BAB II
TINJAUAN UMUM APOTEK
2.1 Tinjauan tentang Apotek
2.1.1. Definisi Apotek
Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker dan tenaga kesehatan
kefarmasian yang lainnya (Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9,
2017). Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggungjawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien (Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73, 2016).
Berdasarkan petunjuk teknis pedoman pelayanan kefarmasian tahun 2019,
pelayanan kefarmasian yang diselenggarakan oleh apotek haruslah mampu
menjamin ketersediaan obat yang aman, bermutu dan berkhasiat.
2.1.2. Landasan Hukum Apotek
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang
berfungsi untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, landasan
hukum apotek diatur dalam:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun Tentang
Narkotika
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan
d. Undang-Undang Republik Kesehatan Indonesia Nomor 36
tentang Tenaga Kesehatan
5
6
e. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
f. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 Tahun
2017 tentang Apotek
g. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73 Tahun
2016 tentag Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek dan
Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
i. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.3 tahun
2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan
Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
2.2 Pendirian Apotek
2.2.1 Persyaratan Pendirian Apotek
Pendirian apotek dapat dilakukan oleh seorang apoteker dengan
menggunakan modal sendiri maupun modal dari pemilik modal baik
perorangan atau perusahaan. Apoteker yang mendirikan apotek dengan
berkerjasama dengan pemilik modal, maka pekerjaan kefarmasian tetap dan
harus dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan. Persyaratan
pendirian apotek yang diatur dalam peraturan menteri kesehatan Republik
Indonesia No.9 Tahun 2017 meliputi:
a. Lokasi
Pemerintah daerah kabupaten atau kota dapat mengatur
persebaran apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat
dalam mendapatkan pelayanaan kefarmasian.
7
b. Bangunan
Bangunan apotek harus bersifat permanen serta memiliki fungsi
keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan
kepada pasien serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang
termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang lanjut usia. Apoteker
yang menyelenggarakan praktek kefarmasian di apotek harus memasang
papan nama praktek. Berdasarkan surat keputusan pengurus pusat ikatan
apoteker Indonesia Nomor: PO.005/ PP.IAI/1418/VII/2004 tentang
peraturan organisasi menjelaskan bahwa papan nama praktek apoteker
diatur sebagai berikut :
1. Papan nama praktek berukuran panjang 80 cm dan lebar 60 cm.
2. Bahan material pembuatan papan nama dapat berupa : kayu atau
sejenisnya, kanvas, sticker vinyl atau flexi outdoor.
3. Papan nama praktek sebagaimana dimaksud harus memuat :
a) Logo Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
b) Nama dan atau sebutan profesional sesuai dengan Surat Izin
Praktek Apoteker (SIPA).
c) Nomor Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA).
d) Nomor Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA).
e) Hari dan jam praktek.
f) Nama, alamat dan nomor telepon apotek.
4. Selain IAI dan tulisan sebagaimana telah disebutkan, papan
nama tidak boleh menambahkan tulisan lain atau gambar lain
5. Papan nama berwana dasar putih, tulisan hitam dan apabila
diperlukan, papan nama boleh diberi penerangan yang tidak
bersifat iklan.
8
6. Papan nama praktek dipasang pada bangunan apotek (dinding
atau kaca) yang dapat terlihat dengan jelas dari luar apotek.
c. Sarana dan Prasarana
Bangunan apotek paling sedikit memiliki sarana ruang yang
berfungsi:
1. Penerimaan resep
Ruang penerimaan resep ditempatkan di bagian depan dan
dapat dengan mudah terlihat oleh pasien.
2. Pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas).
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan
secara terbatas yang terdiri dari rak sesuai kebutuhan, meja
peracikan dan peralatan peracikan yang meliputi timbangan obat, air
mineral untuk pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari
pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan
label obat.
3. Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan
Ruang penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan
sebaiknya dipisah untuk meminimalisir terjadinya kesalahan atara
resep yang baru diterima dan resep yang sudah selesai dikerjakan.
4. Konseling
5. Penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi,
temperatur, kelembapan, ventilasi serta pemisahan untuk dapat
menjamin mutu dan kualitas dari produk.
