0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
17 tayangan24 halaman

Abdulloh Hadi - UNAIR (1-24) OK

Dokumen ini membahas status kewarganegaraan anak hasil praktik gestational surrogacy bagi Warga Negara Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun anak dari praktik ini dapat memiliki status kewarganegaraan Indonesia, mereka tetap dianggap sebagai anak di luar nikah. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif untuk menganalisis implikasi hukum dan perbedaan pengaturan di berbagai negara.
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
17 tayangan24 halaman

Abdulloh Hadi - UNAIR (1-24) OK

Dokumen ini membahas status kewarganegaraan anak hasil praktik gestational surrogacy bagi Warga Negara Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun anak dari praktik ini dapat memiliki status kewarganegaraan Indonesia, mereka tetap dianggap sebagai anak di luar nikah. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif untuk menganalisis implikasi hukum dan perbedaan pengaturan di berbagai negara.
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 24

Jurist-Diction Vol.

8 (1) 2025 1

Jurist-Diction
Volume 8 No. 1, Januari 2025

Status Kewarganegaraan Bagi Anak (Intended Parents


Embryo) Warga Negara Indonesia Menggunakan Mekanisme
Gestational Surrogacy
Abdulloh Adi dan Syaiful Aris
[email protected]; [email protected]
Universitas Airlangga
How to cite: Abstract
Abdulloh Adi dan Syaiful
Assistive Reproductive Technology (ART) is contained in Article 58 of
Aris ‘Status Kewarganegaraan
Bagi Anak (Intended Parents Law Number 17 of 2023 concerning Health which only recognizes the
Embryo) Warga Negara IVF process, and implicitly prohibiting about Gestational Surrogacy and
Indonesia Menggunakan impact on sitizenship status without paying attention to the principle of
Mekanisme Gestational legality. The aim of this research is to determine the impact of differences
Surrogacy’ (2025) Vol. 8 No. 1
in Gestational Surrogacy procedure arrangements on citizenship status,
Jurist-Diction
especially for granting Indonesian citizenship from thet procedure. This
Histori artikel: writing method is normative legal research using a conceptual approach
Submit 27 September 2024; and a statutory regulatory approach. The result of this research is that there
Diterima 26 Desember 2024; is a causal impact of differences in the settings of Gestational Surrogacy
Diterbitkan 27 Januari 2025.
procedures with citizenship status, where in several countries children
DOI: resulting from Gestational Surrogacy have stateless status. In Indonesia
10.20473/jd.v8i1.66144 itself, children resulting from this procedure still have Indonesian
citizenship status. However, it must be the status of an illegitimate child.
p-ISSN: 2721-8392
e-ISSN: 2655-8297 Keywords: Gestational Surrogacy; Ctizenship Status; Legality Principle.

Abstrak
Assistive Reproductive Technology (ART) tertuang pada Pasal 58
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang hanya
mengenal proses bayi tabung. Aturan tersebut banyak terjadi interpretasi
secara implisit, sehingga memiliki dampak larangan terhadap praktik
Gestational Surrogacy tanpa memperhatikan prinsip legalitas. Bukan
hanya hal tersebut, aturan tersebut pun memiliki hubungan kausalitas
terhadap status kewarganegaraan. Tujuan dari penelitian ini yaitu
mengetahui dampak perbedaan pengaturan prosedur Gestational
Surrogacy terhadap status kewarganegaraan serta mengetahui
pengaturan pemberian status kewarganegaraan Indonesia bagi anak hasil
prosedur Gestational Surrogacy. Metode penulisan ini yaitu penelitian
hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual dan
pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini
adalah adanya dampak kausalitas dari perbedaan pengaturan prosedur
Gestational Surrogacy dengan status kewarganegaraan yang dibeberapa
negara anak hasil dari Gestational Surrogacy memiliki status tanpa
kewarganegaraan. Di Indonesia sendiri anak hasil dari prosedur tersebut
masih memiliki status kewaarganegaraan Indonesia. Namun, harus
menjadi status anak diluar nikah.
Kata Kunci: Gestational Surrogacy; Status Kewarganegaraan;
Prinsip Legalitas.
Copyright © 2025 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris

Jurist-Diction. 2025; 1-24 https://e-journal.unair.ac.id/JD


2 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan telah memberikan pilihan kepada manusia.1
Pilihan tersebut bukan memberikan batasan dalam akses, melainkan memberikan
pilihan dalam akses sesuatu yang diinginkan, salah satunya dalam melakukan
reproduksi. Aktivitas reproduksi secara umum memiliki tujuan untuk melanjutkan
keturunan.2 Di Indonesia, sebelum melakukan aktivitas reproduksi, pastinya wajib
selaras dengan norma hukum yang sejalan dengan norma lainnya, sebagaimana yang
termaktub pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 (yang selanjutnya kedua undang-undang tersebut disebut
dengan UUP) yang menyatakan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
Berdasarkan klausul tersebut secara eksplisit menjelaskan tujuan dari
perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Namun,
pada realitas sosial yang ada kebahagiaan dalam membentuk keluarga tidak absolut
didapatkan oleh setiap pasangan dengan berbagai alasan. Salah satu kendala
yang dihadapi banyak pasangan yaitu dalam memperoleh keturunan dikarenakan
infertilitas baik dari salah satu pasangan maupun keduanya. Kondisi tersebut dapat
terjadi karena salah satu atau keduanya memiliki kondisi medis tertentu.3
Saat ini, teknologi dapat menjawab persoalan mengenai infertilitas tersebut.
Solusi yang ditawarkan hanyalah dengan pengangkatan anak atau adopsi. Pasangan
yang salah satu atau keduanya memiliki potensi infertilitas, masih memiliki harapan
untuk mendapatkan keturunan dengan masih memiliki hubungan genetik dengan
mereka yaitu menggunakan Assisted Reproductive Technology (yang selanjutnya
disebut dengan ART). ART tersebut menggunakan prosedur In Vitro Fertilization

1
Noviriska dan Dwi Atmoko, Hukum Kesehatan (Literasi Nusantara Abadi 2022).
2
Desriza Ratman, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa
Rahim di Indonesia? (Elex Media Komputoindo 2012).[34].
3
Tono Djuantono dkk, Panduan Medis Tepat dan Terpercaya untuk Mengatasi Kemandulan
Hanya 7 Hari: Memahami Infertilitas (Refika Aditama 2008).[1].
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 3

