0% found this document useful (0 votes)
2K views62 pages

Minipro Anemia Kelompok 1

This document summarizes a study on the relationship between diet, anemia knowledge, menstrual patterns, infection history, and hemoglobin levels among adolescent girls in Pusat Pengembangan Anak Gereja Sonhalan. The study found that 75% of respondents had moderate anemia knowledge, over 70% had severe energy, protein, and iron deficiencies, and 11 of 60 respondents were anemic. There was a significant correlation between iron consumption and hemoglobin levels, with iron consumption being the most influential factor. The study concluded that only a small number of adolescent girls in Pusat Pengembangan Anak Gereja Sonhalan were anemic, and iron consumption was the most significant variable affecting hemoglobin

Uploaded by

Vicia Gloria
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
2K views62 pages

Minipro Anemia Kelompok 1

This document summarizes a study on the relationship between diet, anemia knowledge, menstrual patterns, infection history, and hemoglobin levels among adolescent girls in Pusat Pengembangan Anak Gereja Sonhalan. The study found that 75% of respondents had moderate anemia knowledge, over 70% had severe energy, protein, and iron deficiencies, and 11 of 60 respondents were anemic. There was a significant correlation between iron consumption and hemoglobin levels, with iron consumption being the most influential factor. The study concluded that only a small number of adolescent girls in Pusat Pengembangan Anak Gereja Sonhalan were anemic, and iron consumption was the most significant variable affecting hemoglobin

Uploaded by

Vicia Gloria
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOC, PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 62

Hubungan Pola Konsumsi, Pengetahuan Anemia, Pola

Menstruasi dan Riwayat Infeksi dengan Kadar Hemoglobin


(Hb) pada Remaja Putri di Pusat Pengembangan Anak
Gereja Sonhalan

Mini Project Internsip


Periode Juni 2019 – Oktober 2019

Pendamping:
dr. Erwin Leo, M. Kes

Penyusun:
dr. Akbarruddin
dr. Aninditya Cahyarani Sunarso
dr. Hernawati Haji Bagenda
dr. Nicholas Pratama
dr. Ronauli Agnes Marpaung
dr. Yohana Debrita Rere Koli
dr. Vicia Gloria

Niki-Niki, TTS, Nusa Tenggara Timur

2019

i
ABSTRACT
The Relationship of Diet, Knowledge of Anemia, Menstrual Patterns, and History of
Infection with Hemoglobin Levels among Adolescent Girls in Pusat Pengembangan
Anak Gereja Sonhalan
Akbarruddin, Sunarso AC, Bagenda HH, Pratama N, Marpaung RA, Koli YDR,
Gloria V, Leo E

BACKGROUND
Anemia is a condition of red blood cells or hemoglobin levels (Hb), which carry
oxygens in blood, not sufficient enough to fulfill human’s physiological needs.
Toddler, adolescent girls and pregnant women are risky group of anemia. From April
until December 2018 there are 228 pregnant women had anemia. Adolescent girl with
history of anemia will effect their pregnancy in the future. The propose of this study
is to know the relationship of diet, knowledge of anemia, menstrual patterns, and
history of infection with hemoglobin level among adolescent girls in Pusat
Pengembangan Anak Gereja Sonhalan.
METHOD
The design of this study is cross sectional. This study used total sampling with 60
adolescent girls respondent at Pusat Pengembangan Anak (PPA) Gereja Sonhalan.
Study was done in April-September 2019. Data analysis used chi-square test with p
value <0.05.
RESULTS
There were 75% respondent whose knowledge about anemia was in medium level,
90.4% respondent with severe energy deficiency, 71.7% respondent with severe
protein deficiency, 88.3% respondent with severe iron deficiency, 71.1% respondent
with normal menstrual patterns, 75% respondent with normal menstrual duration,
58.3% respondent with normal menstrual volume, and 100% respondent without
history of infection. There were 11 from 60 respondent who were in anemia
condition. There was a significant correlation between iron consumption and
adolescent girls’ hemoglobin level in PPA Gereja Sonhalan with p value = 0.01.
CONCLUSIONS
There was just a little of adolescent girls who were anemia in PPA Gereja Sonhalan,
with iron consumption as the most significant variable.

Keyword: adolescent girls, anemia, knowledge, diet, menstrual patterns, history of


infection.
ABSTRAK
Hubungan Pola Konsumsi, Pengetahuan Anemia, Pola Menstruasi dan Riwayat
Infeksi dengan Kadar Hemoglobin (Hb) pada Remaja Putri di Pusat Pengembangan
Anak Gereja Sonhalan
Akbarruddin, Sunarso AC, Bagenda HH, Pratama N, Marpaung RA, Koli YDR,
Gloria V, Leo E

LATAR BELAKANG
Anemia merupakan keadaan dimana jumlah sel darah merah atau kadar hemoglobin
(Hb) yang mengangkut oksigen dalam darah tidak mencukupi untuk kebutuhan
fisiologis tubuh manusia. Balita, remaja putri dan wanita hamil merupakan kelompok
yang berisiko mengalami anemia. Pada bulan April hingga Desember 2018 terdapat
228 orang ibu maternal yang mengalami anemia Puskesmas Niki-Niki. Kelompok
remaja putri yang memiliki riwayat anemia juga akan berdampak pada masa
kehamilan di masa mendatang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan pola makan, pengetahuan tentang anemia, pola menstruasi dan riwayat
infeksi dengan kadar hemoglobin pada remaja putri di pusat pengembangan anak
Gereja Sonhalan.
METODE
Desain penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan cross-sectional. Teknik
sampling yang digunakan yaitu total sampling dengan responden 60 remaja putri di
Pusat Pengembangan Anak (PPA) Gereja Sonhalan. Penelitian dilakukan mulai bulan
April-September 2019. Metode yang dipakai untuk analisa data adalah chi-square
dengan p < 0.05.
HASIL
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan 75% responden memiliki tingkat
pengetahuan sedang mengenai anemia, 90.4% responden mengalami defisit berat
energi, 71.7% responden mengalami defisit berat protein, 88.3% responden
mengalami defisit berat zat besi (Fe), 71.1% responden memiliki pola menstruasi
normal, 75% responden memiliki lama menstruasi normal, 58.3% responden
memiliki volume menstruasi normal dan sebanyak 100% responden tidak mengalami
infeksi. Terdapat 11 dari 60 responden mengalami anemia. Terdapat hubungan yang
bermakna antara zat besi dengan kadar Hb pada remaja putri di PPA Gereja Sonhalan
dengan p = 0.01.
SIMPULAN
Hanya sedikit remaja putri yang mengalami anemia di PPA Gereja Sonhalan dengan
konsumsi zat besi sebagai faktor yang paling mempengaruhi.

Kata kunci: remaja putri, anemia, pengetahuan, pola makan, pola menstruasi,
riwayat infeksi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan mini poject ini
yang berjudul “Hubungan Pola Konsumsi, Pengetahuan Anemia, Pola Menstruasi
dan Riwayat Infeksi dengan Kadar Hb pada Remaja Putri di Pusat Pengembangan
Anak Gereja Sonhalan”.
Adapun mini project ini kami buat sebagai syarat pelaksanaan Dokter
Internsip di Puskesmas Niki-Niki Periode Juni - Oktober 2019, dimana dalam
penyusunan laporan ini tentunya tidak terlepas dari bantuan serta bimbingan berbagai
pihak. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung ikut berpartisipasi dalam
membantu tersusunnya mini project ini, yaitu:
1. dr. Erwin Leo, M. Kes sebagai Pendamping dokter Internsip di Puskesmas Niki –
Niki
2. drg. Agnes Tiro Pari sebagai Kepala Puskesmas Niki – Niki
3. Seluruh staf Puskesmas Niki-Niki
4. Seluruh Mentor dan remaja putri di PPA Gereja Sonhalan
Penulis menyadari bahwa mini project ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, dengan kerendahan hati segala kritik dan saran akan penulis terima
dengan tangan terbuka.
Akhir kata, penulis berharap mini project ini dapat berguna untuk rekan-rekan
dalam menambah pengetahuan.

Niki-Niki, 19 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
ABSTRAK..............................................................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................... iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
DAFTAR TABEL................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................................ 3
1.4 Hipotesis Penelitian..................................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian...................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja........................................................................................................................ 5
2.2 Anemia........................................................................................................................ 5
2.3 Pola Makan............................................................................................................... 11
2.4 Pola Menstruasi......................................................................................................... 16
2.5 Infeksi....................................................................................................................... 18
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian....................................................................................................... 21
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................................... 21
3.3 Populasi dan Subyek Penelitian................................................................................ 21
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi..................................................................................... 21
3.5 Cara Pengumpulan data............................................................................................. 22
3.6 Uji Validitas dan Reabilitas....................................................................................... 22
3.7 Definisi Operasional.................................................................................................. 23
3.8 Etika Penelitian......................................................................................................... 26
3.9 Metode Pengolahan Data.......................................................................................... 26
3.10 Metode Analisis Data.............................................................................................. 27
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Pengetahuan.............................................................................................................. 28
4.2 Pola Makan .............................................................................................................. 32
4.3 Hubungan Konsumsi Energi dengan Kadar Hemoglobin.......................................... 33
4.4 Hubungan Konsumsi Protein dengan Kadar Hemoglobin ........................................ 34
4.5 Hubungan Konsumsi Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin....................................... 34
4.6 Pola Menstruasi......................................................................................................... 35
4.7 Hubungan Pola Menstruasi dengan Kadar Hemoglobin............................................ 36
4.8 Hubungan Infeksi dengan Kadar Hemoglobin.......................................................... 36
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Hubungan Pengetahuan dengan Kadar Hemoglobin................................................. 37
5.2 Hubungan Pola Makan dengan Kadar Hemoglobin ................................................. 38
5.3 Hubungan Konsumsi Energi dengan Kadar Hemoglobin.......................................... 39
5.4 Hubungan Konsumsi Protein dengan Kadar Hemoglobin ........................................ 40
5.5 Hubungan Konsumsi Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin....................................... 41
5.6 Hubungan Pola Menstruasi dengan Kadar Hemoglobin............................................ 42
5.7 Hubungan Infeksi dengan Kadar Hemoglobin.......................................................... 44
BAB VI PENUTUP
6.1 Simpulan................................................................................................................... 45
6.2 Saran......................................................................................................................... 46
6.3 Kelemahan Penelitian................................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 47
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Kriteria Anemia Menurut WHO.............................................................. 7
Tabel 2.2 Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis......................................... 7
Tabel 2.3 Klasifikasi Anemia berdasarkan Morfologi dan Etiologi....................... 8
Tabel 2.4 Kandungan Zat Besi dalam Makanan................................................... 14
Tabel 2.5 Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat dan
Air yang dianjurkan untuk orang Indonesia.......................................... 16
Tabel 2.6 Angka kecukupan mineral yang dianjurkan untuk orang Indonesia..... 16
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan.................... 23
Tabel 3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pola Menstruasi.............. 23
Tabel 3.3 Definisi Operasional............................................................................. 23
Tabel 4.1 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pengetahuan........................... 28
Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Jawaban Pertanyaan Pengetahuan...... 28
Tabel 4.3 Hubungan Pengetahuan dengan kadar Hemoglobin............................. 32
Tabel 4.4 Distribusi Konsumsi Energi.................................................................. 32
Tabel 4.5 Distribusi Konsumsi Protein................................................................. 33
Tabel 4.6 Distribusi Konsumsi Zat Besi............................................................... 33
Tabel 4.7 Konsumsi Energi dengan Kadar Hemoglobin....................................... 33
Tabel 4.8 Hubungn Konsumsi Protein dengan Kadar Hemoglobin...................... 34
Tabel 4.9 Hubungan Konsumsi Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin.................. 35
Tabel 4.10 Frekuensi Menstruasi.......................................................................... 35
Tabel 4.11 Lamanya Menstruasi........................................................................... 35
Tabel 4.12 Banyaknya Menstruasi........................................................................ 36
Tabel 4.13 Hubungan Pola Menstruasi dengan Kadar Hemoglobin..................... 36
Tabel 4.14 Hubungan Anemia dengan Infeksi...................................................... 36

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kondisi anemia merupakan keadaan dimana jumlah sel darah merah atau
kadar hemoglobin (Hb) yang merupakan pengangkut oksigen dalam darah tidak
mencukupi untuk kebutuhan fisiologis tubuh manusia.1 Secara umum, anemia terjadi
akibat kekurangan zat gizi mikro, yaitu zat besi. Kejadian anemia tersebar hampir
merata di berbagai wilayah di dunia dengan prevalensi 24.8% berdasarkan data
WHO tahun 1993-2005. Bila dilihat dari pembagian wilayah, Asia Tenggara
menempati posisi kedua tertinggi untuk prevalensi anemia sebesar 45.7% setelah
Afrika (47.5%).2

Penelitian mengenai prevalensi anemia sering dibagi ke dalam tiga kelompok,


yaitu kelompok balita, kelompok ibu hamil, dan kelompok wanita usia subur tanpa
kehamilan. WHO melaporkan prevalensi tertinggi ketiga untuk anemia terdapat pada
wanita usia subur (15-49 tahun), yaitu 30.2%.2 Indonesia yang merupakan negara di
kawasan Asia Tenggara juga melakukan penelitian mengenai anemia. Hasilnya
tercatat dalam laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI).1,3

Hasil Riskesdas pada tahun 2013 melaporkan proporsi anemia pada penduduk
di Indonesia mencapai 21.7% dan diuraikan lebih rinci berdasarkan kelompok umur.
Pada kelompok ibu hamil, proporsi anemia di tahun 2013 mencapai angka 37.1%.1
Sedangkan berdasarkan Riskesdas tahun 2018 angka anemia ini mengalami kenaikan
sebesar 11.8% menjadi 48.9%.4 Hal ini dapat dikaitkan juga dengan data proporsi
pemberian tablet tambah darah (TTD) yang diutamakan pada kelompok ibu hamil
dan kelompok wanita usia subur (termasuk remaja putri), mengingat kelompok
wanita usia subur merupakan kelompok yang berpotensi tinggi untuk memperoleh
kehamilan. Pemberian TTD ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan
pemerintah untuk menghadapi keadaan anemia.

