Referat Vogt-Koyanagi-Harada Disease Vitha (Revisi)
Referat Vogt-Koyanagi-Harada Disease Vitha (Revisi)
VOGT-KOYANAGI-HARADA DISEASE
PEMBIMBING
dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp.M,M.sc
PENULIS
Komang Vitha Pranamasari
03013109
“VOGT-KOYANAGI-HARADA DISEASE”
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“VOGT-KOYANAGI-HARADA DISEASE” dengan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Daerah Budhi Asih
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ayu
S. Bulo Oetoyo, Sp.M, M.sc selaku pembimbing, seluruh dokter dan staf bagian
Ilmu Penyakit Mata di RSUD Budhi Asih, serta rekan-rekan anggota
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Budhi Asih yang telah memberi
dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan, kritik,
maupun saran yang bersifat membangun. Semoga referat ini dapat bermanfaat
bagi profesi, pendidikan, dan masyarakat. Akhir kata, penulis mohon maaf atas
segala kekurangan yang ada.
iii
DAFTAR ISI
iv
4.4 Patofisiologi ............................................................................................................... 31
4.5 Penegakan Diagnosis ................................................................................................. 32
4.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................. 33
4.7 Diagnosis Banding..................................................................................................... 35
4.8 Tatalaksana ................................................................................................................ 35
4.9 Prognosis ................................................................................................................... 36
4.10 Komplikasi ................................................................................................................ 36
BAB V KESIMPULAN .................................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 39
v
BAB I
PENDAHULUAN
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Iris
Iris merupakan suatu membran dasar sebagai lanjutan dari badan siliar ke
anterior. Dibagian tengah terdapat lubang yang disebut pupil yang berfungsi untuk
mengatur besarnya sinar yang masuk. Warna permukaan iris bervariasi dan
memiliki lekukan-lekukan kecil terutama sekitar pupil yang disebut kriptae. Pada
iris terdapat dua macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu musculus
dilator pupil yang berfungsi untuk melebarkan pupil dan musculus sphincter pupil
yang berfungsi untuk mengecilkan pupil4.
7
Gambar 2. Iris
8
2.1.2 Koroid
Krorid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina dan
sclera. Koroid berbentuk mangkuk yang tepi badannya berada di cincin badan
siliar. Koroid adalah jaringan vascular yang terdiri atas anyaman pembuluh darah
besar, sedang, kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di koroid, semakin lebar
lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris.
Koroid disebelah dalam dibatasi oleh membrane bunch dan disebalah luar dibatasi
oleh sclera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sclera. Koroid
melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus opicus. Disebelah anterior koroid
bergabung dengan corpus siliaris. Kumpulan pembuluh darah koroid
memperdarahi bagian luar retina yang menyokongnya4.
9
perluasan retina dan epitel pigmen retina ke anterior permukaan dalam retina
berhadapan dengan vitreus.
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Membrane limitans interna
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju nervus opticus.
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiform dalam yang mengandung sambungan sel ganglion
dengan sel amakrin dan sel bipolar
5. Lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horizontal
6. Lapisan pleksiform luar yang mengandung sambungan sel bipolar dan
sel horizontal dengan fotoreseptor
7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. Membrane limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10. Epitel pigmen retina. Lapisan dalam membrane bunch sebenarnya
merupakan membrane basalis epitel pigmen retina.
Gambar 4. Retina
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serata dan 0,56 mm pada kutup
posterior. Ditengah-tengah retina posterior terdapat macula berdiameter 5,5-6
10
mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-
cabang pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi
sebagai area sentralis, yang secara histologi merupakan bagian retina yang
ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari 1 lapis. Makula lutea secara anatomis
didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal
kuning xantofil. Fovea yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avaskular
retina pada angiografi fluoresens. Secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah
yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain.
Hal ini terjadi karena akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan
serabut Henle) dan lapisan-lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan
dalam retina lepas secara sentrifugal. Ditengah makula, 4 mm lateral dari diskus
optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm, yang secara klinis tampak
jelas dengan oftalmoskop. Sebagai cekungan yang menimbulkan pantulan khusus.
Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya
mengandung fotoreseptor kerucut. Gambaran histologis fovea dan foveola ini
memungkinkan diskriminasi visual yang tajam; foveola memberikan ketajaman
visual yang optimal. Ruang ekstraselular retina yang normalnya kosong
cenderung paling besar di makula. Penyakit yang menyebabkan penumpukan
bahan ekstrasel secara khusus dapat mengakibatkan penebalan pada daerah ini
(edema makula).
Retina menerima darah dari dua sumber; koriokapilaris yang berada tepat diluar
membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan pigmen retina; serta
cabang-cabang dari arteria sentralis retinae, yang mendarahi duapertiga dalam
retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap
kerusakan yang tak dapat diperbaiki bilaretinamengalami ablasi. Pembuluh darah
retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar
darah-retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang. Sawar darah-
retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.
11
2.2.2 Vitreous Humor
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua per tiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang
dibatasi oleh lensa, retina dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus, membrane
hyaloids normalnya berkontak dengan struktur-struktur: kapsul lensa posterior,
serat serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina dan caput nervi optici. Basis
vitreus mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup kelapisan epitel
pars plana dan retina tepat dibelakang ora serata. Diawal kehidupan, vitreus
melekat kuat pada kapsul lensa dan caput nervi optici, tetapi segera berkurang
dikemudian hari. Vitreus mengandung air sekitar 99%. sisa 1% meliputi dua
komponen; kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi
mirip gel pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air.
