Rangkuman Sistem Pendidikan Indonesia
Rangkuman Sistem Pendidikan Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Bagian ini membahas evolusi historis dan kerangka administratif yang menjadi landasan sistem
pendidikan Indonesia, sebuah perjalanan yang membentuk tantangan dan peluang yang ada
saat ini.
1.1. Evolusi Historis Pendidikan Indonesia
Sejarah pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari warisan kolonial Belanda. Selama era ini,
sistem pendidikan dibangun di atas fondasi yang membedakan berdasarkan ras dan status
sosial. Sekolah-sekolah didirikan secara terpisah, seperti Europeesche Lagereschool (ELS)
untuk anak-anak Eropa, Hollandsch-Inlandscheschool (HIS) untuk penduduk pribumi, dan
Hollandsch-Chinescheschool (HCS) untuk etnis Tionghoa.1 Hierarki ini berlanjut ke jenjang yang
lebih tinggi dengan adanya
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) sebagai sekolah menengah pertama dan Algemene
Middelbareschool (AMS) atau Hogere Burgerschool (HBS) sebagai sekolah menengah atas dan
pra-universitas.1 Di daerah pedesaan, didirikan
Desa Schools atau sekolah desa yang hanya bertujuan untuk menyebarkan literasi dasar di
kalangan penduduk pribumi.1 Model pendidikan yang terfragmentasi dan elitis ini menetapkan
standar yang berbeda, menciptakan ketidaksetaraan yang mendalam.
Sejak saat itu, sistem pendidikan Indonesia telah mengalami setidaknya sebelas kali perubahan
kurikulum.3 Perubahan ini sering kali bersifat politis atau sebagai respons terhadap isu yang
dianggap gagal. Contohnya,
Kurikulum 1968 yang dinilai lebih berpihak pada Orde Lama.3 Kurikulum-kurikulum berikutnya,
seperti
Kurikulum 1975 yang menekankan efektivitas dan efisiensi melalui Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI) 2,
Kurikulum 1984 dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), hingga Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
tahun 2006 3, semuanya mencerminkan upaya pemerintah untuk mencari model yang paling
ideal.
Siklus perubahan yang konstan ini, yang sering digambarkan sebagai "bongkar pasang
kebijakan" 4, menciptakan ketidakstabilan sistem. Guru dan sekolah selalu berada dalam kondisi
menyesuaikan diri, yang menghambat akumulasi pengetahuan institusional dan praktik
pedagogis yang konsisten. Kurikulum Merdeka, yang diperkenalkan pada tahun 2022,
merupakan reformasi terbaru dalam siklus panjang ini, yang bertujuan untuk memutus
keterbatasan-keterbatasan yang terjadi sebelumnya.5
Kurikulum 1968
Kurikulum 1975
Kurikulum 1984
Sistem pendidikan di Indonesia memiliki struktur yang kompleks dan dikelola oleh dua
kementerian utama. Secara umum, pendidikan dibagi menjadi tiga jalur: formal, non-formal,
dan informal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.6 Pendidikan formal merupakan jalur yang paling terstruktur,
meliputi jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.6
Konstitusi mengamanatkan setiap warga negara harus menjalani wajib belajar selama dua
belas tahun, yang terdiri dari enam tahun di tingkat SD, tiga tahun di tingkat SMP, dan tiga
tahun di tingkat SMA.1
Aspek unik dari tata kelola pendidikan di Indonesia adalah pembagian wewenang antara dua
kementerian. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek) bertanggung jawab atas regulasi dan kebijakan pendidikan nasional
secara umum, termasuk sekolah negeri dan swasta. 1 Di sisi lain,
Kementerian Agama (Kemenag) mengelola jaringan sekolah agama yang luas (madrasah). 8
Meskipun Kemenag mengikuti regulasi yang ditetapkan oleh Kemendikbudristek, mereka
memiliki kewenangan untuk mengembangkan ciri khas dan kebijakan spesifik terkait pendidikan
keagamaan.8 Sebagai contoh, Kemenag dapat menetapkan durasi program Pendidikan Profesi
Guru (PPG) yang lebih panjang untuk guru madrasah, seperti yang dilakukan pada tahun 2020
untuk memastikan pelatihan teknologi yang memadai bagi para guru. 8 Dwi-administrasi ini,
meskipun bertujuan untuk menghormati pluralisme agama, dapat menimbulkan fragmentasi
dalam implementasi kebijakan dan menciptakan standar yang berbeda antar lembaga, yang
memerlukan pendekatan yang lebih terintegrasi untuk reformasi pendidikan nasional.
2. Kondisi Pendidikan Indonesia: Penilaian Kuantitatif dan Kualitatif
Bagian ini menyajikan gambaran tentang kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, menggunakan
metrik nasional dan global untuk mengukur kinerja dan mengidentifikasi ketidaksetaraan.
