0% found this document useful (0 votes)
79 views9 pages

Persepsi Dan Penerimaan Interprofessional Collaborative Practice Bidang Maternitas Pada Tenaga Kesehatan

This document summarizes a study on the perceptions and acceptance of interprofessional collaborative practice in maternity care among healthcare workers in Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta. The study found that most respondents had the wrong perception of what interprofessional collaboration means. However, all respondents accepted that interprofessional collaboration could be implemented properly in maternity care at the hospital. The analysis resulted in six categories related to perceptions, implementation, expectations, motivations, and variations in acceptance of interprofessional collaboration among the healthcare workers.

Uploaded by

LALU PRAYADE
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
79 views9 pages

Persepsi Dan Penerimaan Interprofessional Collaborative Practice Bidang Maternitas Pada Tenaga Kesehatan

This document summarizes a study on the perceptions and acceptance of interprofessional collaborative practice in maternity care among healthcare workers in Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta. The study found that most respondents had the wrong perception of what interprofessional collaboration means. However, all respondents accepted that interprofessional collaboration could be implemented properly in maternity care at the hospital. The analysis resulted in six categories related to perceptions, implementation, expectations, motivations, and variations in acceptance of interprofessional collaboration among the healthcare workers.

Uploaded by

LALU PRAYADE
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 9

PERSEPSI DAN PENERIMAAN INTERPROFESSIONAL COLLABORATIVE PRACTICE BIDANG MATERNITAS

PADA TENAGA KESEHATAN

Femy Fatalina*, Sunartini**, Widyandana*** Mariyono Sedyowinarso**** * Mahasiswa Program Studi


Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ** Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta *** Bagian Pendidikan
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta **** Almarhum: Program Studi
Magister Keperawatan FK UGM Yogyakarta ABSTRACT Background: World’s current health systems are
in a crisis, causing public health needs are not being met. Mother Mortality Rate in Indonesia was still
high. It indicated that maternity care was not optimal yet. One of solution is an implementation of
interprofessional collaborative practice. Currently, in Indonesian’s hospitals have not seen an equal
team collaboration. The objective of this study was to explore the perceptions and acceptance of health
workers maternity’s interprofessional collaborative practice in Dr. Sardjito Yogyakarta’s Hospital.
Methods: This study was a qualitative with a phenomenology design. Subjects were nurses, midwives,
obstetrics and gynecologist, pharmacists, and nutritionists who had collaboration experience in
obstetrics gynecology department in Dr. Sardjito Yogyakarta’s Hospital, included 10 respondents.
Sampling technique used a purposive sampling, while data collection used a Focus Group Discussion and
in-depth interviews. Data’s credibility and reliability obtained by triangulation, debriefing, member
checking and rich data. Research ethics included an informed consent and ethics committee’s approval.
This study was conducted in February-July 2014. Result: Most respondents had a wrong perception of
interprofessional collaboration’s definition. All of respondents accepted if interprofesional collaboration
implemented properly. Data analysis resulted in six categories: perception of health workers about
interprofessional collaboration, implementation of interprofessional collaboration in hospital,
application of collaboration’s elements in interprofessional collaboration, health workers’s expectations
for better collaboration, health workers’s motivation in doing interprofessional collaboration and
variation of health workers’s acceptance of interprofessional collaboration. Conclusion: Most of health
workers have not had a correct perception of interprofessional collaborative practice. All health workers
accepted if interprofessional collaborative practice applied properly in maternity area in Dr. Sardjito
Yogyakarta’s Hospital. Keywords: perception, acceptance, interprofessional collaborative practice,
health workers. ABSTRAK Latar belakang: Sistem kesehatan dunia saat ini dalam kondisi krisis, sehingga
menyebabkan kebutuhan kesehatan masyarakat tidak terpenuhi. Angka kematian ibu di Indonesia masih
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pelayanan maternitas belum optimal. Salah satu solusi
yang ditawarkan saat ini adalah penerapan interprofessional collaborative practice. Saat ini, sebagian
besar rumah sakit di Indonesia belum menerapkan kesetaraan dalam kolaborasi tim. Penelitian ini
bertujuan untuk mengekplorasi persepsi dan penerimaan terhadap interprofessional collaborative
practice bidang maternitas pada tenaga kesehatan Metode: Jenis penelitian adalah kualitatif dengan
rancangan fenomenologi. Subyek penelitian adalah perawat, bidan, dokter obsgyn, ahli farmasi, dan ahli
gizi yang mempunyai pengalaman berkolaborasi di instalasi obsgyn RSUP Dr. Sardjito sejumlah 10
responden. Teknik sampling menggunakan purposive sampling dan pengumpulan Vol. 4 | No. 1 | Maret
2015 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia 29 Femy Fatalina et al., Persepsi dan Penerimaan
Interprofessional Collaborative Practice Bidang Maternitas pada Tenaga Kesehatan PENDAHULUAN
Sistem kesehatan di seluruh dunia saat ini sedang mengalami kondisi krisis, yaitu kekurangan tenaga
kesehatan, distribusi serta perpaduan tenaga kesehatan yang belum merata sehingga menyebabkan
pelayanan kesehatan terfragmentasi dan kebutuhan kesehatan masyarakat tidak terpenuhi. Jika
permasalahanpermasalahan tersebut tidak segera diatasi, dapat mempengaruhi kondisi kesehatan
masyarakat dunia, salah satunya adalah kesehatan ibu dan anak. Salah satusolusi yang paling
menjanjikan adalah interprofessional collaborative practice. 1 Praktek kolaborasi dapat menurunkan
angka komplikasi, lama rawat di rumah sakit, konflik diantara tim kesehatan, dan tingkat kematian.