Pada kelompok wanita usia subur, ada hal yang juga penting untuk
dipertimbangkan dalam melalukan sebuah penelitian. Di dalam rentang usia
kelompok wanita usia subur, yaitu 15-49 tahun, terjadi proses pubertas. Pubertas
terjadi di usia-usia remaja yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda seksual
sekunder dan kemampuan bereproduksi termasuk perubahan secara fisik, psikologis,
sosial, maupun hormonal. Pada remaja putri yang telah memasuki usia pubertas,

1
perubahan hormonal dapat dikaitkan dengan terjadinya proses menstruasi yang akan
dialami kurang lebih setiap bulannya.

Faktor lain yang juga dapat berpengaruh pada keadaan anemia adalah
pengetahuan penderita atau kelompok berisiko tinggi akan penyakit anemia tersebut.
Berdasarkan SDKI 2017, penelitian pada kaum remaja menunjukkan gambaran
pengetahuan dan persepsi mereka terhadap keadaan anemia. Sebesar 73% remaja
putri dan 63% remaja laki-laki mengganggap anemia sebagai keadaan kekurangan
darah. Sedangkan di sisi lain, masih ada kaum remaja yang belum mengetahui
tentang anemia (11% remaja putri dan 24 % remaja laki-laki).3

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fhany el shara pada remaja putri di
SMAN 2 Sawahlunto tahun 2014 diperoleh bahwa 70.7% remaja putrinya
mengalami anemia dengan rata-rata kadar Hb adalah 11.32 g/dl. Remaja Putri
merupakan kelompok yang rentan terhadap kejadian anemia. Ada banyak penyebab
penyebab terjadinya anemia, salah satunya adalah defisiensi zat besi. Hal tersebut
terjadi akibat asupan nutrisi yang tidak mempertimbangkan menu seimbang yang
meliputi unsur karbohidrat, lemak, protein, zat besi, vitamin dan mineral.5

Penelitian lain yang dilakukan oleh Yulinar ikhmawati pada remaja putri di
asrama SMA MTA Surakarta tahun 2013 memperoleh bahwa responden yang
memiliki pengetahuan baik tentang anemia yaitu 72,2% memiliki kadar hemoglobin
tidak normal. Pengetahuan responden tentang anemia yang menyebabkan asupan zat
besi dalam makanan tidak cukup karena rendahnya konsumsi sumber protein hewani.
Penyebab lainnya adalah adanya zat penghambat absorbsi, kebutuhan zat besi yang
meningkat karena aktivitas dan pertumbuhan fisik serta kehilangan darah yang
disebabkan oleh perdarahan kronik akibat penyakit parasit dan infeksi.6

Puskesmas setempat (Puskesmas Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Tengah)


telah melakukan pendataan di bulan April hingga Desember 2018 terhadap kasus
anemia yang terjadi di kelompok ibu maternal yang awalnya bermula dari kelompok
wanita usia subur. Dari 288 orang ibu maternal yang berhasil diambil datanya,
terdapat 228 orang ibu maternal yang sedang menjalani masa kehamilan dalam
keadaan anemia atau sekitar 75% dengan nilai rerata kadar hemoglobin 9.9 g/dL.7
Kelompok remaja putri yang memiliki riwayat anemia juga akan berdampak pada
masa kehamilan di masa mendatang. Berdasarkan yang telah dipaparkan diatas, maka
peneliti berusaha mencari tahu hubungan antara pola konsumsi, pengetahuan anemia,
pola menstruasi dan riwayat infeksi dengan kadar Hb pada remaja putri di pusat
pengembangan anak Gereja Sonhalan.

2
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan penelitian ini
adalah bagaimana hubungan pola konsumsi, pengetahuan anemia, pola menstruasi
dan riwayat infeksi dengan kadar Hb pada remaja putri di pusat pengembangan anak
Gereja Sonhalan.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pola makan, pengetahuan tentang anemia, pola


menstruasi dan riwayat infeksi dengan kadar hemoglobin pada remaja putri di pusat
pengembangan anak Gereja Sonhalan

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan antara pola makan dengan kadar


hemoglobin pada remaja putri di pusat pengembangan anak Gereja
Sonhalan

2. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang anemia


dengan kadar hemoglobin pada remaja putri di pusat pengembangan anak
Gereja Sonhalan

3. Untuk mengetahui hubungan antara pola menstruasi dengan kadar


hemoglobin pada remaja putri di pusat pengembangan anak Gereja
Sonhalan

4. Untuk mengetahui hubungan antara riwayat infeksi dengan kadar


hemoglobin pada remaja putri di pusat pengembangan anak Gereja
Sonhalan

1.4. Hipotesis Penelitian


1. Ada hubungan pola makan dengan kadar hemoglobin pada remaja putri
di pusat pengembangan anak Gereja Sonhalan.
2. Ada hubungan tingkat pengetahuan tentang anemia dengan kadar
hemoglobin pada remaja putri di pusat pengembangan anak Gereja
Sonhalan.
3. Ada hubungan pola menstruasi dengan kadar hemoglobin pada remaja
putri di pusat pengembangan anak Gereja Sonhalan.
4. Ada hubungan riwayat infeksi dengan kadar hemoglobin pada remaja
putri di pusat pengembangan anak Gereja Sonhalan.
1.5. Manfaat Penelitian

3
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
hubungan pola makan, pola menstruasi, tingkat pengetahuan tentang anemia dan
riwayat infeksi dengan kadar hemoglobin remaja putri agar dapat dilakukan
pencegahan, penatalaksanaan, maupun edukasi yang tepat.

Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan


maupun memperbaiki persepsi-persepsi yang keliru tentang masalah anemia,
terutama pada populasi yang berisiko untuk mengalami anemia. Selain itu, penelitian
ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mendukung program
pemerintah/swasta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan anemia sedini
mungkin.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Remaja

Definisi remaja memiliki beberapa versi sesuai dengan karakteristik biologis


ataupun sesuai dengan kebutuhan penggolongannya. Pada umumnya remaja
didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12-24 tahun. Namun, jika pada usia
remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong dalam dewasa atau bukan lagi
remaja. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada
orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja.8

Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa yang


melibatkan perubahan berbagai aspek seperti biologis, psikologis, dan sosial-budaya.
WHO mendefinisikan remaja sebagai perkembangan dari saat timbulnya tanda seks
sekunder hingga tercapainya maturasi seksual dan reproduksi, suatu proses
pencapaian mental dan identitas dewasa, serta peralihan dari ketergantungan
sosioekonomi menjadi mandiri. Secara biologis, saat seorang anak mengalami
pubertas dianggap sebagai indikator awal masa remaja. Namun karena tidak adanya
petanda biologis yang berarti untuk menandai berakhirnya masa remaja, maka faktor-
faktor sosial, seperti pernikahan, biasanya digunakan sebagai petanda untuk
memasuki masa dewasa.8

Rentang usia remaja bervariasi bergantung pada budaya dan tujuan


penggunaannya. Di Indonesia, berbagai studi pada kesehatan reproduksi remaja
mendefinisikan remaja sebagai orang muda berusia 15-24 tahun. Sedangkan menurut
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) remaja berusia 10-24
tahun. Sementara Departemen Kesehatan dalam program kerjanya menjelaskan
bahwa remaja adalah usia 10-19 tahun. Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
menganggap remaja adalah mereka yang belum menikah dan berusia antara 13-16
tahun, atau mereka yang bersekolah di sekolah menengah pertama (SMP) dan
sekolah menengah atas (SMA).8

2.2. Anemia

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa


eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying
capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,

5
hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Parameter yang paling umum
digunakan untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin,
disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut
saling bersesuaian.9

Anemia merupakan masalah kesehatan yang menyerang sekitar 1.62 juta


orang di dunia. Anemia dapat terjadi pada setiap siklus kehidupan, tetapi anak-anak,
remaja putri, dan wanita di masa reproduksi adalah yang memiliki risiko tinggi untuk
mengalami anemia.10 Remaja memiliki karakteristik mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang cepat, sehingga meningkatkan kebutuhan akan makro maupun
mikronutrien yang signifikan.10,11,12 Selama masa remaja, kebutuhan zat besi
meningkat dari 0.7±0.9 mg Fe/hari menjadi 2.2 mg Fe/hari pada remaja putri maupun
putra.12 WHO menetapkan remaja sebagai periode usia antara 10 sampai 19
tahun.10,11,12 Pada masa ini, 30% dari berat badan dewasa dan lebih dari 20% dari
tinggi badan dewasa terpenuhi. Peningkatan ini oleh karena puncak perkembangan
masa pubertas yang ditandai dengan peningkatan total volume darah, peningkatan
lean body mass, dan onset menstruasi pada remaja putri.12,13

Pada wanita, kebutuhan zat besi akan tetap tinggi mulai dari saat menarke,
yaitu sekitar 20 mg per bulan dan dapat mencapai 58 mg pada beberapa individu. 12
Anemia nutrisi merupakan masalah nutrisi yang umum terjadi pada remaja putri di
banyak negara-negara berkembang, prevalensinya pada negara dengan pendapatan
yang rendah dan menengah adalah 13.4% sampai 62.9%.1,2,3 Risiko anemia rata-rata
cukup tinggi pada remaja putri di awal memasuki masa remaja dan pada remaja
dengan konsumsi jenis makanan yang kurang bervariasi. Prevalensi anemia yang
tinggi pada awal masa remaja bisa disebabkan oleh menstruasi untuk pertama kalinya
(menarke). Prevalensi anemia pada awal periode remaja (10–14 tahun) lebih tinggi
dibandingkan pada periode akhir remaja (15–19 tahun).10,11

Hemoglobin adalah protein pengangkut oksigen yang mengandung besi


dalam sel darah merah. Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein dan
empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Hemoglobin
memiliki afinitas terhadap oksigen dan membentuk oksihemoglobin di dalam sel
darah merah, sehingga oksigen dibawa dari paru ke jaringan tubuh. Sebuah molekul
hemoglobin memiliki empat gugus heme yang mengandung besi fero dan empat
rantai globin.14 Nilai normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik
tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14

6
g/dl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa yang tinggal di permukaan laut. Peneliti
lain memberikan angka yang berbeda yaitu 12 g/dl (hematokrit 38%) untuk
perempuan dewasa, 11 g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl
untuk laki-laki dewasa. WHO menetapkan cut of point anemia untuk keperluan
penelitian lapangan seperti terlihat pada tabel berikut 9

Tabel 2.1. Kriteria Anemia Menurut WHO 9

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan


eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3)
Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran
lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada tabel berikut 9

Tabel 2.2 Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis 9

Secara umum, penyebab terjadinya anemia adalah kehilangan darah,


peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis), dan penurunan produksi eritrosit. 12 Diet
yang kurang bervariasi menyebabkan kebutuhan akan mikronutrien yang penting
untuk metabolisme zat besi sering kali tidak terpenuhi, oleh karena lebih banyak
mengonsumsi makanan yang kaya energi. Remaja putri memiliki risiko mengalami
defisiensi zat besi dan anemia oleh karena beberapa faktor penyebab, seperti
kebutuhan zat besi yang meningkat, intake zat besi yang kurang, risiko infeksi dan

7
infestasi parasit yang tinggi, kebiasaan konsumsi teh setelah makan, serta
kehamilan.10,11 Selain zat besi, defisiensi mikronutrien lainnya seperti asam folat,
riboflavin, vitamin A, dan vitamin B12 juga dapat meningkatkan risiko terjadinya
anemia.11 Remaja putri umumnya memiliki risiko lebih tinggi mengalami anemia
dibandingkan dengan remaja putra oleh karena anemia pada remaja putri terjadi
secara multifaktorial, terutama terkait dengan menstruasi yang berat. Sebagai contoh,
terdapat sebuah studi dimana seorang remaja putri yang mengalami menarke dengan
perdarahan yang banyak lebih berisiko mengalami anemia.10,11

Selain faktor-faktor di atas, rendahnya pengetahuan mengenai anemia ini juga


berpengaruh terhadap terjadinya anemia pada remaja putri. Faktor lainnya yang juga
berpengaruh terhadap terjadinya anemia pada remaja putri adalah status
sosioekonomi keluarga.10,11 Intake makanan kaya zat besi yang inadekuat sangat
berpengaruh terhadap kejadian anemia pada remaja putri. Mereka yang tidak
mengkonsumsi telur, sayur, dan daging didapatkan memiliki risiko yang tinggi
terhadap anemia.10 Anemia memiliki komplikasi yang serius bagi keterlambatan
pertumbuhan serta gangguan fisik maupun kognitif seseorang.11

Tabel 2.3. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi 9

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik


dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia
dibagi menjadi tiga golongan: 1) Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl
dan MCH < 27 pg; 2) Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan
MCH 27-34 pg; 3) Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl. Klasifikasi etiologi dan

8
morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab
suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.9

2.2.1. Gejala Anemia

Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah


gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila
kadar hemoglobin turun di bawah kadar tertentu. Gejala umum anemia ini
timbul karena: 1) Anoksia organ; 2) Mekanisme kompensasi tubuh terhadap
berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas
(anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl.
Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a) Derajat penurunan
hemoglobin; b) Kecepatan penurunan hemoglobin; c) Usia; d) Adanya
kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan
menjadi tiga jenis gejala, yaitu: 9

a. Gejala umum anemia.

Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul


karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh
terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus
anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb < 7 g/dL).
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan
dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.
Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh
penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan
hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).

b. Gejala khas masing-masing anemia

Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai


contoh: anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia). Anemia megaloblastik: glositis,
gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B 12. Anemia hemolitik:
ikterus, splenomegali, hepatomegali. Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-
tanda infeksi.

9
c. Gejala penyakit dasar

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia


sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tarnbang: sakit perut, pembengkakan parotis dan wama
kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar
lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh
karena rheumatoid artritis. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan
pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan
diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan
pemeriksaan laboratorium.

2.2.2. Penegakan Diagnosis Anemia

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok


dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 9

a. Pemeriksaan penyaring (screening test)

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari


pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi.
Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologi anemia
tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.

b. Pemeriksaan Darah Seri Anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit,


trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah
banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat
memberikan presisi hasil yang lebih baik.

c. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang


sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan
ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia.
Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis
anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan
hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.

10
d. Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus,


misalnya pada:

i. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (total iron binding


capacity), saturasi transferin, protoporfirin, eritrosit, ferritin
serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum
tulang (Perl’s stain).

ii. Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B 12 serum, tes


supresi deoksiuridin dan tes Schiling.

iii. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis


hemoglobin dan lain-lain.

iv. Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.

