ANALISIS PELAKSANAAN RETENSI DAN PENYIMPANAN DOKUMEN REKAM MEDIS
INAKTIF FILING RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SEMARANG
TAHUN 2016
Fadhila Rizka Amalia *), Maryani Setyowati **)
*)Alumni Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
**)Staff Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Email :
[email protected] ABSTRACT
Background : Retention in filing section Bhayangkara Hospital Semarang only used date
of patient's last medication and not used a Master Patient Index, as well as the storage of
inactive medical records was stored in a box by last number of medical records. This
could have an impact on retention, such as could not sort out cases of the disease and
the storage system could not assist in the preparation of usage value. The purpose of
this study was to analyzed retention and storage of inactive medical records of filing
outpatient in Bhayangkara Hospital Semarang.
Method : This research used descriptive by observation and interview methods. Subjects
were two Filing officers and two admission officers. Object study was the retention and
inactive medical records storage system. Data were Analyzed in descriptive.
Result : The results showed that retention were in accordance with standard operational
procedures, but were not use Disease Index, retention policies, and there were no
storage for inactive medical record. The hospitals were not used a retention schedule that
follows a circular letter by General director of medical services No. HK.00.06.1.5.01160
on the technical instructions on procurement form and destruction of medical records at
the hospital, retention facilities were used inpatient and outpatient medical records.
Inactive medical records were saved in separate rooms with active medical records and
sorted according to the last number of medical records.
Conclusion : We suggest the need for a Master Patient Index, suggest for records
retention schedule to be adjust on case by illness, and need to provide a rack for saving
the inactive medical records, so that the document neatly arranged, it can be used for the
preparation of medical records usage value.
Keywords : Retention, Inactive Medical Records, Filing
ABSTRAK
Latar Belakang : Rumah Sakit Bhayangkara Semarang di bagian filing pelaksanaan
retensinya hanya menggunakan tanggal terakhir pasien berobat dan tidak menggunakan
indeks penyakit, serta penyimpanan dokumen rekam medis inaktif disimpan di dalam
kardus berdasarkan nomor terakhir rekam medisnya. Dimana faktor penyebab
masalahnya antara lain tidak adanya kebijakan mengenai pelaksanaan retensi dan
penyimpanan dokumen rekam medis inaktif, sarana retensi, sarana penyimpanan
dokumen rekam medis inaktif, dan pengetahuan petugas filing. Hal ini berdampak pada
pelayanan dokumen rekam medis (DRM) bagian filing yaitu dari hasil pelaksanaan
retensi tidak bisa memilah kasus penyakit dan sistem penyimpanannya tidak membantu
persiapan nilai guna. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pelaksanaan retensi dan
penyimpanan dokumen rekam medis inaktif di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang.
Metode : Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan metode
pengumpulan data yaitu observasi dan wawancara. Subjek penelitian adalah 4 petugas
yang terdiri atas 2 petugas filing dan 2 petugas rekam medis pendaftaran. Objek
penelitian adalah pelaksanaan retensi dan sistem penyimpanan dokumen rekam medis
inaktif. Metode pengolahan data melalui tahap editing dan tabulasi yang kemudian
dilakukan analisis secara deskriptif.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan retensi belum sesuai dengan
SOP karena tidak menggunakan KIUP, kebijakan retensi dan penyimpanan dokumen
rekam medis inaktif yang belum ada. Di rumah sakit tidak menggunakan jadual retensi
yang mengikuti Surat Edaran Dirjen Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.1.5.01160
tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Formulir Rekam Medis Dasar Dan Pemusnahan
Arsip Rekam Medis Di Rumah Sakit, sarana retensi yang digunakan yaitu DRM pasien
rawat jalan dan kardus. Penyimpanan DRM inaktifnya tidak menggunakan rak
penyimpanan DRM, disimpan di ruangan yang terpisah dari ruang filing aktif dan
diurutkan sesuai nomor terakhir rekam medisnya.
Kesimpulan : Perlu adanya kebijakan retensi, perlu dibuat jadual retensi arsip, perlu
dibuat indeks penyakit untuk memudahkan dalam melihat kasus penyakit dan kunjungan
terakhir terkait pelaksanaan retensi, dan diperlukan rak penyimpanan DRM inaktif agar
tersusun dengan rapi yang selanjutnya digunakan untuk persiapan nilai guna rekam
medis.
PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan suatu tempat yang melayani pelayanan kesehatan dan
diselenggarakan secara perorangan paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, dan gawat darurat.[1] Kesembuhan serta pelayanan yang maksimal adalah
tujuan dari sebagian banyak rumah sakit yang ada. Maka dari itu setiap rumah sakit
selalu bekerja secara maksimal untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada
pasien, bukan hanya dari dokter atau perawat saja tetapi juga dari tenaga ahli kesehatan
lainnya seperti rekam medis. Pelayanan kesehatan yang berkembang di Indonesia
sangat beragam macamnya, diantaranya ada rumah sakit, puskesmas, dokter praktik
swasta, balai pengobatan, klinik 24 jam, dan dokter keluarga. Untuk menjalankan tugas
tersebut perlu didukung adanya unit – unit pembantu yang mempunyai tugas spesifik,
diantaranya adalah unit rekam medis yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan
data pasien menjadi informasi kesehatan yang berguna bagi pengambilan keputusan
selain itu juga mempunyai kewajiban administrasi untuk membuat dan memelihara rekam
medis pasien.[2] Adapun jenis pelayanan unit rekam medis yang ada di rumah sakit antara
lain Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Inap (TPPRI),Tempat Pendaftaran Pasien Rawat
Jalan (TPPRJ),Tempat Pendaftaran Pasien Gawat Darurat (TPPGD),Unit Rawat Inap
(URI), Unit Rawat Jalan (URJ), Unit Gawat Darurat (UGD),Instalasi Pemeriksaan
Penunjang (IPP), Assembling, Koding/Indeksing, Filing, dan Analising/Reporting.
Berdasarkan Permenkes RI No. 269/Menkes/PER/III/2008 yang dimaksud
rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan merupakan tulisan - tulisan
yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi mengenai tindakan - tindakan yang dilakukan
kepada pasien dalam rangka palayanan kesehatan.[3] Dan setiap rumah sakit atau
pelayanan kesehatan lainnya wajib terdapat rekam medis karena juga sebagai bukti
pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada pasien dan perekam medis dilarang
memberi tahu isi dari dokumen pasien kepada siapapun karena dokumen rekam medis
yang bersifat rahasia seperti yang diatur dalam PP No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib
Simpan Rahasia Kedokteran. Peraturan Pemerintah ini mengatur kewajiban menyimpan
kerahasiaan isi rekam medis.[4]
Retensi atau penyusutan dokumen rekam medis yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan untuk memisahkan antara dokumen rekam medis yang masih aktif dan inaktif.
Tujuan dilakukannya retensi adalah untuk mengurangi beban penyimpanan dokumen
rekam medis yang ada serta menyiapkan penilaian nilai guna dokumen rekam medis
untuk kemudian diabadikan atau dimusnahkan. Dokumen rekam medis (DRM) yang
sudah diretensi disimpan di ruangan terpisah dari dokumen rekam medis yang masih
aktif. Sebelum melakukan retensi perlu disusun jadual retensi berdasarkan surat edaran
Direktorat Jendral Pelayanan Medik tentang pemusnahan rekam medis. Adapun
landasan hukum yang digunakan dalam penyelenggaraan sistem pengabadian dan
pemusnahan yaitu Permenkes 269 tahun 2008 tentang rekam medis dan Surat Edaran
Direktorat Jendral Pelayanan Medik No. HK. 00. 06. 1. 5. 01160 tahun 1995 tentang
Petunjuk Teknis Pengadaan Formulir Dasar Rekam Medis dan Pemusnahan Rekam
Medis di Rumah Sakit.[5]
Berdasarkan hasil survei awal diketahui Rumah Sakit Bhayangkara Semarang
telah melakukan retensi sejak tahun 2013 dan menurut hasil observasi survei awal
keluhan mengapa baru dilakukan retensi dari tahun tersebut karena sumber daya
manusia yang kurang memadai. Adapun pelaksanaan retensinya yaitu menggunakan
kartu berobat rawat jalan dan tidak dilakukan pencatatan untuk bukti bahwa sudah
dilakukannya retensi terhadap dokumen rekam medis (DRM) pasien tersebut. Retensi
yang dilakukan juga tidak menggunakan jadual retensi arsip dan tidak dipisahkan
berdasarkan penggolongan penyakit, sehingga saat melakukan retensi membutuhkan
waktu yang cukup lama karena mengambil kartu berobat rawat jalan dari rak
penyimpanan dan memilahnya satu persatu untuk retensi tersebut, serta dilakukan