12
BAB III
UVEITIS
3.1 Definisi Uveitis
Istilah ‘uveitis’ menunjukan suatu peradangan pada iris (iritis,
iridosiklitis), corpus ciliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars
planitis), atau koroid (koroiditis). Namun tidak hanya itu, uveitis turut mencakup
peradangan pada retina, pembuluh-pembulu retina, dan nervus opticus
intraocular.5 Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami
inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi.
13
3.3.1 Uveitis Anterior
Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris
saja disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka
disebut iridosiklitis. Uveitis anterior dapat terjadi akibat kelainan sistemik seperti
spondiloartropati, artritis idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, kolitis ulseratif,
penyakit chron, penyakit whipple, tubulointerstitial nephritis and uveitis. Infeksi
yang sering menyebabkan uveitis anterior adalah virus herpes simpleks (VHS),
virus varisela zoster (VVZ), tuberkulosis, dan sifilis. Uveitis anterior akut
umumnya terjadi di satu mata namun pada kasus kronik dapat melibatkan kedua
mata. Uveitis anterior akut dapat disebabkan oleh trauma, pasca-operasi, dan
reaksi hipersensitivitas. Frekuensi uveitis anterior kronik lebih jarang dan
umumnya asimtomatik namun dapat menimbulkan komplikasi seperti katarak dan
glaukoma. Uveitis anterior pada anak meningkatkan komplikasi strabismus,
keratopati, katarak, edema makular, dan glaukoma yang mengganggu penglihatan
serta memicu ambliopia sehingga perlu diterapi secara agresif.
Gejala uveitis anterior umumnya ringan-sedang dan dapat sembuh sendiri,
namun pada uveitis berat, tajam penglihatan dapat menurun. Gejala klinis dapat
berupa mata merah, nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan. Uveitis
anterior menyebabkan spasme otot siliar dan sfingter pupil yang menimbulkan
nyeri tumpul/berdenyut serta fotofobia. Jika disertai nyeri hebat, perlu dicurigai
peningkatan tekanan bola mata. Spasme sfingter pupil mengakibatkan miosis dan
memicu sinekia posterior. Penurunan tajam penglihatan terutama akibat
kekeruhan cairan akuos dan edema kornea walaupun uveitis tidak selalu
menyebabkan edema kornea.
Tanda uveitis anterior akut adalah injeksi siliar akibat vasodilatasi arteri
siliaris posterior longus dan arteri siliaris anterior yang memperdarahi iris serta
badan siliar. Di bilik mata depan terdapat pelepasan sel radang, pengeluaran
protein (cells and flare) dan endapan sel radang di endotel kornea (presipitat
keratik). Presipitat keratik halus umumnya akibat inflamasi nongranulomatosa
dan presipitat keratik kasar berhubungan dengan inflamasi granulomatosa.
14
Gambar 6. Uveitis Anterior
15
Gambar 7. Uveitis Intermediate
16
Gambar 8. Uveitis Posterior
3.3.4 Panuveitis
Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya
seperti retina dan vitreus. Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom
VKH, oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan sarkoidosis. Diagnosis
panuveitis ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior9
17
terhadap IOL sehingga sel-sel radang menyerang IOL dan akhirnya
berkumpullah sel radang dan menyebabkan uveitis.
2. Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh
- Berhubungan dengan penyakit sistemik, contohnya ankylosing spondylitis
- Infeksi, yaitu infeksi bakteri (tuberculosis), jamur (kandidiasis), virus
(herpes zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau roundworm
(toksokariasis)
- Uveitis spesifik idiopatik, yaitu yang tidak berhubungan dengan penyakit
sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari
bentuk lain (sindrom uveitis fuch)
- Uveitis non spesifik idiopatik, yaitu uveitis yang tidak termasuk dalam
kelompok diatas.
18
Uveitis berdasarkan etiologi, dibedakan menjadi:
19
merupakan penyebab tersering uveitis anterior pada anak yang berusia kurang dari
16 tahun. Gejala artritis dapat berupa oligoartikular dan poliartrikular. Gejala
sistemik meliputi demam, ruam, limfadenopati, dan hepatosplenomegali.
Sindrom uveitis fuchs adalah inflamasi nongranulomatosa kronik dengan
manifestasi uveitis anterior, heterokromia iris, dan katarak. Pada inflamasi berat,
dapat terjadi vitritis dan koroiditis. Kolitis ulseratif chron dan penyakit whipple
adalah penyakit usus yang dapat menimbulkan uveitis anterior, keratitis, vitritis,
retinitis, perdarahan retina, cotton-wool spots, dan koroiditis.
Tubulointerstitial nephritis and uveitis adalah penyakit yang menimbulkan
gejala anemia, hipertensi, gagal ginjal, uveitis anterior, intermediet dan uveitis
posterior. Inflamasi bersifat nongranulomatosa disertai edema diskus optik dan
makula.