Sedangkan dibidang kesehatan mental, praktek kolaboratif dapat meningkatkan kepuasan pasien dan
tim kesehatan, mengurangi durasi pengobatan, mengurangi biaya perawatan, mengurangi insiden
bunuh diri, dan mengurangi kunjungan rawat jalan.1 RSUP Dr. Sardjito sebagai rumah sakit pendidikan
terbesar di Yogyakarta merupakan rumah sakit yang tepat untuk dijadikan model pelaksanaan praktik
kolaborasi interprofesi. Tenaga kesehatan seharusnya tidak melaksanakan pelayanan kesehatan secara
sendiri-sendiri namun harus saling bersinergi dan berkolaborasi dalam sebuah tim. Namun pada
kenyataannya, di beberapa rumah sakit-rumah sakit besar di wilayah Indonesia belum terlihat adanya
kolaborasi tim yang setara dan kemitraan masih sekedar wacana. Perbedaan status antar
profesi,stereotyping, adanyaperasaan superiordan inferior, serta banyaknya tindakan yang bersifat
instruksi dari profesi lain masih mendominasi praktik kolaborasi, sehingga perlunya kesepakatan antar
tenaga kesehatan terhadap praktik kolaborasi interprofesi yang baik sehingga dapat meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan. Menggali informasi secara mendalam tentang persepsi dan penerimaan terhadap
interprofessional collaborative practice bidang maternitas dapat memberikan gambaran sejauh mana
tenaga kesehatan memahami dan menerima praktik kolaborasi interprofesi. Hasil analisis data yang
ditemukan akan menjadi dasar bagi pihak manajemen rumah sakit dalam membuat kebijakan
selanjutnya, juga sebagai pertimbangan dalam mengembangkan metode sosialisasi mengenai
interprofessional collaborative practice. METODE Metode penelitian adalah dengan pendekatan
fenomenologi, dimana fokus utamanya adalah mengeksplorasi pengalaman nyata, sehingga membantu
peneliti memasuki sudut pandang atau persepsi orang lain, dan berupaya memahami kehidupan
sebagaimana dilihat oleh orang-orang tersebut.2 Pengambilan sampel dengan teknik purposive
sampling. Responden dipilih berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan yaitu (1) tenaga
kesehatan; perawat, bidan, dokter obsgyn, ahli farmasi, dan ahli gizi yang data melalui focus group
discussion dan wawancara mendalam. Kredibilitas dan kehandalan data didapatkan dengan triangulasi,
debriefing, member checking dan rich data. Etika penelitian meliputi informed consent dan perijinan
dari komite etik FK UGM. Penelitian ini dilakukan pada Februari-Juli 2014. Hasil: Analisa data
menghasilkan enam kategori yaitu persepsi tenaga kesehatan tentang kolaborasi interprofesi,
pelaksanaan kolaborasi interprofesi di rumah sakit, penerapan elemen kolaborasi dalam pelaksanaan
kolaborasi interprofesi, harapan tenaga kesehatan agar pelaksanaan kolaborasi berjalan baik, motivasi
tenaga kesehatan dalam melaksanakan kolaborasi interprofesi, dan variasi penerimaan tenaga
kesehatan terhadap penerapan kolaborasi interprofesi. Sebagian besar responden memiliki persepsi
yang salah tentang definisi kolaborasi interprofesi. Semua responden menerima jika kolaborasi
interprofesi dilaksanakan secara baik dan benar. Kesimpulan: Sebagian besar tenaga kesehatan belum
memiliki persepsi yang benar tentang definisi kolaborasi interprofesi. Semua responden menerima jika
kolaborasi interprofesi diterapkan di bidang maternitas RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Kata kunci:
persepsi, penerimaan, interprofessional collaborative practice, tenaga kesehatan. 30 Vol. 4 | No. 1 |
Maret 2015 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia Femy Fatalina et al., Persepsi dan Penerimaan
Interprofessional Collaborative PracticeBidang Maternitas pada Tenaga Kesehatan mempunyai
pengalaman berkolaborasi dalam merawat pasien bersama dengan kelima profesi tersebut (2)
pengalaman kerja selama minimal 2 tahun (3) bersedia menjadi responden penelitian. Penelitian ini
dilakukan di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta sebagai pusat rumah sakit rujukan maupun pendidikan
terbesar di Yogyakarta yang memiliki banyak tenaga kesehatan multiprofesi. Waktu penelitian adalah
bulan Februari-Juli 2014. Teknik pengumpulan data dengan Focus Group Discussion dan wawancara
mendalam menggunakanpertanyaanterstruktur,kemudiandirekam. Pengambilan data dihentikan bila
data sudah jenuh atau lingkungan yang tidak mendukung lagi untuk dilakukan wawancara. Analisis data
dilakukan dengan metode Collaizimelalui 9 tahapan, yaitu: mendeskripsikan fenomena yang diteliti
dengan menyusun studi literatur, mengumpulkan deskripsi fenomena dengan FGD dan wawancara
mendalam, kemudian mentranskrip secara tertulis, membaca transkrip sampai dapat memahami
maknanya dan memastikan transkrip sesuai hasil rekaman, melakukan validasi pada responden dan
menambahkan data jika ada, menganalisis kembali data yang telah diperoleh saat validasi, mengutip
pernyataan yang bermakna dari setiap responden, mengartikulasikan makna setiap pernyataan yang
signifikan (kata kunci) menjadi sub kategori-sub kategori, mengelompokkan sub kategori-sub kategori
menjadi tema-tema hasil penelitian, merangkai tema yang ditemukan dan menuliskan ke dalam bentuk