dengan melihat dari bulan dan tahun terakhir saja dan dilakukan tanpa menggunakan
indeks penyakit. Setelah dilakukan retensi yaitu untuk penyimpanan dokumen rekam
medis (DRM) inaktif dimasukkan ke dalam kardus yang sudah tidak terpakai dan
penyimpanannya belum dipisahkan dengan dokumen rekam medis (DRM) pasien yang
masih aktif. Sistem penyimpanan dokumen rekam medis di Rumah Sakit Bhayangkara
Semarang menggunakan sistem desentralisasi, sistem penyimpanannya dengan
memisahkan dokumen rekam medis pasien rawat jalan, rawat inap dan rawat darurat
pada folder tersendiri. Sehingga berbeda dalam jangka waktu penyimpanan dokumen
rawat jalan dengan dokumen rawat inap. Dokumen rawat inap lebih lama waktu
penyimpanannya karena dibutuhkan dalam persiapan nilai guna, sedangkan dokumen
rawat jalan akan semuanya dimusnahkan dan diperlukan KIUP guna keperluan retensi
DRM. Dan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang tidak memiliki kebijakan mengenai
pelaksanaan retensi dan sistem penyimpanan dokumen rekam medis inaktif, mengingat
kebijakan itu penting guna menjadi pedoman atau dasar rencana untuk menentukan dan
melaksanakan suatu pekerjaan dalam mencapai tujuan.
Berdasarkan pelaksanaan retensi tersebut maka dapat ditemukan masalah
dalam pelaksanaan retensi hanya menggunakan tanggal terakhir pasien berobat dan
tidak dikelompokkan berdasarkan jenis penyakit, serta penyimpanan dokumen rekam
medis inaktif disimpan di dalam kardus berdasarkan nomor rekam medisnya. Dimana
faktor penyebab masalahnya antara lain kebijakan mengenai pelaksanaan retensi dan
penyimpanan dokumen rekam medis inaktif, sarana retensi, sarana penyimpanan
dokumen rekam medis inaktif, dan pengetahuan petugas filing.
Hal ini berdampak pada pelayanan dokumen rekam medis (DRM) bagian filing
yaitu dari hasil pelaksanaan retensi tidak bisa memilah kasus penyakit dan sistem
penyimpanannya tidak membantu persiapan nilai guna.
TUJUAN PENELITIAN
Menganalisis pelaksanaan retensi dan penyimpanan dokumen rekam medis inaktif filing
rawat jalan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang. Dengan Tujuan Khusus :
a. Mendeskripsikan pelaksanaan retensi di rumah sakit.
b. Mengidentifikasi prosedur retensi di rumah sakit / protap.
c. Mengidentifikasi jadual retensi arsip (JRA).
d. Mengidentifikasi sarana retensi.
e. Mendeskripsikan sistem penyimpanan DRM inaktif di rumah sakit.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk memberikan gambaran atau
deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Metode yang digunakan adalah
observasi dan wawancara yaitu dengan menggambarkan pelaksanaan retensi dan
penyimpanan dokumen rekam medis inaktif filing rawat jalan kepada petugas rekam
medis dan petugas filing rawat jalan.
Populasi penelitian ini terdiri dari subyek yaitu petugas rekam medis sebanyak 2
orang dan petugas filing rawat jalan sebanyak 2 orang di Rumah Sakit Bhayangkara
Semarang tahun 2016. Sedangkan objek penelitian adalah pelaksanaan retensi dan
sistem penyimpanan dokumen rekam medis inaktif tahun 2015 di Rumah Sakit
Bhayangkara Semarang. Instrumen yang digunakan yaitu pedoman observasi dan
pedoman wawancara. Digunakan analisa deskriptif untuk menggambarkan keadaan
sebenarnya sehingga berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat diambil kesimpulan
tentang pelaksanaan retensi dan penyimpanan dokumen rekam medis inaktif filing rawat
jalan di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang tahun 2016.
HASIL PENELITIAN
1. Retensi
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan retensi di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang belum sesuai dengan SOP
karena tidak menggunakan KIUP, jadual retensi arsip yang tidak mengelompokkan
berdasarkan kasus penyakitnya, dan dan tidak menggunakan bukti pencatatan retensi
DRM rawat jalan. Untuk kebijakan mengenai pelaksanaan retensi tidak ada, serta tahun
terakhir pelaksanaan retensi yaitu tahun 2015 dimana dokumen rekam medis yang
diretensi adalah dokumen rekam medis sampai tahun 2009. Untuk tahun 2010 dan
selanjutnya belum dilakukan retensi dan mungkin akan dilakukan akhir tahun 2016.