Sindrom VKH ditandai dengan inflamasi di jaringan bermelanosit seperti
uvea, telinga, dan meninges; sering terjadi pada ras Hispanik dan Jepang serta
berhubungan dengan HLA-DR1 dan HLA-DR4. Gejalanya berupa uveitis,
kelainan kulit, gangguan pendengaran dan sistem saraf. Uveitis anterior
granulomatosa terjadi di kedua mata dan uveitis posterior memberikan gambaran
inflamasi multifokal dengan infiltrasi difus di koroid. Gejala lain adalah nodul
dalen-fuchs, vitritis, papilitis, ablasio retinae eksudatif, depigmentasi fundus dan
limbus (sugiura sign). Kelainan kulit meliputi alopesia dan vitiligo sedangkan
gangguan pendengaran dapat berupa tinitus, vertigo, dan tuli. Gangguan saraf
berupa paresis nervus kranial dan ensefalopati.
Sindrom behcet adalah ulkus aftosa rekuren setidaknya tiga kali dalam
setahun disertai minimal dua gejala berikut: ulkus genital, inflamasi mata, lesi
kulit, dan reaksi patergi. Gejala lain adalah lesi vaskular, artritis, dermatografia,
kelainan saraf, penyakit hati dan ginjal. Keterlibatan mata terjadi pada 70% kasus
dan lebih berat pada laki-laki. Kelainan terjadi di kedua mata dan sering kambuh
namun dapat membaik secara spontan. Gejala okular meliputi uveitis anterior dan
panuveitis. Selain itu, dapat terjadi konjungtivitis, ulkus konjungtiva, episkleritis,
dan skleritis. Pada kasus berat dapat timbul sinekia posterior, katarak, glaukoma,
ablasio dan atrofi retina. Uveitis fakogenik adalah uveitis akibat respons imun
20
terhadap protein lensa dengan faktor predisposisi berupa trauma, pasca-operasi,
atau degenerasi kapsul lensa. Gejala klinisnya adalah mata merah, penglihatan
kabur, nyeri, fotofobia, dan peningkatan tekanan intraokular. Apabila fragmen
lensa masuk ke dalam cairan vitreus dapat timbul vitritis. Sarkoidosis adalah
inflamasi granulomatosa nonkaseosa di seluruh organ namun lebih sering di paru
dan kelenjar limfe.
Sarkoidosis sering menyebabkan uveitis anterior granulomatosa tetapi di
Indonesia lebih jarang ditemukan. Kelainan terjadi di kedua mata berupa
presipitat keratik, nodul di trabecular meshwork, vitreus keruh, lesi multipel
korioretina perifer, periflebitis segmental dan nodular atau makroaneurisma
retina, serta nodul diskus optik.
Oftalmia simpatika merupakan panuveitis granulomatosa di kedua mata
akibat trauma tajam di mata atau pasca-operasi. Faktor risikonya adalah prolaps
uvea dengan gejala mata merah, penglihatan kabur, dan fotofobia. Kelainan klinis
berupa uveitis anterior, vaskulitis, ablasio retinae eksudatif, edema diskus optik,
dan infiltrat koroid. 9
2. Uveitis infeksi
Uveitis Toksoplasmosis Sebanyak 20-60% kasus uveitis posterior
disebabkan oleh T.gondii dengan gejala utama necrotizing chorioretinitis.
Toksoplasmosis kongenital biasanya di kedua mata sehingga umumnya disertai
strabismus, nistagmus, dan kebutaan. Pada orang dewasa retinokoroiditis
toksoplasma biasanya akibat reaktivasi infeksi kongenital. Lesi toksoplasmosis
didapat umumnya di satu mata namun jika dijumpai lesi aktif toksoplasmosis di
kedua mata pada orang dewasa, perlu dipikirkan kemungkinan HIV. Dapat
ditemukan lesi nekrosis fokal di retina, berwarna putih kekuningan seperti kapas
dan batas tidak jelas. Pada proses penyembuhan, batas lesi menjadi lebih tegas
disertai pigmentasi perifer. Uveitis Tuberkulosis Gambaran uveitis anterior
tuberkulosis umumnya iridosiklitis granulomatosa di kedua mata, nodul di tepi iris
atau di permukaan iris presipitat keratik, hipopion, dan sinekia posterior. Uveitis
intermediet dapat berupa pars planitis, vitritis, vitreous snowballs, snowbanking,
21
granuloma perifer, vaskulitis dan edema makular sistoid. Pada uveitis posterior
dapat timbul koroiditis, tuberkel, tuberkuloma atau abses subretina dengan
gambaran khas koroiditis serpiginosa.13
UVEITIS SIFILIS
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum yang ditularkan melalui abrasi kulit
atau mukosa saat berhubungan seksual. Pada sifilis kongenital, T.pallidum
ditularkan melalui plasenta dari ibu yang mengidap sifilis. Sifilis dapat
menyebabkan kelainan di semua organ termasuk mata dengan gejala uveitis,
keratitis, korioretinitis, retinitis, vaskulitis retina, dan neuropati optik. Uveitis
merupakan manifestasi tersering sehingga sifilis okular harus dicurigai sebagai
bagian dari infeksi sistemik. Uveitis dapat terjadi 6 minggu setelah infeksi primer
namun dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi primer. Uveitis terjadi di
kedua mata berupa peradangan granulomatosa atau nongranulomatosa. Di iris
dapat dijumpai nodul kekuningan (roseola) yang merupakan dilatasi kapiler iris.