2.3. Pola Makan

Pola konsumsi makanan adalah susunan makanan yang dikonsumsi setiap


hari untuk memenuhi kebutuhan tubuh dalam satu hidangan lengkap. 15 Pola makan
juga merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan
jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh suatu orang dan merupakan ciri
khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pendapat lain tentang pola makan
dapat diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang untuk memilih
makanan dan mengosumsinya sebagai reaksi dari pengaruh fisiologis, psikologis,
budaya dan sosial. Pola makan memiliki tiga komponen penting, yaitu jenis,
frekuensi dan jumlah.16

Menurut Hoang yang dikutip Himadi (2012) pola konsumsi adalah berbagai
informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan
yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan mempunyai ciri khas untuk suatu
kelompok masyarakat tertentu. Pola konsumsi adalah cara seseorang atau
sekelompok orang (keluarga) dalam memilih makanan sebagai tanggapan terhadap
pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial. 17

Di dalam susunan pola makan ada satu bahan makanan yang dianggap
penting, dimana satu hidangan dianggap tidak lengkap apabila bahan makanan
tersebut tidak ada, bahan makanan tersebut adalah bahan makanan pokok, di
Indonesia bahan makanan pokok adalah beras dan beberapa daerah menggunakan
jagung, sagu dan ubi jalar. Pola makan di suatu daerah berubah-ubah sesuai dengan

11
perubahan beberapa faktor ataupun kondisi setempat yang dapat dibagi dalam dua
bagian:

a. Faktor yang berhubungan dengan persediaan atau pengadaan bahan pangan.


Dalam kelompok ini termasuk geografi, iklim kesuburan tanah yang dapat
mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah produksinya di suatu daerah

b. Faktor adat istiadat yang berhubungan dengan konsumen. Taraf sosio ekonomi
dan adat kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam konsumsi
pangan penduduk. Jumlah penduduk adalah kunci utama yang menentukan
tinggi rendahnya jumlah konsumsi bahan pangan disuatu daerah. Demikian
juga dalam hal keluarga, jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi pola
konsumsi makan anggota keluarga. Apalagi dengan pengetahuan, pendapatan
yang rendah dan jumlah anak yang banyak cenderung pola konsumsi berkurang
pula.18

Setiap orang dalam siklus hidupnya selalu membutuhkan dan mengkonsumsi


berbagai bahan makanan. Berbagai bahan makanan yang dikonsumsi setiap harinya
oleh manusia, agar dapat menjadi zat-zat yang penting serta bernilai bagi
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta pelaksanaan kegiatan internal dan
eksternal organ-organ tubuh, haruslah diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi dan
sesudah dikonsumsi. Pengolahan bahan makanan tergantung dari selera dan
kehendak manusia yang akan mengkonsumsinya.19

Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi zat gizi yang
terdapat pada makanan sehari-hari. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas
hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan
tubuh di dalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang
lain. Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan
tubuh. Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya, maka tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang
sebaik-baiknya, disebut konsumsi adekuat. Kalau konsumsi baik dari kuantitas dan
kualitasnya melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih, maka akan
terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas dan
kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit.20

2.3.1. Jenis Makanan yang Meningkatkan Hb

Ada dua bentuk zat besi dalam makanan, yaitu hem dan nonhem. Zat besi
hem berasal dari hewan seperti daging dan ikan yang mengandung zat besi 5-10%

12
dengan penyerapan 25%. Zat besi nonhem terdapat pada pangan nabati seperti
sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan dan buah buahan dengan penyerapan zat besi
hanya 5%.21

Penyerapan zat besi sangat dipengaruhi oleh kombinasi makanan yang


disantap pada waktu makan.22 Faktor faktor dari makanan:

a. Zat pemacu (enhancers) Fe


1. Vitamin C (asam askorbat) pada buah
2. Asam malat dan tartrat pada sayuran: wortel, kentang, brokoli, tomat,
kobis, labu kuning.
3. Asam amino cystein pada daging sapi, kambing, ayam, hati, ikan.
Suatu hidangan yang mengandung salah satu atau lebih dari jenis
makanan tersebut akan membantu optimalisasi penyerapan zat besi.23

Fasilitator absorbsi zat besi yang paling terkenal adalah asam askorbat
(vitamin C) yang dapat meningkatkan absorbsi zat besi non heme secara signifikan.
Jadi, buah kiwi, jambu biji, dan jeruk merupakan produk pangan nabati yang
meningkatkan absorbsi zat besi.24

Protein selular yang berasal dari daging sapi, kambing, domba, hati, ayam,
menujang penyerapan zat besi non hem. Namun protein yang berasal dari susu sapi,
keju dan telur tidak dapat meningkatkan penyerapan zat besi non hem.21

b. Zat penghambat (inhibitors) Fe


1. Fitat pada jagung, protein kedelai, susu coklat dan kacang- kacangan,
2. Polifenol (termasuk tannin) pada teh, kopi, bayam, kacang-kacangan.
3. Zat kapur / kalsium pada susu, keju
4. Fosfat pada susu, keju.23
Asam fitat yang banyak terdapat dalam sereal dan kacang-kacangan
merupakan faktor utama yang bertanggung jawab atas buruknya ketersediaan hayati
zat besi dalam jenis makanan ini. Karena serat pangan sendiri tidak menghambat
absorpsi besi, efek penghambat disebabkan oleh keberadaan asam fitat.24
Perendaman, fermentasi, dan perkecambahan biji-bijian yang menjadi produk
pangan akan memperbaiki absorpsi dengan mengaktifkan enzim fitase untuk
menguraikan asam fitat. Polifenol (asam fenolat, flavonoid, dan produk
polimerisasinya) terdapat dalam teh, kopi, kakao, dan anggur merah. Tanin yang
terdapat dalam teh hitam merupakan jenis penghambat paling paten dari semua
inhibitor di atas. Kalsium yang dikonsumsi dalam produk susu seperti susu atau keju
dapat menghambat absorpsi besi dan khususnya santapan yang kompleks, dapat
mengimbangi efek penghambat pada polifenol dan kalsium.24

2.3.2. Sumber Zat Besi

13
Ada dua jenis zat besi dalam makanan, yaitu zat besi yang berasal dari hem
dan bukan hem. Makanan hewani seperti daging, ikan dan ayam merupakan sumber
utama zat besi hem. Zat besi yang berasal dari hem merupakan Hb. Zat besi non
hem terdapat dalam pangan nabati, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-
kacangan dan buah-buahan.21

Sumber baik besi adalah makanan hewani, seperti daging, ayam, dan ikan.
Sumber lainnya adalah telur, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis
buah. Di samping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan
dinamakan juga ketersediaan biologik (bioavailability). Pada umumnya besi di dalam
daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik sedang, dan besi di dalam
sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung asam oksalat tinggi, seperti
bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah. Sebaiknya diperhatikan kombinasi
makanan sehari-hari, yang terdiri atas campuran sumber besi berasal dari hewan dan
tumbuh-tumbuhan serta sumber gizi lain yang dapat membantu absorpsi. Menu
makanan di Indonesia sebaiknya terdiri atas nasi, daging/ayam/ikan, kacang-
kacangan, serta sayuran dan buah buahan yang kaya akan vitamin C.25

Tabel 2.4 Kandungan Zat Besi dalam Makanan15

2.3.3. Angka Kecukupan Gizi

Angka kecukupan gizi (AKG) adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam
kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang terdiri atas persentase, Angka Kecukupan Gizi terhadap Energi (AKE), Angka
Kecukupan Gizi terhadap Protein (AKP), Angka Kecukupan Gizi terhadap Lemak

14
(AKL) yang digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi kecukupan gizi
masyarakat.26

a. Kecukupan Energi

Energi merupakan asupan utama yang sangat diperlukan oleh tubuh.


Zat gizi yang dapat menghasilkan energi diperoleh dari karbohidrat, lemak
dan protein. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi,
disamping membantu metabolism protein. Kecukupan karbohidrat di dalam
diet akan mencegah protein sebagai sumber energi sehingga fungsi protein
dalam proses pengangkutan zat gizi termasuk besi ke dalam sel-sel tidak
terganggu. Angka kecukupan energi yang dianjurkan menurut Permenkes
2013 adalah sebesar 2150 kkal.26

b. Kecukupan Protein

Protein merupakan zat yang paling banyak terdapat dalam tubuh.


Transportasi zat gizi di mukosa sel dan di dalam darah sangat
membutuhkan mekanisme protein yang sangat spesifik yaitu transferin,
protein ini disintesis di hati. Transferin akan membawa zat besi dalam darah
yang akan digunakan untuk sintesis hemoglobin. Asupan protein yang
kurang akan menyebabkan gangguan pada sintesa transferin sehingga kadar
transferin zat besi dalam darah akan menurun sehingga menyebabkan
transportasi zat besi tidak dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya
mengakibatkan kadar hemoglobin dalam darah menurun. Sumber makanan
yang paling banyak mengandung protein berasal dari makanan hewani,
seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sedangkan protein
nabati berasal dari tempe, tahu dan kacang-kacangan. Angka Kecukupan
Protein yang dianjurkan menurut Permenkes 2013 adalah sebesar 57
gram/orang/hari.26

c. Kecukupan Lemak

Depkes (1990) menganjurkan konsumsi lemak sebanyak 15%


kebutuhan energi total dianggap baik untuk kesehatan. Sumber utama
lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan (minyak kelapa, kelapa sawit,
kacang tanah, kacang kedelai, jagung, dan sebagainya), mentega, margarin,
dan lemak hewan (lemak daging dan ayam). Sumber lemak lain adalah
kacang-kacangan, biji-bijian, daging, dan ayam gemuk, krim, susu, keju,
dan kuning telur, serta makanan yang dimasak dengan lemak atau minyak.26

15
Tabel 2.5 Angka kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, serat dan air
yang dianjurkan untuk orang Indonesia (per orang per hari)26

Tabel 2.6 Angka kecukupan mineral yang dianjurkan untuk orang Indonesia
(per orang per hari)26

2.4. Pola Menstruasi

Pola menstruasi merupakan serangkaian proses menstruasi yang meliputi


siklus menstruasi dan lama perdarahan menstruasi. Siklus menstruasi merupakan
waktu sejak hari pertama menstruasi sampai datangnya menstruasi periode
berikutnya. Siklus menstruasi pada wanita normalnya 28 hari, tetapi variasinya cukup
luas. Rata - rata panjang siklus menstruasi pada gadis usia 12 tahun adalah 25 hari,
pada perempuan usia 43 tahun panjang siklus menstruasinya 27 hari dan pada
perempuan usia 55 tahun siklus menstruasinya adalah 51 hari. Panjang siklus
menstruasi yang biasa pada manusia antara 21 - 35 hari, dan sekitar 97% perempuan
yang berovulasi siklus menstruasinya berkisar antar 18 - 42 hari. Jika siklusnya
kurang atau lebih 42 hari dan tidak teratur, biasanya siklusnya tidak berovulasi.27
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pola artinya bentuk (struktur) yang tetap,

16
menstruasi berarti datang bulan atau menstruasi. Jadi pola menstruasi adalah
bentuk/struktur menstruasi yang tetap setiap bulannya.

Menstruasi merupakan pengeluaran darah secara periodik (biasanya setiap


bulan) dari rahim yang berupa campuran antara darah, cairan jaringan dan bagian
kecil dari rahim (endometrium). Rata-rata seorang gadis mendapat menstruasi
pertama pada usia 13 tahun. Namun masih normal untuk seorang gadis untuk
mendapat menstruasi pada usia 9 tahun dan paling lambat pada usia 16 tahun.

Pola menstruasi meliputi:

1. Lama Menstruasi
Lama menstruasi dipengaruhi oleh usia sesorang dan dukungan
gizi. Kekurangan gizi akan menurunkan tingkat kesuburan. Asupan zat
gizi yang baik diperlukan agar nantinya didapatkan keadaan sistem
reproduksi yang sehat. Rata-rata lama menstruasi 3-5 hari dianggap
normal dan lebih dari 8 atau 9 hari dianggap tidak normal. Banyaknya
darah yang keluar pun dapat berbeda-beda pada setiap orang, bahkan
pada seorang remaja wanita banyaknya pengeluaran darah dan lamanya
menstruasi biasa berbeda-beda dari bulan ke bulan, perbedaan lama
menstruasi merupakan proses fisiologik yang dipengaruhi banyak faktor
antara lain lingkungan, lamanya menstruasi ibu, usia dan ovulasi.28
Penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2015) mengenai hubungan
durasi perdarahan menstruasi dan kadar hemoglobin menunjukkan bahwa
semakin lama durasi menstruasi seseorang maka semakin rendah kadar
hemoglobinnya.29
2. Siklus Menstruasi
Siklus menstruasi adalah serangkaian periode dari perubahan
yang terjadi berulang pada uterus dan organ-organ yang dihubungkan
pada saat pubertas dan berakhir pada saat menopause. Siklus tersebut
barvariasi dari 18 sampai 40 hari, rata-rata 28 hari.30
Siklus menstruasi pada wanita normalnya berkisar antara 21-35
hari dan hanya 10-15% yang memiliki siklus menstruasi 28 hari dengan
lama menstruasi 3-5 hari, ada yang 7-8 hari. Setiap hari ganti pembalut 2-
5 kali. Panjangnya siklus menstruasi ini dipengaruhi oleh usia, berat
badan, aktivitas fisik, tingkat stres, genetik dan gizi.27
Panjang siklus menstruasi ialah jarak antara tanggal mulainya
menstruasi yang lalu dan mulainya menstruasi berikut. Hari mulainya
perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Karena jam mulainya
menstruasi tidak diperhitungkan dan tepatnya waktu keluar menstruasi

17
dari ostium uteri eksternum tidak dapat diketahui, maka panjang siklus
mengandung kesalahan kurang lebih satu hari. Panjang siklus menstruasi
yang normal atau dianggap sebagai siklus menstruasi yang klasik ialah 28
hari, tetapi variasinya cukup luas, bukan saja antara beberapa wanita
tetapi juga pada wanita yang sama. Jadi, sebenarnya panjang siklus
menstruasi 28 hari itu tidak sering dijumpai.31
3. Volume Menstruasi
Setiap kali wanita mengalami satu siklus menstruasi normalnya
volume darah yang keluar sebanyak 30 ml dan cairan serosa sebanyak 35
ml.32 Banyaknya darah yang keluar juga bisa dihitung dari pembalut yang
digunakan, pembalut yang diganti sebanyak 1-3 kali perhari masih
dikategorikan normal.

