Ikhlas : Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam
Volume. 1 No. 4 Oktober 2024
e-ISSN: 3063-3230; p-ISSN: 3063-3621, Hal 163-172
DOI: https://doi.org/10.61132/ikhlas.v1i4.145
Available Online at : https://ejournal.aripafi.or.id/index.php/Ikhlas
Gestational Surrogacy dalam Islam dan Implikasi Hukum Syariah
M. Rifky Syahmanda 1*, Muhammad Wijdan Wiradibrata 2, Ghifari Muttaqien
Dermawan Pramono 3
1-3
Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia
[email protected] 1*,
[email protected] 2 ,
[email protected] 3
Alamat: Jl. Brigjen Jl. Brig Jend. Hasan Basri, Pangeran, Kec. Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin,
Kalimantan Selatan 70123
Korespodensi email: [email protected]
Abstract. Gestational surrogacy is a form of surrogacy in which a woman carries and gives birth to a child
without any genetic relationship to the baby. In this process, the egg from the biological mother and the
sperm from the biological father are combined through in vitro fertilization (IVF), and the resulting
embryo is implanted into the surrogate mother's womb. After giving birth, the surrogate mother hands the
baby over to the couple or individual who arranged the surrogacy, in exchange for financial compensation
for her service. Although gestational surrogacy offers several benefits, this practice raises numerous
questions from an Islamic perspective, such as its legality, the lineage of the child born, and the social and
ethical impact it has on the Muslim community. This paper focuses on analyzing Islamic views on
gestational surrogacy and the accompanying implications of Sharia law. The article employs a qualitative
method with discussions covering the definition of surrogacy from an Islamic perspective, Sharia legal
analysis of surrogacy practices, as well as the social and ethical impact that arises in the Muslim
community.
Keywords: Gestational surrogacy, islamic perspective, sharia law
Abstrak. Gestational surrogacy adalah salah satu bentuk sewa rahim di mana seorang wanita mengandung
dan melahirkan anak tanpa memiliki hubungan genetik dengan bayi tersebut. Dalam proses ini, sel telur
dari ibu biologis dan sperma dari ayah biologis dipertemukan melalui prosedur fertilisasi in vitro (IVF),
kemudian embrio yang dihasilkan ditanamkan ke dalam rahim ibu pengganti. Setelah melahirkan, ibu
pengganti menyerahkan bayi kepada pasangan atau individu yang telah mengatur surrogasi, dengan
imbalan kompensasi finansial atas jasanya. Meskipun gestational surrogacy menawarkan beberapa
keuntungan, praktik ini menimbulkan banyak pertanyaan dalam perspektif Islam, seperti mengenai
legalitasnya, nasab anak yang dilahirkan, serta dampak sosial dan etika yang ditimbulkan terhadap
masyarakat Muslim. Makalah ini berfokus pada analisis pandangan Islam terhadap gestational surrogacy
dan implikasi hukum syariah yang menyertainya. Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan
pembahasan yang mencakup definisi gestational surrogacy dalam perspektif Islam, analisis hukum syariah
terhadap praktik gestational surrogacy, serta dampak sosial dan etika yang muncul di kalangan masyarakat
Muslim.
Kata kunci: Sewa rahim, persfektif islam, hukum syariah.
1. LATAR BELAKANG
Salah satu kemajuan teknologi dalam bidang sains modern yang memiliki manfaat
besar bagi umat manusia adalah ditemukannya inseminasi buatan untuk manusia.
Inseminasi buatan mengacu pada proses pembuahan yang dilakukan pada seorang wanita
tanpa melalui metode alami, akan tetapi dengan cara memasukkan benih sperma pria ke
dalam rahim seorang wanita tersebut dengan bantuan dokter. Istilah lain yang digunakan
untuk merujuk pada hal ini adalah kawin suntik, penghamilan buatan, dan permanian
buatan. Penemuan ini memberikan solusi yang sangat berharga, terutama bagi pasangan
suami istri yang mengalami kesulitan mendapatkan keturunan secara alami. Dalam konteks
Received: September 20, 2024; Revised: September 30, 2024; Accepted: Oktober 13, 2024;
Published: Oktober 14, 2024
GESTATIONAL SURROGACY DALAM ISLAM DAN IMPLIKASI HUKUM SYARIAH
bayi tabung, apabila sperma dan ovum yang disatukan berasal dari pasangan suami istri
yang sah, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika sperma dan ovum tersebut bukan
milik suami istri yang sah, maka tindakan ini dianggap tidak benar dan bahkan digolongkan
sebagai bentuk perzinahan terselubung.