Terdapat kendala dalam pelaksanaan retensi antara lain butuh waktu, butuh tempat, dan
butuh tenaga.
Menurut Depkes RI, penyusutan dokumen rekam medis adalah suatu kegiatan
pengurangan arsip dari rak penyimpanan dengan cara :
a. Memindahkan berkas rekam medis inaktif dari rak aktif ke rak inaktif.
b. Memikrofilmisasi berkas rekam medis inaktif.
c. Memusnahkan berkas rekam medis yang telah dimikrofilmkan.[6]
Sebelum melakukan retensi perlu disusun jadual retensi berdasarkan Surat
Edaran Dirjen Pelayanan Medik No.HK.00.06.1.5.10.373 Tentang Petunjuk Teknis
Pemusnahan Arsip Rekam Medis Di Rumah Sakit.[5]
Menurut penelitian Dini Nur Indah Purwanti, pelaksanaan retensi dokumen
rekam medis aktif rawat inap tahun 2012 di RSUD Kota Semarang didapatkan hasil yaitu:
a) Dokumen dipilih dan disortir dari rak penyimpanan aktif dengan melihat kunjungan
terakhir pasien berobat.
b) Setiap satu bendel dokumen dapat diikat dengan tali, sehingga mudah dalam
penataan.
c) Dokumen ditata kembali di rak penyimpanan terakhir dengan ditumpuk tetapi
menggunakan sistem Terminal Digit Filling (TDF), agar memudahkan dalam
pencarian apabila ada yang memerlukan untuk riset atau penelitian.
d) Dokumen dicatat dalam daftar dokumen rekam medis yang dipindahkan dari aktif ke
inaktif.
Tetapi dalam pelaksanaan retensi di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang yaitu
belum terdapat dokumen pencatatan retensi yang sudah dipindahkan dari file yang aktif
ke inaktif, sehingga dampaknya tidak mempunyai bukti bahwa dokumen rekam medisnya
sudah diretensi dan tidak dapat mengetahui jumlah pengeluaran atau banyaknya
dokumen rekam medis yang dipindahkan dari aktif ke inaktif.
2. Standar Operasional Prosedur Retensi
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi terkait prosedur tetap retensi di
Rumah Sakit Bhayangkara Semarang, bahwa hanya ada standar operasional prosedur
tetapi tidak terdapat kebijakan untuk pelaksanaan retensi sehingga tidak dapat
mengetahui ketetapan pelaksanaan retensi.
Prosedur tetap merupakan rangkaian tugas yang saling berhubungan dan punya
urutan – urutan tugas menurut waktu dan tata cara tertentu untuk melaksanakan suatu
pekerjaan yang dilaksanakan berulang – ulang yang berarti prosedur adalah suatu tata
kerja atau kegiatan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan urutan waktu dan memiliki
pola kerja yang tetap dan telah ditentukan.[7]
Kebijakan kesehatan merupakan sekumpulan keputusan yang dibuat pemerintah
berhubungan dengan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal.[8] Kebijakan – kebijakan tersebut dapat memuat pelaksanaan
pelayanan kesehatan yang dilakukan sesuai dengan alur prosedurnya termasuk dalam
pelaksanaan retensi dan sistem penyimpanan dokumen rekam medis inaktif di rumah
sakit. Dimana protap dan kebijakan juga penting dalam pelaksanaan retensi yaitu
sebagai dasar rencana dan pedoman yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan
retensi dan untuk menyelesaikan pekerjaan yang memiliki pola yang telah ditentukan.
3. Jadual Retensi Arsip ( JRA )
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan petugas rekam medis
terkait jadual retensi arsip di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang, bahwa di rumah sakit
terdapat jadual retensi arsip tetapi tidak mengelompokkan berdasarkan kasus
penyakitnya karena jangka waktu untuk retensi sama semua yaitu 5 tahun tanpa
membedakan kelompok penyakit pasien. Terdapat dalam surat edaran Dirjen Pelayanan
Medik Nomor HK.00.06.1.5.01160 tertanggal 21 Maret 1995 tentang Petunjuk Teknis
Pengadaan Formulir Rekam Medis Dasar Dan Pemusnahan Arsip Rekam Medis Di
Rumah Sakit, untuk pertama kalinya sebelum melakukan proses retensi harus terlebih
dahulu ditetapkan jadual retensi arsip rekam medis.[5]
Dampak bagi Rumah Sakit Bhayangkara Semarang dari pelaksanaan retensi
yang tidak mengelompokkan berdasarkan kasus penyakitnya yaitu akan sulit dalam
memilah kasus penyakitnya yang juga digunakan untuk daftar yang memuat kebijakan
seberapa jauh dokumen rekam medis dapat disimpan atau dimusnahkan.