2.5. Infeksi

Masuk dan berkembangnya mikroorganisme patogen seperti baketri, virus,


parasit, dan jamur yang berkolonisasi pada penjamu (host), kemudian akan
menghasilkan toksin yang menyebabkan penyakit. Respon inflamasi pada tubuh
penjamu terhadap infeksi yang menyebabkan suatu penyakit menimbulkan tanda dan
gejala.33

Penularan suatu infeksi dapat terjadi melalui kontak langsung dan tidak
langsung, droplet respirasi, melalui fekal-oral, transmisi seksual, transmisi vertikal
dari ibu dan anak, atau melalui vektor serangga dan antropoda.34

Mikroorganisme dapat menimbulkan penyakit bila terdapat interaksi antara


virulensi mikroba dan respon host melalui tiga tahapan yaitu; agen infeksius dapat
mematikan atau merusak sel secara langsung saat berkontak dengan sel tersebut; luka
dapat secara lokal ataupun sistemik karena produk dari bakteri seperti endotoksin
(LPS), eksotoksin, dan superantigen; dan patogen dapat merangsang respon imun
untuk menyebabkan rusaknya jaringan.34

Di Indonesia menurut hasil Riskesdas tahun 2013 penyakit menular


dikumpulkan berdasarkan cara penularannya, seperti penularan melalui udara (infeksi
saluran pernapasan akut/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis paru), penyakit yang
ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan
lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Lima provinsi dengan ISPA tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (41.7%), Papua (31.1%), Aceh (30.0%), Nusa Tenggara
Barat (28.3%), dan Jawa Timur (28.3%). Lima provinsi yang mempunyai insiden dan
prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur

18
(4.6% dan 10.3%), Papua (2.6% dan 8.2%), Sulawesi Tengah (2.3% dan 5.7%),
Sulawesi Barat (3.1% dan 6.1%), dan Sulawesi Selatan (2.4% dan 4.8%). Lima
provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI
Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%). Lima
provinsi dengan insiden dan prevalensi Malaria tertinggi adalah Papua (9,8% dan
28,6%), Nusa Tenggara Timur (6,8% dan 23,3%), Papua Barat (6,7% dan 19,4%),
Sulawesi Tengah (5,1% dan 12,5%), dan Maluku (3,8% dan 10,7%). Lima provinsi
dengan prevalensi Hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (4.3%), Papua
(2.9%), Sulawesi Selatan (2.5%), Sulawesi Tenggah (2.3%), Maluku (2.3%). Lima
provinsi dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi adalah Papua (6.3% dan
14.7%), Sulawesi Selatan (5.2% dan 10.2%), Aceh (5.0% dan 9.3%), Sulawesi Barat
(4.7% dan 10.1%), dan Sulawesi Tengah (4.4% dan 8.8%).1

Sementara hasil Profil Kesehatan Nusa Tenggara Timur pada tahun 2017,
menurut data persebaran penyakit terbanyak yang menular di tahun 2016 yaitu ISPA,
infeksi penyakit usus yang lain, diare, dan penyakit kulit infeksi. Sementara penyakit
menular terbanyak yang terdapat pada Nusa Tenggara Timur adalah Penyakit
menular yang disajikan dalam bagian ini antara lain Tuberkulosis Paru, Pneumonia,
Penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(HIV/AIDS), Kusta, Lumpuh Layu Akut / Acute Flaccid Paralysis(AFP), Dipteri,
Pertusis, Tetanus Neonatorum (TN), Campak, Polio, Hepatitis B, Demam Berdarah
Dengue(DBD), Malaria dan Filariasis.35

2.5.1. Infeksi dan Anemia

Anemia yang terjadi pada inflamasi, yang juga terjadi pada infeksi,
berhubungan dengan keluarnya sitokin proinflamasi, yang merupakan bentuk anemia
yang tersering yang terlihat secara klinis. Hal ini adalah yang terpenting untuk
membedakan anemia yang dikarenakan defisiensi besi, karena penyebab tersering
anemia adalah tidak adekuatnya suplai besi ke sumsum tulang walaupun produksi
dari besi normal ataupun meningkat. Hal ini terlihat dari rendahnya serum besi,
meningkatnya protoporfirin sel merah, rendahnya proliferasi susmsum tulang,
saturasi transferin yang berkisar pada 15-20% dan serum ferritin yang normal atau
meningkat. Kadar serum ferritin merupakan penentu yang mudah untuk membedakan
anemia yang terjadi karena kekurangan zat besi dan zat besi yang terbatas karena
adanya proses inflamasi.35

Anemia yang berhubungan dengan infeksi akut biasanya ringan namun


seiring berjalannya waktu dapat memburuk. Pada infeksi akut dapat menyebabkan

19
menurunnya kadar hemoglobin 2-3 g/dL dalam 1-2 hari. Hal ini berkaitan dengan
hemolisis sel darah merah yang mendekati waktu apoptosis berdasarkan umur
hidupnya. Demam dan keluarnya sitokin mengakibatnya tekanan terhadap sel dengan
lebih terbatas untuk mempertahankan membran sel darah merah.35

Menurut beberapa penilitan, infeksi yang dapat menyebabkan anemia antara


lain adalah malaria, tuberculosis, HIV/AIDS, dan infeksi cacing tambang. 36 Pada
malaria, anemia merupakan gejala yang sering dijumpai, mekanisme terjadinya
anemia ialah pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan sementara eritropoesis,
hemolis karena kompleks imun yang diperantari komplemen, eritrofagositosis,
penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin.36

Infeksi seperti malaria, TB, HIV/AIDS dan infestasi parasit cacing tambang
ataupun Schistosoma sp. juga berkontribusi penting terhadap kejadian anemia. 10,11
Anemia pada malaria terjadi karena peningkatan hemolisis pada eritrosit yang
terinfeksi maupun tidak, serta eritropoiesis yang terganggu.10 Beberapa kelainan
genetik atau herediter dapat menyebabkan mutasi dari rantai globin sehingga terjadi
abnormalitas dari sintetsis hemoglobin (sickle cell anemia dan talasemia), terutama di
daerah Mediterania dan Asia Tenggara.11 Anemia pada remaja putri merupakan suatu
masalah kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu, WHO mencanangkan program
pemberian suplemen zat besi dan asam folat secara intermiten.1

20
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif dengan melakukan


survei potong lintang (cross-sectional) yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
pola konsumsi, pengetahuan remaja putri terkait anemia, pola menstruasi dan riwayat
infeksi dengan kadar hemoglobin pada remaja putri di Pusat Pengembangan Anak
(PPA) Gereja Sonhalan.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di PPA Gereja Sonhalan, Amanuban Tengah,


Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur pada bulan April-September
2019.

3.3. Populasi dan Subyek Penelitian

a. Populasi Target
Populasi target penelitian ini adalah semua remaja putri usia 10-18 tahun
yang telah mengalami menstruasi di PPA Gereja Sonhalan.
b. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua remaja putri usia 10-18
tahun yang telah mengalami mestruasi di PPA Gereja Sonhalan yang
datang ke tempat PPA selama waktu pengumpulan data penelitian.
c. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah semua remaja putri usia 10-18 tahun yang
telah mengalami mestruasi di PPA Gereja Sonhalan yang datang ke
tempat PPA selama waktu pengumpulan data penelitian serta memenuhi
kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi subyek penelitian ini adalah remaja putri yang memenuhi
kriteria:
1. Remaja putri di PPA Gereja Sonhalan
2. Remaja putri yang telah mengalami menstruasi
3. Usia 10 – 19 tahun pada saat pengambilan data
4. Setuju mengikuti penelitian dengan menandatangi informed
consent
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi subyek penelitian ini adalah remaja putri yang saat
pengambilan data sedang sakit.

21
3.5. Cara Pengumpulan Data

1. Data tentang kadar hemoglobin dikumpulkan dengan cara pegambilan


sampel darah oleh petugas laboratorium lalu diperiksa di laboratorium.
Petugas akan datang ke PPA Gereja Sonhalan lalu mengambil sampel
darah remaja putri di PPA Gereja Sonhalan.
2. Pola konsumsi diperoleh dengan cara wawancara menggunakan
formulir food recall 24 jam selama 7 hari.
3. Pengetahuan, pola menstruasi dan riwayat infeksi diperoleh dengan cara
wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan oleh
peneliti.

3.6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum pengambilan data pada responden penelitan, kuesioner tingkat


pengetahuan dan pola menstruasi diuji validitas serta reabilitas untuk mengetahui
apakah kuesioner yang digunakan dapat digunakan sebagai alat ukur yang dapat
mewakili variabel bebas maupun variabel terikat yang diteliti.

Uji validitas adalah suatu langkah pengujian yang dilakukan terhadap alat
ukur dari suatu instrumen, dengan tujuan untuk mengukur ketepatan instrumen yang
digunakan dalam suatu penelitian. Pengukuran dilakukan dengan cara korelasi antar
skor pada masing-masing variabel dengan skor totalnya. Hasilnya dikatakan valid
jika skor variabel (pertanyaan) berkorelasi secara signifikan degan skor totalnya.
Dengan kata lain jika rhitung lebih besar dari rtable memberikan arti bahwa variabel
valid, namun jika rhitung lebih kecil dari rtable maka variabel yang diuji tidak valid. Uji
validitas dilakukan dengan menggunakan rumus teknik Pearson Correlation.

Untuk uji reliabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebih dahulu,


pertanyaan-pertanyaan yang sudah valid secara bersama-sama diukur reliabilitasnya.
Cara mengetahui reliabilitasnya dengan membandingkan nilai rhitung dengan nilai rtabel.
Nilai rtabel pada uji reliabilitas dinyatakan dengan ‘Cronbach’s Alpha’. Diakatakan
reliabel jika nilai ‘Cronbach’s Alpha’ lebih besar dari rtabel.

Pada penelitian ini uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 20 orang
remaja putri yang memiliki karakteristik sama dengan subyek penelitian pada remaja
putri di PPA Gereja Sonhalan.

Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan

No Pertanyaan n Pearson Hasil ‘Cronbach’ Hasil


Correlation Uji s Alpha’ Uji
1 Pertanyaan 1 20 0.774 Valid 0.747 Reliabel

22
2 Pertanyaan 2 20 0.750 Valid
3 Pertanyaan 3 20 0.466 Valid
4 Pertanyaan 4 20 0.468 Valid
5 Pertanyaan 5 20 0.444 Valid
6 Pertanyaan 6 20 0.549 Valid
7 Pertanyaan 7 20 0.576 Valid
8 Pertanyaan 8 20 0.730 Valid
9 Pertanyaan 9 20 0.532 Valid
10 Pertanyaan 10 20 0.462 Valid
11 Pertanyaan 11 20 0.442 Valid
12 Pertanyaan 12 20 0.577 Valid
13 Pertanyaan 13 20 0.664 Valid
14 Pertanyaan 14 20 0.686 Valid
15 Pertanyaan 15 20 0.590 Valid
16 Pertanyaan 16 20 0.476 Valid
17 Pertanyaan 17 20 0.589 Valid

Tabel di atas dapat menunjukkan nilai Pearson Correlation semua pertanyaan


lebih besar dari rtabel (0.4227) sehingga memberikan arti bahwa semua pertanyaan
yang digunakan untuk mengukur variabel pengetahuan semuanya valid. Dari tabel di
atas juga terlihat bahwa nilai Cronbach’S Alpha lebih besar dari rtabel yaitu sebesar
0.747 sehingga semua pertanyaan yang diajukan reliabel.

Tabel 3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pola Menstruasi

No Pertanyaan n Pearson Hasil ‘Cronbach’ Hasil


Correlation Uji s Alpha’ Uji
1 Pola Mens 1 20 0.704 Valid 0.458 Reliabel
2 Pola Mens 2 20 0.706 Valid
3 Pola Mens 3 20 0.499 Valid

Tabel di atas dapat menunjukkan nilai Pearson Correlatin semua pertanyaan


lebih besar dari rtabel (0.4227) sehingga memberikan arti bahwa semua pertanyaan
yang digunakan untuk mengukur variabel pola mentruasi semuanya valid. Dari tabel
di atas juga terlihat bahwa nilai Cronbach’S Alpha lebih besar dari rtabel yaitu sebesar
0.458 sehingga semua pertanyaan yang diajukan reliabel.