6. Arsip
Prasarana dalam pendirian apotek paling sedikit terdiri atas:
9
1. Instalasi air bersih
2. Instalasi listrik
3. Sistem tata udara
4. Sistem proteksi kebakaran
d. Peralatan
Peralatan apotek meliputi semua peralatan yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pelayanan kefarmasian, antara lain: rak obat, alat peracikan,
bahan pengemas obat, lemari pendingin, meja, kursi, komputer, sistem
pencatatan mutasi obat, formulir catatan pengobatan pasien dan peralatan
lain sesuai kebutuhan.
e. Ketenagaan
1. Apoteker
Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan apotek dapat
dibantu oleh apoteker lain, tenaga teknis kefarmasian dan atau tenaga
administrasi. apoteker dan tenaga teknis kefarmasian wajib memiliki surat
izin praktek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Standar pelayanan yang diatur dalam peraturan menteri kesehatan tahun
2016 menyebutkan bahwa sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker
dan mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Berdasarkan keputusan
menteri kesehatan No.889/MENKES/PERV/2011 menyatakan bahwa
dalam sebuah apotek, apoteker dapat dibagi menjadi :
1) Apoteker penanggungjawab apotek (APA)
Apoteker penanggungjawab apotek adalah apoteker yang
diberi surat Izin praktek apoteker.
2) Apoteker Pendamping
Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek
di samping apoteker penanggungjawab apotek dan atau
10
menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka
apotek. Berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia
Nomor. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, dalam
melakukan pekerjaan kefarmasian seorang apoteker
pendamping harus memiliki SIPA. Apoteker pendamping
hanya dapat melaksanakan paling banyak di 3 (tiga) apotek
atau puskesmas maupun instalasi rumah sakit.
Untuk dapat melakukan pelayanan kefarmasian, seorang
apoteker wajib memenuhi kriteria :
1) Persyaratan administrasi :
a) Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi
yang terakreditasi.
b) Memiliki Surat Tanda Registrasi (STRA).
c) Memiliki Sertifikat Kompetesi (Serkom) yang masih
berlaku.
d) Memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA).
2) Menggunakan atribut praktek antara lain baju praktek dan
tanda pengenal.
3) Mengikuti pendidikan berkelanjutan atau Continuing
Professional Development (CPD) secara berkala serta
mampu memberikan pelatihan secara berkesinambungan.
4) Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan
pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar,
workshop, maupun pendidikan berkelanjutan atau
mandiri.
5) Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap
peraturan perundang-undangan, sumpah jabatan, standar
11
profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar
kompetensi serta kode etik) yang berlaku.
Berdasarkan peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor
889 tahun 2011 tentang registrasi, izin kerja serta izin praktek tenaga
kefarmaisan untuk memperoleh STRA, apoteker harus memenuhi :
a) Memiliki ijazah Apoteker.
b) Memiliki Sertifikat Kompetensi (Serkom).
c) Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah atau
janji apoteker.
d) Memiliki surat keterangan sehat secara fisik maupun mental
dari dokter yang memiliki surat izin praktek.
e) Membuat pernyataan akan mematuhi serta melaksanakan
ketentuan etika profesi.
menurut peraturan menteri kesehatan No. 889 tahun 2011 tentang
registrasi, izin praktek dan izin kerja tenaga kefarmasian, Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA) dapat diperoleh dengan cara :
a) Apoteker mengajukan permohonan kepaada Komite Farmasi
Nasional (KFN).
b) Surat permohonan STRA harus melampirkan :
1. Fotokopi ijazah apoteker
2. Fotokopi surat sumpah atau janji apoteker
3. Fotokopi sertifikat kompetensi profesi yang masih berlaku.
4. Memiliki surat keterangan sehat secara fisik maupun mental
dari dokter yang memiliki surat izin praktek.
5. Membuat pernyataan akan mematuhi serta melaksanakan
ketentuan etika profesi.
12
6. Pas foto terbaru berwarna dengan ukuran 4 × 6 cm
sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 × 3 srbanyak 2 (dua)
lembar.
c) Permohonan STRA dapat diajukan secara online melalui
website KFN.
d) KFN harus menerbitkan STRA paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap.
e) Bagi apoteker yang baru lulus pendidikan dapat memperoleh
STRA secara langsung.
Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan :
a) Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN.
b) Surat pernyataan memiliki tempat praktek profesi atau surat
keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau
dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi atau penyaluran.
c) Surat rekomendasi dari organisasi profesi.
d) Pas foto berwarna 4 × 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 × 4
sebanyak 2 (dua) lembar.
