0% found this document useful (0 votes)
87 views9 pages

Anaphylaxis Prevention Guide

1. The document discusses allergy reactions and anaphylaxis prevention and treatment in the community. It describes allergies as hypersensitivity reactions to substances that should not cause reactions in others. 2. Anaphylaxis is a severe allergic reaction that can be fatal if not treated properly. Symptoms include difficulty breathing, a weak and fast pulse, and decreased consciousness. 3. Prevention of anaphylaxis involves avoiding known allergens and seeking immediate medical treatment if symptoms occur.

Uploaded by

Rizki Amelia
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
87 views9 pages

Anaphylaxis Prevention Guide

1. The document discusses allergy reactions and anaphylaxis prevention and treatment in the community. It describes allergies as hypersensitivity reactions to substances that should not cause reactions in others. 2. Anaphylaxis is a severe allergic reaction that can be fatal if not treated properly. Symptoms include difficulty breathing, a weak and fast pulse, and decreased consciousness. 3. Prevention of anaphylaxis involves avoiding known allergens and seeking immediate medical treatment if symptoms occur.

Uploaded by

Rizki Amelia
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 9

Analisis Pencegahan dan

Penanganan Anafilaksis di Masyarakat


Nurani Almira Salsabilla (G0018161)
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
[email protected]

Abstrak. Allergies were hypersensitivity reactions of the body to a substance that should
not occur in other people, reactions that occur could be group from reactions to mild to
severe. Allergies could occur when the body was exposed to allergens in the form of
food, dust, drugs, enzymes, hormones, animal hair to contact with water or metal.
Reactions that arisen through several stages such as sensitization phase, reaction phase,
and slow allergy phase. In allergic reactions there was activation of mast cells in the
mucous layer which causes the release of allergic mediators such as histamine,
prostaglandin, and cytokines. This mediator would later cause clinical symptoms such as
itching, redness, swelling of the eyes, face or lips, sneezing and runny nose. Anaphylaxis
was an excessive allergic reaction when the body was exposed to certain allergens that
can cause death in sufferers. In anaphylaxis blood vessel dilation occurs accompanied by
increased capillary permeability and airway constriction. Symptoms of anaphylaxis
could occur in the form of difficulty breathing, a weak and fast pulse, to a decrease in
consciousness. Anaphylaxis could be fatal if not treated properly. Anaphylaxis could be
prevent by avoiding allergens which could lead to anaphylaxis. If a person experiences
anaphylaxis, immediately contact a medical person to be treated.

Keywords: Anaphylaxis, Allergy, Preventive, Treatment

1. PENDAHULUAN

Reaksi alergi adalah suatu penyakit yang erat hubungannya dengan sistem kekebalan
tubuh dimana terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap suatu zat tertentu yang tidak berbahaya.
Alergi dapat terjadi karena kegagalan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali suatu zat
asing dimana zat tersebut dianggap sebagai zat yang berbahaya bagi tubuh sehingga tubuh
akan bereaksi terhadap zat tersebut. Zat yang dapat memicu terjadinya reaksi alergi disebut
dengan alergen. Alergen dapat berupa makanan, udara seperti debu, enzim, hormon, bisa ular,
serangga, bulu hewan hingga kontak dengan air maupun benda logam. Reaksi alergi yang
timbul pada setiap orang tentunya berbeda-beda. Seseorang dengan alergi dapat mengalami
gejala ringan hingga berat yang dapat membahayakan nyawa. Gejala alergi ringan yang
terjadi bisa berupa timbul rasa gatal pada kulit, kemerahan pada kulit atau mata,
pembengkakan pada mata, wajah, tenggorokan, dan bibir, bersin-bersin serta hidung berair.
Sedangkan gejala alergi berat bisa berupa timbul rasa gelisah, kesulitan bernapas, denyut nadi
lemah dan cepat, penurunan tekanan darah, berkeringat, pusing hingga penurunan kesadaran
sehingga dapat membahayakan nyawa penderitanya. Reaksi alergi berat inilah yang biasa
disebut dengan syok anafilaksis.