(yang selanjutnya disebut dengan IVF).4


Prosedur IVF dilakukan dengan penyatuan benih dari pasangan perkawinan
yang sah. Benih tersebut ialah sel sperma pada suami dan sel telur pada istri yang
telah matang. Kemudian, kedua sel tersebut disatukan pada suatu cawan petri,
sehingga menghasilkan zigot (yang selanjutnya disebut dengan embrio atau embryo)
yang merupakan hasil dari pembuahan sel sperma dan sel telur. Kemudian embrio
ditransplasikan kembali kedalam rahim.5
Di Indonesia, prosedur IVF tidak akan menjadi sebuah permasalahan yang
berarti apabila embrio tersebut ditransplantasikan kembali ke rahim istri dari
perkawinan yang sah secara hukum atau yang dikenal dengan prosedur bayi tabung.
Karena hal tersebut telah terdapat pengaturannya yang termaktub pada Pasal
58 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (yang selanjutnya
disebut dengan UU Kesehatan) yang pada intinya menyatakan:
“Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan
suami istri yang sah dengan ketentuan:
a)Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu;
c)Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu”.
Namun, dengan adanya perkembangan teknologi, dimugkinkannya untuk
melakukan transplantasi embrio dari perkawinan yang sah ke rahim wanita lain
atau yang disebut dengan surrogate mother (yang selanjutnya disebut dengan ibu
pengganti). Tindakan tersebut disebut dengan praktik gestational surrogacy yang
sampai saat ini masih terjadi kekosongan hukum di Indonesia.6
Metode Gestational Surrogacy dengan melakukan inseminasi embrio hasil
IVF ke rahim ibu pengganti, memberikan kepastian apabila ibu pengganti tidak

4
Sonny Dewi Judiasih, et.al., Aspek Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Indonesia,
(Refika Aditama 2016).[1].
5
Desriza Ratman, Op.Cit.[2].
6
ibid.
4 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

memiliki ikatan genetik dengan bayi yang dikandung.7 Sehingga, telah banyak
pasangan yang memilih prosedur ini, termasuk bagi Warga Negara Indonesia
(yang selanjutnya disebut dengan WNI). Namun, kembali lagi bukan hanya di
Indonesia saja yang masih terjadi kekosongan hukum dalam pengaturan metode ini,
melainkan masih banyak negara yang belum mengatur dan aturan tidak jelas atau
kabur dalam pengaturan praktik Gestational Surrogacy. Norma yang kabur tersebut
apabila menggunakan interpreatasi a contrario berstatus berakibat illegal seperti
halnya di Indonesia. Faktor inilah yang menjadikan banyak pasangan yang memilih
beberapa negara yang memiliki pengaturan, sehingga telah terjamin legalitasnya,
seperti Amerika Serikat dan India.8
Upaya pengaturan Gestational Surrogacy yang telah dilakukan, pada realitas
sosialnya tidak menjamin atas terbebasnya sebuah permasalahan, salah satunya
masalah status kewarganegaraan bayi. Permasalahan tersebut terjadi baik dengan
negara ibu pengganti maupun dengan negara intended parents (yang selanjutnya
disebut dengan orang tua genetic). Sebagai contoh, kasus Kari Ann Volden, seorang
wanita yang berkebangsaan Norwegia, melakukan praktik Gestational Surrogacy
di India dengan hasil dua anak kembar laki-laki. Konsekuensi hukum dari tindakan
tersebut berakhir dengan status stateless pada kedua anak laki-laki tersebut selama
dua tahun, dikarenakan tidak diakui oleh kedua negara baik Norwegia dan India.
Pun, Volden terjebak di India sampai dengan bisa kembali ke Norwegia dan secara
legal mengadopsi kedua anak dari hasil Gestational Surrogacy tersebut.9
Hal yang serupa tapi tak sama juga tejadi pada pasangan asal Jerman yaitu
Jan Balaz dan Susan Anna Lohlad. Pasangan tersebut juga menggunakan jasa ibu
pengganti di India. Namun, berbeda dengan konsep ibu pengganti pada kasus
Kari Ann Vooolden, pasangan tersebut justru mengambil sel telur dan dikandung

7
Sambhu Charan Mondal et al, ‘Genetic and Gestational Surrogacy: an Overview, College of
Pharmacy’ (2021) 9 Shree Ganpati Institute of Technology, Walailak J Sci & Tech.[190].
8
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran (Grafikatama Jaya, 1991).[124].
9
Emma Batha, “International Surrogacy Traps Babies in Stateless Limbo,” https://www.
reuters.com/article/us-foundation-statelessness-surrogacy-idUKKBN0HD19T20140918,diakses
pada tanggal 8 Oktober 2021.
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 5

di rahim wanita warga negara India yang berstatus anonim. Dari praktik tersebut,
menghasilakan dua anak yaitu Nikolai dan Leonard yang memiliki hubungan
genetic dengan ibu pengganti tersebut. Namun, kembali lagi, kedua negara baik
India dan Jerman tidak mengakui kedua anak tersebut dan berakhir dengan status
stateless. Hal tersebut terjadi karena Jerman tidak mengakui Gestational Surrogacy
sementara India mengakui kedua anak tersebut anak sah dari Jan Balaz dan
Susan Anna Lohlad yang berkewarganegaraan Jerman. Jan Balaz pada akhirnya
menempuh jalur hukum dengan mengajukan petisi kepada pemerintahan di
negara bagian Anand, India untuk mengeluarkan Paspor India bagi Nikolai dan
Leonard sebagaimana keduanya lahir di India dan dilahirkan oleh wanita India.
Petisi tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Jan Balaz tanpa menikahi wanita
pendonor sel telur serta ibu pengganti atas dasar Citizenship Act of 1955 Pasal 3(1)
(c)(ii), karena salah satu dari orang tuanya merupakan warga negara India, maka
Nikolai dan Leonard berhak atas kewarganegaraan India.10
Dengan demikian, sejatinya negara Indonesia sangat memiliki potensi untuk
memberikan pengakuan dan pemberian status warga negara Indonesia terhadap
anak (Intended Parents) WNI dari praktik Gestational Surrogacy dari status
kewarganegaraan ibu pengganti baik dari WNI maupun Warga Negara Asing
(yang selanjutnya disebut dengan WNA). Atas dasar hal tersebutlah, penelitian
ini dilakukan dengan judul “Status Kewarganegaraan bagi Anak (Intended
Parents Embryo) Warga Negara Indonesia Menggunakan Mekanisme Gestational
Surrogacy” demi terciptanya dari tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kepastian
hukum, dan kebermanfaatan.
Berdasarkan latar belakang terdapat dua isu hukum antara lain: 1) Apakah
perbedaan hukum antarnegara berimplikasi pada status kewarganegaraan anak hasil
praktik gestational surrogacy? ; 2) Apakah anak (intended parents embryo) Warga
Negara Indonesia dari mekanisme gestational surrogacy dapat memiliki status
kewarganegaraan Indonesia?.