Untuk mengajukan surat permohonan SIPA sebagai apoteker
pendamping (aping) harus dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk
tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua atau ketiga. kepala dinas
kesehatan kabupaten atau kota harus menerbitkan SIPA atau SIKA paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan
dinyatakan lengkap (PMK, 2011).
Dalam beberapa ketentuan dalam peraturan menteri kesehatan
nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang registrasi, izin praktek dan izin
kerja tenaga kefarmasian diubah menurut peraturan menteri kesehatan
nomor 2016 menjadi :
13
a) Nomenklatur yang berbunyi surat izin kerja harus dibaca dan
dimaknai sebagai surat izin praktek. Setiap tenaga kefarmasian
yang akan mengajukan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki
surat izin berupa SIPA bagi apoteker.
b) SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan
untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian. Dikecualikan SIPA
bagi Apoteker di Fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan
untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan
kefarmasian. Dalam hal apoteker telah memiliki surat izin
apotek, maka apoteker yang bersangkutan hanya dapat memiliki
2 (dua) SIPA pada fasilitas pelayanan kefarmasian lain.
c) SIPA diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten
atau kota tempat tenaga kefarmasian menjalankan prakteknya.
Pada kondisi tertentu STRA dapat dicabut apabila :
a) Pemilik STRA tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental
untuk dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan
surat keterangan dokter.
b) Melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian.
c) Melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang
dibuktikan dengan putusan Pengadilan pencabutan STRA
disampaikan kepada pemilik STRA dengan tembusan kepada
direktur jenderal, kepala dinas kesehatan kabupaten atau kota
dan organisasi profesi.
2. Tenaga Teknis Kefarmasian
Berdasarkan peraturan menteri kesehatan kesehatan No. 889 tahun
2011, tenaga teknis kefarmasian didefiniskan sebagai tenaga yang
14
membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian dan terdiri
dari sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analisis farmasi dan tenaga
menengah farmasi/asisten apoteker. Setiap tenaga teknis kefarmasian wajib
memiliki surat tanda registrasi tenaga teknis kefarmasian (STRTTK).
STRTTK belaku selama 5 tahun dan untuk memperoleh STRTTK tenaga
teknis kefarmasian wajib memenuhi (Permenkes No. 889, 2011) :
a) Fotokopi ijazah sarjana farmasi atau ahlimadya farmasi atau
analis farmasi atau tenaga menengah farmasi/Asisten
apoteker (AA).
b) Surat keterangan sehat secara fisik maupun mental dari
dokter yang memiliki SIP (Surat Ijin Praktek).
c) Surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah
memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan
lulusan, atau organisasi yang menghimpun tenaga teknis
kefarmasian.
d) Surat pernyataan akan mematuhi serta melaksanakan etika
kefarmasian.
kepala dinas kesehatan provinsi harus menerbitkan STRTTK paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan
dinyatakan lengkap. Selain itu, tenaga teknis kefarmasian juga wajib
memiliki surat izin kerja tenaga teknis kefarmasian (SIKTTK). SIKTTK
dapat diberikan untuk paling banyak 3 tempat fasilitas kefarmasian.
Pengajukan permohonan SIKTTK harus dinyatakan secara tegas
permintaan SIKTTK untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua
atau ketiga. kepala dinas kesehatan kabupaten/kota harus menerbitkan
SIKTTK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan
diterima dan dinyatakan lengkap.
15
2.2.2 Perizinan Pendirian Apotek
Perizinan dalam pendirian apotek yang diatur dalam peraturan
menteri kesehatan Republik Indonesia tahun 2017 tentang apotek telah
disebutkan bahwa setia pendirian apotek harus memiliki SIA (Surat Izin
Apotek) dari menteri kesehatan. kemudian menteri kesehatan melimpahkan
kewenangan pemberian izin kepada pemerintah daerah kabupaten atau kota.
SIA yang diberikan berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang selama
apotek memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. pendirian apotek
terlebih dahulu mengurus perizinan usaha terintegrasi yang dilakukan
secara elektronik melalui OSS (Online Single Submission). OSS merupakan
perizinan berusaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama
menteri, pimpinan lembaga, gubernur maupun bupati atau walikota kepada
pelaku usaha.