Alergi sendiri merupakan suatu penyakit yang dapat disebabkan oleh faktor genetik
yang diturunkan dari orang tua, faktor lingkungan dan nutrisi yang dapat berpengaruh
terhadap penurunan fungsi sistem imun sehingga hipersensitivitas tubuh meningkat. Pada
kasus seorang ibu hamil maupun menyusui yang memiliki riwayat alergi terjadi transfer
alergen dan antibodi dari ibu ke bayi melalui plasenta atau ASI (Air Susu Ibu). Transfer zat
tersebut dapat mengakibatkan penurunan imunitas bayi. Selain itu, paparan asap rokok, pola
diet ketika masa kehamilan, penggunaan antibiotik, keadaan bayi saat lahir seperti berat yang
rendah maupun keadaan prematur, nutrisi yang diperoleh bayi pada masa pertumbuhan, serta
ada tidaknya hewan peliharaan di lingkungan sekitar juga dianggap mempengaruhi timbulnya
alergi pada anak.

Reaksi alergi ketika seseorang terpapar alergen dapat terjadi melalui beberapa fase.
Fase pertama ada fase sensitisasi dimana alergen masuk ke dalam tubuh melalui kulit, saluran
napas, dan saluran pencernaan. Pada tahap ini, alergen akan diproses oleh APC (Antigen
Precenting Cells) dan memicu sel limfosit T untuk mengeluarkan antibodi IgE
(Immunoglobulin E) untuk melawan alergen yang masuk. Sel yang terpapar alergen nantinya
akan membentuk sel memori B untuk memproduksi antibodi dengan cepat ketika tubuh
kembali terpapar alergen yang sama. Kedua adalah fase reaksi. Pada fase ini, IgE yang telah
terbentuk akan menempel pada sel Mast pada lapisan mukosa organ sehingga menyebabkan
sel Mast teraktivasi. Sel Mast yang teraktivasi akan mengalami proses degranulasi atau
pengeluaran isi dari granula-granulanya berupa histamin, prostaglandin, serta sitokin sebagai
mediator inflamasi yang akan menimbulkan gejala klinis. Selanjutnya ada fase alergi-lambat
yang terjadi setelah tubuh terpapar alergen dalam waktu 2-6 jam. Pada fase ini, mediator
inflamasi yang telah dihasilkan akan menyebabkan migrasi dari basofil, eosinofil, dan
monosit menuju ke lokasi yang terpapar alergen. Hal ini nantinya akan menyebabkan
pengeluaran dari substansi inflamasi spesifik yang dapat menimbulkan aktivitas imun
berkepanjangan hingga kerusakan jaringan.

Pada syok anafilaksis atau reaksi alergi yang berlebihan, terjadi reaksi alergi di seluruh
sistem pembuluh darah serta pada jaringan-jaringan yang berhubungan. Pada fase tersebut,
histamin yang nantinya dilepaskan ke dalam sistem sirkulasi oleh sel Mast akan
menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) yang terjadi di seluruh tubuh disertai
dengan penurunan jumlah plasma dalam kapiler akibat dari peningkatan permeabilitas.
Selain itu, histamin juga dapat mengakibatkan penyempitan otot-otot saluran napas seperti
otot bronkiolus atau bisa disebut juga bronkokontriksi sehingga menyebabkan sesak napas.
Basofil dan sel Mast yang telah teraktivasi akibat dari penempelan IgE akan menyebabkan
pengeluaran leukotrien yang dapat disebut juga substansi anafilaksis bereaksi-lambat.
Leukotrien ini dapat mengakibatkan spasme atau ketegangan otot pada saluran napas
sehingga menyebabkan kesulitan bernapas yang gejalanya mirip dengan asma. Selain zat-zat
tersebut, sel-sel imun di tubuh juga mengeluarkan serotonin dan bradikinin. Serotonin akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas sistem vaskuler. Sedangkan bradikinin akan
menyebabkan kontraksi dari otot-otot polos di tubuh. Reaksi syok anafilaksis yang tidak
tertangani dengan tepat sangat berbahaya bahkan dapat berakibat fatal. Pada beberapa kasus,
seseorang yang terkena syok anafilaksis dapat meninggal hanya dalam waktu beberapa menit
akibat terkena syok sirkulasi maupun akibat dari kesulitan bernapas.