deskripsi hasil penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Persepsi dan penerimaan tenaga kesehatan
terhadap kolaborasi interprofesi akan berpengaruh terhadap sikap profesional antar tenaga kesehatan
yang satu dengan yang lain, sehingga persepsi dan penerimaan yang baik akan menunjang keberhasilan
pelaksanaan kolaborasi interprofesi. Penelitian ini melibatkan 10 orang responden yaitu 2 orang
perawat, 2 orang bidan, 2 orang dokter, 2 orang ahli farmasi dan 2 orang ahli gizi. Karakteristik khusus
dari responden adalah semua berjenis kelamin wanita, memiliki tingkat pendidikan S1, hanya 1 orang
yang memiliki pendidikan DIII. Sebagian besar memiliki pengalaman kerja kurang dari 10 tahun. Semua
responden belum pernah mengikuti pelatihan kolaborasi interprofesi. Adapun karakteristik responden
secara umum dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1. Karakteristik responden tenaga kesehatan bidang
maternitas di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta Vol. 4 | No. 1 | Maret 2015 | Jurnal Pendidikan Kedokteran
Indonesia 31 Femy Fatalina et al., Persepsi dan Penerimaan Interprofessional Collaborative Practice
Bidang Maternitas pada Tenaga Kesehatan FGD yang dilakukan pada responden menunjukkan hasil
sebanyak 7 dari 10 responden masih memiliki persepsi yang salah tentang definisi kolaborasi
interprofesi, yaitu: 1 responden perawat, 2 responden bidan, 2 responden ahli farmasi dan 2 responden
ahli gizi. Sedangkan yang telah memiliki persepsi yang benar tentang definisi kolaborasi interprofesi
sebanyak 3 responden, yaitu: 1 responden perawat, dan 2 responden dokter. Data yang didapatkan dari
FGD menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan persepsi yang lebar diantara peserta FGD.
Sebagian besar responden belum bisa menyebutkan definisi kolaborasi interprofesi. Mereka
mengungkapkan bahwa definisi kolaborasi interprofesi sama dengan definisi kolaborasi multiprofesi.
Walaupun kedua terminologi tersebut sering dipergunakan secara bergantian bahkan yang satu
menggantikan yang lain, namun keduanya memiliki pengertian dan ciri yang berbeda.3 Tema 1: Persepsi
tenaga kesehatan tentang kolaborasi interprofesi Dari hasil FGD dan wawancara mendalam diketahui
sebanyak 7 dari 10 responden masih memiliki persepsi yang salah tentang definisi kolaborasi
interprofesi, yaitu: 1 responden perawat, 2 responden bidan, 2 responden ahli farmasi dan 2 responden
ahli gizi. Kesalahan persepsi diungkapkan oleh responden bidan terkait kolaborasi interprofesi.
“Kolaborasi interprofesi itu kita bekerja sama dengan sesama bidan...misalnya.. bekerja sama dengan
sesama profesi maksudnya. Atau kolaborasi dokter dengan dokter..seperti itu” (R1) Sedangkan 3
responden lainnya telah memiliki persepsi yang benar tentang definisi kolaborasi interprofesi, yaitu: 1
perawat dan 2 dokter. Pernyataan responden yang memiliki persepsi yang benar diwakili oleh
responden dokter berikut ini: “Ya, jadi semua profesi yang terlibat dalam penanganan pasien secara
bersama-sama menentukan apa masalah yang perlu diselesaikan, tujuannya apa, tindakannya apa saja,
sampai evaluasi itu dilakukan bareng-bareng”. (R3) Semua responden memiliki persepsi yang positif
tentang manfaat yang diperoleh dari kolaborasi interprofesi, baik bagi pasien maupun bagi tenaga
kesehatan. Hal ini diwakili oleh pernyataan responden perawat berikut ini: “...Jadi memang untuk
manfaatnya sangat besar sekali bagi pasien ..ee..karena semua kebutuhan pasien bisa terpenuhi”. (R2)
Berdasarkan data tersebut di atas, keterbatasan pemahaman pada mayoritas responden kemungkinan
disebabkan oleh kurangnya paparan informasi mengenai kolaborasi interprofesi, yang bersumber dari
kegiatan formal maupun non formal, termasuk interaksi responden dengan tenaga kesehatan lain,
informasi dari buku, jurnal, kegiatan perkuliahan, pelatihan maupun seminar. Hal ini sesuai dengan
pernyataan bahwa kurangnya pemahaman tentang kolaborasi interprofesi dapat disebabkan dari
minimnya frekuensi pertemuan antar profesi.4 Selain itu, konsep kolaborasi interprofesi sendiri
merupakan konsep yang relatif masih baru dan pelaksanaannya belum banyak diterapkan di institusi
rumah sakit di Indonesia. Selain itu, RSUP Dr Sardjito sendiri belum menerapkan kolaborasi interprofesi,
sehingga pengalaman responden terhadap pelaksanaan kolaborasi interprofesi juga masih terbatas. Hal
ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Walgito5 bahwa faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi persepsi seseorang antara lain terdapatnya pengulangan stimulus serta kondisi
lingkungan atau situasi sosial budaya. Disamping itu, responden ahli farmasi yang memiliki pemahaman
yang kurang mengenai kolaborasi interprofesi kemungkinan disebabkan oleh minimnya interaksi dan
keterlibatan ahli farmasi dalam program perawatan pasien dengan profesi yang lain. Hal ini dapat
dipahami karena faktor terbentuknya persepsi berasal dari kognitif seseorang yang dipengaruhi oleh
pendidikan, usia, pendapat, dan pengalaman.6 Tiga dari sepuluh responden sudah memiliki pemahaman
yang benar mengenai kolaborasi interprofesi, yaitu 1 responden perawat dan 2 responden dokter.