Alur perizinan apotek melalui sistem OSS berdasarkan permenkes
No. 28 Tahun 2018 dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Pelaku usaha wajib mengajukan permohonan izin dan izin
komersiaol atau operasional melalui OSS.
b. Lembaga OSS menerbitkan NIB setelah pelaku usaha
melakukan pendaftaran melalui pengisian data lengkap. NIB
adalah identitas berusaha yang digunakan oleh pelaku usaha
untuk mendapatkan izin usaha dan izin komersial atau
operasional termasuk unntuk pemenuhan persyaratan izin
usaha dan izin komersial atau operasional.
c. Pelaku usaha wajib memenuhi komitmen izin usaha (dengan
melakukan pengisian data proyek, data lokasi, izin lokasi,
16
izin lingkungan serta IMB+SLF) dan izin komersial atau
operasional melalui sistem OSS.
d. Pelaku usaha menyampaikan dokumen pemenuhan
komitmen paling lama 6 bulan melalui sistem OSS.
e. Pemerintah daerah kabupaten atau kota melakukan
pemeriksaan lapangan paling lama 6 hari sejak pelaku usaha
memenuhi komitmen sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan mengenai pelayanan perizinan
terintegrasi secara elektronik.
f. Berdasarkan hasil evaluasi dan berita acara pemeriksaan
dinyatakan tidak terdapat perbaikan, pemerintah daerah
kabupaten atau kota menyampaikan notifikasi pemenuhan
komitmen izin apotek paling lama 3 hari melalui sistem OSS.
g. Dalam hal berdasarkan berita acara pemeriksaan diperlukan
perbaikan, pemerintah daerah kabupaten atau kota
menyampaikan hasil evaluasi kepada pelaku usaha melalui
sistem OSS. pelaku usaha harus melakukan perbaikan dan
menyampaikan kepada pemerintah daerah kabupaten atau
kota melalui sistem OSS paling lama 1 bulan sejak
diterimanya hasil evaluasi.
h. Apabila tidak ada perbaikan dari pelaku usaha maka
pemerintah kabupaten atau kota menyampaikan notifikasi
penolakan melalui OSS.
Untuk memperoleh surat izin apotek, apoteker harus mengajukan
permohonan tertulis kepada pemerintah daerah kabupaten atau kota dengan
menggunakan formulir I. Permohonan harus ditandatangani oleh apoteker
serta dengan kelengkapan dokumen administratif meliputi :
17
a. Fotokopi STRA dengan menunjukkan STRA asli.
b. Fotokopi kartu tanda penduduk.
c. Fotokopi nomor wajib pajak apoteker.
d. Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan.
e. Daftar prasarana, sarana serta perlatan.
Apoteker paling lama 6 (enam) hari kerja sejak menerima
permohonan dan dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen
administratif kemudian pemerintah daerah kabupaten atau kota menugaskan
tim pemeriksa untuk dapat melakukan pemeriksaan setempat terhadap
kesiapan apotek dengan menggunakan formulir 2. Tim pemeriksa harus
melibatkan unsur dinas kesehatan kabupaten atau kota yang terdiri dari
tenaga kefarmasian dan tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan
prasarana. Waktu paling lama 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa
ditugaskan, tim pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan setempat
yang dilengkapi dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada
pemerintah daerah kabupaten atau kota dengan formulir 3. Paling lama
dalam waktu 12 (dua belas) hari sejak pemerintah daerah kabupaten atau
kota menerima laporan dan dinyatakan memenuhi syarat. Pemerintah
daerah kabupaten atau kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada
direktur jenderal, kepala dinas kesehatan provinsi, kepala balai POM,
kepala dinas kesehatan kabupaten atau kota, dan organisasi profesi dengan
menggunakan formulir 4.
Apabila hasil pemeriksaan dinyatakan masih belum memenuhi
syarat, pemerintah daerah kabupaten atau kota harus mengeluarkan surat
penundaan paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja dengan
menggunakan formulir 5. Permohonan yang dinyatakan belum memenuhi
persyaratan paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan sejak surat
18
penundaan diterima. Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan
persyaratan, maka pemerintah daerah kabupaten atau kota mengeluarkan
surat penolakan dengan menggunakan formulir 6, apabila dalam
menerbitkan SIA melebihi jangka waktu apoteker pemohon dapat
menyelenggarakan apotek dengan menggunakan BAP sebagai pengganti
SIA. Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA maka penerbitannya
bersama dengan penerbitan SIPA untuk apoteker pemegang SIA dan masa
berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA.