Casemine. Com “Jan Balaz (S) v Anand Gujarat Hight Court”, https://www.casemine.com/
10

judgement/in/56b48efa607dba348fff6a16 diakses pada 19 Januari 2022.


6 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

Metode Penelitian
Metode penelitian bertujuan untuk dapat mengetahui dan membahas suatu
permasalahan, maka diperlukan adanya pendekatan dengan menggunakan suatu
metode tertentu yang tentunya bersifat ilmiah. Penelitian yang baik tercipta tentu
dari suatu pemahaman mengenai penelitian itu sendiri Dikutip dari buku yang
berjudul Pengantar Penelitian Hukum, Soerjono Soekanto memberikan penjelasan
mengenai pengertian penelitian hukum
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali
itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum. Hukum
tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-
permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.11
Penelitian ini disusun dengan menggunakan tipe penelitian hukum normatif,
yakni penelitian yang memberikan eksposisi sistematis tentang aturan yang mengatur
kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara aturan, menjelaskan bidang
kesulitan dan mungkin memprediksi perkembangan di masa depan. Penelitian
dengan menggunakan tipe penelitian hukum doktrinal dikarenakan dalam penelitian
ini, penulis menganalisis baik secara hukum internasional maupun hukum nasional
Indonesia, serta menganalisis pertimbangan terhadap perkembangan hukum
internasional dan beberapa hukum nasional dinegara lain.12
Metode pendekatan pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan konseptual (Conceptual Approach), yakni dengan menelaah dan
mempelajari doktrin-doktrin berupa pandangan ahli hukum dari tiap negara
dengan berbagai sistem hukum yang berbeda. Penggunaan pendekatan konseptual
oleh penulis untuk mengetahui serta memahami pengertian, konsep, asas serta
prinsip hukum yang saat ini berlaku dan diakui hukum nasional baik Indonesia

11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Cetakan ke-17 (Rajawali
Pers 2015).
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana Prenada Media Group 2017).
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 7

maupun negara lain dan pada tataran hukum internasional terkait dengan status
kewarganegaraan anak dari praktik Gestational Surrogacy.
Metode pendekatan kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute approach), yakni dengan
menggunakan pendekatan peraturan-peraturan hukum nasional Indonesia, hukum
nasional dari beberapa negara, perjanjian internasional yang berkaitan dengan
prinsip-prinsip yang tertuang pada hukum kewarganegaraan. Pendekatan peraturan
perundang-undangan, dalam penelitian ini berarti instrumen hukum baik hukum
nasional Indonesia maupun hukum nasional beberapa negara yang melegalkan
praktik gestational surrogacy serta beberapa perjanjian internasional lainnya
mengenai hukum kewarganegaraan dikarenakan penulis lebih menekankan pada
upaaya pemberian status kewarganegaraan Indonesia bagi anak dari hasil praktik
gestational surrogacy berdasarkan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan prosedur studi
keputakaan (Library Research) yaitu dengan mengagregasibahan-bahan hukum
tertulis berupa peraturan hukum internaisonal, buku, thesis, disertasi, majalah,
jurnal, artikel, dan lain sebagainya yang relevan dalam menjawab isu hukum.
Prosedur dimulai dengan memilah peraturan hukum internasional yang merupakan
bahan hukum primer yang dilanjutkan dengan pemilahan dan pengumpulan bahan
hukum sekunder guna menunjang bahan hukum primer.
Analisis penelitian ini dilakukan dengan cara mengkritisi, mendukung, atau
memberi komentar, kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian
dengan pikiran sendiri dan bantuan kajian pustaka. Metode untuk jenis penelitian hukum
normatif berupa metode preskriptif yaitu metode analisis yang memberikan penilaian
(justifikasi) tentang objek yang diteliti apakah benar yang seharusnya menurut hukum.

Implikasi Perbedaan Pengaturan Antarnegara Mengenai Status


Kewarganegaraan Anak Hasil Praktik Gestational Surrogacy
Convention on the Right of the Child merupakan konvensi yang memuat hak-
hak setiap anak di dunia. Konvensi tersebut memberikan jaminan kepada setiap hak
8 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

anak salah satunya atas pengasuhan orang tua serta mendukung pernyataan bahwa
penyatuan keluarga merupakan inalienable right dibawah hukum hak asasi manusia
internasional.13 Namun, dengan adanya perkembangan ART penambahan mengenai
gagasan konvensional negara tentang orang tua serta hukum kewarganegaraan juga
dapat ditingkatkan dengan mempertimbangkan dan memperhitungkan kemajuan
teknologi terkini.
Perbedaan pengaturan setiap negara terhadap praktik surrogacy memunculkan
beberapa isu seperti mengenai status kewarganegaraan dan orang tua dari anak.14
Namun, terdapat implikasi sangat serius dari perbedaan pengaturan hukum nasional
antarnegara mengenai pengaturan praktik surrogacy, yaitu status statelessness
pada anak. Status statelessness pada anak dari hasil praktik surrogacy terjadi ketika
hukum orang tua genetic dan persyaratan hukum kewarganegaraan tidak selaras
dengan peraturan mengenai praktik surrogacy.15
Ketidakselarasan hukum yang berakibat stateless ketika baik negara orang
tua genetik maupun negara ibu pengganti, kedua negara tersebut tidak mengakui
anak hasil praktik surrogacy menjadi warga negara mereka, sehingga berakibat
status stateless pada anak. Impli’’kasi dari status stateless tersebut memberikan
konsekuensi logis dengan tidak terpenuhinya beberapa hak dasar yang seharusnya
didapatkan oleh anak dan terjadi stranded, parentless, dan rightless.16 Lebih lanjut,
anak dari praktik tersebut tidak dapat membuat paspor, sehingga mempersulit untuk
mendapatkan status kewarganegaraan.17
Manji merupakan korban dari ketidakselarasan hukum antarnegara. Manji
memiliki orang tua genetik dari sel sperma pria Jepang. Namun istri dari pria
Jepang tersebut mengalami infertilitas, sehingga, menggunakan jasa donor sel
telur wanita India. Pada tahun 2007, kedua negara tersebut memiliki aturan yang

