Inovatif, Dinamikan Pemikiran Ulama Timur Tengah, Membongkar
Kasus Kontempore, Jakarta: Al-Irfan Publishing. h. 52

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, (2017), Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. h. 72.

Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx


Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Volume x, Nomor x, September 20xx| p-ISSN: 0000-0000; e-ISSN: 0000-000| xx-xx

Anda mungkin juga menyukai