2.3 Manajemen di Apotek
Sistem manajemen sangat diperlukan oleh sebuah apotek untuk
dapat memberikan pelayanan kefarmasian secara optimal kepada pasien.
Apoteker memiliki tanggung jawab dalam mengatur sistem manajemen
sebuah apotek dengan tujuan untuk dapat mengembangkan serta eksistensi
dari apotek. Sistem pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan serta bahan
medis habis pakai. standar pelayanan kefarmasian di apotek terdiri dari 4
hal yang telah diatur dalam peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia
No. 73 tahun 2016. Hal-hal yang diatur tersebut antara lain :
2. 3. 1 Perencanaan (Planning)
Perencanaan merupakan tahap awal untuk menetapkan jenis dan
jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
(BMHP) sesuai kebutuhan. Perencanaan kebutuhan tersebut dilakukan
melalui tahapan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019) :
a. Persiapan
Hal yang perlu diperhatikan sebelum menyusun rencana
kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP dilakukan sebagai
berikut :
19
1) Pemastian komoditas yang akan disususn perencanaannya.
2) Penyusunan daftar spesifik mengenai sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP yang direncanakan, termasuk
kombinasi antara obat generik maupun bermerk.
3) Waktu yang dibutuhkan, estimasi periode pengadaan,
estimasi safety stock dan memperhitungkan lead time.
b. Pengumpulan data
Data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan BMHP pasien pada periode sebelumnya
(data konsumsi), sisa stok serta daya morbiditas.
c. Jenis maupun jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP
yang direncanakan menggunakan metode perhitungan kebutuhan.
d. Evaluasi perencanaan.
e. Revisi rencana kebutuhan obat (jika diperlukan).
f. Apotek yang berkerjasama dengan BPJS diwajibkan untuk
mengirimkan rencana kerja rencana kerja operasional (RKO) yang
telah disetujui oleh pimpinan apotek melalui aplikasi “E-money”
Pemilihan metode perhitungan kebutuhan didasarkan pada
penggunaan sumber daya dan data yang telah ada. metode tersebut antara
lain: metode konsumsi, metode morbiditas, dan metode proxy.
Perencanaan obat pada apotek yang baru berdiri perlu diperhatikan dan
dilakukan dengan dasar survey atau studi kelayakan.antara lain:
a. Populasi, morbiditas, tingkat kemakmuran penduduk sekitar.
b. Pola penyakit sekitar.
c. Pola penulisan resep dokter sekitar baik praktek mandiri maupun
di sarana kesehatan yang ada (puskesmas, rumah sakit, klinik dan
lainnya).
20
d. Iklan (media elektronik, cetak, radio, pinggir jalan dan lain-lain)
iklan yang memuat tentang apotek tersebut maksimal 7 hari sejak
hari awal penerbitan iklan.
2. 3. 2 Pengadaan
Kegiatan pengadaan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang
telah direncanakan sebelumnya. Pengadaan dilakukan untuk menunjang
kelancaran proses pelayanan kefarmasian di apotek, sehingga apotek perlu
menjamin kualitas pelayanan. Berdasarkan peraturan menteri kesehatan
Republik Indonesia nomor 73 tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di apotek untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian,
maka pengadaan sediaan farmasi harus dilakukan melalui jalur resmi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan. Pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMPH di apotek dilakukan dengan pembelian. Pembelian
adalah metode penting untuk mencapai keseimbangan yang baik antara
mutu dengan harga. Apabila terdapat beberapa pemasok maka apoteker
dalam pemilihan pemasok harus mempertimbangkan (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2019):
a. mutu produk (kualitas produk yang terjamin dan dapat
dibuktikan dengan adanya NIE atau nomor izin edar).
b. Reputasi produsen (distributor yang memiliki ijiin dengan
penanggungjawab seorang apoteker serta mampu untuk
memenuhi jumlah pesanan).
c. Harga.
d. Ketepatan waktu pengiriman (lead time yang cepat).
e. Mutu pelayanan pemasok.
f. Dapat dipercaya.
21
g. Kebijakan tentang barang yang dikembalikan, serta
pengemasan.
Waktu pengadaan obat dilakukan berdasarkan kebutuhan dengan
mempertimabangkan hasil analisa dari data (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2019) :
a. Sisa stok, dengan mempertimbangkan waktu (tingkat
kecukupan obat serta perbekalan kesehatan).
b. Kapasitas penyimpanan.
c. Waktu tunggu.