13
Kerry Abrams & R. Kent Piacenti, loc.cit.
14
Bruce Hale, ‘Regulation of International Surrogacy Arrangements: Do We Regulate the
Market, or Fix the Real Problems?’ (2013) 36 Suffolk Transnational Law Review.[501,507].
15
Kerri Ritchie, “Concern as Australians Turn to Thailand for Surrogates”, ABC NEWS
(Apr. 13, 2013, 4:14 PM)
16
Yasmin Ergas, Loc.Cit
17
Kindregan & white, Loc.Cit
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 9

berbeda mengenai legalitas praktik Gestational Surrogacy. Negara India mengakui


bahwasanya, Manji merupakan Warga Negara Jepang. Sebaliknya. Negara Jepang
tidak mengakui Manji sebagai Warga Negara Jepang, karena Negara Jepang
melarang praktik tersebut. Negara India pun menolak memberikan kewarganegaraan
kepada Manji dikarenakan legalitas status ibu dari Manji tidak termaktub pada
akta kelahirannya.18 Dengan berbagai, halangan tersebut Pemerintah Jepang tetap
memberikan jalan kepada Manji untuk menjadi warga Negara Jepang dengan
pembuktian dari adanya hubungan genetik dengan ayah Manji atau ayah Manji
dapat mengadopsinya.19
Inkonsistensi dari efikasi hukum yang mengatur mengenai praktik surrogacy
tidak akan menjadikan pupus harapan, melainkan perlu adanya atensi dari berbagai
pihak dengan mempertimbangkan dari segala aspek mulai dari hak asasi manusia,
sosial, medis, hingga hukum positif suatu negara.20 Terkhusus, inkonsistensi
pengaturan mengenai ibu pengganti dan status orang tua berimplikasi terhadap
pengakuan status kewarganegaraan.21 Pendekatan yang wajib dilakukan dalam
mengatasi konflik antarnorma hukum pada antarnegara dengan mengaturnya pada
hukum nasionl negara masing-masing.22
Permasalahan mengenai statelessness sejalan dengan komitmen negara-
negara dalam mengatasi hal tersebut yang tertuang pada Convention Relating
to the Status of Stateless Persons 1954. Meskipun demikian, praktik gestational
surrogacy merupakan sebuah tindakan yang tidak dilakukan oleh orang secara tiba-
tiba, dan pada umumnya telah direncanakan. Orang tua genetik mencari negara yang
memberikan legalitas terhadap pengaturan praktik tersebut. Walaupun, terdapat
larangan pada negara asal, yang sudah jelas praktik tersebut telah melanggar

18
Ibid.
19
Ibid.
20
Bruce Hale, Loc.Cit.
21
Abigail Lauren Perdue, ‘For Love or Money: An Analysis of the Contractual Regulation of
Reproductive Surrogacy’ (2011) 27 Journal of Contemporary Health Law & Policy 2.
22
Erin Nelson, ‘Global Trade and Assisted Reproductive Technologies: Regulatory
Challenges in International Surrogacy’ (2013) Journal of Law, Medicine, and Ethics.
10 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

hukum dan cenderung mengabaikan peraturan yang ada.23 Sehingga, hal tersebutlah
yang menjadi loopholes dalam penegakan hukum internasional dalam mengatasi
statelessness dari praktik surrogacy.
Hukum perdata internasional yang tertuang pada Konvensi Den Haag 1893
merupakan pilihan lain dalam hukum internasional untuk menyelesaikan status anak
dari praktik surrogacy. Pengembangan standar internasional dalam seperangkat
aturan untuk mengimplementasikan substansi hukum apabila antarnegara terjadi
konflik norma dalam memandang suatu permasalahan, dalam hal ini mengenai praktik
surrogacy dan hak status kewarganegaraan. Dengan adanya standar internasional
dalam mengatur hubungan antara praktik surrogacy dan hak status kewarganegaraan,
antarnegara yang terapat konflik norma akan pengaturan tersebut dapat diminimalisir.
Namun, pembentukan standar internasional tersebut, tidak dapat menyelesaikan isu
substansif perihal pengakuan terhadap praktik surrogacy secara efektif.
Standar internasional dalam menentukan seperangkat aturan tidak sama
dengan adanya perjanjian internasional yang dilakukan antarnegara. Standar
internasional hanya digunakan sebagai rekomendasi untuk seluruh negara dalam
menyusun seperangkat aturan dalam menyelesaikan sebuah permaslahan dalam
hal ini praktik surrogacy dan hak status kewarganegaraan. Sehingga, hukum suatu
negara dapat menyikapi revolusi ART terkhusus praktik ibu pengganti.24
Apabila menurut Australia’s Parentage Law 2004, konsep tradisional dalam
penentuan orang tua hanya mengenal ibu yang melahirkanlah yang merupakan
orang tua perempuan dari seorang anak. Namun, dalam produk legislasi tersebut
juga diakui mengenai praktik surrogacy, dan memberikan status orang tua terhadap
orang tua genetik. Dengan adanya saah satu produk hukum tersebut di Australia,
konsep mengenai orang tua perempuan dalam perjalanan waktu mengalami evolusi
secara konseptual. Hingga saat ini, hal tersebutlah yang masih banyak perdebatan

23
Bruce Hale, Loc.Cit.
24
Peter H. Pfund, ‘The Developing Jurisprudence of the Rights of the ChildContributions
of the Hague Conference on Private International Law’ (1997) ILSA Journal of International &
Comparative Law 3.
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 11

bukan hanya dalam sisi norma hukum melainkan norma-norma lainnya. Dengan
adanya, pembuktian tidak adanya hubungan darah, akan semakin mudah dalam
menentukan status orang tua perempuan secara hukum.
Thailand juga menjadi salah satu negara yang terlibat aktif dalam praktik
surrogacy ini. Thailand berasosiasi dengan international surrogacy agreement
dalam menyikapi permasalahan praktik surrogacy tersebut dengan melakukan
pelarangan terhadap praktik commercial surrogacy.25
Efektivitas pengaturan praktik surrogacy akan lebih optimal apabila dalam
produk hukum mengenai praktik surrogacy juga menyisipkan mengenai status
kewarganegaran anak dari hasil praktik tersebut. Meskipun hal tersebut wajib
adanya kajian yang mendalam, dikarenakan akan memiliki dampak jangka panjang
dalam hal immigrasi.26
Tindakan adopsi dalam mengatasi status kewarganegaraan anak dari hasil
praktik surrogacy pun tidak menjawab permasalahan tersebut secara efektif.27
Beberapa negara memberikan rekomendasi terhadap praktik adopsi dalam menyikapi
status kewarganegaraan anak dari hasil praktik surrogacy. Praktik adopsi sendiri
dilegalkan lebih dari delapan puluh negara, sehingga setiap negara terdapat regulasi
dalam melakukan tindakan tersebut. Namun, hal tersebut justru akan memunculkan
permasalahan baru.28 Sebagai contoh, kasus di Australia Barat, tidak ada pengaturan
mengenai adopsi secara langsung atau private adoption. Apabila merujuk pada
Australia’s Adoption Act 1993, semua calon anak adopsi wajib melalui negara
dan negara memiliki wewenang untuk mengeluarkan penetapan semua calon anak
adopsi. Sehingga, hal tersebut justru memberikan risiko serta terjadinya degradasi
hubungan antarpihak dalam hal ini antara ibu pengganti dengan orang tua genetik
yang seharusnya dilakukan secara private atau antarpihak.