Jumlah keseluruhan kasus anafilaksis yang terjadi di dunia sangat bervariasi. Secara
keseluruhan, angka kematian anafilaksis di dunia mencapai 0,84/juta populasi. Kasus
anafilaksis yang terjadi pada anak diperkirakan terjadi 0.08/juta populasi anak. Sedangkan
pada orang dewasa terjadi 1,12/juta populasi. Pada beberapa sumber disebutkan bahwa
tingkat kematian akibat anafilaksis lebih banyak dialami oleh laki-laki daripada perempuan
yaitu sekitar 1,08/juta pada laki-laki dibandingkan pada wanita sebanyak 0,86/juta populasi.
Terjadinya kematian akibat anafilaksis banyak terjadi akibat kesalahan diagnosis oleh dokter
(63%), penggunaan obat-obatan maupun kontak dengan bisa hewan (14%) dan makanan
(0,6%). Sedangkan kejadian syok anafilaksis yang diakibatkan oleh faktor yang tidak spesifik
terjadi sebanyak 23%. Tingkat kematian yang diakibatkan anafilaksis ini lebih banyak
dialami oleh orang dewasa usia >70 tahun (3,50/juta populasi per tahun) dibandingkan pada
anak-anak.

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan cara
melakukan wawancara dengan narasumber yaitu dokter dan pasien alergi yang memiliki
riwayat anafilaksis.

Metode kualitatif merupakan salah satu metode penelitian yang digunakan untuk
mengumpulkan data-data yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan berupa rumusan
pertanyaan yang telah diajukan. Dalam metode kualitatif, tidak dilakukan perhitungan atau
data statistik yang berhubungan dengan angka. Untuk mengumpulkan data, dapat dilakukan
wawancara kepada narasumber, observasi atau pengamatan, serta analisis. (Mulyadi, 2011)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan kepada narasumber yang memiliki
riwayat alergi dan anafilaksis, diperoleh bahwa usaha pencegahan terjadinya syok anafilaksis
adalah dengan menghindari paparan atau kontak dengan alergen. Alergen yang dapat memicu
timbulnya reaksi alergi maupun anafilaksis bervariasi. Beberapa narasumber menyebutkan
pernah memiliki riwayat alergi berat terhadap obat-obatan, dan ada juga yang menyebutkan
makanan seperti udang, kacang-kacangan, dan kepiting. Gejala yang dialami pasien juga
bervariasi, ada yang mengalami sesak napas, berdebar-debar, berkeringat, pusing, gelisah,
hingga penurunan kesadaran setelah mengonsumsi alergen tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara, upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya
reaksi syok anafilaksis bisa dilakukan dengan mengetahui alergen atau zat yang dapat
menyebabkan timbulnya anafilaksis terlebih dahulu. Untuk mengetahui alergen tersebut bisa
dilakukan skin prick test yaitu menyuntikkan zat yang diduga sebagai alergen ke kulit dan
dilihat reaksi yang terjadi. Apabila kulit menjadi bengkak, kemerahan disertai rasa gatal
menandakan bahwa adanya reaksi alergi. Apabila disertai dengan sesak napas, terasa pusing,
denyut nadi yang tidak teratur hingga penurunan kesadaran maka dapat dikelompokkan
sebagai reaksi alergi berat. Setelah mengetahui alergen yang dapat memicu anafilaksis, maka
pasien diusahakan untuk menghindari kontak atau mengonsumsi alergen tersebut agar tidak
timbul syok anafilaksis dengan cara selalu memperhatikan komposisi makanan dan obat-
obatan.