Pengadaan dilakukan dengan melalui Surat Pemesanan (SP) yang
ditandatangai oleh APA dengan mencantumkan nomor SIPA. Surat pesanan
dibuat paling sedikit 2 (dua) rangkap, 1 rangkap diserahkan kepada
distributor, sedangkan sisanya digunakan sebagai arsip apotek..
2. 3. 3 Penerimaan
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Tahun 2019 menyebutkan
bahwa penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin keseuaian jenis-
jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera
dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Pemeriksaan
sediaan farmais yang diterima meliputi :
a. Kondisi kemasan (segel, label atau penandaan yang berada
dalam kondisi yang baik).
b. Kesesuaian antara nama, bentuk, kekuatan sediaan, isi kemasan
antara arsip surat pesanan dengan obat yang telah diterima.
c. Kesesuaian antara fisik obat dengan faktur pembelian dan atau
surat pengiriman barang, yang meliputi:
1) kebenaran nama produsen, nama pemasok, nama obat,
jumlah, bentuk, kekuatan sediaan obat dan isi kemasan.
22
2) nomor bets dan tanggal kedaluwarsa.
2. 3. 4 Penyimpanan
Penyimpanan merupakan suatu kegiatan menyimpan dan
memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima
pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang
dapat merusak mutu sediaan farmasi. Tujuan penyimpanan adalah untuk
memelihara mutu sediaan farmasi, menghindari penggunaan yang tidak
bertanggung jawab, menjaga ketersediaan, serta memudahkan pencarian
dan pengawasan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019). Hal-
hal yang harus diperhatikan dalam hal penyimpanan (PMK, 2016):
a. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan
pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan
harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah
sekurang- kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan
tanggal kedaluwarsa.
b. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
c. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
d. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
e. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out)
dan FIFO (First In First Out).
Aspek khusus yang perlu diperhatikan:
23
a. High Alert
Obat high alert merupakan obat yang perlu diwapadai karena
dapat menyebabkan terjadinya kesalahan/ kesalahan serius (sentinel
event), serta beresiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak
diinginkan (adverse outcome). Obat yang perlu diwaspadai terdiri
atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia):
1) Obat risiko tinggi yaitu obat yang bila terjadi kesalahan
(error) dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan
seperti insulin, antidiabetik oral atau obat kemoterapeutik.
2) Obat dengan nama, kemasan, label, kelihatan sama (look
alike), bunyi ucapan sama (sound alike) biasa disebut
LASA atau disebut juga Nama Obat Rupa Ucapan Mirip
(NORUM), contohnya tetrasiklin dan tetrakain. Apotek
menetapkan daftar obat LASA (Look a Like Sound a like).
Penyimpanan obat LASA tidak saling berdekatan dan diberi
label khusus sehingga petugas dapat lebih mewaspadai
adanya obat LASA.
3) Elektrolit konsentrat seperti natrium klorida dengan
konsentrasi lebih dari 0,9% dan magnesium sulfat injeksi.
b. Obat Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Tempat penyimpanan narkotika, psikotropika dan prekursor
farmasi harus mampu menjaga keamanan, khasiat dan mutu serta
dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain narkotika,
psikotropika dan prekursor farmasi. Apotek harus memiliki tempat
penyimpanan narkotika atau psikotropika berupa lemari khusus dan
berada dalam penguasaan apoteker. Lemari khusus penyimpanan
narkotika dan psikotropika harus mempunyai 2 (dua) buah kunci
24
yang berbeda, satu kunci dipegang oleh apoteker dan satu kunci
lainnya dipegang oleh pegawai lain yang dikuasakan (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2019). Apabila apoteker berhalangan
hadir dapat menguasakan kunci kepada pegawai lain. Apotek harus
menyimpan prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi di tempat
penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).
4) Obat-obat Tertentu
Obat yang bekerja di sistem susunan syaraf pusat selain
narkotika dan psikotropika yang pada penggunaan di atas dosis terapi
dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Obat-obat tertentu disimpan di tempat
yang aman berdasarkan analisis risiko masing-masing sarana.
Beberapa analisis risiko yang perlu dipertimbangkan antara lain
akses personil dan mudah diawasi secara langsung oleh
penanggungjawab (Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan, 2016).