25
Zsombor Peter, “Thailand Prepares to Lift Commercial Surrogacy Ban”, Voice of America,
10 Maret 2024, diakses pada 10 November 2024
26
Bruce Hale, Loc.Cit.
27
Marcelo de Alcantara, ‘Surrogacy in Japan: Legal Implications for Parentage and
Citizenship’ (2010) 48 Family Court Review.
28
Kindregan & White, Loc.Cit.
12 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

Status Kewarganegaraan Indonesia Bagi Anak Hasil Gestational Surrogacy


Het Recht Hink Achter De Feiten Aan yang apabila diterjemahkan secara
bebas memiliki makna bahwasannya hukum akan selalu tertinggal dengan
peristiwa hukum yang diaturnya.29 Adagium hukum tersebut sejalan dengan fakta
yang ada dalam hal terjadinya kekosongan hukum dalam pengaturan praktik
Gestational Surrogacy atau Ibu Pengganti. Kekosongan hukum mengenai hal
tersebut pun menimbulkan permasalahan hukum yang lain diantaranya mengenai
status kewarganegaraan anak dari hasil praktik Gestational Surrogacy. Hak
terhadap status kewarganegaraan bagi seseorang anak yang terlahir dari proses
Gestational Surrogacy mensyaratkan mendapatkan hak penuh dari negara orang
tua genetik.30 Secara teoritis dalam menentukan status kewarganegaraan seseorang
sangat bergantung pada orang tua genetik.31
Terdapat dua jenis praktik surrogacy antara lain, yang pertama praktik
surrogacy yang dilakukan oleh orang tua genetik,menghasilkan embrio yang
kemudian ditransplantasikan kembali ke rahim wanita orang tua genetik atau yang
dikenal di Indonesia dengan mekanisme IVF atau bayi tabung. Mekanisme bayi
tabung sendiri telah diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan yang menyatakan:
“Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan
suami istri yang sah dengan ketentuan:
a)Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu;
c)Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu”.
Namun, berbeda dengan praktik surrogacy yang kedua, dengan melibatkan
pihak ketiga yaitu dengan transplantasi embrio orang tua genetik ke rahim wanita lain

29
Wahyu Sudrajat, “Relativitas Peraturan dalam Hukum”, Hukum Online, 2021, diakses
pada 29 Oktober 2024.
30
Intended Parents atau Orang Tua Genetik “Intended Parents is the person who intends
to be the legal and functional parent of the child gestated by the surrogate carrier.” Charles P.
Kindregan & Danielle White, ‘International Fertility Tourism: The Potential for Stateless Children in
Cross-Border Commercial Surrogacy Arrangements’ (2013) 36 Suffolk Transnational Law Review.
31
Yasmin Ergas, ‘Babies Without Borders: Human Rights, Human Dignity, and the Regulation
of International Commercial Surrogacy’ (2013) 27 Emory International Review 1.
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 13

maupun juga sebagai pendonor sel ovum. Praktik Gestational Surrogacy merupakan
ART yang digunakan untuk pasangan yang tidak dapat mengimplementasikan
praktik surrogacy secara tradisional atau bayi tabung.
Praktik Gestational Surrocay terbagi menjadi dua yaitu secara altruistik dan
komersiil. Untuk yang pertama adalah Altruisctic Surrogacy yang memiliki konsep
bahwa ibu pengganti mendapat kompensasi atas dasar kesehatan dan pengeluaran
lainnya selama proses surrogacy berlangsung. Dibeberapa negara konsep Altruistic
dibolehkan karena tidak mengambil keuntungan melainkan hanya berdasar pada
tindakan sukarela untuk membantu orang lain, tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Negara yang menerapkan konsep ini yaitu Negara Australia. Negara Australia
memberikan kompensasi atas dasar kesehatan dan pengeluaran lainnya tersebut
antara lain seperti tertuang pada undang-undang negara Australia yang termaktub
pada Article 7 Surrogacy Act 2010 mengenai Birth Mother’s Surrogacy Costs:
1. Biaya pengobatan yang wajar sehingga dapat mencakup biaya kehamilan;
2. Biaya pengobatan selama kehamilan;
3. Pembayaran premi asuransi untuk kesehatan, cacat, atau kehidupan;
4. Biaya konseling;
5. Pendapatan surrogate mother yang hilang selama mengandung;
6. Biaya untuk mendapatkan nasihat hukum dan perwakilan hukum, biaya
pengadilan; dan
7. Biaya pencatatan yang terkait dengan pencatatan kelahiran dan pemindahan
orang tua.32
Berbeda halnya dengan, Commercial Surrogacy yang akan menimbulkan
potensi eksploitasi wanita.33 Dengan adanya dua tipe surrogacy tersebut, terdapat
pula 4 pola pengaturannya diberbagai negara antara lain:34
1. Tipe Pertama: Tidak membahas sama sekali tentang ibu pengganti dan
legalitasnya tidak dapat ditentukan, seperti Filipina;
2. Tipe Kedua: Altruissctic Surrogacy maupun Commercial Surrogacy dilarang

32
Australia’s Department of Home Affairs, “ Article 7 Surrogacy Act 2010 No 102”, diakses
pada 30 Oktober 2024
33
Sheela Saravanan, ‘An ethnomethodological approach to examine exploitation in the
context of capacity, trust and experience of commercial surrogacy in India’ (2013) The Jornnal of
Philosophy, Ethics, and Humanities in Medicine.
34
Tina Lin, ‘Born Lost: Stateless Children in International Surrogacy Arrangements’ (2013)
Cardozo International and Comparative Law Review, Cardozo School of Law.
14 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