3.7. Definisi Operasional

Tabel 3.3 Defnisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur Ukur
1 Anemia Anemia adalah Pemeriksaan Swedia Anemia = Ordinal
suatu kondisi di laboratorium Alfa Hb <12
mana jumlah sel gr/dL
darah merah atau Tidak
kapasitas anemia, Hb
membawa ≥12gr/dL
oksigen tidak

23
cukup untuk
memenuhi
kebutuhan
fisiologis, yang
bervariasi
berdasarkan usia,
jenis kelamin,
ketinggian tempat
tinggal, riwayat
merokok, dan
apakah sedang
hamil atau tidak.2
2 Tingkat Tingkat Wawancara Kuesioner Baik jika Ordinal
pengetahua pengetahuan jawaban
n remaja putri benar >75%
adalah segala atau >13
sesuatu yang Sedang jika
diketahui remaja jawaban
putri benar 45-
tentang anemia, 75% atau 8-
pengertian 13
anemia,tanda dan Rendah jika
gelaja anemia, jwaban
akibat anemia, benar <45%
siapa yang paling atau <8
beresiko terkena
anemia, cara
mencegah dan
mengobati
anemia,
kadar Hb yang
dikatakan anemia
dan makanan apa
saja yang
mengandung Fe.
3 Asupan Banyaknya Wawancara Kuesioner Kelebihan Ordinal
energi makanan yang apabila
mengandung >120% AKG
energi yang Normal
apabila 90-
dikonsumsi
119% AKG
sehari-hari Defisit
dibandingkan tingkat ringan
terhadap angka apabila 80% -
kecukupan gizi 89% AKG
yang dianjurkan 37 Defisit
tingkat
Kebutuhan energi sedang
Usia 10-12 tahun apabila 70% -
= 2000 kkal 79% AKG
Usia 13-15 tahun Defisit
tingkat berat
= 2125 kkal
apabila <70%
Usia 16-18 tahun AKG
= 2125 kkal
4 Asupan Banyaknya Wawancara Kuesioner Kelebihan Ordinal
protein makanan yang apabila
mengandung >120% AKG
protein yang Normal
apabila 90-
dikonsumsi
119% AKG

24
sehari-hari Defisit
dibandingkan tingkat ringan
terhadap angka apabila 80% -
kecukupan gizi 89% AKG
Defisit
yang dianjurkan37
tingkat
Kebutuhan sedang
protein apabila 70% -
Usia 10-12 tahun 79% AKG
= 60 g Defisit
Usia 13-15 tahun tingkat berat
= 69 g apabila <70%
Usia 16-18 tahun AKG
= 59 g
5 Asupan Zat Banyaknya Wawancara Kuesioner Kelebihan Ordinal
Besi makanan yang apabila
mengandung zat >120% AKG
besi yang Normal
apabila 90-
dikonsumsi
119% AKG
sehari-hari Defisit
dibandingkan tingkat ringan
terhadap angka apabila 80% -
kecukupan gizi 89% AKG
yang dianjurkan37 Defisit
Kebutuhan besi tingkat
Usia 10-12 tahun sedang
= 20 mg apabila 70% -
Usia 13-15 tahun 79% AKG
= 26 mg Defisit
tingkat berat
Usia 16-18 tahun
apabila <70%
= 26 mg AKG
6 Siklus Siklus menstruasi Wawancara Kuesioner Tidak Ordinal
menstruasi adalah normal =
serangkaian jika >1 kali
periode dari sebulan
perubahan yang Normal = 1
terjadi berulang kali sebulan
pada uterus.
Siklus menstruasi
pada wanita
normalnya
berkisar antara
21-35 hari dan
hanya 10-15%
yang memiliki
siklus menstruasi
28 hari 27

7 Lama Waktu yang Wawancara Kuesioner Tidak Ordinal


menstruasi dialami subyek normal =
peneliatian jika >7 hari
selama Normal =
berlangsungnya ≤7 hari
menstruasi.
8 Volume Banyaknya darah Wawancara Kuesioner Tidak Ordinal
menstruasi yang keluar pada normal =
saat menstruasi >3x ganti
berlangsung, pembalut
dapat dihitung Normal =

25
dengan melihat ≤3x ganti
pembalut yang pembalut
digunakan dalam
sehari 32
9 Riwayat Riwayat infeksi Wawancara Kuesioner Tidak Ordinal
Infeksi subyek penelitian pernah
dalam 6 bulan Pernah
terakhir

3.8 Etika Penelitian

Sebelum pengumpulan data penelitian dilakukan, peneliti memberikan


informasi terkait tujuan penelitian dan prosedur yang akan dilakukan kepada subyek
penelitian. Setiap subyek penelitian memiliki hak penuh untuk bersedia atau tidak
bersedia mengikuti penelitian ini. Bagi yang bersedia akan menandatangani lembar
persetujuan (informed consent). Peneliti menjamin kerahasiaan identitas dan
informasi yang diberikan oleh responden selama dan sesudah penelitian.

3.9 Metode Pengolahan Data

Setelah data dikumpulkan akan diolah agar dapat dianalisis untuk menjawab
tujuan penelitian. Pengolahan data akan melewati beberapa tahap, yaitu:

a. Editing

Tahap editing dilakukan untuk menjelaskan pengecekan data primer apakah


jawaban sudah lengkap dan jelas.

b. Coding

Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data


berbentuk angka coding berguna untuk mempermudah analisis data.

c. Cleaning

Cleaning atau pembersihan data dilakukan untuk mengecek kembali data


yang sudah ada supaya tidak ada data yang tidak lengkap (missing).

d. Processing

Setelah dilakukan cleaning, kemudian dilakukan pengolahan data dengan


menggunakan IBM SPSS.

3.10 Metode Analisis Data

26
Analisis data untuk mencapai tujuan penelitian ini dilakukan dengan
melakukan sistem komputerisasi. Data yang telah didapatkan dianalisis secara
univariat dan bivariat dengan perangkat lunak statistik.

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan agar dapat menjelaskan karateristik


setiap variabel yang diteliti baik variabel independen maupun variabel
dependen.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara


variabel independen dengan variabel dependen. Untuk mengetahui
hubungan pola makan (energi, protein, dan zat besi), pola menstruasi,
pengetahuan tentang anemia dan riwayat infeksi dengan kadar
hemoglobin dilakukan dengan uji chi square.

27
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Pengetahuan

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 60 responden, didapatkan hasil


tingkat pengetahuan responden paling banyak adalah sedang yaitu 45 orang (75%),
dan paling sedikit adalah baik yaitu 2 orang (3.3%) yang dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

Tabel 4.1 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pengetahuan di PPA


Gereja Sonhalan Tahun 2019

No Tingkat Pengetahuan f %
1. Baik 2 3.3
2. Sedang 45 75
3. Rendah 13 21.7
Total 60 100

Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Jawaban Pertanyaan Pengetahuan

No Pertanyaan f %
1. Pernah mendengar tentang anemia
(kurang darah)
a. Ya 55 91.7
b. Tidak 5 8.3
Total 60 100

No Pertanyaan f %
2. Pengertian anemia
a. Kadar hemoglobin dalam darah
43 71.7
rendah
b. Tidak punya darah 5 8.3
c. Tidak tahu 12 20
Total 60 100

No Pertanyaan f %
3. Tanda dan gejala dari anemia
a. Cepat lelah, pucat pada kulit dan
56 93.3
telapak tangan
b. Diare dan kejang 2 3.3
c. Nyeri dada dan kaki pegal 2 3.3
Total 60 100

28
No Pertanyaan f %
4. Penyebab remaja putri lebih
berisiko terkena anemia
a. Remaja putri cenderung
lebih sering melakukan 19 31.7
diet
b. Sering mengonsumsi
makanan siap saji seperti 10 16.7
bakso dan pangsit
c. Kehilangan darah akibat
peristiwa menstruasi 31 51.7
setiap bulannya
Total 60 100

No Pertanyaan f %
5. Kelompok yang paling berisiko terkena
anemia
a. Remaja putri 53 88.3
b. Remaja putra 1 1.7
c. Lansia (lanjut usia) 6 10
Total 60 100

No Pertanyaan f %
6. Kadar Hb normal pada remaja putri
a. Kadar Hb < 12 gr/dl 29 48.3
b. Kadar Hb ≥ 12 gr/dl 31 51.7
Total 60 100

No Pertanyaan f %
7. Cara mencegah agar tidak terjadi anemia
a. Meningkatkan konsumsi zat besi
33 55
dalam makanan
b. Sering sarapan pagi 10 16.7
c. Tidak telat makan 17 28.3
Total 60 100

No Pertanyaan f %
8. Sumber makanan yang paling banyak
mengandung zat besi (Fe)
a. Protein nabati 14 23.3
b. Protein hewani 2 3.3
c. Sayur dan buah-buahan 44 73.3
Total 60 100

29
No Pertanyaan f %
9. Faktor yang menyebabkan wanita
kehilangan zat besi yang berlebihan
dalam tubuh
a. Menstruasi 26 43.3
b. Kurang mengonsumsi makanan
23 38.3
yang bergizi
c. Tidak tahu 11 18.3
Total 60 100

No Pertanyaan f %
10. Anemia dapat diobati dengan
a. Tablet zat besi 18 30
b. Kalsium 11 18.3
c. Vitamin E 31 51.7
Total 60 100

No Pertanyaan f %
11. Bahan makanan/minuman yang dapat
menghambat penyerapan zat besi
a. Teh dan kopi 37 61.7
b. Coklat dan susu 9 15
c. Daging dan sayur 14 23.3
Total 60 100

No Pertanyaan f %
12. Dampak anemia terhadap remaja putri
a. Konsentrasi belajar menurun 17 28.3
b. Selalu terlambat datang bulan 35 58.3
c. Bibir pecah-pecah 8 13.3
Total 60 100

No Pertanyaan f %
13. Kebiasaan yang dapat menghambat
penyerapan zat besi oleh tubuh
a. Kebiasaan merokok 7 11.7
b. Kebiasaan tidur terlalu larut
29 48.3
malam
c. Kebiasaan minum teh/kopi
24 40
bersamaan sewaktu makan
Total 60 100

30
No Pertanyaan f %
14. Dampak jika menderita anemia pada
masa kehamilan atau persalinan
a. Rambut rontok pada saat
10 16.7
kehamilan
b. Mual dan muntah pada saat
23 38.3
kehamilan
c. Adanya risiko keguguran dan
27 45
perdarahan pada saat melahirkan
Total 60 100

No Pertanyaan f %
15. Vitamin yang membantu penyerapan zat
besi di dalam tubuh
a. Vitamin E 31 51.7
b. Vitamin D 9 15
c. Vitamin C 20 33.3
Total 60 100

No Pertanyaan f %
16. Pengertian zat besi
a. Zat gizi penting yang diperlukan
dalam pembentukan darah 34 56.7
(pembentukan hemoglobin)
b. Zat gizi penting yang diperlukan
15 25
dalam pembentukan lemak tubuh
c. Zat gizi penting yang diperlukan
11 18.3
dalam pembentukan protein
Total 60 100

No Pertanyaan f %
17. Manfaat zat besi dalam tubuh
a. Sebagai sintesa lemak di dalam
15 25
tubuh
b. Sebagai sintesa protein di dalam
27 45
tubuh
c. Sebagai alat transport oksigen
18 30
(O2) ke jaringan tubuh
Total 60 100

4.1.1. Hubungan Pengetahuan dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Berdasarkan hasil analisis hubungan pengetahuan dengan kadar hemoglobin


(Hb) diperoleh kadar hemoglobin yang tidak normal (Hb <12 gr/dl) yaitu 11 orang
dengan kategori tingkat pengetahuan sedang sebanyak 6 orang (13.3%) dan kategori
rendah sebanyak 5 orang (38.5%). Sedangkan diperoleh kadar hemoglobin yang

31
normal (Hb ≥12 gr/dl) yaitu 49 orang dengan kategori baik sebanyak 2 orang
(100%), kategori sedang sebanyak 39 orang (86.7%) dan kategori rendah sebanyak 8
orang (61.5%). Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square menunjukkan
tidak ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kadar hemoglobin (Hb)
yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3 Hubungan Pengetahuan dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Anemia
Tingkat Anemia Tidak anemia
Total p
Pengetahuan (Hb < 12 gr/dl) (Hb ≥ 12 gr/dl)
N % n % n %
Baik 0 0 2 100 2 100
Sedang 6 13.3 39 86.7 45 100 0.095
Rendah 5 38.5 8 61.5 13 100

4.2. Pola Makan

Pola makan dapat diukur dengan tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein,
dan zat besi) yang dikonsumsi responden diperoleh dari food recall 24 jam yang
dilakukan selama 7 hari berturut-turut. Dari hasil food recall 24 jam, dihitung jumlah
konsumsi energi, protein dan besi.

4.2.1. Konsumsi Energi, Protein dan Zat Besi

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi


responden adalah kategori kelebihan yaitu 1 orang (1.6%), kategori defisit ringan
yaitu 3 orang (4.8%), kategori defisit sedang yaitu 2 orang (3.2%), dan kategori
defisit berat yaitu 54 orang (90.4%) yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.4 Distribusi Konsumsi Energi di PPA Sonhalan Tahun 2019

No Status Energi f %

1 Kelebihan 1 1.6

2 Defisit Ringan 3 4.8

3 Defisit Sedang 2 3.2

4 Defisit Berat 54 90.4

Total 60 100

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein


terbesar adalah kategori defisit berat yaitu 43 orang (71.7%) dan konsumsi protein

32
yang paling rendah adalah kategori normal sebanyak 3 orang (5%) yang dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.5 Distribusi Konsumsi Protein di PPA Sonhalan Tahun 2019

No Status Protein f %
1 Kelebihan 5 8.3
2 Normal 3 5
3 Defisit Ringan 4 6.7
4 Defisit Sedang 5 8.3
5 Defisit Berat 43 71.7
Total 60 100

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsumsi zat besi


(Fe) terbesar pada responden adalah kategori defisit berat sebanyak 53 orang (88.3%)
dan yang paling rendah adalah kategori normal sebanyak 2 orang (3.3%) yang dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.6 Distribusi Konsumsi Zat Besi (Fe) di PPA Sonhalan Tahun 2019

No Status Zat Besi (Fe) f %


1 Kelebihan 5 8.4
2 Normal 2 3.3
3 Defisit Berat 53 88.3
Total 60 100

4.3. Hubungan Konsumsi Energi dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Berdasarkan hasil analisis hubungan konsumsi energi dengan kadar


hemoglobin (Hb) diperoleh kadar hemoglobin yang tidak normal (Hb <12 gr/dl)
yaitu 11 orang yaitu kategori defisit ringan sebanyak 1 orang (33.3%), dan kategori
defisit berat sebanyak 10 orang (18.5%), sedangkan diperoleh kadar hemoglobin
yang normal (Hb >12 gr/dl) yaitu 49 orang yaitu kategori kelebihan sebanyak 1
orang (100%), defisit ringan sebanyak 2 orang (66.7%), defisit sedang sebanyak 2
orang (100%), dan kategori defisit berat sebanyak 44 orang (81.5%). Hasil uji
statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara konsumsi energi dengan
kadar hemoglobin (Hb) yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.7 Konsumsi Energi dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Anemia
Tidak anemia
Anemia
Status Energi (Hb ≥12 Total p
(Hb <12 gr/dl)
gr/dl)
n % N % n %

33
Kelebihan 0 0 1 100 1 100
Defisit Ringan 1 33.3 2 66.7 3 100
0.771
Defisit Sedang 0 0 2 100 2 100
Defisit Berat 10 18.5 44 81.5 54 100

4.4. Hubungan Konsumsi Protein dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Berdasarkan hasil analisis hubungan konsumsi protein dengan kadar


hemoglobin (Hb) diperoleh kadar hemoglobin yang tidak normal (Hb <12 gr/dl)
yaitu 11 orang yaitu kategori kelebihan sebanyak 1 orang (20%), normal 1 orang
(33.3%), kategori defisit sedang sebanyak 2 orang (40%), dan kategori defisit berat
sebanyak 7 orang (16.3%). Sedangkan diperoleh kadar hemoglobin yang normal (Hb
>12 gr/dl) yaitu 49 orang yaitu kategori kelebihan sebanyak 4 orang (80%) dan
kategori normal sebanyak 2 orang (66.7%), kategori defisit ringan sebanyak 4 orang
(100%), kategori defisit sedang sebanyak 3 orang (60%) dan kategori defisit berat
sebanyak 36 orang (83.7%). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan
bermakna antara konsumsi protein dengan kadar hemoglobin (Hb) yang dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.8 Hubungan Konsumsi Protein dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Anemia
Tidak anemia
Anemia
Status Protein (Hb ≥12 Total p
(Hb <12 gr/dl)
gr/dl)
n % n % n %
Kelebihan 1 20 4 80 5 100
Normal 1 33.3 2 66.7 3 100 0.550
Defisit Ringan 0 0 4 100 4 100
Defisit Sedang 2 40 3 60 5 100
Defisit Berat 7 16.3 36 83.7 43 100