Responden perawat yang memiliki pemahaman yang benar mengenai kolaborasi interprofesi
disebabkan oleh paparan informasi yang pernah didapatkan semasa perkuliahan. Sedangkan 2
responden dokter yang memiliki pemahaman yang benar mengenai kolaborasi 32 Vol. 4 | No. 1 | Maret
2015 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia Femy Fatalina et al., Persepsi dan Penerimaan
Interprofessional Collaborative PracticeBidang Maternitas pada Tenaga Kesehatan interprofesi
kemungkinan disebabkan karena jenjang pendidikan yang responden lalui saat ini adalah S2, dimana
lebih tinggi dibanding latar belakang pendidikan responden lainnya, sehingga akan mempengaruhi
pengalaman, pengetahuan, serta pola pikir responden. Hal ini sesuai dengan pernyataan Walgito5 yang
menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor yang ada dalam diri individu
seperti karakteristik individu (fisik dan psikologis), pengalaman, pengetahuan, kebutuhan, harapan,
motivasi, proses belajar, dan pola pikir. Dalam hal persepsi terhadap manfaat kolaborasi interprofesi,
semua responden memiliki persepsi yang positif terhadap pelaksanaan kolaborasi interprofesi.
Responden menyebutkan bahwa kolaborasi interprofesi selain bermanfaat bagi pasien karena
pelayanan lebih komprehensif, juga bermanfaat bagi tenaga kesehatan karena meningkatkan
pengetahuan, wawasan serta hubungan interpersonal antar tenaga kesehatan. Persepsi responden
terhadap manfaat kolaborasi interprofesi tersebut didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh
Kramer dan Schmalenberg7 yang menyatakan bahwa praktik kolaborasi merupakan usaha yang sangat
baik karena hubungan tersebut memberikan outcome yang baik bagi pasien dan juga bagi individu yang
terlibat dalam kolaborasi. Tema 2: Pelaksanaan kolaborasi interprofesi di rumah sakit RSUP Dr Sardjito
sudah menerapkan kolaborasi dalam pemberian pelayanan kesehatan pasien. Namun, pelaksanaan
kolaborasi tersebut bukan merupakan kolaborasi interprofesi, melainkan kolaborasi multiprofesi atau
kolaborasi tradisional. Hal ini tercermin dari pernyataan responden dokter berikut ini: “Yaa biasanya kan
leader atau decision maker kan memang dokter ya.. yang pegang, itu nanti pelaksanaan perawatannya
kan perawat dan bidan yang melakukan”. (R4) Selain itu, kolaborasi masih diwarnai minimnya
keterlibatan beberapa profesi, seperti yang diungkapkan responden triangulasi berikut: “Kalau disini,
terus terang untuk kolaborasi dengan tim kesehatan lain sama sekali belum ada. Kalau dari farmasi
hanya sebatas melayani permintaan obat”. (R5) Sedangkan ungkapan masih banyaknya perasaan
superior inferiordan stereotypingantarprofesi ditunjukkan oleh pernyataan responden perawat berikut
ini: “Mungkin yang selama ini terjadi... hanya antara staf dengan perawat yang senior... yang jam
terbangnya tinggi... itu mereka akrab, kalau dengan saya yang masih 3 tahun ini..lah kadang mereka
tidak mengenal... saya ini siapa toh”. (R6) Pernyataan lain juga diungkapkan oleh responden bidan dan
farmasi yang juga mengungkapkan adanya superior inferior antar tenaga kesehatan “..walaupun mereka
masih sekolah ya kan tetap mereka lebih tinggi gitu lho daripada kita..derajadnya itu lho mbak. Iya...
