Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif
Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif
M. Erfan Riadi1
e-mail : [email protected]
ABSTRACT
       The recent phenomena showed many organization and law institution with syari’ah
       based did its activities according to law in a fatwa product from Islamic Scholar
       Association of Indonesia, then the fatwa product also caused controversy among
       society, in this case, our country was a law country who has arranged and legal
       regulation base. The research purposes: to find out how is the fatwa concept in Islamic
       law according to the Islamic Scholar’s perspective? And also to find out how the fatwa
       position in Islamic Law and Positive Law in Indonesia? The research used normative
       legal research with normative juridical approach, which seen law as developed norms
       and existed in society. Law material used was primary law material, that was law source
       with direct relation with the research did; secondary law, that was supporting primary
       law and tertiary law which gave direction and explanation about primary and secondary
       law source. Law source collection technique used literatures. Then law source analysis
       used was comparative analysis, which compared the fatwa existence in Islamic Law and
       Positive law. The exact result showed that fatwa was not a tight law product, so it has
       no position in Islamic Law and positive law, so it never be a law base, since fatwa only
       unbinding advice (legal opinion).
       Kata-kata Kunci :
       Fatwa (Islamic Instruction), Fatwa Position, Islamic Law, Positive Law
M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis     469
Normatif)
diriwayatkan oleh Abud Daud dan Tirmidzi            permasalahan yang terjadi, agar apa yang
bahwa “ulama merupakan ahli waris para              mereka fatwakan tidak terjadi kesalahan. Ibnu
Nabi” dalam menyampaikan hukum syariat,             Mas’ud juga menegaskan bahwa seseorang yang
mengajar manusia, dan memberi peringatan            sering memberikan fatwa, padahal ia tidak
kepada mereka agar sadar dan berhati-hati.          menguasai bahkan ia tidak dimintai fatwa oleh
(Qardhawi, 1997:13)                                 orang lain, maka ia termasuk kategori orang
      Secara hakikat, fatwa menurut pandangan       gila.
Ibnu Taimiyah pada dasarnya tidak terkait                 “Barang siapa memberi fatwa tanpa
kepada sesuatu apapun (fatwa tidak mengenal         berdasarkan ilmu, maka dosanya ditanggung
sistem     paket/sponsor)     kecuali      hanya    oleh orang yang memberi fatwa kepadanya.”
mendasarkan diri pada dalil-dalil nash syari’ah     (HR. Ibnu Majah)
(al-Qur’an dan al-Hadist) serta aqidah-aqidah             Pada umumnya ulama salaf menolak
yang umum (ushul fiqih dan qawaidul fiqh).          secara tegas terhadap fatwa yang dikeluarkan
      Pada umumnya ulama salaf              tidak   oleh orang yang kurang luas pengetahuan dasar
berlebihan dalam mengeluarkan fatwa, akan           agamanya atau dengan kata lain fatwa tersebut
tetapi demi kehati-hatian ulama salaf seringkali    dikeluarkan oleh orang-orang yang bukan
menyatakan bahwa mereka tidak tahu tentang          ahlinya. Ulama salaf berpandangan bahwa
permasalahan yang terjadi. Hal ini merupakan        orang yang bukan ahlinya dan tidak memenuhi
ungkapan dari seorang ulama salaf terhadap          syarat sebagai mufti dan ia mengeluarkan fatwa,
sesuatu yang memang mereka belum paham dan          maka wajib ditolak dan diingkari agar tidak
belum mengetahui secara pasti. (Ensiklopedi         menyesatkan ummat. (Rohadi, 1991:25)
Islam, 1994:117)                                          Para ulama salaf telah menetapkan bahwa
      Pernah seorang laki-laki bertanya kepada      seseorang yang mengeluarkan fatwa, sedang ia
Imam Malik tentang suatu masalah, lalu ia           belum termasuk kategori seseorang yang ahli
berkata, ‘Ilmu itu lebih luas dari sekedar          dalam berfatwa, maka orang tersebut sebetulnya
masalah ini.” Lalu seorang berkata, ‘Kalau          telah melakukan dosa dan bermaksiat kepada
engkau Ayah Abdullah, mengatakan tidak tahu,        Allah SWT, Rasul-Nya dan juga berdosa kepada
maka siapa siapakah yang tahu?” Maka Imam           ummat manusia. Dengan demikian sudah
Malik balik bertanya, “ aduh kasihan engkau,        barang tentu fatwa yang ia keluarkan batal dan
apa yang engkau ketahui tentang aku ini? Dan        orang tersebut termasuk orang yang durhaka.