4.5. Hubungan Konsumsi Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Berdasarkan hasil analisis hubungan konsumsi zat besi dengan kadar


hemoglobin (Hb) diperoleh kadar hemoglobin yang tidak normal (Hb <12 gr/dl)
yaitu 11 orang yaitu kategori kelebihan sebanyak 1 orang (20%), normal sebanyak 2
orang (100%) dan defisit berat sebanyak 8 orang (15.1%). Sedangkan diperoleh
kadar hemoglobin yang normal (Hb >12 gr/dl) yaitu 49 orang yaitu kategori
kelebihan sebanyak 4 orang (80%), dan defisit berat sebanyak 45 orang (84.9%).
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan bermakna antara konsumsi zat besi
dengan kadar hemoglobin (Hb) dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

34
Tabel 4.9 Hubungan Konsumsi Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Anemia
Tidak anemia
Status Zat Anemia
(Hb ≥12 Total p
Besi (Hb <12 gr/dl)
gr/dl)
N % n % n %
Kelebihan 1 20 4 80 5 100
Normal 2 100 0 0 2 100 0.010
Defisit
8 15.1 45 84.9 53 100
Berat

4.6. Pola Menstruasi

Pada penelitian ini didapatkan hasil frekuensi menstruasi sebagian besar


responden normal yaitu sebulan sekali. Responden dengan frekuensi menstruasi
sebulan sekali sebanyak 43 orang (71.7%), frekuensi menstruasinya lebih dari 1 kali
sebulan sebanyak 15 orang (25%) dan sebanyak 2 orang (3.3%) yang mengalami
frekuensi menstruasi dua bulan sekali atau lebih yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.10 Frekuensi Menstruasi

Frekuensi menstruasi setiap bulan f %


Satu kali sebulan 43 71.1
Lebih dari 1 kali sebulan 15 25
Dua bulan sekali atau lebih 2 3.3
Total 60 100

Normalnya wanita mengalami menstruasi kurang atau sama dengan 7 hari


pada penelitian ini untuk lama rata-rata menstruasi setiap bulan didapatkan hasil
sebanyak 45 orang (75%) dengan lama menstruasi setiap bulan kurang dari atau sama
dengan 7 hari, sisanya sebanyak 15 orang (25%) dengan lama menstruasi setiap
bulan lebih 7 hari yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.11 Lama Menstruasi

Lama menstruasi setiap bulan f %


≤7 hari 45 75
>7 hari 15 25
Total 60 100

35
Dari sebanyak 60 orang responden yang mengikuti penelitian sebanyak 35
orang (58.3%) mengganti pembalut kurang atau sama dengan 3 kali dalam sehari dan
sebanyak 25 orang (41.7%) mengganti pembalut lebih dari 3 kali dalam sehari saat
menstruasi yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.12 Banyaknya Menstruasi

Jumlah mengganti pembalut dalam


f %
sehari 4.7.
>3 kali ganti pembalut 25 41.7
≤3 kali ganti pembalut 35 58.3 H
Total 60 100
ubungan Pola Menstruasi dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh tidak terdapat hubungan yang


bermakna antara kadar hemoglobin dengan frekuensi menstruasi, lama menstruasi
dan banyaknya volume darah yang dikeluarkan.

Tabel 4.13 Hubungan Pola Menstruasi dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Pola Menstruasi Kadar Hemoglobin (Hb) p


Anemia Normal Total
n % n % n %
Frekuensi
Satu kali sebulan 7 16.3 36 83.7 43 100
>1 kali sebulan 4 26.7 11 73.3 15 100 0.531
≥ 2 bulan sekali 0 0 2 100 2 100
Lama
≤ 7 hari 9 20 36 80 45 100 0.563
>7 hari 2 13.3 13 86.7 15 100
Ganti pembalut
>3 kali 6 24 19 76 25 100 0.338
≤ 3 kali 5 14.3 30 85.7 35 100

4.8. Hubungan Infeksi dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Berdasarkan hasil penelitian tidak didapatkan responden yang pernah


terinfeksi penyakit dalam 6 bulan terakhir, sehingga hubungan antara status anemia
(kadar hemoglobin rendah) dengan infeksi tidak dapat dianalisis.

Tabel 4.14 Hubungan Anemia dengan infeksi

Status Anemia
Riwayat
Anemia Tidak Anemia Total p
Infeksi
n % n % n %
Tidak 11 18.3 49 81.7 60 100 -

36
pernah

37
BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Pengetahuan dengan Kadar Hemoglobin

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap remaja putri di PPA


Gereja Sonhalan, dapat dilihat bahwa sebagian besar remaja putri memiliki
pengetahuan sedang sebesar 75% dan pengetahuan rendah sebesar 21.7%. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang anemia pada remaja putri cukup.
Pengetahuan remaja putri yang kurang baik bisa disebabkan oleh karena dalam
kurikulum sekolah tidak terdapat topik yang membahas tentang anemia secara
khusus.

Hasil uji statistik dengan chi square ternyata tidak didapatkan adanya
hubungan yang bermakna antara pengetahuan remaja putri tentang anemia di PPA
Gereja Sonhalan dengan kadar hemoglobin, dengan nilai p = 0.095 (p >0.05).
Dengan kata lain, semakin tinggi pengetahuan remaja mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan anemia tidak menjamin remaja tersebut tidak menderita anemia.
Hal ini dapat dikarenakan adanya variabel pengganggu yang lebih dominan sehingga
menyebabkan remaja putri mengalami anemia, yaitu seperti status gizi yang kurang,
pola makan yang kurang baik, penyakit seperti cacingan atau malaria yang tidak
diketahui, aktivitas fisik yang berlebihan sedangkan nutrisi tidak terpenuhi dan
ekonomi yang berpengaruh pada daya beli pangan.

Faktor tidak langsung penyebab anemia yaitu faktor pengetahuan, status


pendidikan, keadaan lingkungan dan kurangnya asupan kebutuhan zat besi. Anemia
dapat disebabkan oleh pengetahuan. Tingkat pengetahuan tentang anemia yang tinggi
tetapi tidak disertai dengan perubahan perilaku dalam kehidupan sehari-hari
menyebabkan tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang anemia
dengan kadar hemoglobin remaja putri di PPA Gereja Sonhalan. Banyak remaja putri
di PPA Gereja Sonhalan yang tidak cukup mengonsumsi makanan sumber zat besi
termasuk sayuran dan buah-buahan serta lebih senang mengonsumsi makanan yang
umumnya mengandung kalori, kadar lemak dan gula yang tinggi tetapi rendah serat,
zat besi, vitamin A, vitamin B12, asam folat dan kalsium.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ikhmawati, dkk (2013) bahwa
tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang anemia terhadap kadar hemoglobin
pada remaja putri di asrama SMA MTA Surakarta. 6 Selain itu juga sesuai dengan
penelitian Hapzah (2012) bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan

38
kejadian anemia remaja putri pada siswi kelas III di SMAN I Tinambung Kabupaten
Polewali Mandar.38 Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan Kuswarini (2012)
yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
kejadian anemia.39 Wati (2010) juga menyatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kejadian anemia.40

Pengetahuan gizi menjadi landasan yang menentukan konsumsi sehingga


apabila seseorang telah memasuki usia remaja atau dewasa mampu memenuhi
kebutuhan energi tubuhnya dengan perilaku makannya karena pengetahuan tentang
gizi sangat bermanfaat dalam menentukan apa yang dikonsumsi setiap hari. Dari
hasil penelitian Sihotang (2012) pengetahuan remaja putri tentang anemia mayoritas
diperoleh dari media (elektronik, cetak, internet) (50%), dari guru (25.5%), dari
keluarga (16%), dari petugas kesehatan (7.4%) dan dari teman (1.1%).41

5.2. Hubungan Pola Makan dengan Kadar Hemoglobin

Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan, baik secara


fisik, mental, dan aktivitas sehingga, kebutuhan makanan yang mengandung zat-zat
gizi menjadi cukup besar. Remaja putri pada umumnya memiliki karakteristik pola
makan tidak sehat. Antara lain kebiasaan tidak makan pagi, malas minum air putih,
diet tidak sehat karena ingin langsing (mengabaikan sumber protein, karbohidrat,
vitamin dan mineral), kebiasaan ngemil makanan rendah gizi dan makan makanan
siap saji. Sehingga remaja tidak mampu memenuhi keanekaragaman zat makanan
yang dibutuhkan oleh tubuhnya untuk proses sintesis pembentukan hemoglobin. Bila
hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kadar hemoglobin
terus berkurang dan menimbulkan anemia.42

Remaja putri berisiko sepuluh kali untuk menderita anemia dibanding dengan
remaja putra. Selain karena ketidakseimbangan asupan zat gizi, faktor pertumbuhan,
juga adanya siklus menstruasi bulanan yang menyebabkan remaja putri
membutuhkan asupan Fe lebih banyak. Kebiasaan membatasi konsumsi makanan dan
pantangan terhadap makanan juga menjadi faktor penyebab anemia pada remaja
putri.43

Hasil penelitian tentang kejadian anemia pada remaja putri di PPA Gereja
Sonhalan menunjukkan bahwa hanya 11 orang remaja puteri yang mengalami anemia
dari 60 orang (18.3%). Remaja putri yang mengalami anemia disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya kebiasaan atau pola makan. Arisman (2004) menjelaskan

39
bahwa pola makan merupakan cara seseorang dalam memilih makanan dan
memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh psikologis, fisiologi, budaya dan
sosial. Harper dkk (2006) menambahkan kebiasaan/pola makan adalah suatu perilaku
yang berhubungan dengan makan seseorang, pola makanan yang dimakan, pantangan
makanan, distribusi makanan dalam keluarga, preferensi terhadap makanan serta cara
memilih makanan.44 Beberapa riset menunjukkan adanya kaitan antara konsumsi
hidangan yang lengkap dengan status gizi. Makanan yang beraneka ragam sangat
diperlukan karena tidak ada satu jenis bahan makanan yang mengandung zat gizi
lengkap. Selain itu, jumlah dan jenis zat gizi yang terkandung dalam tiap jenis bahan
makanan juga berbeda-beda.45 Penyebab rendahnya kadar hemoglobin dalam darah
salah satunya adalah asupan yang tidak mencukupi kebutuhan gizi remaja. Asupan
zat gizi sehari-hari sangat dipengaruhi oleh pola makan. Anemia terdeteksi pada anak
perempuan pedesaan mungkin karena pola makan yang buruk dan menorrhagia.42

5.3. Hubungan Konsumsi Energi dengan Kadar Hemoglobin

Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh, zat gizi terbagi menjadi dua
golongan yaitu zat gizi makro yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein, serta
zat gizi mikro yaitu mineral dan vitamin. Adapun kebutuhan energi remaja putri
berdasarkan AKG adalah pada usia 10-12 tahun = 2000 kkal, usia 13-15 tahun = 2125
kkal dan usia 16-18 tahun = 2125 kkal setiap harinya. Angka kecukupan gizi ini
dianjurkan 60% berasal dari karbohidrat seperti beras, terigu dan hasil olahannya
serta umbi-umbian, jagung, sagu dan gula.43

Berdasarkan hasil penelitian, konsumsi energi terbesar pada kategori defisit berat
pada remaja putri disebabkan karena ketidakseimbangan antara konsumsi makanan
dengan kecukupan energi yang dibutuhkan dalam melakukan aktivitas fisik sehari-
hari, dimana jumlah energi yang dikonsumsi kurang dari kebutuhan. Jika hal ini
berkelanjutan akan mengakibatkan gangguan pada proses pertumbuhan dan
perkembangan remaja.

Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara
tingkat energi yang dikonsumsi remaja putri di PPA Sonhalan dengan kadar
hemoglobin. Dari hasil food recall yang dilakukan, didapatkan 32 responden (53.3%)
dari 60 responden mengkonsumsi teh dan kopi sebagai pendamping makan pagi dan
siang. Hal ini sesuai dengan penelitian WHO yaitu kebiasaan mengonsumsi teh atau
kopi segera setelah makan oleh remaja putri juga berkontribusi terhadap prevalensi
anemia yang lebih tinggi sekitar 50% dibandingkan dengan mereka yang tidak

40
mengkonsumsi teh/kopi setelah makan yaitu sekitar 34%.46 Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Himanshu, prevalensi anemia sekitar 81.5% dimana 54.3% memiliki
anemia sedang hingga berat pada remaja yang mengkonsumsi makanan cepat saji dua
kali atau lebih per minggu. Di sisi lain 74.6% remaja memiliki anemia yang
mengkonsumsi makanan cepat saji sekali atau kurang per minggu. 47 Dari hasil food
recall yang di lakukan, didapatkan bahwa remaja putri sering mengonsumsi mie
sebagai makanan pokok dan makanan tambahan.

5.4. Hubungan Konsumsi Protein dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Protein merupakan salah satu zat gizi yang diperlukan oleh tubuh terutama
untuk membangun sel dan jaringan, memelihara dan mempertahankan daya tahan
tubuh, membantu enzim, hormon dan berbagai bahan biokimia lain. Dengan
demikian, kekurangan asupan protein akan sangat mempengaruhi berbagai kondisi
tubuh yang diperlukan untuk tetap bertahan sehat.48 Kecukupan protein remaja harus
memenuhi 10-15 % dari total energi.43

Protein berhubungan dengan anemia karena hemoglobin yang diukur untuk


menentukan status anemia seseorang merupakan pigmen darah yang berwarna merah
berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbondioksida adalah ikatan protein.
Sumber protein hewani yang bersumber dari daging sapi, kambing, ayam, hati, dan
ikan berperan meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus. 48 Remaja putri di
PPA Gereja Sonhalan umumnya jarang mengkonsumsi sumber protein. Diduga hal
tersebut berpengaruh terhadap peningkatan risiko anemia di kalangan remaja yang
diteliti.