Gejala lain adalah korioretinitis, neuritis optik, dan neuroretinitis. 71% kasus
uveitis sifilis terjadi di segmen anterior, sedangkan sifilis lebih sering menyerang
segmen posterior dan keterlibatan segmen anterior mengarah pada koinfeksi
dengan HIV.14
INFEKSI VIRUS
Uveitis anterior merupakan bentuk uveitis yang paling sering dijumpai pada
infeksi virus terutama HSV, VVZ, dan CMV. Infeksi virus pada individu
imunokompeten umumnya asimtomatik namun pada gangguan imunitas dapat
timbul gejala akut. HSV merupakan penyebab uveitis tersering di Amerika Serikat
terutama pada usia di bawah 60 tahun. HSV umumnya menimbulkan kelainan di
satu mata dengan tanda khas atrofi iris dan keratitis herpetik. Diagnosis uveitis
anterior HSV sulit ditegakkan tanpa tanda khas tersebut sehingga diperlukan
informasi mengenai riwayat herpes di bibir atau genital. Gejala lain adalah dilatasi
pupil, peningkatan tekanan intraokular dan sinekia posterior. Uveitis anterior juga
dapat disebabkan oleh herpes zoster oftalmikus yang merupakan reaktivasi VZV
22
dorman di ganglion sensorik nervus kranial V. Reaktivasi virus terjadi akibat
penurunan sistem imun terkait usia. Gejalanya berupa uveitis granulomatosa,
atrofi iris, dan peningkatan tekanan intraokular. Uveitis anterior zoster umumnya
didahului dengan lesi di kulit sesuai dengan persarafan trigeminal cabang
oftalmik. Pada pasien imunokompeten, infeksi CMV sering asimtomatik namun
dapat menjadi infeksi oportunis pada pasien dengan gangguan kekebalan. CMV
menyerang satu mata namun dapat berkembang di kedua mata. Di segmen
anterior, CMV menimbulkan uveitis, endotelitis, presipitat keratik, peningkatan
tekanan intraokular, atrofi iris dan katarak. Di segmen posterior, infeksi CMV
mengganggu penglihatan karena kelainan di makula, vitritis, retinitis, dan neuritis
optikus. HSV, VZV dan CMV juga dapat menyebabkan keratitis dengan
karakteristik yang berbeda. Sekitar 60% kasus HSV memperlihatkan ulkus
dendritik, keratitis disiformis, dan keratitis interstisial. Pada HSV, keratitis dendrit
berupa infiltrat di epitel kornea berbentuk dendrit, lesi bercabang dan membentuk
bulb diujungnya. VZV dapat menyebabkan ulkus pseudodendritik, keratitis
numularis, dan keratitis limbal. Pada CMV, kelainan kornea berupa endotelitis,
presipitat keratik berbentuk koin dengan atau tanpa edema kornea. Kadang-
kadang timbul uveitis dan peningkatan intraokular. Atrofi iris dapat terjadi pada
ketiga infeksi virus.14
INFEKSI JAMUR
Uveitis jamur dapat disebabkan oleh Histoplasma capsulatum, Pneumocystis
choroiditis, Pneumocytis jirovecii, Cryptococcal choroiditis, Candida, dan
Coccidioidomycosis yang umumnya terjadi pada individu dengan gangguan imun.
Presumed ocular histoplasmosis syndrome (POHS) terjadi akibat respons imun
terhadap antigen. Gejala klinis yang khas berupa trias infiltrat putih multipel,
parut atrofi koroid, perubahan pigmen peripapiler, dan makulopati. Infeksi
P.jirovecii dan Cryptococcus merupakan penyebab utama mortalitas pasien AIDS.
Tanda khas infeksi P.jirovecii adalah lesi bulat multipel berwarna putih
kekuningan di koroid, sedangkan pada koroiditis kriptokokus dapat berupa
vaskulitis, eksudat, papiledema, dan disfungsi otot okular. C.albicans dapat
23
menginfeksi mata pascatrauma atau pasca-operasi. Aspergillus dan
Coccidiomycosis lebih jarang menyebabkan uveitis dibandingkan Candida.15
24
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang di dalam bilik mata depan yang disebt hipopion, ataupun migrasi
eritrosit ke bilik mata depan atau hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga
terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris
disebut Busacca nodules.
Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara
iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sineka posterior atau pun
melekatnya iris dengan endotel korne yang disebut sineka anterior. Pada kasus
berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior.
Dapat juga terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil.
Perlekatan-perlekatan tersebut ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-
sel radang akan menghambat aliran aquos humor dari kamera okuli posterior ke
kamera okuli anterior sehingga aquos humor menumpuk di kamera okuli posterior
dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe dan
menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit.
Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi
jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat juga
menyebabkan kekeruhan pada badan kaca yang tampak seperti kekeruhan seperti
debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolism pada lensa terganggu dan
dapat mengakibatkan katarak.
25
1. Anamnesis dan pemeriksaan mata
Pemeriksaan ini bernilai tinggi dalam menentukan diagnosis klinis kelainan mata.