Dengan perkembangan teknologi, inseminasi bayi tabung kini mencakup metode yang
lebih luas, termasuk dalam praktik gestational surrogacy. Gestational surrogacy merupakan
perjanjian di mana seorang wanita lain "menyewakan" rahimnya untuk mengandung embrio
yang berasal dari pasangan suami istri yang sah. Perjanjian ini bisa bersifat sukarela (tanpa
bayaran) atau sebagai kontrak bisnis. Dalam pengertian lain, gestational surrogacy adalah
proses di mana seorang wanita, yang bukan istri dari pasangan tersebut, mengandung embrio
yang berasal dari ovum istri dan sperma suami, kemudian melahirkan bayi yang kemudian
akan diserahkan kepada pasangan suami istri tersebut untuk dibesarkan dan diakui secara
hukum sebagai anak mereka.
Dalam praktik ini, pasangan yang ingin memiliki anak biasanya akan membayar
sejumlah uang yang signifikan kepada pihak yang mengatur proses surrogacy, dengan
syarat bahwa wanita yang mengandung tersebut akan menyerahkan bayi setelah dilahirkan,
atau pada waktu yang telah disepakati. Melihat berbagai persoalan yang timbul dari praktik
gestational surrogacy, maka diperlukan kajian mendalam yang menelaah fenomena ini dari
sudut pandang hukum Islam. Artikel ini akan membahas bagaimana Islam memandang
gestational surrogacy serta dampak hukum syariah, sosial, dan etika terkait dengan
fenomena ini.
2. KAJIAN TEORITIS
Dalam sepuluh tahun terakhir, teknologi rekayasa genetik seperti bayi tabung (in vitro
fertilization/IVF) telah menjadi solusi bagi pasangan yang tidak bisa memiliki anak secara
alami. Proses ini memungkinkan pembuahan dilakukan di luar tubuh menggunakan sperma
dan ovum dari pasangan yang sah, dan umumnya diterima oleh para ulama jika memenuhi
syarat tersebut.
Namun, persoalan hukum muncul dalam praktik gestational surrogacy, yaitu ketika
embrio hasil pembuahan dari pasangan tersebut ditanamkan ke rahim wanita lain. Kajian
tentang gestational surrogacy dalam Islam memunculkan sejumlah pandangan yang
berbeda terkait implikasi hukum syariah. Umumnya, mayoritas ulama Sunni menolak
praktik ini karena dianggap melanggar prinsip dasar terkait garis keturunan dan nasab, yang
sangat ditekankan dalam syariah Islam. Hal ini berkaitan dengan pentingnya menjaga
164 IKHLAS – VOLUME. 1 NO. 4 OKTOBER 2024
e-ISSN: 3063-3230; p-ISSN: 3063-3621, Hal 163-172
kejelasan garis keturunan dan larangan keras terhadap campur tangan pihak ketiga dalam
proses reproduksi, yang bisa dianggap menyerupai zina.
Implikasi hukum syariah dari gestational surrogacy meliputi masalah nasab, waris,
hak asuh, dan hukum perkawinan di masa depan. Dalam pandangan Syiah, pengakuan status
ibu bisa jatuh pada ibu yang memberikan ovum, ibu yang mengandung surrogate, atau
keduanya, tergantung pada interpretasi fiqh yang digunakan. Sementara itu, dalam
pandangan Sunni, proses gestational surrogacy dianggap mengganggu integritas keluarga
dan berdampak pada legitimasi anak.