4. Sarana Retensi
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan petugas rekam medis
terkait sarana yang digunakan untuk retensi di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang,
bahwa sarana yang digunakan hanya DRM pasien rawat jalan, kardus, gudang atau
tempat penyimpanan DRM inaktif, serta tidak terdapat pencatatan retensi DRM rawat
jalan, adanya pencatatan retensi hanya terdapat untuk rawat inapnya.
Sarana retensi yang diperlukan yaitu Kartu Indeks Identitas Utama Pasien
(KIUP), register rawat jalan, tracer, buku pencatatan retensi DRM. Kartu Identitas Utama
Pasien disebut juga Master Patient Index (MPI) merupakan indeks yang berisi data pokok
mengenai identitas pasien yang digunakan untuk mengidentifikasi semua pasien yang
pernah berobat. Indeks ini sering dalam wujud kartu. Register rawat jalan merupakan
catatan pendaftaran pasien yang meliputi identitas pasien, jenis poli, dan nomor rekam
medis. Register rawat jalan juga dapat digunakan untuk melihat kunjungan terakhir
pasien pada tahun berapa, sekiranya sudah 5 tahun tidak berkunjung maka DRM pasien
tersebut sudah dapat diretensi. Tracer atau kartu petunjuk keluar merupakan kartu yang
digunakan untuk mengganti DRM yang diambil untuk digunakan berbagai keperluan.
Setiap DRM yang diambil dari rak file maka pada tracer harus dicatat nomor rekam
medisnya, tanggal peminjaman / pengambilan, nama peminjam / penerima, untuk apa
dan dimana (unit pelayanan apa), digunakan oleh siapa, nomor surat ijin (bila
diperlukan). Tracer juga dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa DRM tersebut sudah
diretensi atau untuk mengetahui bahwa DRM sudah di inaktifkan dan berada di ruang
penyimpanan terpisah dari penyimpanan DRM aktif.[10] Buku pencatatan DRM yang
dipindahkan dari aktif ke inaktif merupakan buku yang berisi catatan identitas pasien
yang telah diretensi. DRM yang telah diambil dari rak file aktif kemudian dicatat ke dalam
buku tersebut yang berisikan no RM, no urut, diagnosa, kodediagnosa, tanggal
pemindahan. Gunanya untuk mengetahui pengeluaran / jumlah DRM yang akan
dipindahkan dari yang aktif ke inaktif, serta sebagai bukti bahwa DRM tersebut telah
dipindahkan dari rak file yang aktif ke inaktif.[11]
Dampak dari sarana retensi yang belum memadai yaitu tidak memudahkan
petugas rekam medis dan petugas filing rawat jalan dalam melakukan kegiatan retensi,
karena KIUP termasuk sarana yang digunakan untuk retensi DRM rawat jalan guna
memudahkan melihat tanggal kunjungan terakhir pasien tanpa harus melihat satu persatu
DRM rawat jalannya yang akhirnya membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk
memilah DRM inaktif.
5. Penyimpanan Dokumen Rekam Medis Inaktif
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan petugas filing rawat jalan di
Rumah Sakit Bhayangkara Semarang dapat disimpulkan bahwa sistem penyimpanan
DRM inaktif disimpan diruangan yang terpisah dari penyimpanan DRM yang masih aktif.
Disimpan dengan mengurutkan nomor terakhir pasien dan diikat dijadikan satu kemudian
dibendel, penyimpanannya tidak menggunakan rak penyimpanan DRM.
Menurut penelitian Dini Nur Indah Purwanti bahwa penyimpanan DRM inaktif
ditumpuk berdasarkan jenis penyakit sehingga memudahkan dalam pelaksanaan terkait
nilai guna rekam medis. Dengan keadaan yang seperti itu menurut teori dalam
penyimpanan DRM inaktif juga diperlukannya sarana yang memadai dan sesuai guna
menunjang dalam pelaksanaan nilai guna tersebut.[9]
SIMPULAN
1. Retensi
Pelaksanaan retensi di rumah sakit belum sesuai dengan SOP karena retensi
tidak memilah berdasarkan kasus penyakitnya dan tidak ada bukti pencatatan retensi
DRM rawat jalan.