seperti, seperti Jerman;35


3. Tipe Ketiga: Hanya memberikan izin untuk Altruistic Surrogacy, seperti negara
India;36
4. Tipe Keempat: Altruuistic Surrogacy maupun Commercial Surrogacy dibolehkan,
seperti negara Ukraina;37
Berdasarkan keempat pola pengaturan surrogacy tersebut terdapat beberapa
faktor lain yang mempengaruhi orang tua genetik untuk memilih negara tujuan
dalam memilih ibu pengganti selain pengaturannya, yaitu masalah finansial dalam
memenuhi biaya hidup serta biaya kesehatan wajib terjangkau, seperti Thailand.
38
Namun, hal tersebut pun tidak menutup sebuah isu hukum lainnya seperti status
kewarganegaraan sebagaimana beberapa kasus yang telah terjadi.
Indonesia yang masih berpegang teguh pada norma lainnya seperti norma
agama, menjadi tantangan bagi konsep praktik Gestational Surrogacy. Sehingga,
hal tersebut berdampak pada isu hukum status kewarganegaraan anak dari hasil
praktik tersebut. Kekosongan hukum yang terjadi di Indonesa dalam hal praktik ini,
juga memberikan ketidakpastian hukum terhadap status kewarganegaraan anak dari
orang tua genetik yang merupakan WNI. Apabila berdasar pada prinsip legalitas,
tidak ada pengaturan yang secara eksplisit melarang praktik tersebut. Namun,
secara normatif, aturan yang secara eksplisit melarang praktik tersebut terdapat
pada Fatwa MUI Nomor: KEP-952/MUI/XI/1990 mengharamkan sewa rahim
dalam segala bentuknya.
Dengan adanya fatwa MUI tersebut, menjadikan banyak terjadinya Ex falso
quodlibet yang apabila diterjemahkan secara bebas memiliki makna salah konsep
salah Kesimpulan. Adagium hukum tersebut dapat diimplementasikan pada praktik
ini karena membaurkan antara legalitas praktik ini dengan status kewarganegaraan
anak dari atau dalam hal ini pada tataran administrasi kependudukan. Sehingga,
sudah menjadi konsekuensi logis, apabila isu ini harus menjadi perhatian,

35
Brock A. Patton, ‘Buying a Newborn: Globalization and the Lack of Federal Regulation of
Commercial Surrogacy Contracts’ (2010) University of Missouri Kansas City Law Review.
36
India’s Surrogacy Act 2021.
37
Ukraine’s Ministry of Health.
38
Helier Cheung, Surrogate Babies: Where Can You Have Them, and Is It Legal?, BBC,
2014, diakses pada 31 Oktober 2024
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 15

menimbang status kewarganegaran merupakan hak fundamental atau sebagai Hak


Asasi Manusia sebagaimana tertuang pada Article 15 United Nation Declaration of
Human Right atau tertuang pada konstitusi bangsa Indonesia yang termaktub pada
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(yang selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945) yang menyatakan “Setiap orang
berhak atas status kewarganegaraan”.
Di beberapa negara maju, sebelum ART mengalami eskalasi, sangat mudah
dalam menentukan legalitas status anak yaitu melalui genetic orang tua. Namun,
setelah ART mengalami esklasi, dalam menentukan status orang tua dari seorang
anak menjadi lebih kompleks untuk ditentukan, salah satunya status orang tua
dari anak hasil praktik surrogacy.39 Terdapat beberapa metode dalam menentukan
orang tua dari seorang anak yang didasarkan pada perkawinan orang tua, genetik,
functional parent,40 intentional parents.41 Beberapa metode tersebut pada setiap
negara memiliki pemgembangan dalam menentukan definisi status orang tua
dari seorang anak dalam produk hukum masing-masing negara. Beberapa
cabang ilmu hukum antara lain, hukum keluarga, hukum immigrasi, dan hukum
kewarganegaraan sangat berpengaruh dalam penentuan status orang tua dari
seorang anak.Sehingga, secara langsung terjadi hubungan antara status anak
dengan status orang tua yang berimplikasi pada status kewargangeraan dari anak
tersebut. Menimbang masih banyak kontradiksi antarhukum nasional mengenai
status anak dari praktik surrogacy.
Kontradiksi antarhukum nasional mengenai status anak dari praktik
surrogacy tidak serta merta menghapuskan status kewarganegaraan sebagai Hak
Asasi Manusia. Baik instrumen hukum baik secara internasional maupun nasional
dalam memandang status kewarganegaraan merupakan sebuah hak asasi manusia

39
Kerry Abrams & R. Kent Piacenti, Immigration’s Family Values (2014) 100 Virginia Law
Review.[629, 631].
40
Pamela Laufer-Ukeles & Ayelet Blecher-Prigat, Between Function and Form: Towards a
Differentiated Model of Functional Parenthood (2013) 20 George Mason Law Review.
41
Marjorie Maguire Shultz, Reproductive Technology and Intent-Based Parenthood. An
Opportunity for Gender Neutrality (1990) Wisconsin Law Review.[297, 323].
16 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

termasuk di Indonesia. Sehingga, hukum nasional Indonesia telah sejalan dengan


hukum internasional dalam mengakui status kewarganegaran merupakan Hak Asasi
Manusia dan memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia mengenai status anak
dari praktik tersebut. Instrumen-intrumen hukum tersebut secara implisit memuat
norma serta prinsip apatride atau anti-statelessness atau dalam Bahasa Indonesia
memiliki arti anti terhadap status tidak memiliki kewarganegaraan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraann Republik
Indonesia (yang selanjutnya disebut dengan UU Kewarganegaraan) memuat
beberapa asas antara lain:
1. Asas Ius Sanguinis atau (Law of the Blood)
Asas tersebut menentukan status kewarganegaraan seseorang berdasarkan
gabungan darah atau keturunan, bukan berdasarkan tempat kelahiran. Secara
sederhana, dengan asas ini, kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan
kewarganegaraab orang tuanya.
2. Asas Ius Soli atau (Law of the Soil)
Asas tersebut menentukan status kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat
kelahiran.
3. Asas Kewarganegaraan Tunggal
Asas tersebut menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Asas tersebut menentukann kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang diakui oleh negara
dengan sistem kewarganegaraan terbatas.
5. Asas Apatride
Asas tersebut memberikan kepastian apabila status kewarganegaraan atau negara
wajib memberikan status kewarganegaraan tersebut.
Aturan-aturan hukum mengenai status kewarganegaraan seseorang yang
tertuang pada UU Kewarganegaran tersebut merupakan hasil dari kristalisasi dari
kelima asas tersebut.Berdasarkan Pasal 4 UU Kewarganegaraan yang memberikan
beberapa batasan terhadap status Warga Negara Indonesia antara lain:
Warga Negara Indonesia adalah:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara
lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara
Indonesia;
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia;
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 17