Protein merupakan sumber utama zat besi dalam makanan. Absorbsi zat besi di
dalam usus halus dibantu oleh alat angkut protein yaitu transferin dan feritin.
Transferin mengandung besi berbentuk fero yang berfungsi mentranspor besi ke
sumsum tulang untuk pembentukkan hemoglobin. Protein terdapat pada pangan
nabati maupun hewani. Sumber protein pada bahan pangan yang bersumber dari
hewani lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan yang bersumber dari nabati
Sulistyoningsih (2011).49

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada remaja putri di PPA Gereja
Sonhalan didapatkan bahwa remaja putri yang konsumsi proteinnya defisit berat
memiliki kadar hemoglobin yang tidak normal (anemia) sedangkan yang memiliki
kadar hemoglobin normal juga dengan konsumsi protein yang defisit berat. Hasil uji
statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara konsumsi

41
protein yang dikonsumsi remaja putri di PPA Gereja Sonhalan dengan kadar
hemoglobin. Hal ini disebabkan kemungkinan karena kurangnya konsumsi protein
hewani dan protein nabati, tingkat pengetahuan akan sumber makanan yang
mengandung protein serta bias pada food recall yang dilakukan selama 7 hari.

5.5. Hubungan Konsumsi Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Zat besi adalah mineral mikro yang banyak terdapat di dalam tubuh manusia.
Zat besi dalam tubuh dapat diperoleh dari hasil siklus ulang sel-sel darah merah yang
rusak dan dari makanan. Persediaan zat besi dalam makanan dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu, makanan dengan persediaan zat besi rendah terdiri dari bahan
makanan yang tidak bervariasi yaitu biji-bijian, akar-akaran dan umbi-umbian
dengan hampir tidak pernah mengkonsumsi daging, ikan dan makanan yang
mengandung vitamin C. Makanan dengan persediaan zat besi sedang terdiri dari biji-
bijian, akar-akaran dan umbi-umbian termasuk pula makanan yang bersumber dari
hewan serta makanan yang mengandung vitamin C. Makanan dengan persediaan zat
besi tinggi yaitu makanan yang banyak sekali mengandung daging, unggas, ikan atau
makanan-makanan yang kaya akan vitamin C.48

Anemia diperoleh bukan hanya dari tingkat konsumsi protein saja, terjadinya
anemia disebabkan oleh karena kekurangan konsumsi zat besi, vitamin B6, atau
piridoksin, vitamin E dan Vitamin C yang mempengaruhi absorbsi dan pelepasan zat
besi ke dalam jaringan tubuh .49

Menurut Bakta (2006) simpanan zat besi yang cukup akan memenuhi
kebutuhan untuk pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang. Apabila
jumlah simpanan zat besi berkurang dan asupan Fe yang dikonsumsi rendah akan
menyebabkan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu, akibatnya kadar
hemoglobin turun di bawah nilai normal sehingga terjadi anemia gizi besi. Marizal
(2007) mengatakan bahwa akibat dari kekurangan asupan zat besi dapat
menimbulkan gejala lesu, lemah, letih dan cepat lupa yang dapat menurunkan daya
tahan tubuh dan mudah terserang infeksi sehingga dapat menurunkan prestasi belajar,
olahraga dan produktivitas kerja.49

Sumber zat besi dalam makanan dapat dibedakan menjadi dua sumber zat
besi yang berasal dari hewan yang disebut sumber besi heme contohnya daging,
jeroan, ikan dan unggas. Sedangkan sumber zat besi yang berasal dari nabati disebut
sumber besi non heme contohnya nabati, kedelai kacang-kacangan, sayuran daun
hijau dan rumput laut. Zat besi non heme yang berasal dari nabati biovailabilitasnya

42
lebih rendah dibanding zat besi heme yang berasal dari sumber hewani. Zat besi yang
berasal dari sumber hewani (heme) dapat diserap lebih (30%) lebih baik dibanding
yang berasal dari sumber nabati (5%).50 Sebaiknya remaja mengkonsumsi zat besi
sebanyak 20mg/hari pada usia 10-12 tahun dan sebanyak 26 mg/hari pada usia 13-18
tahun untuk mencukupi kebutuhan zat besinya. Semakin tinggi asupan protein,
vitamin C dan zat besi semakin tinggi pula kadar hemoglobin remaja.43

Berdasarkan hal tersebut, hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa remaja
putri di PPA Sonhalan berada pada kelompok makanan dengan persediaan zat besi
kurang yaitu jarang mengonsumsi daging sehingga zat besi remaja putri tidak
terpenuhi.

5.6. Hubungan Pola Menstruasi dengan Kadar Hemoglobin (Hb)

Menstruasi merupakan peristiwa luruhnya darah dari rahim yang terjadi


secara berkala. Mentruasi mempunyai pola tertentu, pola menstruasi sendiri
merupakan serangkaian proses menstruasi yang meliputi siklus menstruasi, lama
perdarahan menstruasi serta banyaknya darah setiap kali menstruasi. Siklus
menstruasi pada wanita normalnya 28 hari, namun variasinya cukup luas yaitu sekitar
21-35 hari atau satu bulan sekali. Lama menstruasi wanita normalnya adalah 3-5 hari.
Lama mentruasi dipengaruhi oleh usia sesorang dan dukungan gizi. Kekurangan gizi
akan menurunkan tingkat kesuburan. Asupan zat gizi yang baik diperlukan agar
nantinya didapatkan keadaan sistem reproduksi yang sehat. Untuk volume menstruasi
normalmya wanita kehilangan darah sebanyak 30 ml dan cairan serosa sebanyak 35
ml. Banyaknya darah yang keluar dapat dihitung dari pembalut yang diganti dalam
sehari, pembalut yang diganti sebanyak 1-3 kali perhari masih dikategorikan normal.

Pada penelitian ini didapatkan hasil sebagian besar remaja memiliki frekuensi
menstruasi yang normal yaitu sebulan sekali sebanyak 71.7%. Sebagian besar remaja
juga memiliki lama menstruasi yang normal yaitu sebanyak 75%. Selain itu, untuk
volume darah yang keluar setiap kali menstruasi sebagian besar remaja normal yang
terlihat dari sebanyak 58.3% remaja putri mengganti pembalut kurang dari atau sama
dengan 3 dalam satu hari. Meskipun masih terdapat remaja putri dengan pola
menstruasi tidak normal, namun hal ini masih dikatakan wajar karena usia remaja
masih dalam batas toleransi terhadap pola menstruasi tidak normal yang dikarena
kondisi fisik dan psikis remaja putri termasuk hormon-hormon seksualnya belum
stabil.

43
Berdasarkan tabel pola menstruasi dengan kadar hemoglobin remaja putri di
PPA Gereja Sonhalan didapatkan proporsi remaja putri dengan frekuensi menstruasi
normal (satu kali sebulan) dan memiliki kadar hemoglobin normal sebesar 83.7%,
proporsi remaja putri dengan lama mestruasi normal (≤ 7 hari) dan memiliki kadar
hemoglobin normal sebesar 80% serta proporsi remaja putri dengan volume darah
yang dikeluarkan normal dan memiliki kadar hemoglobin normal sebesar 76%.

Hasil uji statitik diperoleh hasil tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara kadar hemoglobin dengan frekuensi mentruasi dengan nilai p = 0.531 (p
>0.05), tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin dengan
lama mentruasi dengan nilai p = 0.563 dan untuk hubungan kadar hemoglobin
dengan banyaknya volume darah yang dikeluarkan juga tidak bermakna dengan nilai
p = 0.338. Hasil hubungan frekuensi menstruasi dan lama menstruasi dengan kadar
hemoglobin tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Elsa (2014). Tarigan
(2014) yang mengatakan terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin
dengan frekuensi lama menstruasi pada remaja putri SMA Cahaya Medan. 51 Hasil
yang tidak bermakna antara kadar hemoglobin dengan volume darah yang
dikeluarkan selama menstruasi juga tidak sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bernardi dkk (2016) pada wanita Amerika-Afrika. Pada penelitian
tersebut dilakukan survey pada 44 wanita, 44 orang wanita yang mengikuti penelitian
diminta untuk mengklasifikasikan darah yang dikeluarkan selama satu kali mentruasi
lalu mengelompokkannya menjadi kategori normal, berat dan sangat berat. Hasil dari
penelitian tersebut wanita yang mengalami anemia lebih banyak masuk dalam
kategori berat dan sangat berat dibandingkan wanita yang tidak mengalami anemia.
Pada uji dengan SPSS juga diperoleh hasil terdapat hubungan yang bermakna dengan
p = 0.021.52

Penelitian yang dilakukan pada remaja putri di PPA Gereja Sonhalan tidak
menunjukan hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin dengan pola
menstruasi, hal ini tidak sesuai dengan 2 hasil penelitian sebelumnya. Hasil yang
tidak bermakna tersebut dapat disebabkan karena adanya perancu dalam penelitian
ini, diantaranya ada kemungkinan remaja tidak mengingat dengan benar pola
menstruasi mereka sehingga apa yang mereka isi tidak sesuai dengan kenyataan yang
ada, selain itu masih ada beberapa remaja yang pola menstruasinya belum teratur
sehingga mereka kesulitan memilih jawaban yang tepat dengan kondisi pola
mentruasi mereka, perancu lain yang dapat mempengaruhi adalah kenyamanan setiap
orang dalam memakai pembalut yang berbeda-beda. Ada orang yang mengganti

44
pembalut lebih dari 3 kali dalam sehari bukan karena darah dalam pembalut sudah
penuh namun karena mereka tidak nyaman memakai satu pembalut dalam jangka
waktu lama sehingga mereka sering mengganti pembalut. Disamping itu jenis dan
ukuran pembalut yang digunakan juga mempengaruhi banyaknya pembalut yang
diganti dalam satu hari.

5.7. Hubungan Anemia dengan Infeksi

Salah satu tanda adanya infeksi adanya inflamasi. Respon inflamasi dapat
memicu terjadinya anemia melalui pengaruh menurunnya absorbsi zat besi dan
menurunnya fungsi eritropoesis. Hubungan pengaruh inflamasi dengan penurunan
kadar hemoglobin terlihat pada penelitian yang dilaporkan di Denmark, Sierra Leone,
dan Amerika. 53

Penelitian berikut menunjukan hubungan antara infeksi parasit yang


menyerang perut berhubungan dengan anemia itu bermakna ialah ditemukannya
koinfeksi T. trichiura dan cacing tanah dengan anemia yang dilakukan oleh anak-
anak di Panamanian. Hal ini dapat terjadi dikarenakan efek sinergis dari kedua
spesies yang menyebabkan hilangnya darah oleh cacing tanah dan fungsi reabsorbsi
atau pencernaan zat besi oleh T. trichiura.54

Malaria menyebabkan anemia pada daerah tropis dikarenakan proses


hemolisis dari infeksi dan eritrosit yang tidak terinfeksi dan eritropoesis sumsum
tulang yang cepat terjadi karena anemia.55

Beberapa penelitian tersebut mendukung bahwa infeksi dapat menyebabkan


anemia, walaupun pada penelitian yang kami lakukan tidak dapat menunjukkan hasil
tersebut dikarenakan dari seluruh responden tidak ada yang pernah mengalami
infeksi dalam kurun waktu 6 bulan terakhir sehingga kami tidak dapat meneliti
hubungan tersebut.

45
BAB VI

PENUTUP

6.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengambilan dan pengolahan data, peneliti dapat menarik


beberapa simpulan, yaitu:

1. Sebagian besar remaja putri di PPA Gereja Sonhalan mempunyai pengetahuan


sedang (75.0%).
2. Hampir semua remaja putri di PPA Gereja Sonhalan tingkat konsumsi energi
masuk kategori defisit berat (90.4%).
3. Sebagian besar remaja putri di PPA Gereja Sonhalan tingkat konsumsi protein
masuk kategori defisit berat (71.7%).
4. Hampir semua remaja putri di PPA Gereja Sonhalan tingkat konsumsi zat besi
(Fe) masuk kategori defisit berat (88.3%).
5. Sebagian besar remaja putri di PPA Gereja Sonhalan dengan kadar
hemoglobin normal memiliki pola menstruasi normal (satu kali sebulan)
(83.7%), lama mestruasi normal (≤7 hari) (80%) serta jumlah volume darah
yang dikeluarkan normal (85.7%).
6. Semua remaja putri di PPA Gereja Sonhalan tidak ada riwayat infeksi
penyakit dalam 6 bulan terakhir dan sebagian besar remaja putrinya tidak
menderita anemia (81.7%).
7. Tidak ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kadar hemoglobin
pada remaja putri di PPA Gereja Sonhalan (p = 0.095).
8. Tidak ada hubungan bermakna antara energi dengan kadar hemoglobin pada
remaja putri di PPA Gereja Sonhalan (p = 0.771)
9. Tidak ada hubungan bermakna antara asupan protein dengan kadar
hemoglobin pada remaja putri di PPA Gereja Sonhalan (p = 0.550).
10. Terdapat hubungan bermakna antara asupan zat besi (Fe) dengan kadar
hemoglobin pada remaja putri di PPA Gereja Sonhalan (p = 0.010).
11. Tidak ada hubungan bermakna antara frekuensi menstruasi dengan kadar
hemoglobin pada remaja putri di PPA Gereja Sonhalan (p = 0.531).
12. Tidak ada hubungan yang signifikan antara lama menstruasi dengan kadar
hemoglobin pada remaja putri di PPA Gereja Sonhalan (p = 0.563).
13. Tidak ada hubungan bermakna antara banyaknya volume darah yang
dikeluarkan dengan kadar hemoglobin pada remaja putri di PPA Gereja
Sonhalan (p = 0.338).

46
14. Hubungan antara status anemia dengan infeksi tidak dapat dianalisis oleh
karena tidak diperoleh responden yang pernah terinfeksi penyakit dalam 6
bulan terakhir.

6.1. Saran
1. Bagi Remaja
Remaja dianjurkan untuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah, untuk tidak
makan bersama makanan atau minuman yang menghambat penyerapan
zat besi seperti tanin yang terkandung dalam teh dan asam oksalat yang
terkandung dalam kangkung.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
● Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengontrol variabel perancu
pada penelitian ini.
● Memperdalam penelitian ini yang berhubungan dengan pola
makan dinilai dalam rentang waktu yang lebih panjang untuk
mengetahui pola atau kebiasaan makan.
3. Bagi Pengelola PPA Gereja Sonhalan
Pengelola diharapkan dapat memberikan informasi dan edukasi seputar
pemberian makanan dan jenis makanan yang dapat dikonsumsi anak-anak
di PPA Gereja Sonhalan sehingga dapat dimengerti jenis dan kandungan
makanan yang dikonsumsi.