Menurut hukum Islam, status hukum anak yang dilahirkan melalui gestational
surrogacy dianggap tidak sah, termasuk dalam hal kewarisan. Hal ini disebabkan oleh fakta
bahwa dalam Islam, anak yang lahir dari proses inseminasi buatan atau bayi tabung yang
melibatkan ibu pengganti dianggap haram. Anak tersebut tidak memiliki hubungan keibuan
secara alami dengan ibu biologisnya, dan dalam pandangan Islam, anak tersebut hanya
dianggap sah jika dilahirkan oleh ibu yang mengandungnya dalam ikatan perkawinan yang
sah, bukan dari seorang gadis atau janda yang tidak terikat dalam pernikahan.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain studi literatur (library
research) yang bertujuan untuk mengkaji secara mendalam konsep gestational surrogacy
dalam persfektif Islam. Populasi penelitian ini mencakup berbagai literatur terkait
gestational surrogacy, termasuk Al-Qur'an, hadis, tafsir, buku-buku karya ulama, dan jurnal-
jurnal ilmiah yang membahas hukum gestational surrogacy dan implikasi hukum syariah.
Metode studi literatur fokus pada pengumpulan dan analisis literatur yang relevan dengan
topik penelitian yang sedang diteliti. Langkah yang dilakukan dengan review jurnal yang
relevan, mempelajari dan memahami penelitian terdahulu, sumber buku referensi dan
sumber lain sebagai referensi.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Definisi Gestational Surrogacy
Gestational surrogacy adalah sebuah perjanjian antara pasangan suami dan istri
dengan perempuan lain untuk mengandung hasil pembuahan yang dimasukkan ke dalam
rahim wanita tersebut. Setelah bayi lahir, ibu pengganti harus menyerahkan bayi kepada
pasangan suami istri tersebut sesuai kesepakatan yang telah dibuat (perjanjian kehamilan).
Para ulama sepakat bahwa tiga bentuk praktik gestational surrogacy berikut ini diharamkan.
GESTATIONAL SURROGACY DALAM ISLAM DAN IMPLIKASI HUKUM SYARIAH
Pertama, jika fertilisasi dilakukan menggunakan ovum dan sperma dari pihak asing (bukan
suami istri), yang diperoleh dari pendonor dengan imbalan materi tertentu. Hasil fertilisasi
kemudian ditanamkan ke dalam rahim wanita yang telah ditunjuk untuk pihak ketiga.
Contoh kedua yang dilarang dalam islam adalah ketika sperma diambil dari suami
yang sah, namun ovum dan rahim berasal dari wanita lain yang bukan istrinya. Anak yang
lahir dari proses tersebut kemudian diberikan kepada pasangan suami istri yang sah.
Sementara itu ketiga, contoh yang juga dilarang adalah ketika ovum berasal dari istri yang
sah, tetapi benih sperma berasal dari donor laki-laki lain, bukan suaminya. Rahim yang
digunakan juga bukan milik istri, melainkan wanita lain. Setelah anak tersebut lahir, ia
diserahkan kepada istri dan suaminya yang mandul.
Tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan praktik gestational surrogacy
karena dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakjelasan nasab anak hasil gestational
surrogacy. Praktik ini dianggap mendatangkan lebih banyak kemudharatan daripada
manfaat. Selain itu, gestational surrogacy juga dapat menimbulkan masalah lain dalam
keluarga serta akan merugikan kedua belah pihak, terutama anak yang lahir dari proses ini,
karena tidak akan terjalin hubungan keibuan yang alami antara ibu pengganti dan anak
tersebut. Dari segi akad, gestational surrogacy juga dianggap tidak sah karena rahim adalah
bagian dari tubuh manusia, dan organ dari tubuh manusia tidak boleh diperdagangkan atau
disewakan. Hal ini melanggar prinsip akad sah menurut hukum Islam.
Dalam pandangan Islam, konsep ibu sejati harus mencakup beberapa unsur, yaitu:
ovum, kehamilan, menyusui, persalinan. Anak kandung adalah hasil dari keempat proses
tersebut. Jika salah satu dari unsur ini tidak terpenuhi, maka baik anak maupun ibu tidak
dapat dianggap sebagai ibu atau anak sejati.
Hukum Islam terhadap gestational surrogacy merujuk pada sumber-sumber utama
seperti Al-Qur'an, hadis, dan Ijma. Beberapa ayat dan hadis digunakan untuk mengingatkan
umat Islam agar tidak melakukan praktik yang tidak dibenarkan ini. Dalam Ijma Ulama juga
ditegaskan keharaman praktik gestational surrogacy. Sumber-sumber hukum Islam ini
menjadi dasar bagi MUI untuk menyatakan keharaman gestational surrogacy, sebagai
peringatan agar umat Islam tidak melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan
kemudharatan.