Apabila memiliki obat - obat tertentu disimpan tidak dalam
wadah asli, maka wadah harus dilengkapi dengan identitas obat
meliputi nama, jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, jenis kemasan,
nomor bets, tanggal kedaluwarsa dan nama produsen. Memisahkan
obat- obat tertentu yang rusak, kedaluwarsa atau telah dibatalkan
izin edarnya dari obat - obat tertentu yang masih layak dan
menyimpannya dengan aman disertai pencatatan sebelum
dimusnahkan atau dikembalikan kepada industri farmasi/PBF
(Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2016).
25
2. 3. 5 Pemusnahan dan Penarikan
Beberapa jenis pemusnahan dan penarikan menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yaitu:
a. Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan
jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kedaluwarsa atau
rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan
oleh apoteker dan disaksikan oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan
psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh
tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktek atau
surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara
pemusnahan.
b. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima)
tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh
apoteker disaksikan oleh sekurang- kurangnya petugas lain di
apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang
dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep dan
selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
c. Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis
habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan
dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.
d. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard /
ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh
pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM
26
(mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh
pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan
laporan kepada kepala BPOM
e. Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh
menteri.
2. 3. 6 Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan
atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kedaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian
persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual
atau elektronik. Kartu stok sekurang - kurangnya memuat nama sediaan
farmasi, tanggal kedaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan
sisa persediaan (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).
2. 3. 7 Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan
(surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau
struk penjualan) dan pencatatan lainnya yang disesuaikan dengan
kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan
manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, meliputi
pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya (Kementrian
27
Kesehatan Republik Indonesia, 2019).
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan
internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen
apotek, meliputi keuangan, barang, dan laporan lainnya. Pelaporan
eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, meliputi pelaporan
narkotika, psikotropika, dan pelaporan lainnya (PMK, 2016). Berdasarkan
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009, apotek wajib
membuat, menyampaikan dan menyimpan laporan secara berkala mengenai
pemasukan serta pengeluaran narkotika. Laporan ditujukan kepada kepala
dinas kesehatan kabupaten atau kota dengan tembusan kepada kepala dinas
kesehatan, kepala BPOM dan arsip apotek. Pelaporan menggunakan sistem
online dengan cara mengakses website dengan alamat
http://sipnap.depkes.go.id. Laporan dikirimkan dalam bentuk softcopy
dengan format yang dapat diunduh pada website tersebut. setelah laporan
di-upload, maka laporan akan secara otomatis terkirim kepada dinas
kesehatan di Jakarta, hardcopy dari laporan akan dibuat 2 (dua) rangkap
dan dikirimkan ke BPOM serta sebagai arsip.
2.4 Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan farmasi klinis di apotek merupakan bagian dari
pelayanan kefarmasian yang langsung serta bertanggungjawab kepada
pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat keseshatan serta bahan medis
habis pakai dengan maksud untuk mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (Peraturan Menteri Kesehatan No. 73,
2016). Pelayanan farmasi klinis meliputi:
28
2. 4. 1 Pengkajian dan pelayanan resep
Meliputi administrasi, kesesuaian farmasetis dan pertimbangan
klinis. kajian administratif meliputi :
a. Nama pasien, umur, jenis kelamin, berat badan
b. Nama dokter, nomor SIP, alamat, nomor telepon serta paraf
c. Tanggal penulisan resep
Kajian kesesuaian farmasetis meliputi :
a. Ketepatan indikasi dan dosis obat
b. Aturan, cara dan lama penggunaan obat
c. Kompatibilitas obat
Kajian klinis meliputi :
a. Ketepatan indikasi dan dosis obat.
b. Aturan, cara dan lama penggunaan obat.
c. Duplikasi dan atau polifarmasi
d. Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain).
e. Kontraindikasi
f. Interaksi
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
apoteker harus menghubungi dokter penulis resep tersebut
2. 4. 2 Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan serta pemberian
informasi obat. Setelah dilakukan pengkajian terhadap resep, maka
dilakukan (PMK, 2016) :
a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep.
1) Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep.
2) (Menghitung harga obat pada resep dan
29
menginformasikannya kepada pasien)
3) (Jika pasien telah setuju mengenai harga resep) mengambil
obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kedaluwarsa dan keadaan
fisik obat.
b. Melakukan peracikan resep bila diperlukan
c. Memberikan sekurang-kurangnya meliputi :
1) Warna putih untuk obat dengan pemakaian secara oral
2) Warna biru untuk obat luar dan obat injeksi
3) Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan dengan
bentuk suspensi atau emulsi.
d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat serta terpisah
untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan
menghindari penggunaan yang salah
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut
(PMK, 2016):
a. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada
etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian
antara penulisan etiket dengan resep).
b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
d. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.
e. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang
terkait dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan
minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara
penyimpanan obat dan lain-lain.