56% diagnosis diperoleh dari anamnesis dan meningkat sampai 73% setelah
pemeriksaan fisik termasuk mata. Pemeriksaan laboratorium hanya meningkatkan
5% diagnosis namun paling banyak memerlukan biaya sehingga perlu dipilih
sesuai kebutuhan setiap pasien (cost effective and taylor made).
2. Slit-lamp
oedem makular
4. USG B-scan
26
ablasio retinae eksudatif dengan regmatosa serta membedakan uveitis akibat
neoplasma atau abses. USG B-scan dapat menilai penebalan koroid seperti pada
sindrom VKH dan menilai pelebaran ruang tenon yang sangat khas pada skleritis
posterior.1
FFA adalah fotografi fundus yang dilakukan berurutan dengan cepat setelah
injeksi zat warna natrium fluoresen (FNa) intravena. FFA memberikan informasi
mengenai sirkulasi pembuluh darah retina dan koroid, detail epitel pigmen retina
dan sirkulasi retina serta menilai integritas pembuluh darah saat fluoresen
bersirkulasi di koroid dan retina. Fluoresen diekskresi dalam 24 jam dan pada
waktu tersebut dapat menyebabkan urin pasien berwarna orange.
Pemeriksaan laboratorium bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya
darah perifer lengkap, laju endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear
antibody. Pemeriksaan laboratorium tidak bermanfaat pada kondisi tertentu
misalnya uveitis ringan dan trauma.9
27
3.6 Tatalaksana Uveitis
Prinsip penatalaksanaan uveitis adalah untuk menekan reaksi inflamasi,
mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur, memperbaiki fungsi penglihatan
serta menghilangkan nyeri dan fotofobia. Kortikosteroid topikal merupakan terapi
pilihan untuk mengurangi inflamasi yaitu prednisolon 0,5%, prednisolon asetat
1%, betametason 1%, deksametason 0,1%, dan fluorometolon 0,1%. Injeksi
kortikosteroid periokular diberikan pada kasus yang membutuhkan depo steroid
dan menghindari efek samping kortikosteroid jangka panjang. Kortikosteroid
sistemik diberikan untuk mengatasi uveitis berat atau uveitis bilateral.
Penggunaan kortikosteroid harus dipantau karena meningkatkan tekanan
intraokular, menimbulkan katarak, glaukoma, dan meningkatkan risiko infeksi
bakteri dan jamur bila digunakan dalam jangka panjang. Kortikosteroid sistemik
dosis tinggi dan jangka panjang harus diturunkan secara perlahan. Selain itu juga
dapat diberikan obat siklopegia yang berfungsi untuk melumpuhkan otot sfingter
iris sehingga terjadi dilatasi pupil. Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri
dan fotofobia yang terjadi. Obat yang dapat digunakan yaitu atropine (0,5%-2%),
sikopentolate 0,5-2%, hematoprine 2-5%.8
Agen imunosupresan diberikan bila peradangan tidak membaik dengan
kortikosteroid atau sebagai obat pendamping agar kortikosteroid tidak digunakan
untuk jangka waktu lama dan dosis tinggi. Imunosupresan dapat dipertimbangkan
sebagai terapi lini pertama pada penyakit behcet, granulomatosis wegener, dan
skleritis nekrotik karena penyakit tersebut dapat mengancam jiwa. Imunosupresan
dibagi menjadi golongan antimetabolit, supresor sel T, dan sitotoksik. Golongan
antimetabolit adalah azatioprin, metotreksat, dan mikofenolat mofetil. Supresor
sel T meliputi siklosporin dan takrolimus sedangkan golongan sitotoksik adalah
siklofosfamid dan klorambusil. Efikasi agen imunosupresan baru tercapai setelah
beberapa minggu sehingga pada awal penggunaan harus dikombinasi dengan
kortikosteroid. Penghambat TNF-α diberikan pada penyakit behcet sedangkan
infliksimab dan adalimumab digunakan bila uveitis tidak membaik dengan
metotreksat.
28
BAB IV
VOGT-KOYANAGI-HARADA DISEASE
4.1 Definisi
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (sindrom VKH) adalah suatu kelainan
sistemik yang ditandai dengan adanya panuveitis granulomatosa yang terkait
dengan manifestasi sistemik seperti ablasio retina eksudatif yang sering
berhubungan dengan manifestasi neurologis, pendengaran, dan kulit.1
4.2 Etiologi
Penyebab VKH ini belum diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan
penyebab yang paling bisa diterima adalah karena adanya reaksi autoimun sel T
terhadap melanosit.
Studi imunologi dan histopatologis menunjukkan bahwa VKHD adalah kondisi
inflamasi autoimun yang dimediasi oleh Sel T CD4+ yang menargetkan
melanosit. Sel T yang teraktivasi ini kemungkinan memulai proses inflamasi
melalui generasi sitokin, IL 17 dan IL 23, pada individu dengan perubahan
toleransi terhadap melanosit dari sel T regulator yang kurang.