Implikasi Hukum Syariah terhadap Gestational Surrogacy
Dalam Islam, gestational surrogacy sangat dilarang karena beberapa alasan, salah
satunya terkait penggunaan rahim wanita lain. Gestational surrogacy melibatkan
penggunaan rahim dari wanita yang nantinya akan dibuahi dengan sperma, lalu mengandung
166 IKHLAS – VOLUME. 1 NO. 4 OKTOBER 2024
e-ISSN: 3063-3230; p-ISSN: 3063-3621, Hal 163-172
seorang anak. Namun, tindakan ini dianggap haram menurut hukum Islam karena wanita
dan pria yang terlibat bukanlah pasangan suami istri yang sah.
Masalah mengenai status anak yang lahir dari gestational surrogacy menimbulkan
banyak pertanyaan dan kebingungan. Meskipun secara biologis anak tersebut adalah hasil
dari pasangan suami istri yang memiliki sel telur dan sperma, karena dilahirkan oleh ibu
pengganti yang secara biologis maupun genetik bukan ibunya, status sahnya anak dalam
pandangan Islam tetap merujuk pada status pernikahan ibu yang melahirkan.
Salah satu isu utama dalam gestational surrogacy adalah adanya donor sperma atau
ovum. Untuk menentukan hukumnya, dalam surat Al-Baqarah, Allah berfirman yang
artinya:
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladang itu kapan saja dengan
cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu”. (Q.S. Al-Baqarah (2)
:2).
Meskipun ayat ini tidak secara langsung menjelaskan tentang larangan mendonorkan
benih, namun dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa hanya suami yang memiliki hak
untuk mendatangi istrinya. Oleh karena itu, orang lain tidak diperbolehkan mendatangi istri
dalam bentuk apa pun, termasuk dalam hal mendonorkan sperma, karena orang tersebut
tidak memiliki hak yang sah menurut hukum Islam. Selain itu, Allah berfirman dalam ayat
lain yang artinya:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar menjaga pandangannya dan
memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat”.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan laki-laki untuk menahan pandangan dari hal-hal
yang dilarang-Nya serta menjaga kemaluan, termasuk menjaga sperma agar tidak
ditanamkan pada wanita selain istrinya. Begitu juga, perempuan muslim diperintahkan
untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya, agar tidak menerima sperma
dari pria selain suaminya. Hadis Rasulullah SAW pun memberikan penjelasan tambahan
sebagai bentuk elaborasi dari ayat ini.
GESTATIONAL SURROGACY DALAM ISLAM DAN IMPLIKASI HUKUM SYARIAH
Yang artinya “Rufai’ bin Sabit al- Ansari berkata : Seorang khatib pernah
berkata : Sungguh saya tidak akan mengatakan kecuali yang saya dengar dari
Rasulullah SAW, beliau berkata pada saat perang Hunain: “Tidak halal bagi seoran yang
beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya dalam ladang orang lain.” (H.R.
Abu Daud)
Dari kedua ayat di atas, serta penjelasan hadis sebagai dalil, dapat disimpulkan
keharaman gestational surrogacy dan juga keharaman donor sperma serta ovum. Oleh
karena itu, praktik gestational surrogacy dianggap sebagai bentuk zina dan dosa besar,
meskipun tidak melibatkan hubungan intim secara langsung, tetapi karena terjadi pertemuan
antara sperma dan ovum dari manusia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah. Hal
ini ditegaskan melalui fatwa MUI tahun 1979 mengenai bayi tabung. Dengan demikian,
anak yang lahir dari gestational surrogacy dipandang sama dengan anak hasil zina, di mana
nasabnya hanya terhubung kepada ibu yang melahirkan.
Adapun masalah lain yang muncul dari anak yang dilahirkan melalui gestational
surrogacy adalah masalah hak waris. Saat ini, persoalan pembagian warisan terkait anak
yang lahir melalui proses pemindahan embrio ke rahim wanita lain menjadi perdebatan di
kalangan ulama. Persoalan ini menyangkut status hukum anak yang lahir dari rahim ibu
pengganti dan keterkaitannya dengan orang tua biologis (pendonor), khususnya dalam hal
kewarisan. Menitipkan janin kepada wanita lain memicu ketidakpastian mengenai status
hukum anak, sehingga penerapan hukum kewarisan menjadi lebih kompleks dan tidak
mudah. Dalam menetapkan hubungan hukum Islam terkait hal ini, diperlukan ijtihad dari
para ahli untuk memberikan pandangan tentang praktik penitipan janin ini.