2. Standar Operasional Prosedur Retensi
Standar operasional prosedur retensi di rumah sakit belum terdapat kebijakan
tentang retensi, sehingga tidak mengetahui ketetapan pelaksanaan retensi.
3. Jadual Retensi Arsip ( JRA )
Di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang sudah terdapat jadual retensi arsip
(JRA) hanya saja tidak menggolongkan berdasarkan jenis penyakit pasien sehingga
apapun penyakit pasien maka akan diretensi dengan jangka waktu 5 tahun semua.
4. Sarana Retensi
Sarana retensi di rumah sakit yaitu DRM pasien rawat jalan, kardus, gudang
atau tempat penyimpanan DRM inaktif serta tidak menggunakan bukti pencatatan bahwa
DRM pasien sudah di retensi.
5. Penyimpanan Dokumen Rekam Medis Inaktif
Penyimpanan dokumen rekam medis inaktif di rumah sakit yaitu dengan
menyimpan DRM yang sudah diretensi dengan mengurutkan berdasarkan nomor terakhir
pasien dan penyimpanan DRM tidak menggunakan rak penyimpanan DRM.
SARAN
1. Sebaiknya sehubungan dengan pelaksanaan retensi diperlukan kebijakan yang
mengatur tentang pelaksanaan retensi agar dapat menjadi pedoman dan ketetapan
dalam pelaksanaan retensi yang lebih baik.
2. Terkait jadual retensi arsip sebaiknya Rumah Sakit Bhayangkara Semarang
digolongkan berdasarkan kasus penyakitnya yang berguna untuk memudahkan dalam
memilah kasus penyakitnya yang juga digunakan untuk daftar yang memuat kebijakan
seberapa jauh dokumen rekam medis dapat disimpan atau dimusnahkan.
3. Sarana retensi di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang sebaiknya menggunakan
KIUP untuk memudahkan melihat tanggal berobat terakhir pasien, menggunakan
tracer untuk menandai bahwa DRM pasien sudah berada di rak file inaktif,
menggunakan bukti pencatatan DRM yang dipindahkan dari aktif ke inaktif sebagai
bukti bahwa DRM tersebut sudah di retensi dan berapa banyak dokumen rekam medis
pasien yang sudah di retensi pada tahun tersebut.
4. Penyimpanan dokumen rekam medis inaktif di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang
sebaiknya perlu menggunakan rak penyimpanan DRM untuk persiapan nilai guna
rekam medis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Jakarta. 2009.
2. Savitri Citra Budi, Manajemen Unit Kerja Rekam Medis, Quantum Sinergis
Media.Yogyakarta, 2011.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 269/Menkes/PER/III/2008,
Rekam Medis, Jakarta, 2008.
4. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Surat Edaran Direktorat Jendral
Pelayanan Medik No. HK. 00. 06. 1. 5. 01160 Tentang Petunjuk Teknis Pengadaan
Formulir Dasar Rekam Medis dan Pemusnahan Rekam Medis di Rumah Sakit,
Jakarta, 1995.
6. Siti Soleha, Penyusutan Arsip Rekam Medis :Studi Kasus Rumah Sakit Haji Jakarta.
Program Studi Ilmu Perputakaan,Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia Depok, 16424.
7. Hasibuan, M.S.P. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara. 2000.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Kebijakan dan Strategi Desentralisasi
Bidang Kesehatan, Jakarta, 2003.
9. Dini, Nur Indah Purwanti, Tinjauan Pelaksanaan Retensi Dokumen Rekam Medis
Aktif Rawat Inap Pada Tahun 2012 Di RSUD Kota Semarang. Karya Tulis Ilmiah,
Fakultas Kesehatan. 2009.
10. Deta, Prihatna Sectio, Tinjauan Pelaksanaan Retensi DRM Non Aktif Di Filing
Rumah Sakit Permata Bunda Purwodadi Tahun 2015. Karya Tulis Ilmiah, Fakultas
Kesehatan. 2015.
11. Mirah, Pujianti Dwi, Tinjauan Pelaksanaan Retensi Dokumen Rekam Medis Aktif Di
RSUD Sunan Kalijaga Demak. Karya Tulis Ilmiah, Fakultas Kesehatan. 2013.