A. Autoimunitas melawan melanosit
Ada bukti yang melibatkan autoimunitas terhadap melanosit sebagai mekanisme
yang mendasari didukung oleh klinis, histopatologis, dan imunologi. Secara
klinis, VKHD hadir dengan vitiligo dan sunset glow fundus yang diperlihatkan
berasal dari hilangnya melanosit di tempat sel inflamasi. Histopatologi VKHD
kronis menunjukkan hilangnya melanosit koroid dan adanya limfosit T dan B di
29
choroid, dengan dominasi limfosit CD4+. Pada mikroskop elektron dari koroid
pada model percobaan tikus, VKHD menunjukkan penebalan dari inflitrasi oleh
limfosit dan sel epiteloid yang mengelilingi melanosit. Maka dapat diambil
kesimpulan bahwa melanosit merupakan target dari proses inflamasi.
B. Faktor Genetik
Peran faktor genetik pada perkembangan VKHD, seperti alel HLA, pertama kali
ditemukan pada tahun 1976. Studi selanjutnya mengungkapkan alel yang
dikaitkan dengan VKHD, terutama HLA DR1, DR4, DRB1 dengan kepekaan
bervariasi antara 11,76 sampai 45,1. Studi tentang pasien Mestizo di California
Selatan menemukan asosiasi antara HLADR1,HLADR4danVKHD.
C. InfeksiVirus
Hayasaka dan rekannya mendeskripsikan hampir secara bersamaan onset VKHD
pada 6 rekan kerja, teman, dan tetangga, dipengaruhi faktor lingkungan seperti
virus. Sugita dan rekan mencatat pada tahun 2001 bahwa ada reaksi silang antara
peptida tirosinase dan peptida sitomegalovirus (CMV-egH 290-302), berhipotesis
bahwa mungkin VKHD berkembang pada pasien dari kemiripan molekular
setelah terinfeksi CMV.
4.3 Epidemiologi
Secara umum prevalensi penyakit VKH terdistribusi pada individu
berkulit gelap seperti penduduk asli Amerika, Hispanik, Asia India, dan keturunan
Timur Tengah. Prevalensi VKH terbanyak terdapat di Arab Saudi yaitu sebanyak
19,4% dari total keseluruhan kasus uveitis, sedangkan di jepang terdapat 9,7%, di
Tunisia sebanyak 7,4%, dan presentase paling sedikit di Amerika Serikat yaitu
sebanyak 1-4%. Penyakit ini biasa terjadi pada usia antara 20-50 tahun dan lebih
sering terjadi pada wanita dengan rasio 2:1. VKH dapat juga terjadi pada anak
yang berusia kurang dari 14 tahun dan pada usia lanjut.2,3
30
4.4 Patofisiologi
Mekanisme yang paling banyak diterima melibatkan agresi autoimun
terhadap antigen yang terkait dengan melanosit pada individu yang rentan secara
genetis setelah pemicu infeksi virus. Genom virus dari famili herpes (virus
Epstein-Barr) terdeteksi oleh PCR (Polymerase Chain Reaction) di vitreus dari
pasien VKHD. sel T dari darah perifer dan cairan intraokular dari pasien dengan
VKHD bereaksi silang dengan protein tirosinase dan dengan sekuens spesifik
sitomegalovirus yang sangat homolog. Temuan histopatologis dan percobaan
invitro menunjukkan peran limfositCD4+T. Matsuda menunjukkan, pada bola
mata dari pasien dengan VKHD, interaksi erat antara limfosit dan melanosit.
Respon imun ditujukan pada protein yang terkait dengan melanosit. Protein
spesifik melanosit, yang terbukti memiliki peran utama dalam diferensiasi, seperti
tirosinase (TYR), protein terkait tirosinase 1 (TRP1) dan 2 (TRP2), MART-1 /
Melan A dan Pmel17 / gp100, juga dinyatakan dalam garis sel melanoma manusia
dan dikenali oleh limfosit T pasien dengan melanoma dan terlibat dalam regresi
tumor. PBMCs dari pasien dengan VKHD mengenali peptida yang berasal dari
protein keluarga tirosinase yang terlibat dalam sintesis melanin. Peptida yang
berasal dari TYR, TRP1, dan TRP2 menginduksi penyakit autoimun pada tikus
yang menyerupai VKHD, membuat protein melanosit ini menjadi kandidat
autoantigen untuk VKHD. Secara keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa
pasien dengan VKHD peka terhadap epitop melanosit dan menunjukkan respons
sitokinTh1spesifik peptida. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa HLA-
DR4 (antigen leukosit manusia) sangat terkait dengan pasien VKHD dari
kelompok etnis yang berbeda, mis. Amerika Utara, Jepang, Cina, Hispanik dan
Brasil. Pada populasi di Jepang, HLA-DRB1 * 0405 dan DRB1 * 0410 memiliki
kerentanan gabungan yang kuat [risikorelatif(RR)=100].10
31
4.5 Penegakan Diagnosis
Penegakan Diagnosis Vogt-Koyanagi-Harada: International Nomenclature
Committee:
VKH komplit:Kriteria1-5terpenuhi
VKHD inkomplit : Kriteria1-3 dan 4/5 harus terpenuhi
Kemungkinan VKHD (penyakit mata terisolasi): Kriteria1-3terpenuhi
Gejala lanjut:
1. Riwayat sugestif penyakit sebelumnya berdasarkan temuan berikut ini
2. Depigmentasi mata: matahari terbenam glow fundus atau tanda Siguira
3.Tanda-tanda lain: bekas luka depigmentasi kosaoretinal nummular, RPE
penggumpalan atau migrasi, atau uveitis anterior berulang atau kronis
4.Temuan neurologis (mungkin telah teratasi): meningismus, tinnitus, atau
pleositosis CSF (Catatan: sakit kepala saja tidak cukup.)