Berdasarkan wawancara dengan dokter didapatkan hasil bahwa pencegahan anafilaksis


juga bisa dilakukan dengan menyuntikkan alergen dalam dosis sedikit ke kulit dan secara
bertahap akan ditingkatkan dosisnya. Hal ini diperkirakan dapat menurunkan hipersensitivitas
tubuh terhadap alergen tersebut sehingga nantinya diharapkan tubuh dapat mengonsumsi
alergen tersebut tanpa adanya reaksi anafilaksis lagi. Beberapa pasien yang memiliki riwayat
alergi mengatakan bahwa dirinya mengonsumsi alergen dalam dosis kecil ketika usia muda
dan ketika dewasa dirinya mengaku sudah tidak mengalami reaksi alergi lagi. Namun, perlu
diingat bahwa anafilaksis merupakan syok yang dapat berakibat fatal bagi penderitanya. Oleh
karena itu, jangan mencoba untuk mengonsumsi alergen yang dapat menimbulkan syok
anafilaksis tanpa pengawasan dokter.

Dalam wawancara dengan narasumber dokter, diperoleh hasil bahwa orang yang pernah
mengalami reaksi anafilaksis tidak harus mengonsumsi obat-obatan seperti antihistamin
secara rutin. Hal ini dikarenakan reaksi anafilaksis dapat terjadi secara tiba-tiba setelah tubuh
kontak dengan alergen. Apabila dokter menyarankan untuk mengonsumsi obat, obat yang
biasa diberikan adalah antihistamin atau kortikosteroid tergantung pada kondisi pasien.
Beberapa pasien mengaku dirinya pernah mengonsumsi obat antihistamin seperti cetirizine
atau methylprednisolone rutin sebagai bentuk terapi dari manifestasi alergi yang dimilikinya
seperti atopik dan asma.

Untuk penanganan dari syok anafilaksis bisa dilakukan dengan menjauhkan sumber
alergi terlebih dahulu dan melakukan pertolongan pertama yang hampir sama dengan
penanganan syok yaitu membaringkan pasien di permukaan rata, membebaskan jalan napas
pasien, melonggarkan pakaian pasien dan segera hubungi bantuan medis ketika ada seseorang
yang terkena syok anafilaksis agar mendapat pertolongan yang tepat. Apabila penderita
anafilaksis mengalami henti napas atau henti jantung bisa diakukan Resusitasi Jantung Paru
(RJP) kepada penderita. Selain itu, dokter juga akan memberikan cairan infus dan pemberian
oksigen sebagai alat bantu napas. Pemberian obat-obatan juga sangat diperlukan untuk
mencegah kerusakan jaringan yang lebih parah. Obat yang diberikan untuk mengatasi syok
anafilaksis adalah epinefrin atau adrenalin dengan cara injeksi subkutan dengan dosis yang
tepat. Dosis yang biasa diberikan adalah 0.01 mg/kg berat badan, untuk anak-anak memiliki
dosis maksimum 0.3 mg, sedangkan untuk orang dewasa dosis maksimalnya 0.5 mg. Untuk
adrenalin, dosis yang biasa diberikan adalah 0.5 ml. Pemberian epinefrin atau adrenalin ini
bergungsi untuk mengurangi efek inflamasi yang disebabkan alergen, melebarkan saluran
napas atau bronkodilatasi, vasokontriksi atau penyempitan pembuluh darah sehingga aliran
darah dalam tubuh membaik dan tekanan darah kembali normal. Apabila reaksi anafilaksis
masih terjadi maka pemberian obat perlu diulang hingga gejala membaik. Pemberian obat-
obat tambahan juga perlu diberikan sebagai bentuk terapi tambahan setelah pemberian
epinefrin. Obat-obat lain yang akan diberikan adalah antihistamin atau kortikosteroid seperti
dexamethasone dosis 5 mg melalui intravena (IV) untuk membantu mengatasi manifestasi
alergi pada kulit seperti gatal, ruam, kemerahan, mengatasi gejala alergi pada hidung dan
mata, serta mencegah terjadinya reaksi alergi sekunder. Selain itu, pada beberapa kasus
pemberian obat efedrin dengan dosis 0.5 ml melalui injeksi intramuskular atau subkutan juga
dilakukan untuk memacu kerja jantung. Pemberian obat-obatan ini harus berada dibawah
pengawasan dokter dan sesuai dengan dosis yang diperlukan bahkan setelah reaksi anafilaksis
tertangani.