6.2. Kelemahan Penelitian


Penggunakan food recall pada penelitian ini hanya dapat mengetahui nilai
kalori, protein, dan zat besi yang dikonsumsi pada beberapa saat tertentu, sedangkan
pola makan butuh pemantauan jenis makanan yang lebih lama untuk mengetahui
kebiasaan konsumsi seseorang.

DAFTAR PUSTAKA

47
1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Riskesdas 2013. Available at:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf. Accessed on February 27, 2019.
2. Summary tables and maps on worldwide prevalence of anaemia. Available at:
https://www.who.int/vmnis/database/anaemia/anaemia_data_status/en.
Accessed on February 27, 2019
3. RI K. Buku remaja. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017. 2018.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Riskesdas 2018. Available at:
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-
terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf. Accessed
on: February 27, 2019
5. Shara FL, Wahid I, Arti RS. Hubungan status gizi dengan kejadian anemia
pada remaja putri di SMAN 2 Sawahlunto tahun 2014. Jurnal Kesehatan
Andalas 2017;6(1): 202-07. J
6. Ikhmawati Y. Hubungan antara pengetahuan tentang anemia dan kebiasan
makan terhadap kadar hemoglobin pada remaja putri di asrama SMA MTA
Surakarta. 2013:1-14
7. Niki-niki P. Laporan bulanan puskesmas niki-niki April-Desember 2018.
2018.
8. Adjie, JMS. Kesehatan reproduksi remaja dalam aspek sosial. Edisi September
2013. Available at: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-
anak/kesehatan-reproduksi-remaja-dalam-aspek-sosial. Accessed on February
27, 2019.
9. Bakta IM. Pendekatan terhadap pasien anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.1109-12.
10. Gebreyesus SH, Endris BS, Beyene GT, Farah AM, Elias F, Bekele HN.
Anaemia among adolescent girls in three districts in Ethiopia. BMC Public
Health 2019;19(92):1-11 https://doi.org/10.1186/s12889-019-6422-0.
11. Mistry SK, Jhohura FT, Khanam F, Akter F, Khan S, Yunus FM, et al. An
outline of anemia among adolescent girls in Bangladesh: findings from a
crosssectional study. BMC Hematology 2017;17(13):1-8 DOI
10.1186/s12878-017-0084-x.
12. Shaka MF, Wondimagegne YA. Anemia, a moderate public health concern
among adolescents in South Ethiopia. Pl 2018;13(7):1-14
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0191467.
13. Teji K, Dessie Y, Assebe T, Abdo M. Anaemia and nutritional status of
adolescent girls in Babile District, Eastern Ethiopia. Pl 2016;24(62):1-10
oi:10.11604/pamj.2016.24.62.6949

48
14. Red blood cells, anemia, polycythemia. In: Guyton AC, editors. Textbook of
Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier; 2006.p.424.
15. Almatsier S. Ilmu gizi dasar. Jakarta: PT.Gramedia Pusaka. 2010.
16. Sulistyoningsih H. Gizi untuk kesehatan ibu dan anak. Yogyakarta: Graha
Ilmu. 2011.
17. Himadi A. Gambaran pola makan dan status hemoglobin ibu hamil di
puskesmas kaluku bodoa kota Makassar. Universitas Hasanuddin. 2012.
18. Khumaidi. Gizi masyarakat. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 1994.
19. Khomsan. Pangan dan gizi untuk kesehatan. Jakarta: PT. Rajagravindo
Persada. 2003.
20. Soediatama. Ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional. 2008.
21. Wirahadikusuma E. Perencanaan menu anemia gizi besi. Jakarta: PT. Pustaka
Pembangunan Swadaya Nusantara. 1999.
22. Demaeyer EM. Pencegahan dan pengawasan anemia defisiensi besi. Jakarta:
Widia Medika. 1993.
23. Soekirman. Ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional. 2000.
24. Citrakesumasari. Anemia gizi masalah dan pencegahannya. Yogyakarta:
Kalika. 2012.
25. Almatsier S. Ilmu gizi dasar. Jakarta: PT. Gramedia Pusaka. 2010.
26. Hardiansyah et al. Kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat. Fema IPB. 2012.
27. Wiknjosastro H. Ilmu kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka-Sarwono
Prawirohardjo. 2006.
28. Affandi B, Danukusumo D. Gangguan menstruasi pada remaja dan dewasa.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1990.
29. Situmorang R. Hubungan durasi perdarahan menstruasi dan kadar
hemoglobin pada mahasiswi Stambuk 2014 fakultas kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Karya Tulis Ilmiah FK USU. Medan. 2015.
30. Waryana. Gizi reproduksi. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
2010.
31. Hanafiah MJ. Menstruasi dan siklusnya. Ilmu Kandungan Edisi Kedua
Cetakan Ketujuh. Jakagrta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. 2009.
32. Nani, Desiyana. Fisiologi manusia. Jakarta: Penebar Swadaya Grup. 2018.
33. Longo et al. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. United States
of America: The McGraw-Hill Companies. 2012.
34. Kumar et al. Basic pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier.2013
35. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan provinsi Nusa
Tenggara Timur tahun 2017. Available at:

49
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVIN
SI_2017/19_NTT_2017.pdf. Accessed on: February 28, 2019.
36. Harijanto. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing.
2014.
37. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Situasi gizi di Indonesia.
2014. Jakarta: Kemenkes. 2014.

38. Hapzah. Hubungan tingkat pengetahuan dan status gizi terhadap kejadian
anemia remaja putri pada siswi kelas III di SMAN 1 Tinambung Kabupaten
Polewali Mandar (Vol XIII Edisi 1). Sulawesi Barat: STIKES Bina Bangsa
Majene. 2012.

39. Kuswarini, Fitria ID. Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap dengan angka
kejadian anemia gizi besi pada mahasiswi STIKES AL Qodiri Jember.
Program Pascasarjana. Tesis. UNS. Surakarta. 2012.

40. Wati Y. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada siswi
SMAN 1 Pundong. Thesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat. UAD.
Yogyakarta. 2010.

41. Sihotang S. Pengetahuan dan sikap remaja puteri tentang anemia Defisiensi
Besi Di SMA Negeri 15 Medan. Medan: FKUSU. 2012.

42. Suryani, Dessi. Analisis pola makan dan anemia gizi besi pada remaja putri
kota Bengkulu. Bengkulu: Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. 2015.

43. Akib A, Sumarmi. Kebiasaan makan remaja putri yang berhubungan dengan
anemia. 2017. doi: 10.20473/amnt.v1.i2.2017.105-116

44. Utami, BN. Hubungan pola makan dan pola menstruasi dengan kejadian
anemia remaja putri. Jurnal Keperawatan Soedirman. 2015.

45. Fitri, L. Hubungan pola makan dengan anemia pada pekerja wanita di PT.
Indah Kiat Pulp and Paper (Ikpp) Tbk. Perawang. 2018. doi:
http://dx.doi.org/10.22216/jen.v1i3.1579

46. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia. Prevention
of deficiency anaemia in adolescents. New Delhi: WHO-SEARO, 2011.

47. Joshi HA. Changing food pattern in adolescents and impact on health. India,
2014.

50
48. Syatriani, Aryani S. Konsumsi makanan dan kejadian anemia pada siswi salah
satu SMP di kota Makassar. Makassar: Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional. 2010.

49. Suria RN. Hubungan antara pengetahuan tentang anemia, tingkat konsumsi
protein, zat besi, dan vitamin c dengan kadar hemoglobin pada siswa sekolah
menengah atas di SMAN 3 Ponorogo. Surakarta. 2017.
50. Rahmawati KD. Analisis faktor penyebab kejadian anemia gizi besi pada
remaja putri di SMAN 2 kota Bandar Lampung tahun 2011. Jakarta, 2011.

51. Elsa FT. Hubungan pola makan, pola menstruasi dan pengetahuan tentang
anemia dengan kadar hemoglobin pada remaja putri di SMA Cahaya Medan
tahun 2014.
52. Lia AB, Marissa SG, Carolina A, Hannah R, Erica EM. The association
between subjective assessment of menstrual bleeding and measures of iron
deficiency anemia in premenopausal African-American women: a cross-
sectional study. BMC Women's Health. 2016. DOI 10.1186/s12905-016-0329-
z

53. Wirth JP, Woodruff BA, Stone RE, Namaste SML, Temple VJ, Petry N, et al.
Predictors of anemia in women of reproductive age: biomarkers reflecting
inflammation and nutritional determinants of anemia (BRINDA) project. Am
J Clin Nutr 2017;106(Suppl):416S–27S. doi: https://doi.org/10.3945/ajcn.
116.143073
54. Rajoo Y, Ambu S, Lim YAL, Rajoo K, Tey SC, Lu CW, et al. Neglected
intestinal parasites, malnutrition and associated key factors: a population
based cross-sectional study among indigenous communities in Sarawak,
Malaysia. 2017. PLoS ONE 12(1): e0170174. doi:10.1371/journal.
pone.0170174
55. White NJ. Anemia and malaria. White Malar J (2018) 17:371. p1-17.
https://doi.org/10.1186/s12936-018-2509-9

51
LAMPIRAN
FORMULIR FOOD RECALL 48 JAM
Hari/Tanggal :
Nama :
Hemoglobin :
Waktu Nama Masakan Bahan Makanan
Makan Jenis Banyaknya
URT gr
Pagi/jam

Siang/jam

Malam/jam
Pengetahuan Remaja Putri tentang Anemia
1. Apakah anda pernah mendengar tentang anemia (kurang darah)?
a. Pernah
b. Tidak pernah
2. Jika pernah, apakah yang disebut dengan anemia?
a. Kadar hemoglobin dalam darah rendah
b. Tidak punya darah
c. Tidak tahu
3. Apa saja tanda dan gejala dari anemia?
a. Cepat lelah, pucat pada kulit dan telapak tangan
b. Diare dan kejang
c. Nyeri dada dan kaki pegal
4. Menurut anda, penyebab remaja putri lebih beresiko terkena anemia adalah
a. Remaja putri cenderung lebih sering melakukan diet
b. Sering mengkonsumsi makanan siap saji seperti bakso dan pangsit
c. Kehilangan darah akibat peristiwa haid setiap bulannya
5. Menurut anda, kelompok yang paling beresiko menerita anemia:
a. Remaja putri
b. Remaja pria
c. lansia (lanjut usia)
6. Menurut anda, berapa kadar Hb normal pada remaja putri adalah
a. Kadar Hb < 12 gr/dl
b. Kadar Hb ≥ 12 gr/dl
7. Menurut anda, bagaimana cara mencegah agar tidak terjadi anemia?
a. Meningkatkan konsumsi zat besi dalam makanan
b. Sering sarapan pagi
c. Tidak telat makan
8. Sumber makanan apa yang paling banyak mengandung zat besi (Fe):
a. Protein nabati
b. Protein hewani
c. Sayur dan buah-buahan
9. Faktor apa yang menyebabkan wanita kehilangan zat besi yang berlebihan
dalam tubuh?
a. Menstruasi
b. Kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi
c. Tidak tahu
10. Menurut anda, jika seseorang terkena anemia dapat diobati dengan:
a. Tablet zat besi
b. Kalsium
c. Vitamin E
11. Bahan makanan/minuman yang dapat menghambat penyerapan zat besi
adalah
a. Teh dan kopi
b. Coklat dan susu
c. Daging dan sayur
12. Dampak anemia terhadap remaja putri adalah
a. Konsentrasi belajar menurun
b. Selalu terlambat dating bulan
c. Bibir pecah-pecah
13. Kebiasaan yang dapat menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh adalah
a. Kebiasaan merokok
b. Kebiasaan tidur terlalu larut malam
c. Kebiasaan minum teh/kopi bersaamaan sewaktu makan
14. Hal yang anda ketahui sebagai calon Ibu nantinya tentang dampak jika
menderita anemia pada masa kehamilan atau persalinan adalah
a. Rambut rontok pada saat kehamilan
b. Mual dan muntah pada saat kehamilan
c. Adanya resiko keguguran dan perdarahan pada saat melahirkan
15. Vitamin berikut yang membantu penyerapan zat besi di dalam tubuh adalah
a. Vitamin E
b. Vitamin D
c. Vitamin C
16. Pengertian zat besi:
a. Zat gizi penting yang diperlukan dalam pembentukan darah (pembentukan
hemoglobin)
b. Zat gizi penting yang diperlukan dalam pembentukan lemak tubuh
c. Zat gizi penting yang diperlukan dalam pembentukan protein
17. Manfaat zat besi dalam tubuh:
a. Sebagai sintesa lemak di dalam tubuh
b. Sebagai sintesa protein di dalam tubuh
c. Sebagai alat transport oksigen (O2) ke jaringan tubuh

Pola Haid/ Menstruasi


1. Bagaimana frekuensi haid setiap bulannya?
a. 1 kali sebulan
b. lebih dari 1 kali sebulan
c. 2 bulan sekali atau lebih
2. Berapa hari rata-rata setiap bulan anda haid?
a. ≤ 7 hari
b. > 7 hari
3. Pada saat menstruasi berapa kali ganti pembalut dalam satu hari?
a. > 3x ganti pembalut
b. ≤ 3x ganti pembalut

Riwayat Infeksi
Dalam 6 bulan terakhir apakah pernah sakit batuk batuk lama (TBC), keluar cacing
dari dubur, sakit malaria, demam berdarah atau penyakit infeksi lain?
a. Ya. infeksi……………
b. Tidak
SURAT PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : ....................................
Jenis Kelamin : ....................................
Umur : ....................................
Alamat : ....................................
Setelah mendapat penjelasan tentang penelitian “Hubungan Pola Konsumsi,
Pengetahuan Anemia, Pola Menstruasi dan Riwayat Infeksi dengan Kadar Hb pada
Remaja Putri di Pusat Pengembangan Anak GMIT Sonhalan” maka saya menyatakan
bersedia untuk mengikuti penelitian dan saya berjanji akan memberikan informasi
yang benar serta bersedia dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
kadar Hb.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dengan penuh kesadaran
dan tanpa ada paksaan.
Niki-Niki, .......................

Yang menyatakan,
Peneliti Peserta Penelitian

(…………………..) (.................................)

You might also like