5. Temuan di tempat lain (tidak mendahului onset uveitis): alopecia,
poliosis, atau vitiligo.
32
4.6 Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien tanpa adanya perubahan ekstraokular, dapat dilakukan
beberapa tes konfirmasi. Diantaranya adalah FA (Flavoprotein Autofluorescence),
ICG (Indocyanine Green) Angiography, OCT (Optical Coherence Tomography),
FAF(Fundus Auto fluorescence) Imaging, pungsi lumbal dan ultrasonografi.
FA (Flavoprotein Autofluorescence)
Pada tahap uveitis akut, biasanya hasil FA (Flavoprotein
Autofluorescence) menunjukkan punctate hyperfluorescent foci pada epitel
pigmen retina diikuti oleh pooling warna di ruang subretinal di area detasemen
neurosensorik. Sebagaian besar pasien mengalami kebocoran diskus, tapi
kebocoran pada pembuluh darah retina dan CME (Cystoid Macular Edema)
jarang terjadi. Pada tahap convalescent (pemulihan) dan chronic recurrent, terjadi
kehilangan dan atrofi epitel pigmen retina yang menghasilkan multiple
hyperfluorescent window defects tanpa pewarnaan.
ICG (Indocyanine Green) Angiography
ICG (Indocyanine Green) Angiography menggambarkan patologi koroid,
keterlambatan perfusi pada pembuluh darah koroid dan koriokapilaris, hiper
fluoresen dan kebocoran pembuluh darah stroma koroid, hiper fluoresen pada
diskus, multiple bintikhiper fluoresen di seluruh area fundus, dan dianggap sesuai
dengan infiltrasi limfotik dan perubahan pinpoint hiper fluoresen dalam area
ablasi retina eksudatif. Bintik-bintik hiper fluoresen ini bisa ditemukan pada
fuduskopi dan hasil temuan pada FA (Flavoprotein Autofluorescence) berfungsi
sebagai penanda yang sensitif untuk mendeteksi dan follow up inflamasi koroid
subklinis.
Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis, terutama
bila adanya media opasitas. Gambaran temuan ultrasonografi meliputi difus,
penebalan reflektif koroid posterior dari tingkat rendah sampai sedang, yang
paling menonjol adalah di area peripapillary dengan perluasan ke region
33
equatorial, terdapat juga ablasi retina eksudatif, kekeruhan pada vitreous dan
penebalan sclera pada bagian posterior.
OCT (Optical Coherence Tomography)
OCT (Optical Coherence Tomography) berguna dalam diagnosis dan monitor
pelepasan makular serosa, CME (Cystoid Macular Edema), dan membran
vaskular koroidal. Baru-baru ini, penggunaan kombinasi FAF (Fundus
Autofluorescence) Imaging dan OCT (Optical Coherence Tomography)
menawarkan penilaian non invasif epitel pigmen retina dan perubahan pada
lapisan luar retina pada pasien sindrom Vogt Koyanagi Harada tahap kronik yang
mungkin tidak terlihat saat pemeriksaan klinis.12
Diagnosis VKH
VKH secara klasik dibagi menjadi:
A. Stadium Prodromal
Stadium prodromal berlangsung beberapa hari dan seperti infeksi virus.
Pasien mungkin mengalami demam, sakit kepala, mual, vertigo, nyeri
orbital, fotofobia, tinnitus, vertigo dan gejala neurologi.
B. Stadium Uveitis Akut
Ini biasanya terjadi dalam 3 sampai 5 hari setelah stadium prodromal dan
berlangsung selama beberapa minggu. Pasien mungkin mengalami
penglihatan kabur yang terjadi secara akut pada kedua mata. Proses
patologis yang mendasari pada tahap awal adalah terjadinya choroiditis
yang menyebar. Fitur dari choroiditis ini adalah detasemen eksudatif retina
neurosensori akibat pembengkakan choroidal yang menyebar. Hyperemia
dan edema disk optik diamati pada sekitar 47%.
34
Stadium uveitis akut: a dan b: mata kanan dan kiri pada pasien Vogt-
Koyanagoi-Harada Disease tahap akut, terdapat lesi bulat putih
kekuningan, hiperemis dan batas optik disk yang tidak jelas dan
detasemen eksudatif retina; c dan d: fluoreceint angiography awal,
menunjukkan pinpoints dan hiperfluorescence optik disk; e dan f: pinpoint
hyperfluorescence meningkat (tanda panah) dan kebocoran optik disk; g
dan h: coalescent akibat akumulasi fluoresce diruang subretinal.
35
dipisahkan oleh membran. Peradangan meluas ke segmen anterior dengan
derajat yang bervariasi. Dengan demikian, pasien dengan VKHD mungkin
memiliki iridocyclitis granulomatosa bilateral akut dengan mutton fat
keratik presipitat, nodus iris dan ruang anterior dangkal karena edema
tubuh siliaris dan pembengkakan dan pengumpulan cairan suprachoroidal.
Fitur terakhir ini bisa menyebabkan glaukoma penutupan sudut akut.