bagaimana sebenarnya aku ini? Dan bagaimana               Ibnu Qayyim berpendapat bahwa:
kedudukanku sehingga aku harus mengetahui           “Mereka (yang memberi fatwa padahal tidak
segala     sesuatu     yang     kalian      tidak   berkelayakan untuk memberi fatwa) sama
mengetahuinya?” Kemudian dia berargumentasi         halnya dengan orang yang menunjukan arah
dengan hadits Ibnu Umar yang menyatakan:            perjalanan padahal dia sendiri tidak mengetahui
“Aku tidak tahu.” Maka, katanya selanjutnya”        jalannya, atau seperti orang yang tidak mengerti
Siapakah aku? Sesungguhnya yang merusak             ilmu kedokteran tetapi nekat melakukan praktik
manusia itu adalah sikap ujub (bangga diri) dan     kedokteran. Bahkan mufti yang demikian itu
mencari popularitas, sedang sedikit sekali orang    lebih jelek keadaannya dari pada mereka”.
yang tidak bersikap seperti itu.” Pada                    Ibnu Qayyim juga berpendapat bahwa
kesempatan lain Imam Malik berkata, “Umar           ketetapan seorang pemimpin/ seorang yang
Ibnul Khattab pernah diuji dengan pertanyaan-       memiliki kekuasaan cenderung ditolak oleh
pertanyaan semaccam ini, lalu ia tidak              orang banyak (kebanyakan pimpinan yang
menjawabnya. Ibnu Zubeir juga mengatakan,           kurang dan tanpa didasari oleh nilai-nilai agama
‘Aku tidak tahu.’ Demikian pula Ibnu Umar           dianggap kurang mantap dan kurang
mengatakan,’Aku tidak tahu.”                        bertanggungjawab, maka fatwanya cenderung
      Ulama salaf lebih menekankan kepada           ditinggalkan oleh masyarakat). Kondisi di atas
kemampuan seseorang untuk mengeluarkan              menunjukan bahwa seseorang yang berani
fatwa, orang yang mengeluarkan fatwa harus          memberikan fatwa, namun tidak memiliki
memiliki pengetahuan dan kemampuan terhadap         pengetahuan agama dan pengetahuan umum
M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis       471
Normatif)
      Fatwa menempati kedudukan penting             Pendekatan ini seiring dengan berkembangnya
dalam hukum Islam, karena fatwa merupakan           kajian perbandingan antara mazhab. Adapun
pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum           fatwa-fatwa yang terjadi saat ini, ada yang
Islam (fuqaha) tentang kedudukan hukum suatu        merupakan fatwa fardiah (individual), tetapi
masalah baru yang muncul di kalangan                lebih banyak yang bersifat konsultatif,
masyarakat. Ketika muncul suatu masalah baru        koneksitas atau kadang bersifat kolektif dan
yang belum ada ketentuan hukumnya secara            melembaga        seperti     fatwa organisasi
eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an, as-        kemasyarakatan. Kemudian untuk mengetahui
Sunnah dan ijma’ maupun pendapat-pendapat           kedudukan fatwa dalam sumber hukum Islam,
fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan salah        khususnya fatwa organisasi kemasyarakatan
satu institusi normatif yang berkompeten            maka ada beberapa hal yang perlu untuk
menjawab atau menetapkan kedudukan hukum            dijelaskan, sebagai berikut:
masalah tersebut. Karena kedudukannya yang
dianggap dapat menetapkan hukum atas suatu          a.    Korelasi Fatwa dan Ijtihâd
kasus atau masalah tertentu, maka para sarjana             Ijtihâd merupakan pengerahan segala
Barat ahli hukum Islam mengkategorikan fatwa        kesanggupan seorang faqih (ahli hukum Islam)
sebagai jurisprudensi Islam.                        untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum
      Sehubungan dengan hal di atas, maka           sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam
fatwa bisa diartikan sebagai penjelasan hukum       istilah inilah, ijtihâd lebih banyak dikenal dan
syariat atas persoalan tertentu, sehingga kaedah    digunakan bahwa banyak para fuqaha yang
pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan              menegaskan bahwa ijtihâd itu bisa dilakukan di
kaedah menggali hukum-hukum syariat dari            bidang hukum Islam. Ijtihâd dapat diartikan
dalil-dalil syariat (ijtihâd). Pasalnya, satu-      juga sebagai usaha yang sungguh-sungguh
satunya cara untuk mengetahui hukum syariat         (beberapa orang) ulama tertentu, yang memiliki
dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihâd,     syarat-syarat tertentu, untuk merumuskan
dan tidak ada cara lain. Oleh karena itu, seorang   kepastian atau penilaian hukum mengenai
mufti (pemberi fatwa) tidak ubahnya dengan          sesuatu atau beberapa perkara, yang tidak
seorang mujtahid yang mencurahkan segala            terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit
kemampuannya untuk menemukan hukum dari             dan positif, baik dalam al-Qur’an maupun al-
sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan             Hadits. Fungsi ijtihâd sebagai salah satu sumber
Hadist.                                             hukum Islam adalah sebagai dinamisator.
      Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi             Dengan        kata lain, ijtihâd adalah
tabyîn dan tawjîh. Tabyîn artinya menjelaskan       pengerahan segala kesanggupan seorang faqih
hukum yang merupakan regulasi praksis bagi          (ahli hukum Islam) untuk memperoleh
masyarakat, khususnya masyarakat yang               pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui
memang mengharapkan keberadaannya. Taujîh,          dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah,
yakni memberikan guidance (petunjuk) serta          ijtihâd lebih banyak dikenal dan digunakan
pencerahan kepada masyarakat luas tentang           bahwa banyak para fuqaha yang menegaskan
permasalahan agama yang bersifat kontemporer.       bahwa ijtihâd itu bisa dilakukan di bidang
      Fungsi tabyin dan tawjih fatwa terikat        hukum Islam.
dalam fungsi keulamaan, sehingga fatwa                     Berbicara tentang fatwa, tidak terlepas
syar’iyah yang telah dikeluarkan sejak generasi     dari bahasan dan keberadaan ijtihâd dengan
sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan generasi       segala perangkatnya yang ada. Hal ini
sesudahnya hingga generasi ulama sekarang.          disebabkan karena fatwa diberikan untuk
Karakteristik fatwa klasik lebih bersifat           kepentingan masyarakat umum, setelah
individual dan mandiri, kemudian dalam era          memenuhi syarat-syarat yang terkait dengan
mazhab fatwa-fatwa yang dibuat berada dalam         fatwa. Fatwa dikeluarkan oleh para ulama/ahli
lingkup mazhab fiqh tertentu. Sedangkan fatwa       hukum Islam yang mampu mengangkat
kontemporer sering bersifat lintas mazhab atau      permasalahan tentang keagamaan maupun
paduan      (taufîq)   antar     mazhab-mazhab.     tentang non keagamaan (seperti kedokteran, dan
M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis        473
Normatif)
oleh pelaku yang berbeda pada waktu dan             dipertanyakan oleh peminta fatwa (mustafti) dan
tempat yang berlainan pula sehingga hasil           kemudian akan ditetapkan sebuah hukum secara
temuan hukumnya dimungkinkan ada perbedaan          bersama-sama, dan tidak dilakukan secara
antara satu kegiatan ijtihâd jama’i (ijtihâd        individual.