Salah satu tujuan utama maqashid syari'ah adalah menjaga keturunan. Oleh karena itu,
menjaga kejelasan dan keberlangsungan keturunan adalah hal yang wajib dilakukan oleh
setiap umat Islam. Ketertiban dalam keturunan juga berdampak pada kebaikan individu,
karena keturunan yang baik akan membawa dampak positif bagi kehidupan seseorang, baik
dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Memiliki keturunan dengan asal-usul yang jelas
memberikan dampak positif bagi anak serta kerabat dari pihak ibu dan ayah. Anak akan
memiliki identitas yang kuat dan hubungan keluarga yang lebih erat, sehingga mereka bisa
memahami latar belakang dan tradisi keluarga. Selain itu, dalam hal pewarisan, anak yang
asal-usulnya jelas juga memiliki hak untuk menerima warisan sesuai aturan yang berlaku,
memperkuat ikatan keluarga dan tanggung jawab antar generasi.
168 IKHLAS – VOLUME. 1 NO. 4 OKTOBER 2024
e-ISSN: 3063-3230; p-ISSN: 3063-3621, Hal 163-172
Dampak Sosial dan Etika dari Gestational Surrogacy dalam Masyarakat Muslim
Gestational surrogacy menimbulkan berbagai persoalan sosial dan etika yang
kompleks, terutama terkait status anak yang dilahirkan dan penerimaan masyarakat. Dari
segi dampak sosial, praktik ini sering kali memicu perdebatan karena bertentangan dengan
konsep keluarga tradisional dalam Islam. Meskipun beberapa keluarga Muslim
menggunakan gestational surrogacy sebagai solusi untuk infertilitas, stigma sosial tetap
ada. Terdapat kekhawatiran akan potensi eksploitasi ekonomi terhadap wanita surrogate,
terutama di negara berkembang. Jika metode gestational surrogacy tidak melibatkan
hubungan genetik dengan kedua orang tua, status anak menjadi tidak jelas, yang berpotensi
memicu masalah seperti perkawinan sedarah tanpa disadari dan risiko cacat genetik akibat
inbreeding.
Gestational surrogacy juga dianggap bertentangan dengan norma moral, adat istiadat,
dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Dalam pandangan agama Islam, praktik ini
diharamkan karena melibatkan unsur zina. Selain itu, wanita yang menjadi gestational
surrogacy berisiko dikucilkan dari masyarakat, terutama jika statusnya adalah gadis atau
janda. Status sosial wanita yang bersedia menjadi surrogate dapat terdegradasi, yang
menyebabkan stigmatisasi sosial yang berat.
Dari perspektif etika, para ulama Muslim memiliki pandangan beragam tentang
surrogacy, namun mayoritas menentangnya berdasarkan interpretasi hukum Islam, terutama
terkait nasab (garis keturunan) dan definisi keibuan. Perdebatan juga muncul terkait
perbedaan etis antara surrogacy altruistik dan komersial. Implikasi etis dari surrogacy
sangat signifikan, khususnya terkait pelanggaran hak asasi anak, seperti risiko penelantaran,
kehilangan kasih sayang ibu kandung, ketidakjelasan asal-usul, dan stigma sosial yang dapat
berdampak buruk pada kesehatan mental anak.
Pandangan ulama mengenai gestational surrogacy, terutama dalam hal moralitas,
keberlanjutan keluarga, dan dampaknya terhadap status anak, umumnya menolak praktik ini
karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Secara moral,
gestational surrogacy dinilai mengganggu tatanan keluarga tradisional dan menimbulkan
keraguan terkait nasab. Anak yang lahir dari rahim pengganti dianggap tidak memiliki
hubungan nasab yang sah dengan orang tua biologisnya, terutama ibu pengganti. Hal ini
menimbulkan masalah dalam pengakuan status anak, hak waris, dan ikatan sosial di
masyarakat Muslim.