30
f. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara
yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya tidak stabil.
g. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau
keluarganya.
h. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh
apoteker (apabila diperlukan).
i. Menyimpan resep pada tempatnya.
j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.
k. Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau
pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi
kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit
ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang
sesuai (PMK, 2016).
2. 4. 3 Pelayanan Informasi Obat
Menurut peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia No. 73
tahun 2016 tentang standar pelayanan di apotek bahwa pelayanan informasi
obat adalah kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian
informasi mengenai obat yang tidak memihak, di evaluasi dengan kritis dan
dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi meliputi dosis, bentuk
sediaan, formulasi khusus, rute dan metode pemberian, farmakokinetik,
farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada
ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan,
harga, sifat fisika tau kimia dari obat dan lain - lain. Kegiatan pelayanan
informasi obat di apotek meliputi:
a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan
31
b. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet,
pemberdayaan masyarakat (penyuluhan).
c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa
farmasi yang sedang praktek profesi.
e. Melakukan penelitian penggunaan obat.
f. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
2. 4. 4 Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam
penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling (PMK, 2016):
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan
fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis
(misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
c. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus
(penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off).
d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi
sempit (digoksin, fenitoin, teofilin).
e. Pasien dengan polifarmasi, pasien menerima beberapa
obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam
kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu
obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan
dengan satu jenis obat.
f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
32
Tahapan konseling adalah sebagai berikut:
a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien
b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat
melalui Three Prime Questions, yaitu:
1) Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?
2) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara
pemakaian obat anda?
3) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil
yang diharapkan setelah anda menerima terapi
obat tersebut?
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi
kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi
masalah penggunaan obat.
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk
menyelesaikan masalah penggunaan obat.
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan
pemahaman pasien.
2. 4. 5 Pemantauan Terapi Obat
Merupakan proses yang memastikan bahwa pasien mendapatkan
terapi obat yang efektif serta terjangkau dengan memaksimalkan efikasi
dan meminimalkan efek samping (PMK, 2016). Kriteria pasien:
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multidiagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan
33
reaksi obat yang merugikan.
2. 4. 6 Pelayanan Non Resep
Pelayanan non resep adalah pelayanan terhadap pasien tanpa
resep dokter dan biasanya mereka datang berbekal keluhan gejala penyakit
yang diderita. Bentuk pelayanan obat non resep merupakan pelayanan
kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan
swamedikasi (self medication). Hal ini diatur dalam peraturan menteri
kesehatan RI No. 73 tahun 2016 yang menyatakan bahwa seorang apoteker
harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non resep
untuk penyakit ringan dan memilihkan obat bebas atau obat bebas terbatas
yang sesuai. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat
digunakan tanpa resep yang meliputi Obat wajib apotek (OWA), obat bebas
terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Yang harus diperhatikan dalam
menerima layanan obat non resep adalah mengetahui informasi tentang
pasien. Berikut ini merupakan beberapa metode yang digunakan untuk
mengetahui informasi pasien, yaitu:
a. Metode WWHAM:
1) Who is the patient? (Siapa pasiennya?)
2) What is the symptom? (Apa gejalanya?)
3) How long have the symptom been present? (Berapa lama
gejala tersebut berlangsung?)
4) Action taken, what medicines tried? (Tindakan apa yang
telah diambil, obat apa yang telah digunakan?)
5) Medicines already being taken for other condition? (Obat
yang digunakan saat ini untuk kondisi lain?)
b. Metode “The Basic Seven Question”
1) Location : di mana gejalanya?
34
2) Quality : seperti apa gejalanya dan bagaimana rasanya?
3) Quantity : seberapa parah gejalanya?
4) Timing : berapa lama atau seberapa sering berlangsung?
5) Setting : bagaimana kejadiannya?
6) Modifying factor : apa yang membuat terasa lebih parah
atau terasa lebih nyaman?
7) Associated symtoms : gejala apa lagi yang anda rasakan?
c. Metode “ENCORE”
1) Explore
2) No Medication
3) Care
4) Observe
5) Reserve
6) Explain