Keterlibatan meningeal dan gejala pendengaran juga dapat terjadi selama
tahap uveitik akut, yang mungkin berlangsung selama berminggu-minggu
atau bahkan berbulan-bulan.
C. Stadium Pemulihan
Tahap penyembuhan mengikuti tahap uveitik akut, biasanya beberapa
bulan kemudian. Hal ini ditandai dengan depigmentasi dari integumen dan
choroid. Temuan mungkin termasuk vitiligo, alopecia dan poliosis.
Sugiura menggambarkan depigmentasi perilimbal yang terjadi pada bulan
pertama setelah onsetuveitisdan diamatiterutamapadasubjekJepang (tanda
Sugiura). Pada tahap ini, berbagai tingkat depigmentasi difus atau
terlokalisasi dengan daerah akumulasi pigmen dapat diamati di fundus.
Depigmentasi ini terjadi 2 sampai 3 bulan setelah tahap uveitik; Perubahan
itu mungkin berasal dari berambut cokelat sampai pirang, atau mungkin
juga terjadi sebagai fundus glukosa kemerahan yang berlebihan yang
digambarkan sebagai“sunset glow fundus”.
36
D. Stadium rekuren/kronik
Tahap ini bisa mengganggu tahap penyembuhan. Sekitar 17-73% pasien
dapat berkembang menjadi kambuh atau kronisitas. Rubsamen dan Gass
melaporkan tingkat kekambuhan 43% dalam 3 bulan pertama dan 52%
dalam 6 bulan pertama. Kekambuhan terutama melibatkan segmen
anterior, tanpa keterlibatan posterior yang terdeteksi secara klinis.
Komplikasi okuler sering dapat diamati pada tahap penyembuhan dan
kronis. Komplikasi okular yang paling sering adalah katarak, glaukoma,
neovaskularisasi koroiddanfibrosisretina/choroidal.
4.7 Diagnosis Banding
4.8 Tatalaksana
Pengobatan awal adalah dengan steroid lokal dan midriatikum, tetapi
sering diperlukan steroid sistemik dalam dosis besar untuk mencegah kehilangan
penglihatan yang permanen. Pada stadium akut, sindrom Vogt Koyanagi Harada
sangat responsif terhadap terapi awal yang meliputi pengobatan topikal,
periokular, kortikosteroid sistemik, sikloplegik dan agen midriatik. Dosis inisial
prednison oral adalah 1,0-1,5 mg/kg/hari atau metilprednisolon intravena 200mg
untuk 3 hari diikuti kortikosteroid oral dosis tinggi meskipun cara pemberian tidak
mempengaruhi perubahan ketajaman visus atau perkembangan komplikasi visus
yang signifikan. Untuk pasien yang tidak menunjukkan respon yang baik terhadap
terapi sistemik, dapat digunakan kortikosteroid intravitreal, temasuk fluosinolon
asetonid intravitreal implan. Kortikosteroid sistemik harus dilakukan tapering off
sesuai dengan respon klinis, rata-rata setelah 6 bulan, dalam upaya mencegah
perkembangan penyakit ke tahap chronic recurrent dan mengurangi insiden dan
keparahan manifestasi ekstraokular. Meskipun pengobatan awal cukup adekuat
dengan kortikosteroid sistemik, banyak pasien mengalami inflamasi episode
37
berulang. Ini menyebabkan banyak ahli menggunakan IMT (Immunomodulatory
Therapy) termasuk siklosporin, azatioprin, mikofenolat mofetil, klorambusil,
siklofosfamid, dan infliksimab untuk mengkontrol proses inflamasi dan
memudahkan tapering off kortikosteroid dengan cepat.11
4.9 Komplikasi
Komplikasi dari sindrom Vogt Koyanagi Harada berupa:
- katarak,
- glaukoma,
- choroidal neurovas cularization(CNV),
- edema makular kistoid,
- atrofi optic disk dan ptisis bulbi.1
4.10 Prognosis
Prognosis untuk VKH adalah tergantung dari diagnosis dan pengobatan
yang diberikan. Semakin dini di diagnosis dan diberikan pengobatan yang
adekuat, maka prognosisnya akan lebih bagus dimana 2/3 pasien dapat
mempertahankan pengelihatannya. Untuk VKH yang bersifat kronis dan rekuren
lebih rentan terjadi komplikasi ocular seperti pembentukan katarak, glaucoma,
neovaskularisasi koroid, fibrosis subretinal dan atrofi optic. Selain itu durasi
penyakit dan kekambuhan serta usia yang lebih tua, ketajaman penglihatan awal
buruk juga terkait dengan prognosis yang buruk.11
38
BAB III
KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
40
12. Yeung IYL, Popp NA, Chan CC. The role of gender in uveitis and ocular
inflammation.IntOphthalmolClin.2015;55(3):111-31
13. Kongyai N, Sirirungsi W, Pathanapitoon K, Tananuvat N, Kunavisarut P,
Leechanachai P, et al. Viral causes of unexplained anterior uveitis in
Thailand. Eye (Lond). 2012;26:529–34.
14. Jap A, Chee SP. Viral anterior uveitis. Curr opin Ophthalmol.
2011;22(6):483–8.
15. Miserocchi E, Fogliato G, Modorati G, Bandello F. Review on the
worldwide epidemiology of uveitis. Eur J Ophthalmol. 2013;23(5):705-17.
41