c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum
negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak
tersebut;
f. Anak yang laBhir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga
Negara Indonesia;
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah
dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari
negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan
kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Berdasarkan, kalusul tersebut diatas, apabila dikorealasikan dengan praktik
surrogavy terdapat dua batasan dari aturan hukum tersebut diatas yang dapat
diimplementasikan pada status kewarganegaraan anak dari hasil praktik Gestational
Surrogacy, yaitu pada huruf g dan h. Namun, apabila mempertimbangkan sisi
medis, sejatinya tidak ada syarat satu pun yang memenuhi dalam penentuan status
kewarganegaraan Negara Indonesia dari hasil praktik Gestational Surrogacy.
Benturan antarnorma yang ada di Indonesia menjadi salah satu sebab
adanya implikasi terhadap status kewarganegaraan. Salah satunya dengan norma
agama yang tertuang pada Fatwa MUI yang secara eksplisit melarang praktik
18 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

surrogacy. Ketidakpasttian hukum juga terjadi karena adanya miskonstruksi dan


misinterpreatsi hukum pada Pasal 58 UU Kesehatan yang pada intinya menyatakan
upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami
istri yang sah dengan ketentuan hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal atau yang
biasa disebut dengan bayi tabung.
Dalam praktiknya, norma yang kabur tersebut dianggap secara implisit
melarang praktik Gestational Surrogacy. Hal tersebut terjadi karena diinterpreatasikan
menggunakan metode a contrario, sehingga, berakibat pada status illegal seperti
halnya di Indonesia. Padahal norma tersebut jelas tidak sejalan dengan prinsip
legalitas di Indonesia, karena tidak secara eksplisit membahas mengenai larangan
terhadap praktik gestational surrogacy tersebut. Faktor benturan antarnorma serta
msikonstruksi dan misinterpretasi tersebutlah yang menjadikan banyak pasangan
memilih beberapa negara yang memiliki pengaturan, sehingga telah terjamin
legalitasnya, seperti Amerika Serikat dan India.
Antinomi antara norma agama dengan pembuktian empiris pada bidang medis
yaitu mengenai genetic anak hasil dari praktik surrogacy, memberikan implikasi
tidak langsung yaitu mempertaruhkan keadilan dengan memberikan status seorang
anak dengan praktik tersebut menjadi status anak diluar perkawinan yang sah apabila
menurut norma agama yang didasarkan pada fatwa MUI. Namun, nyatanya dalam
pembuktian tes deoxyribonucleic (yang selanjutnya disebut dengan Tes DNA ),
anak hasil praktik surrogacy dari embrio orang tua biologis Warga Negara Indonesa
serta dari perkawinan yang sah, hanya memiliki hubungan genetik dengan kedua
orang tua biologisnya. Sehingga, sangatlah tidak adil apabila status Warga Negara
Indonesia didapatkan oleh seorang anak, namun dengan mengorbankan status anak
tersebut menjadi status anak diluar perkawinan yang sah.
Dengan demikian, hubungan antara status anak dari praktik surrogacy dengan
status kewarganegaraan Negara Indonesia memiliki hubungan timbal balik antarsatu
sama lain. Berdasarkan hukum kewarganegaraan Indonesia, anak dari hasil praktik
surrogacy tersebut sangat memungkinkan mendpaatkan status kewarganegaraan
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 19

Indonesia. Namun, kembali lagi, ironisnya, apabila status kewarganegaraan


tersebut harus dibayar dengan pengakuan menjadi status anak diluar perkawinan
yang sah. Sehingga, hal tersebut justru tidak memberika esensi tujuan dari hukum
sendiri yaitu keadilan bagi anak dan pastinya akan mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan anak dimasa depannya.

Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian dari peneitian ini terdapat kesimpulan antara
lain Perbedaan pengaturan pada beberapa negara mengenai praktik gestational
surrogacy menimbulkan konflik apabila praktik tersebut dilakukan oleh para pihak
yang memiliki perbedaan kewarganegraaan. Sehingga, berimplikasi pada status
kewarganegaraan anak. Beberapa negara memberikan status kewarganegaraan
pada umumnya berdasarkan parentage atau status kewarganegaran orang tua atau
hubungan darah dari orang tua. Hal tersebut yang juga menjadi esensi permasalahn
yaitu perbedaan konsep dari orang tua perempuan atau ibu. Banyak aturan diberbagai
negara yang mendefinisikan ibu merupakan orang yang melahirkan. Namun, dengan
berkembangnya teknologi ART, terkhusus praktik surrogacy ini, menjadikan
konsep dari ibu sendiri mengalami evolusi. Teknologi saat ini memungkinkan
untuk terjadinya transplantasi embrio dari kedua orang tua genetic atau intende
parents embryo berkembang dari rahim perempuan lain. Hal tersebutlah yang masih
menjadi perdebatan antara status orang tua terutama orang tua perempuan atau
ibu dengan status kewarganegraaan. Dampak dari praktik surrogacy pada status
kewarganegaraan pada anak yaitu hasil praktik tersebut adalah status statelessness.
Hal tersebut sudah seharusnya menjadi peringatan bagi masyarakat internasional
untuk menaruh atensi mengenai fenomena ini. Status kewarganegaraan yang
merupakan sebuah hak asasi manusia yang diakui secara internasional, bahkan
dalam konstitusi bangsa Indonesia memberikan jaminan mengenai hal tersebut.
Namun, titik permalahan dalam isu ini adalah adanya perbedaan pengaturan
antarnegara mengenai praktik surrogacy baik dari sisi substansial praktik surrogacy
serta status orang tua dan status kewarganegaraan dari anak hasil praktik tersebut.
20 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