Mereka kan dokter...”. (R7-B) “Yaa..sebenarnya kalau sama perawat sih masih bisa masuk ya, tapi kalau
dengan dokter itu...gimana ya..ya maaf ya..selama ini kan mereka itu merasa yang paling gitu lho..kamu
itu tahu tentang apa sih..gitu”. (R7-F) RSUP Dr Sardjito sudah menerapkan kolaborasi antar profesi
dalam pemberian pelayanan kesehatan pasien. Namun sayangnya, penerapan kolaborasi masih sebatas
model kolaborasi tradisional atau multiprofesi. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh
responden dokter yang menyatakan bahwa dalam kolaborasi, dokter selalu berperan sebagai pemimpin
tim dan pembuat keputusan, sedangkan perawat dan bidan sebagai pelaksana perawatan pasiennya.
Pelaksanaan kolaborasi modeltradisional inidapat terjadi karena berdasarkan Hukum Swiss, perawat
tidak diijinkan untuk melakukan diagnosa kedokteran dan mengobati pasien tanpa peresepan dari
dokter.8 Hal inilah yang menjadi kontribusi bagi terlaksananya model kolaborasi tradisional. Selain itu
dapat juga terjadi karena perbedaan cara pandang terhadap kolaborasi antar profesi. Satu profesi
memandang kolaborasi interprofesi dalam perspektif yang berbeda dari profesi lain. Dokter mungkin
berpikir bahwa kerjasama tersirat dalam tindak lanjut sehubungan dengan mengikuti instruksi atau
perintah daripada saling berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pelaksanaan instruksi dokter oleh
perawat atau bidan dipandang sebagai kolaborasi oleh dokter,sedangkan perawatdan
bidanmerasamereka sedang diperintahkan untuk melakukan sesuatu. Vol. 4 | No. 1 | Maret 2015 |
Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia 33 Femy Fatalina et al., Persepsi dan Penerimaan
Interprofessional Collaborative Practice Bidang Maternitas pada Tenaga Kesehatan Faktor lain adalah
masih adanya perasaan inferior dari profesi satu terhadap profesi yang lain. Hal ini dapat terjadi karena
perbedaan tingkat pendidikan dan pengetahuan. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pendidikan antar
profesi dapat berdampak pada kemampuan anggota profesi dalam bertukar pikiran dengan profesi lain,
juga berdampak pada perbedaan interpretasi terhadap masalah kesehatan pasien sehingga akan
mempengaruhi kualitas penanganan yang diberikan. Kesenjangan tingkat pendidikan dan pengetahuan
ini akan menghambat proses komunikasi yang efektif. Menurut Siegler dan Whitney9,kesenjangan yang
terjadi antar profesi dapat terjadi karena pola pikir yang ditanamkan sejak awal proses pendidikan.
Mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien
melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan–pasien. Selama periode tersebut hampir tidak
ada kontak formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi
memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk
menanggapinya sebagai kolega. Data penelitian dari Cipolle10 juga mengungkapkan bahwa keterlibatan
ahli farmasi dalam pelaksanaan kolaborasi interprofesi masih rendah. Hal ini tidak sesuai dengan definisi
dari International Pharmaceutical Federation (IPF) yang menyatakan bahwa tanggung jawab seorang ahli
farmasi salah satunya adalah pharmaceutical care dimana seorang ahli farmasi bertanggung jawab
dalam pemberian pelayanan obat sampai timbulnya dampak yang jelas atau terjaganya kualitas hidup
pasien. Pekerjaan pharmaceutical careinirelatif masih baru, yang berlawanan dengan pekerjaan ahli
farmasi beberapa tahun lalu, sehingga banyak ahli farmasi yang belum mau menerima tanggung jawab
ini. Peran ahli farmasi yang semula hanya peracik obat (compounder) dan suplair sediaan farmasi lambat
laun bergeser kearah pemberi pelayanan dan informasi, dan saat ini berubah lagi kearah pemberi
kepedulian pada pasien. Namun kenyataannya pelaksanaan di RSUP Dr Sardjito belum sesuai dengan
aturan yang seharusnya, dimana peran ahli farmasi masih merujuk pada aturan lama, yaitu hanya
meracik obat dan penyuplai sediaan farmasi. Kurangnya keterlibatan dan komunikasi ahli farmasi
dengan pasien dan tenaga kesehatan lain menunjukkan bahwa peran farmasi masih jauh dari yang
diharapkan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh terbatasnya jumlah tenaga ahli farmasi. Selain itu
lokasi depo farmasi yang hanya berpusat di satu lokasi menyebabkan kurangnya interaksi ahli farmasi
dengan profesi lain, serta tidak adanya contoh yang mengatur bagaimana peran, fungsi dan tanggung
jawab ahli farmasi dengan profesi lain pada pelaksanaan kolaborasi interprofesi. Selain itu minimnya
keterlibatan ahli farmasi kemungkinan diakibatkan oleh perasaan tidak percaya diri responden ketika
berkolaborasi dengan profesi lain, karena responden merasa pengetahuan dan wawasan yang dimiliki
masih kurang dibanding dengan profesi lain. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh
Lindeke11 yang menyatakan bahwa kolaborasi merupakan proses yang komplek yang membutuhkan
perhatian khusus disertai dengan pengetahuan yang tinggi dalam melakukan tukar pikiran dalam
mendiskusikan pasien. Tema 3: Penerapan elemen kolaborasi dalam pelaksanaan kolaborasi interprofesi
RSUP Dr Sardjito telah menggabungkan beberapa elemen kolaborasi yang terdiri dari komunikasi,
koordinasi, tanggung jawab dan mutual trust and respect ke dalam praktek nyata, walaupun dalam
pelaksanaannya masih mengalami banyak kendala. Penerapan elemen kolaborasi diwakili oleh
pernyataan responden dokter dan gizinberikut ini: “Apalagi untuk bogenvil 1 (onko) karena yang setiap
hari disitu kan perawatnya, jadi kita malah yang sering bertanya..eee...biasanya kalau kondisinya seperti
ini regimennya seperti apa. Jadi komunikasi itu bermanfaat sekali dalam kolaborasi, terutama untuk
residen ya”. (R8-D) “...saya kebetulan juga konselor ASI... jadi saya juga membantu bareng-bareng sama
bidan dan perawat, kalau ada yang habis melahirkan... kita bareng-bareng membantu manajemen
laktasi dan saling koordinasi, ooh ini sudah keluar belum ASI nya... ada hambatan apa”. (R8-G)
Pelaksanaan kolaborasi bidang maternitas di RSUP Dr Sardjito telah menggabungkan beberapa elemen
34 Vol. 4 | No. 1 | Maret 2015 | Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia Femy Fatalina et al., Persepsi
dan Penerimaan Interprofessional Collaborative PracticeBidang Maternitas pada Tenaga Kesehatan
kolaborasi ke dalam praktek nyata. Data penelitian menunjukkan bahwa semuaresponden
mengungkapkan pentingnya elemen kolaborasi dalam pelaksanaan kolaborasi interprofesi, yang
meliputi komunikasi, koordinasi, tanggung jawab dan mutual trust.Walaupun elemen kolaborasi
dianggap penting oleh semua responden, namun dalam penerapannya masih mengalami banyak
hambatan, antar lain masih minimnya komunikasi yang terjalin diantara anggota profesi. Hal ini
disebabkan oleh adanya sikap egosentris profesi dokter, minimnya waktu interaksi yang dimiliki dokter
serta munculnya stereotyping antar profesi. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Cross-Sudworth12
yang mengungkapkan bahwa komunikasi adalah salah satu aspek terpenting dalam kolaborasi
interprofesi. Tanpa komunikasi yang efektif dan tepat, perawatan pasien seperti kehilangan hubungan
manusia dan hanya mengandalkan pada stereotyping dan dugaan semata. Penerapan elemen koordinasi
juga masih mengalami kendala, yaitu tidak adanyapertemuan rutin antar profesi yang melibatkan semua
anggota profesi, tidak adanya ronde bersama atau visite bersama antar profesi serta terdapatnya
pelaporan pasien berjenjang. Tidak adanya ronde bersama atau visite bersama antar semua profesi di
bangsal obsgyn RSUP Dr Sardjito mengakibatkan pertukaran pengetahuan dan hubungan interpersonal
antar profesi menjadi terbatas. Menurut Zwarenstein13 ronde bersama adalah kegiatan visite bersama
antar profesi kesehatan dengan tujuan mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada
pasien, hal ini dengan tujuan terciptanya transfer pengetahuan antar anggota profesi. Siegler dan
Whitney9 mengungkapkan bahwa dengan ronde bersamatercipta saranayang umum dan bermanfaat
untuk meningkatkan interaksi antar anggota satu disiplin atau anggota beberapa disiplin. Berdasarkan
informasi yang digali dari responden, menunjukkan bahwa penerapan elemen mutual trust and respect
di RSUP Dr Sardjito masih banyak mengalami hambatan. Kendala tersebut meliputi sikap egosentris,
tidak terbuka dan perasaan superior dari salah satu profesi. Hal ini tentu saja akan menghambat
pelaksanaan kolaborasi. Berdasarkan NHMRC14 rendahnya kepercayaan antar anggota tim terbukti
merupakan hambatan utama dalam keberhasilan kolaborasi, sehingga untuk menciptakan lingkungan
yang kolaboratif, budaya dalam bidang pelayanan maternitas juga perlu dirubah. Tema 4: Harapan
tenaga kesehatan agar pelaksanaan kolaborasi berjalan baik Masih banyaknya keterbatasan dan kendala
yang mewarnai pelaksanaan kolaborasi interprofesi di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta menyebabkan
masing-masing tenaga kesehatan memiliki harapan untuk perbaikan pelaksanaan kolaborasi interprofesi
ke arah yang lebih baik. Harapan tersebut meliputi pentingnya diadakan pertemuan rutin yang
melibatkan semua profesi kesehatan baik atasan maupun staf pelaksana. Ungkapan tersebut diwakili
oleh pernyataan responden berikut ini: “...birokrasinya itu dibuat tidak berbelit-belit, gitu lho. Jadi kalau
kita berkolaborasi dengan dokter itu...bisa secepatnya mendapat jawaban.. sehingga tindakan ke pasien
bisa segera dilakukan”. (R9) Harapan responden lain adalah perlunya diadakan pelatihan kolaborasi