kolektif) dengan yang lainnya, meskipun                   Berdasarkan sumber hukum yang berlaku
terhadap masalah-masalah yang sama. Akan            dalam sistem hukum nasional, yakni dalam
tetapi sebaliknya ijma’ tidak memberikan            sistem hukum nasional secara formal terdapat
kesempatan untuk berbeda pendapat karena            lima sumber hukum, adapun sumber hukum
semua ulama telah sepakat (Fathurrahman,            tersebut sebagai berrikuti: undang-undang,
1997:40).                                           kebiasaan, putusan hakim (yurisprudensi),
                                                    traktat, serta doktrin (pendapat pakar pakar/ahli
Kedudukan fatwa menurut hukum positif               hukum). Kemudian untuk dapat mengetahui tata
Indonesia                                           urutan peraturan perundang-undangan yang
       Fatwa dalam bab sebelumnya telah             berlaku di Indonesia, maka bisa dilihat dalam
dijelaskan bahwa fatwa menurut arti bahasa          undang-undang no 10 tahun 2004 tentang
(lughawi) adalah suatu jawaban dalam suatu          peraturan perundang-undangan, tepatnya dalam
kejadian (memberikan jawaban yang tegas             pasal 7 sebagai berikut: Undang-Undang Dasar
terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam        1945, undang-undang/peraturan pemerintah
masyarakat). Menurut Imam Zamahsyari dalam          pengganti         undang-undang,       peraturan
bukunya “al-kasyaf” pengertian fatwa adalah         pemerintah, peraturan presiden, peraturan
suatu jalan yang lapang/lurus. Dalam bahasa         daerah, yang meliputi: peraturan daerah
arab al-fatwa; jamaknya fatâwa artinya petuah,      provinsi,      peraturan    daerah,   kabupaten/
nasehat, jawaban atas pertanyaan yang bertalian     kota, peraturan desa.
dengan hukum Islam. Dalam ilmu ushul fiqh,                Sumber hukum positif dalam sistem
fatwa itu berarti pendapat yang dikemukakan         hukum nasional di atas dan dalam tata urutan
seorang mujtahid atau fiqih (mufti) sebagai         peraturan perundang-undangan, sebagaimana
jawaban atas permintaan yang diajukan oleh          telah disebutkan dalam Undang-Undang No 10
peminta fatwa (mustafti) dalam suatu kasus          Tahun 2004 tentang peraturan perundang-
yang sifatnya tidak mengikat, maksudnya             undangan, tidak menyebutkan fatwa sebagai
adalah pihak yang meminta fatwa tersebut baik       bagian dari dasar hukum di negara ini, sehingga
pribadi,     lembaga,      maupun      kelompok,    fatwa tidak dapat dijadikan sebagai landasan
masyarakat , tidak mesti harus mengikuti fatwa      hukum.
tersebut, karena fatwa tersebut tidak mempunyai           Fatwa hanya sebagai suatu pendapat atau
daya ikat. Sedangkan fatwa menurut arti syari’at    nasehat yang disampaikan oleh para ahli hukum
ialah suatu penjelasan hukum syar’iyah dalam        Islam yang tergabung dalam suatu wadah
menjawab suatu perkara yang diajukan oleh           organisasi, seperti MUI, Muhammadiyah, NU,
seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu        Persis, dan lembaga lainnya. Sehingga fatwa
jelas/terang atau tidak jelas (ragu-ragu) dan       dapat dikorelasikan dengan sumber hukum
penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan        formal dalam sistem hukum nasional, yakni
yakni kepentingan pribadi dan kepentingan           kedudukan fatwa sama dengan doktrin yang
masyarakat banyak.                                  merupakan pendapat pakar atau pendapat para
       Dari hal di atas dapat digambarkan bahwa     ahli di bidang hukum positif.
fatwa adalah sebuah pendapat atau nasehat dari            Dalam praktik, doktrin (pendapat ahli
seorang mujtahid atau mufti, sebagai jawaban        hukum) banyak mempengaruhi pelaksanaan
atas pertanyaan dan permintaan yang diajukan        administrasi Negara, demikian juga dalam
oleh peminta fatwa (mustafti) terhadap suatu        proses pengadilan. Seorang hakim diperkenan-
kasus yang sifatnya tidak mengikat. Dalam           kan menggunakan pendapat ahli untuk dijadikan
memberikan fatwa, para ulama melakukan              sebagai pertimbangan hakim dalam memutus
langkah secara kolektif, melakukan musyawarah       sebuah perkara, kemudian bagi seorang
untuk      menyoroti       permasalahan     yang    pengacara/pembela yang sedang melakukan
M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis      475
Normatif)
mengambil fatwa yang sama atau meminta
fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.            Abdurrahman, Asmuni. (2004). Fatwa Majelis
      Adapun kedudukannya dalam sistem                      Ulama tentang Amaliyah Istisyhadiyah
hukum Islam adalah fatwa saat ini merupakan                 (Bom Bunuh Diri). Dalam Suara
hasil dari ijtihâd kolektif. Akan tetapi tidak bisa         Muhammadiyah No. 03 Thn ke-89, 1-5
serta merta dapat dipersamakan dengan ijma’,                Februari.