Tindakan adopsi saat ini menjadi solusi status quo untuk mengatasi status anak dari
praktik tersebut untuk tetap mendapatkan status kewarganegaraan. Mengenai status
orang tua perempuan belum bisa ditentukan. Meskipun, pembuktian empiris dapat
dilakukan melalui Tes DNA. Tes DNA tersebut dapat dibuktikan dengan tidak adanya
hubungan genetik dengan ibu pengganti dalam hal ini ibu penggnati yang hanya
sebagai tempat tumbuh kembang emrio dari orang tua genetic atau intended parents
embryo. Dengan demikian, perbedaan pengaturan mengenai praktik surrogacy ini
sangat berpengaruh terhadap status kewarganegaraan anak, karena pada saat ini,
secara umum kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh status orang tua dari anak
terutama konsep ibu yang diakui secara umum yaitu ibu yang mengandung bukan
ibu yang mempunyai hubungan darah yang dapat dibuktikan secara empiris.
Pengaturan hukum nasional mengenai status kewarganegaraan anak dari orang
tua genetik yang keduanya merupakan Warga Negara Indonesia menggunakan prosedur
gestational surrogacy, pada dasarnya tidak ada aturan yang memenuhi. Namun aturan
hukum yang memiliki potensi untuk diimplementasikan pada status anak hasil dari
praktik tersebut termaktub pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan huruf g dan h. Namun, pada klausul tersebut harus mengorbankan
status anak tersebut menjadi anak diluar perkawinan yang sah. Hal tersebut terjadi
karena ada benturan antarnorma dan miskonspsi di Indonesia yang diakibatkan oleh
miskontruksi hukum dan misinterpretasi hukum pada Pasal 58 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2023 secara a contrario, yang berakibat illehgal pada praktik surrogacy tersebut.
Benturan antarnorma dan miskonsepsi tersebut diperkuat dengan Fatwa MUI Nomor:
KEP-952/MUI/XI/1990 yang secara eksplisit mengharamkan praktik surrogacy, yang
pada faktanya apabila berdasarkan priinsip legalitas tidak ada satu aturan pada hukum
nasional yang melarang tindakan praktik surrogacy tersebut. Dengan demkikian, status
kewargangeraan Indonesia untuk anak dari intended parents embryo Warga Negara
Indonesia masih memungkinkan untuk didapatkan, namun sesaui dengan aturan yang
ada, status anak menjadi anak diluar perkawinan yang sah. Sehingga, hal tersebut justru
tidak memberikan esensi dati tujuan hukum sendiri yaitu keadilan pada anak yang
berpotensi untuk memberikan dampak buruk pada masa depan anak.
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 21

Daftar Bacaan
Buku
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran (Grafikatama Jaya 1991).

Noviriska dan Dwi Atmoko, Hukum Kesehatan (Literasi Nusantara Abadi 2022).

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana Prenada Media Group 2017).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Cetakan ke-17
(Rajawali Pers 2015).

Sonny Dewi Judiasih et al., Aspek Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum
Indonesia (Refika Aditama 2016).

Tono Djuantono dkk, Panduan Medis Tepat dan Terpercaya untuk Mengatasi
Kemandulan Hanya 7 Hari: Memahami Infertilitas (Refika Aditama 2008).

Jurnal
Abigail Lauren Perdue, ‘For Love or Money: An Analysis of the Contractual
Regulation of Reproductive Surrogacy’ (2011) 27 Journal of Contemporary
Health Law &Policy 2.

Brock A. Patton, ‘Buying a Newborn: Globalization and the Lack of Federal


Regulation of Commercial Surrogacy Contracts’ (2010) University of
Missouri Kansas City Law Review.

Bruce Hale, ‘Regulation of International Surrogacy Arrangements: Do We Regulate


the Market, or Fix the Real Problems?’ (2013) 36 Suffolk Transnational Law
Review.

Charles P. Kindregan & Danielle White, ‘International Fertility Tourism: The


Potential for Stateless Children in Cross-Border Commercial Surrogacy
Arrangements’ (2013) 36 Suffolk Transnational Law Review.

Erin Nelson, ‘Global Trade and Assisted Reproductive Technologies: Regulatory


Challenges in International Surrogacy’ (2013) Journal of Law, Medicine, and
Ethics.

Kerry Abrams & R. Kent Piacenti, ‘Immigration’s Family Values’ (2014) 100
Virginia Law Review 4. [629, 631].

Marcelo de Alcantara, ‘Surrogacy in Japan: Legal Implications for Parentage and


Citizenship’ (2010) 48 Family Court Review.
22 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

Marjorie Maguire Shultz, ‘Reproductive Technology and Intent-Based Parenthood.


An Opportunity for Gender Neutrality’ (1990) Wisconsin Law Review.[297,
323].

Pamela Laufer-Ukeles & Ayelet Blecher-Prigat, ‘Between Function and Form:


Towards a Differentiated Model of Functional Parenthood’ (2013) 20 George
Mason Law Review.

Peter H. Pfund, ‘The Developing Jurisprudence of the Rights of the ChildContributions


of the Hague Conference on Private International Law’ (1997) ILSA Journal
of International & Comparative Law 3.

Sambhu Charan Mondal et al, ‘Genetic and Gestational Surrogacy: an Overview,


College of Pharmacy’ (2021). 9 Shree Ganpati Institute of Technology,
Walailak J Sci & Tech 3.[190].

Sheela Saravanan, ‘An ethnomethodological approach to examine exploitation


in the context of capacity, trust and experience of commercial surrogacy in
India’ (2013) The Jornnal of Philosophy, Ethics, and Humanities in Medicine.

Tina Lin, ‘Born Lost: Stateless Children in International Surrogacy Arrangements’


(2013) Cardozo International and Comparative Law Review, Cardozo School
of Law.

Yasmin Ergas, ‘Babies Without Borders: Human Rights, Human Dignity, and
the Regulation of International Commercial Surrogacy’ (2013) 27 Emory
International Review 1.

Laman
Australia’s Department of Home Affairs, “Article 7 Surrogacy Act 2010 No 102”,
diakses pada 30 Oktober 2024.

Casemine. Com “Jan Balaz (S) v Anand Gujarat Hight Court”, https://www.
casemine.com/judgement/in/56b48efa607dba348fff6a16 diakses pada 19
Januari 2022.

Desriza Ratman, “Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah
Sewa Rahim di Indonesia?” (Jakarta: Efek Media Komputoindo), hlm. 34

Emma Batha, “International Surrogacy Traps Babies in Stateless Limbo”


https://www.reuters.com/article/us-foundation-statelessness-surrogacy-
idUKKBN0HD19T20140918 , diakses pada tanggal 8 Oktober 2024

Helier Cheung, Surrogate Babies: Where Can You Have Them, and Is It Legal?,
Jurist-Diction Vol. 8 (1) 2025 23

BBC, 2014, diakses pada 31 Oktober 2024

International Fertility Group, “Surrogacy in Philliphines”, diakses pada 30 Oktober


2024.

Kerri Ritchie, “Concern as Australians Turn to Thailand for Surrogates”, ABC


NEWS (Apr. 13, 2013, 4:14 PM).

Wahyu Sudrajat, “Relativitas Peraturan dalam Hukum”, Hukum Online, 2021,


diakses pada 29 Oktober 2024.

Zsombor Peter, “Thailand Prepares to Lift Commercial Surrogacy Ban”, Voice of


America, 10 Maret 2024, diakses pada 10 November 2024.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentag Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegraan Republik


Indonesia.
24 Abdulloh Adi dan Syaiful Aris: Status Kewarganegaraan Bagi...

--halaman ini sengaja dibiarkan kosong--

Anda mungkin juga menyukai