secara berkala, peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, juga perlunya studi banding ke
rumah sakit yang telah menerapkan kolaborasi interprofesi, yang diwakili oleh ungkapan responden
berikut ini: “... SDM perlu diberikan sosialisasi...kolaborasi interprofesi itu seperti apa..perlunya
peningkatan SDM baik kualitas maupun kuantitas, perlunya role model ya..mungkin perlu studi banding
ke rumah sakit yang kondisinya sama..”. (R10) Tema 5: Motivasi tenaga kesehatan dalam melaksanakan
kolaborasi interprofesi Responden mengemukakan bahwa motivasi utama dalam melakukan kolaborasi
interprofesi adalah untuk memberikan pelayanan yang komprehensif sehingga kebutuhan dan
kenyamanan pasien terpenuhi. Hal ini diwakili oleh pernyataan responden berikut ini: “Untuk pelayanan
yang komprehensif...” Tema 6: Penerimaan tenaga kesehatan terhadap penerapan kolaborasi
interprofesi Berdasarkan hasil FGD dan wawancara mendalam, semua responden menerima jika
kolaborasi interprofesi dilaksanakan secara baik dan benar. Hal ini diwakili oleh pernyataan responden
berikut ini: “Iya menerima. Setuju sekali”. Vol. 4 | No. 1 | Maret 2015 | Jurnal Pendidikan Kedokteran
Indonesia 35 Femy Fatalina et al., Persepsi dan Penerimaan Interprofessional Collaborative Practice
Bidang Maternitas pada Tenaga Kesehatan Mayoritas profesi, yaitu 4 dari 5 profesi menerima
pelaksanaan kolaborasi interprofesi tanpa syarat. Pernyataan responden diwakili oleh ungkapan berikut
ini: “Kalo saya tanpa syarat. Alasannya ya kalau memang kolaborasi yang baik itu bisa diterapkan ya
bagus sekali.. Mempermudah pekerjaan kita juga kan mbak. Tugas yang harusnya sudah bisa
diselesaikan hari itu tidak tertunda-tunda. Selain itu kan bermanfaat bagi rumah sakit juga ya. LOS
pasien ga panjang-panjang, jadi dari sisi ekonomi rumah sakit diuntungkan”. (R11) Sedangkan hanya 1
profesi yang menerima pelaksanaan kolaborasi interprofesi dengan syarat yaitu ahli farmasi. Hal ini
tertuang dalam pernyataan berikut: “Saya kira masih banyak sekali yang harus diperbaiki ya. Ya kalau
saya jujur dengan syarat. Kalau dari farmasi ini ya...saya rasa menambah tenaga yang masih kurang ya.
Selain itu juga perlu sosialisasi ya, jadi perlu ada pelatihan atau seminar tentang kolaborasi, gitu...sistem
harus diperbaiki juga yaa..bagaimana agar kita bisa terlibat langsung dengan pasien..”. (R12) Walaupun
kolaborasi yang diterapkan di bangsal obsgyn saat ini lebih ke arah kolaborasi tradisional, namun ketika
peneliti menawarkan kemungkinan penerapan kolaborasi interprofesi, hampir semua responden yaitu
perawat, bidan, dokter dan ahli gizi menyatakan menerima tanpa syarat dan sangat mendukung
pelaksanaan kolaborasi interprofesi tersebut. Penerimaan tanpa syarat dari perawat, bidan, dokter dan
ahli gizi tersebut disebabkan karena mereka telah memiliki pengalaman berkolaborasi secara terlibat
langsung dengan pasien maupun anggota profesi lain. Selain itu lokasi kerja yang berdekatan antar
profesi yaitu bangsal obsgyn dan bagian gizi memungkinkan kedekatan interaksi antar anggota profesi
tersebut. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ahli farmasi menerima penerapan kolaborasi
interprofesi dengan mengajukan beberapa persyaratan. Adapun syarat yang diajukan adalah
kelengkapan sarana dan prasarana, peningkatan sumber daya manusia baik kualitas maupun kuantiats,
peningkatan komunikasi antar profesi, sosialisasi tentang kolaborasi interprofesi, dibentuknya peraturan
dan prosedur yang mengatur keterlibatan ahli farmasi dalam kolaborasi interprofesi, serta pemberian
reward berupa jasa profesi bagi tenaga kesehatan. Penerimaan dengan syarat ini mengindikasikan
keinginan ahli farmasi untuk tetap menerapkan model kolaborasi tradisional, dimana peran dan
otonomi ahli farmasi diketahui sangat jelas. Menurut Lindeke11 , otonomi mencakup kemandirian
anggota tim dalam batas kompetensinya. Dalam model tradisional, peran ahli farmasi hanya sebatas
peracik obat dan penyuplai sediaan farmasi, tanpa melakukan interaksi dengan tenaga kesehatan lain
maupun melakukan asuhan kefarmasian terhadap pasien. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kornelsen15
yang menyatakan bahwa ketika otonomi terancam, perubahan mungkin saja ditolak. Penerimaan
bersyarat ini terjadi bisa karena perspektif ahli farmasi terhadap administrasi organisasi yang
berhubungan dengan kebijakan dan prosedur rumah sakit. Di RSUP Dr Sardjito saat ini belum ada
kebijakan reward danpunishment atas keterlibatan ahli farmasi secara langsung dalam penanganan
pasien. Selain itu, penerimaan bersyarat juga disebabkan oleh tidak adanya model atau prosedur
standar yang mengatur bagaimana keterlibatan ahli farmasi dalam tim kolaborasi dengan profesi lain.