Dari segi keberlanjutan keluarga, Islam sangat menekankan pada kejelasan nasab,
yang berperan penting dalam menjaga hubungan keluarga dan status sosial anak. gestational
GESTATIONAL SURROGACY DALAM ISLAM DAN IMPLIKASI HUKUM SYARIAH
surrogacy dapat merusak prinsip ini karena status hukum anak dan orang tua tidak dapat
dipastikan, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hak-hak anak, termasuk hak
waris dan pengakuan sosial. Selain itu, dampak emosional dan psikologis pada anak yang
mungkin tidak mengetahui ibu biologisnya dianggap dapat mengganggu kesejahteraan
mental anak dan merusak identitas mereka.
Implikasi sosial lain dari gestational surrogacy adalah potensi eksploitasi ekonomi
terhadap wanita yang menjadi surrogate. Faktor ekonomi sering menjadi alasan utama
wanita bersedia menjadi surrogate, tanpa mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial
yang mungkin mereka alami, serta risiko kesehatan yang menyertai proses kehamilan dan
persalinan. Gestational surrogacy juga membuka peluang kelahiran anak di luar nikah, yang
menghadapi stigma sosial serta masalah hukum, termasuk hak waris dan pengakuan orang
tua. Dari segi moral, gestational surrogacy menimbulkan dilema terkait hak anak dan ibu
pengganti, karena anak hasil gestational surrogacy sering mengalami krisis identitas, tidak
mengetahui orang tua kandungnya, serta rentan terhadap eksploitasi ekonomi dan psikologis
akibat status yang tidak jelas.
Dari sudut pandang medis, beberapa ahli Muslim berpendapat bahwa gestational
surrogacy dapat diterima dengan batasan tertentu dan untuk alasan medis yang kuat.
Namun, tetap ada kekhawatiran mengenai risiko kesehatan bagi surrogate dan dampak
jangka panjang bagi anak yang dilahirkan melalui metode ini. Praktik ini juga berpotensi
merusak nilai dan sistem keyakinan masyarakat. Dengan perkembangan teknologi
reproduksi yang pesat, norma, nilai, dan sistem hukum yang ada tidak selalu mampu
mengikuti perubahan tersebut. Ini menimbulkan ketidakjelasan dalam menentukan apakah
suatu tindakan dapat dianggap benar atau salah, seringkali berdasarkan sudut pandang
subyektif.
5. KESIMPULAN
Gestational surrogacy, dari sudut pandang Islam, menimbulkan berbagai persoalan
hukum, sosial, dan etika yang kompleks. Para ulama secara umum sepakat bahwa praktik
ini diharamkan karena bertentangan dengan konsep keibuan dalam Islam, terutama terkait
masalah nasab (garis keturunan) dan waris. Hukum syariah menolak gestational surrogacy
karena dapat menciptakan ketidakjelasan status anak yang dilahirkan, memicu masalah
hukum terkait waris, serta dianggap sebagai bentuk zina meskipun tidak ada hubungan intim
langsung. Fatwa-fatwa dari berbagai negara Islam, termasuk Indonesia, menegaskan bahwa
170 IKHLAS – VOLUME. 1 NO. 4 OKTOBER 2024
e-ISSN: 3063-3230; p-ISSN: 3063-3621, Hal 163-172
surrogacy, baik altruistik maupun komersial, menyalahi hukum Islam dan merugikan anak
serta ibu pengganti.
Dari perspektif sosial dan etika, gestational surrogacy berisiko menimbulkan stigma
bagi wanita yang menjadi gestational surrogacy, terutama di negara-negara Muslim, di
mana norma-norma keluarga tradisional sangat dijunjung tinggi. Anak hasil gestational
surrogacy juga rentan terhadap krisis identitas, eksploitasi ekonomi, dan stigma sosial, serta
dapat mengalami ketidakjelasan asal-usul yang dapat berpengaruh pada hak-hak waris dan
penerimaan dalam masyarakat. Potensi eksploitasi ekonomi terhadap wanita yang bersedia
menjadi surrogate juga menjadi perhatian, terutama di negara berkembang, di mana faktor
ekonomi seringkali menjadi pendorong utama.