karena para ulama yang berperan dalam ijtihâd         Ade, Maman Suherman. (2004). Pengantar
kolektif tersebut tidak meliputi seluruh ulama              Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT
yang menjadi persyaratan bagi suatu ijmâ’,                  RajaGrafindo Persada.
karena kegiatan ijtihâd jama’i (ijtihâd kolektif)     Amir , Mu’alim dan Yusdani. (2005). Ijtihâd
ini dimungkinkan untuk dilakukan beberapa kali              dan Legislasi Muslim Kontemporer.
oleh pelaku yang berbeda pada waktu dan                     Yogyakarta: UII Press.
tempat yang berlainan pula sehingga hasil             Ash Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. (1997).
temuan hukumnya dimungkinkan ada perbedaan                  Pengentar Hukum Islam. Semarang: PT.
antara satu kegiatan ijtihâd jama’i (ijtihâd                Pustaka Rizki Putra.
kolektif) dengan yang lainnya, meskipun               Bambang, Sunggono. (1997). Metode Penelitian
terhadap masalah-masalah yang sama. Akan                    Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo
tetapi sebaliknya ijmâ’ tidak memberikan                    Persada.
kesempatan untuk berbeda pendapat karena              Djazuli dan Aen, Nurol. (2000). Ushul Fiqh:
semua ulama telah sepakat, sehingga fatwa                   Metodologo Hukum Islam. Jakarta: PT
bukan merupakan ijmâ’, dan dimungkinkan bagi                Raja Grafindo Persada.
masyarakat untuk menerima atau tidak sebuah           Ensiklopedi Islam jilid II dan VI. (1994).
fatwa.                                                      Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
      Sedangkan kedudukannya dalam sistem             Fatah, Abdul, dan Rohadi. (1991). Analisis
hukum positif Indonesia adalah bahwa                        Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam.
berdasarkan sumber hukum dalam sumber                       Bumi Jakarta: Aksara Jakarta.
hukum nasional, yang terdiri dari undang-             Hakikat fatwa dalam pandangan ahlus, diakses
undang, kebiasaan, keputusan pengadilan                     pada tanggal 1 April 2010.
(yurisprudensi), traktat (perjanjian antar negara),         http://mkbogor.blogspot.com .
doktrin (pendapat pakar/ahli hukum), dan              Hazairin. (1968). Hukum Kekeluargaan
berdasarkan pada pasal 7 undang-undang no 10                Nasional. Jakarta: Tintamas.
tahun 2004 tentang peraturan perundang-               Ilham, Bisri. (2001). Sistem Hukum Indonesia
undangan yang menyebutkan bahwa tata urutan                 Prinsip-prinsip & Implementasi Hukum di
peraturan perundang-undangan adalah undang-                 Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
undang dasar 1945, undang-undang/peraturan                  Persada.
pemerintah pengganti undang-undang, peraturan         Ka’bah, Rifyal. (1999). Hukum Islam Di
pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan               Indonesia. Jakarta: University Yasri.
daerah       yang meliputi: peraturan daerah          Manan, Abdul. (2007). Reformasi Hukum Islam
provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota,                  di Indonesia (Tinjauan dari Aspek
peraturan desa. Berdasarkan hal di atas, maka               Metodologis,          Legalisasi,     dan
fatwa tidak memiliki kedudukan sedikitpun                   Yurisprudensi). Jakarta: PT Raja Grafindo
dalam sumber hukum positif Indonesia maupun                 Persada.
dalam undang-undang no 10 tahun 2004 tentang          Pudjosewojo, Kusumadi (2001). Pedoman
peraturan perundang-undangan. Fatwa hanyalah                Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
pendapat, nasehat ulama yang tidak mengikat,                Sinar Grafika.
dan untuk dapat berlaku mengikat maka fatwa           Qardhawi, Yusuf. (1997). Fatwa Antara
harus melewati legislasi terlebih dahulu yang               Ketelitian & Kecerobohan. Jakarta: Gema
kemudian menjadi sebuah undang-undang.                      Insani Press.
                                                      Rachmat, Syafe’i. (1999). Ilmu Ushul Fiqih.
DAFTAR PUSTAKA                                              Bandung: Pustaka Setia.
M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis   477
Normatif)