Penyebab lain diakibatkan oleh kurangnya komunikasi ahli farmasi dengan profesi lain. Kurangnya
komunikasi akan menimbulkan stereotyping dan memunculkan keengganan berinteraksi lebih lanjut
dengan profesi lain. Kurangnya komunikasi ini disebabkan karena terbatasnya tenaga ahli farmasi dalam
melayani pasien dan beban kerja yang tinggi sehingga kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi
dengan profesi lain menjadi berkurang. Selain itu, lokasi yang jauh dari bangsal obsgyn dan instalasi
farmasi yang hanya terpusat di satu tempat juga menjadi penyebab kurangnya interaksi ahli farmasi
dengan profesi lain. Keengganan untuk menerapkan kolaborasi interprofesi diduga dipicu oleh
ketidakcukupan pengetahuan dan wawasan tentang asuhan pasien yang dimiliki oleh ahli farmasi. Hal ini
dibuktikan oleh pernyataan responden yang menyatakan bahwa responden belum merasa percaya diri
ketika harus berkolaborasi dengan dokter atau perawat. Hal ini senada dengan pernyataan dari Lindeke
11 yang menyatakan bahwa kolaborasi merupakan proses yang komplek yang membutuhkan perhatian
khusus disertai dengan pengetahuan yang 36 Vol. 4 | No. 1 | Maret 2015 | Jurnal Pendidikan
Kedokteran Indonesia Femy Fatalina et al., Persepsi dan Penerimaan Interprofessional Collaborative
PracticeBidang Maternitas pada Tenaga Kesehatan tinggi dalam melakukan tukar pikiran dalam
mendiskusikan pasien. Faktor lain adalah kurangnya pemahaman ahli farmasi sendiri terhadap
kolaborasi interprofesi sehingga kesalahan persepsi ini berkontribusi terhadap penerimaan ahli farmasi
terhadap kolaborasi interprofesi. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar tenaga kesehatan belum memiliki persepsi yang benar mengenai interprofessional collaborative
practice. Tenaga kesehatan mendefinisikan interprofessional collaborative practice sama dengan definisi
kolaborasi multiprofesi atau kolaborasi tradisional. Keterbatasan persepsi tenaga kesehatan disebabkan
oleh kurangnya paparan informasi mengenai interprofessional collaborative practiceitu sendiri. SARAN
Keberhasilan pelaksanaan kolaborasi dapat ditingkatkan melalui sosialisasi interprofessional
collaborative practice terhadap tenaga kesehatan, memberikan kesempatan tenaga kesehatan untuk
mengadakan pertemuan rutin antar profesi. Perencanaan pelatihan kolaborasi interprofesi yang tepat
bagi tenaga kesehatan menjadi langkah penting untuk penerapan kolaborasi interprofesi. DAFTAR
PUSTAKA 1. World Health Organization (WHO). 2010. Framework for Action on Interprofessional
Education & Collaborative Practice. Switzerland: WHO Press. 2. Daymon, C. and Holloway, I. 2008.
Qualitative Research Methods in Public Relations and Marketing Communication; penerjemah:
Wiratama, C. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka 3. Lestari, E. 2011. Menumbuhkan keterampilan
kepemimpinan dan team building serta penghargaan terhadap profesi lain melalui interprofesional
education. Jurnal Sains Medika 4. Minamizono. S., Hasegawa. H., Hasunuma. N., Kaneko. Y. 2013.
Physician’s Perceptions of Interprofessional Collaboration in Clinical Training Hospitals in Northeastern
Japan. J Clin Med Res. Oct 5(5): 350–355 5. Walgito, B. 2010. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta:
C.V Andi Offset 6. Calhoun, L. J. & Acocella, J. R. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan. Alih Bahasa, Satmoko, R. Semarang: IKIP Semarang Press 7. Kramer, M. and Schmalenberg
C.E. 2003. Magnet hospital staff nurses describe clinical autonomy. Pubmed, Nurs Outlook, 51(1). 8.
Hanafiah, M. Yusuf. 1999. Etika kedokteran dan Hukum kesehatan. Jakarta: EGC 9. Siegler, E.L., Whitney,
F.W. 2000. Kolaborasi PerawatDokter: Perawatan Orang Dewasa dan Lansia. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 10. Cipolle, R.J., Strand, L.M., and Morley, P.C. 2004. Pharmaceutical Care Practice:
Clinician’s Guide 2nd Ed., McGraw-Hill Professional, New York 11. Lindeke. L., 2005. Nurse-Physician
Workplace Collaboration, Online Journal of Issues in Nursing. Vol. 10 No. 1 12. Cross-Sudworth F. 2007.
Maternity linkworkers: a Cinderella service? RCM Midwives 10(7):325–327. 13. Zwarenstein, M., &
Bryant, W. 2000. Interventions to Promote Collaboration between Nurses and Doctors. Cochrane
Database Systematic Reviews, 2. 14. NHMRC (National Health and Medical Research Council). 2009.
Interprofessional Collaboration in Maternity Care, NHMRC, Canberra 15. Kornelsen, J., Dahinten, V.S., &
Carty, E. 2003. On the road to collaboration: nurses and newly regulated midwives in British Columbia,
Canada. Journal of Midwifery & Women’s Health, 48(2), 126-1

You might also like