Secara keseluruhan, meskipun perkembangan teknologi reproduksi menawarkan
solusi bagi pasangan yang infertil, gestational surrogacy menimbulkan dilema moral dan
sosial yang signifikan, sehingga memerlukan pertimbangan yang hati-hati dalam konteks
hukum, etika, dan sosial, khususnya dalam masyarakat Muslim.
DAFTAR REFERENSI
Ali, M. (2019). The ethical and legal dimensions of surrogacy in Islam. Journal of Islamic
Studies and Culture, 7(1), 34-45.
Al-Sibai, A. (2021). The ethical and social implications of surrogacy in Muslim societies: A
critical examination. Journal of Islamic Ethics, 7(2), 45-60.
Arikhman, N. (2016). Tinjauan sosial, etika, dan hukum surrogate mother di Indonesia. Jurnal
Kesehatan Medika Saintika, 7(2), 1-12.
Chamsi-Pasha, H., & Albar, M. A. (2015). Assisted reproductive technology: Islamic Sunni
perspective. Human Fertility, 18(2), 107-112.
Chatterjee, S. (2022). Permissibility of surrogacy in Islamic law. Oxford Academic Journal of
Islamic Bioethics.
Hamdani, T. (2023). Kajian Yuridis Kedudukan Anak Yang Dilahirkan Dari Sewa Rahim
Wanita Lain Oleh Pasangan Suami Isteri. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum
[JIMHUM], 3(4), 297-303.
Honainah, H., Rato, D., & Susanti, D. O. (2023). Status nasab dan kewarisan anak hasil sewa
rahim perspektif hukum Islam. Rechtenstudent, 4(1), 63-77.
Inhorn, M. C. (2020). Fertility and assisted reproductive technology (ART) in the Muslim
world: Contemporary challenges and future directions. Journal of Religion and
Health, 59(3), 1108-1125.
GESTATIONAL SURROGACY DALAM ISLAM DAN IMPLIKASI HUKUM SYARIAH
Mir Hosseini, Z. (2018). Muslim legal tradition and the challenge of gender equality. In Women
and social change in North Africa (pp. 13-29). Cambridge University Press.
Mutia, A., & Ahmad, N. A. (2017). Surrogate mother in Islamic jurisprudence: A critical
analysis. Advanced Science Letters, 23(5), 4855-4858.
Nabila, F., Savitry, N. S., & Adam, S. D. (2023). Perspektif agama dan kode etik kesehatan
terhadap praktik surrogacy dalam konteks keluarga yang belum memiliki anak.
Islamic Education, 1(4), 239-246.
Rahman, F. (2021). The legal status of children born via surrogacy in Islamic jurisprudence.
International Journal of Islamic and Middle Eastern Law, 9(2), 67-82.
Rhumaisha, R. (2024). Fenomena Sewa Rahim (Surrogate Mother) dalam Perspektif Hukum
dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. J-CEKI: Jurnal Cendekia Ilmiah, 3(4), 1658-
1667.
Shabana, A. (2015). Foundations of the consensus against surrogacy arrangements in Islamic
law. Islamic Law and Society, 22(1-2), 82-113.
Susanti, A. S., & Purba, R. (2023). Surrogasi rahim: Perbandingan praktik hukum di berbagai
negara yang melegalkan - Implikasi global dan lokal. Innovative Journal of Social
Sciences, 6(4), 6355-4464.
Tho, D. S., MANGUNDAP, A. T. S. F., & Aryesam, P. (2018). KEDUDUKAN ANAK YANG
DILAHIRKAN DALAM PERJANJIAN SEWA RAHIM (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE).
Ulum, M. B. (2023). Kewarisan anak hasil sewa rahim di Indonesia ditinjau dari aspek nasab.
UNES Law Review, 6(2), 7521-7531.
Yusuf, A. (2022). Reproductive technologies and their impact on Islamic family law.
Contemporary Islamic Thought Journal, 5(1), 23-39.
Zaharnika, R. F. A. (2021). Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Sewa Rahim
(Surrogate Mother) Ditinjau Menurut Perspektif Hukum Positif. Jurnal Hukum
Mimbar Justitia, 7(2), 105-139.
Zulkifli, S. (2020). The concept of nasab in Islamic family law: Implications of surrogacy on
family lineage. Islamic Law Review, 12(3), 15-28.
172 IKHLAS – VOLUME. 1 NO. 4 OKTOBER 2024