Di tingkat nasional, Angka Partisipasi Sekolah (APS) menunjukkan keberhasilan yang signifikan
di jenjang pendidikan dasar, dengan APS untuk kelompok usia 7-12 tahun mencapai 99,57%
pada tahun 2024.11 Namun, terdapat penurunan partisipasi yang drastis di jenjang pendidikan
menengah. APS untuk kelompok usia 16-18 tahun di perkotaan hanya mencapai 75,91%. 12 Data
ini selaras dengan rata-rata lama sekolah nasional untuk penduduk usia 15 tahun ke atas yang
hanya mencapai 9,22 tahun, setara dengan lulus SMP.13 Fenomena ini, yang dapat digambarkan
sebagai "jurang putus sekolah", menunjukkan bahwa sebagian besar populasi tidak
menyelesaikan pendidikan menengah, yang memiliki implikasi serius terhadap potensi ekonomi
dan pengembangan sumber daya manusia di masa depan.
Di sisi lain, terdapat tren positif dalam penurunan angka buta aksara, yang menurun dari 1,51%
pada tahun 2022 menjadi 1,08% pada tahun 2023 untuk penduduk usia 15-59 tahun.14 Namun,
terlepas dari kemajuan ini, peringkat global universitas pendidikan di Indonesia masih rendah,
dengan peringkat tertinggi berada di kisaran 301-400.15
Indikator
Rata-rata Skor PISA Membaca
Salah satu masalah paling mendesak dalam pendidikan Indonesia adalah kesenjangan yang
signifikan dalam akses dan kualitas antara wilayah. Ada perbedaan yang mencolok antara
daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara provinsi di kawasan barat dan timur Indonesia.4
Contohnya, rata-rata lama sekolah di DKI Jakarta jauh lebih tinggi daripada rata-rata
nasional.13 Disparitas ini diperburuk oleh keterbatasan akses, seperti jarak sekolah yang jauh
dan transportasi yang minim, serta fasilitas pendidikan yang kurang memadai di daerah
terpencil.17
Bagian ini mengupas secara mendalam tantangan fundamental yang terus menghambat
kemajuan pendidikan di Indonesia.
Indonesia memiliki jumlah guru yang besar, mencapai 3.382.207 orang pada tahun 2024. 16
Namun, masalah utama bukanlah kuantitas, melainkan kualitas.17 Kualitas pengajaran yang
rendah sering kali disebabkan oleh pelatihan yang tidak memadai, standar sertifikasi yang
lemah, dan kurangnya insentif untuk menarik guru-guru berkualitas.17
Meskipun terdapat berbagai program pelatihan, modelnya sering kali bersifat sentralistik (top-
down) dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan individu guru.21 Hal ini menjadi hambatan
besar, terutama dalam implementasi Kurikulum Merdeka yang menuntut guru untuk berinovasi
dan berkreasi.22 Kurikulum baru ini memerlukan perubahan peran guru dari sumber
pengetahuan tunggal menjadi fasilitator dan mentor yang membimbing siswa. 23 Hal ini
menuntut adanya "perubahan pola pikir" yang mendasar, di mana guru harus mampu menjadi
fleksibel, beradaptasi, dan memiliki keterampilan sosial yang mumpuni. 24 Tanpa dukungan dan
pelatihan yang efektif yang secara khusus menargetkan perubahan pola pikir ini, Kurikulum
Merdeka, meskipun memiliki filosofi yang baik, akan sulit diterapkan secara maksimal.
Banyak sekolah di Indonesia masih kekurangan fasilitas dasar seperti ruang kelas yang layak,
perpustakaan, dan laboratorium.17 Kurangnya infrastruktur ini secara langsung memengaruhi
kualitas pembelajaran dan pengalaman siswa. Pemerintah melalui Kemendikbudristek telah
berkomitmen untuk merehabilitasi dan membangun sarana prasarana sekolah di daerah-
daerah.18 Program ini menargetkan rehabilitasi puluhan ribu ruang kelas, serta pembangunan
ruang kelas baru dan unit sekolah baru.18
Namun, program ini tidak berjalan tanpa hambatan. Data menunjukkan bahwa meskipun alokasi
anggaran meningkat, jumlah sekolah yang rusak tidak berkurang secara signifikan. 19 Salah satu
penyebab utama dari kesenjangan antara kebijakan dan praktik ini adalah kerentanan terhadap
korupsi dalam proses pengadaan proyek konstruksi pendidikan.19 Ini memperlihatkan adanya
masalah tata kelola yang lebih dalam, di mana niat baik kebijakan pusat sering kali digagalkan
oleh implementasi yang tidak efisien dan rentan terhadap penyalahgunaan di tingkat lokal.
Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai respons terhadap tantangan pendidikan yang ada,
terutama masalah relevansi kurikulum.17 Kurikulum ini dirancang untuk memberikan fleksibilitas
kepada sekolah dan guru agar dapat menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan siswa
dan konteks lokal.26 Fitur utamanya mencakup pembelajaran intrakurikuler yang lebih optimal,
proyek-proyek untuk memperkuat Profil Pelajar Pancasila, dan keleluasaan bagi guru untuk
memilih perangkat ajar yang paling sesuai.27
Penerapan kurikulum ini telah menunjukkan dampak positif, seperti peningkatan kreativitas
guru dan fleksibilitas dalam pengembangan pembelajaran. 23 Guru tidak lagi menjadi satu-
satunya sumber pengetahuan, melainkan bertindak sebagai fasilitator yang membimbing siswa
dalam proses belajar.23 Kurikulum ini juga mendorong integrasi teknologi dalam pembelajaran,
yang relevan dengan paradigma pembelajaran abad ke-21.5 Namun, keberhasilan program ini
menghadapi tantangan yang kompleks, terutama dalam hal kesiapan sumber daya manusia. 24
Tabel 3: Kurikulum Merdeka: Teori vs. Praktik
Integrasi teknologi: Kurikulum mendorong penggunaan alat digital dan sumber belajar
daring dalam pembelajaran sehari-hari.5
Digitalisasi pendidikan menjadi salah satu fokus utama pemerintah untuk meningkatkan
kualitas dan pemerataan pendidikan.28 Program ini bertujuan untuk memanfaatkan teknologi
informasi dalam pembelajaran, termasuk penggunaan platform pembelajaran daring dan
digitalisasi sarana prasarana.28 Hingga tahun 2025, program digitalisasi ditargetkan untuk
menjangkau 288.000 sekolah.30 Digitalisasi memungkinkan pembelajaran yang lebih interaktif
dan personal, menyesuaikan dengan kebutuhan dan kecepatan belajar masing-masing
individu.29
Namun, implementasi program ini menghadapi tantangan besar terkait pemerataan. Meskipun
ada inisiatif untuk mengirimkan teknologi ke sekolah, keberhasilan program ini sangat
bergantung pada kemampuan guru dan siswa untuk menggunakan teknologi tersebut secara
efektif.29 Tanpa pelatihan yang memadai dan perubahan pola pikir, program digitalisasi hanya
akan menjadi solusi teknis yang tidak dapat mengatasi masalah sistemik, terutama di daerah-
daerah yang sulit terjangkau.
guru kunjung atau sistem tutorial diterapkan untuk memastikan anak-anak tetap mendapatkan
pendidikan.4 Selain itu, pemerintah juga berupaya memperkuat pendidikan vokasi untuk
meningkatkan relevansi kurikulum dengan kebutuhan pasar kerja. 28
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini berada pada persimpangan antara warisan sejarah dan
tuntutan masa depan. Frekuensi perubahan kurikulum sejak kemerdekaan telah menciptakan
sistem yang rentan terhadap ketidakstabilan, yang pada akhirnya berkontribusi pada
efektivitas pendidikan yang rendah secara keseluruhan. Rendahnya skor PISA dan jurang putus
sekolah di tingkat menengah adalah bukti nyata dari tantangan ini. Permasalahan ini diperburuk
oleh ketidaksetaraan geografis, infrastruktur yang kurang memadai, dan masalah tata kelola
yang terlihat dari kasus-kasus korupsi dalam pembangunan sekolah.
Berdasarkan analisis yang mendalam, berikut adalah rekomendasi untuk mencapai sistem
pendidikan yang lebih berkualitas dan merata:
● Solusi Sistemik: Perlu adanya perumusan kurikulum yang lebih stabil dan berkelanjutan,
yang melibatkan partisipasi pemangku kepentingan secara luas. Proses ini harus kurang
didorong oleh faktor politis dan lebih berdasarkan pada kebutuhan jangka panjang,
penelitian, dan evaluasi yang konsisten.
● Solusi Teknis dan Operasional:
○ Peningkatan Kompetensi Guru: Mengadopsi model pelatihan guru yang lebih
terpersonalisasi dan berbasis kebutuhan, seperti yang telah dibuktikan lebih efektif. 21
Program pelatihan harus berfokus pada pengembangan keterampilan pedagogis
modern, termasuk penggunaan teknologi dan metode fasilitasi pembelajaran, serta
yang terpenting, mendorong perubahan pola pikir guru.
○ Perbaikan Tata Kelola dan Transparansi: Perkuat pengawasan dan penerapan
langkah-langkah anti-korupsi dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur
pendidikan. Ini akan memastikan bahwa dana yang dialokasikan benar-benar
digunakan untuk memperbaiki fasilitas sekolah dan mengurangi ketidaksetaraan yang
terjadi.
● Solusi Sosio-Kultural: Lakukan kampanye kesadaran publik yang berkelanjutan untuk
meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anak.17 Selain itu, perkuat
dukungan sosial dan finansial bagi siswa dari keluarga kurang mampu untuk mengatasi
masalah putus sekolah di jenjang menengah. Pendidikan harus dipersepsikan sebagai
investasi jangka panjang oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya oleh pemerintah
dan sekolah.