4. SIMPULAN

Dari hasil wawancara narasumber yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa salah
satu upaya pencegahan terjadinya reaksi syok anafilaksis adalah dengan menghindari kontak
maupun mengonsumsi alergen yang dapat mengakibatkan syok anafilaksis. Untuk
mengetahui alergen, dapat dilakukan skin prick test yaitu memasukkan beberapa zat yang
diduga sebagai alergen ke kulit dan dilihat reaksi yang terjadi. Sedangkan untuk penanganan
syok anafilaksis sebaiknya dilakukan oleh tenaga medis. Untuk pertolongan pertama bisa
dengan menjauhkan alergen dan menyuntikkan obat seperti epinephrine atau adrenalin,
efedrin, dan antihistamin atau kortikosteroid seperti dexamethason. Apabila pasien
mengalami henti napas maupun henti jantung bisa dilakukan RJP dan pemberian oksigen
sebagai alat bantu napas.

5. SARAN

Angka penderita alergi di dunia semakin menigkat seiring tahun. Reaksi alergi yang
timbul tidak bisa dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh. Masyarakat sebaiknya lebih
memahami tentang reaksi alergi terutama jika terjadi reaksi anafilaksis. Oleh karena itu, perlu
dilakukan edukasi yang tepat kepada masyarakat mengenai pengetahuan alergi. Selain itu,
penting dilakukan skin prick test atau tes alergi jika pernah mengalami alergi maupun
memiliki riwayat alergi dalam keluarganya untuk mengetahui alergen. Setelah mengetahui
zat alergen pada pasien anafilaksis, pasien diharapkan untuk menghindari kontak atau
mengonsumsi zat tersebut. Untuk mencegah alergi terjadi, masyarakat diharapkan selalu
memperhatikan nutrisi yang dikonsumsi sehari-hari serta kebersihan lingkungan sekitar yang
mungkin dapat menyebabkan penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh.

6. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Akib, A. A. P., Munasir, Z., & Kurniati, N. (2008). Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi
Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia

Rifa’i, M. (2013). Imunologi dan Alergi-Hipersensitif Imunologi untuk Biologi dan


Kedokteran. Malang : UB Press

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta : EGC
Jurnal
Choi, Y. J., Kim, J. H., Jung, J. Y., Kwon, H. S., & Park, J. W. (2019). Underuse of
Epinephrine for Pediatric Anaphylaxis Victims in the Emergency Department: A
Population-based Study. Allergy, Asthma & Immunology Research. 11(4) : 529-534

Hikmah, N., & Dewanti, I. D. A. R. (2010). Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi).


Stomatognactic (J.K.G. Unej). 7(2) : 108-111

Liu, F. C., Chiou, H. J., Kuo, C. F., Chung, T. T., & Yu, H. P. (2017). Epidemiology of
Anaphylactic Shock and its Related Mortality in Hospital Patients in Taiwan : A
Nationwide Population-Based Study. Shock Society. 48(5) : 525-528

Mulyadi, M. (2011). Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Serta Pemikiran Dasar yang
Menggabungkannya. Jurnal Studi Komunikasi dan Media. 15(1) : 127-134
Perdijk, O., & Marsland, B. J. (2019). The Microbiome : Toward Preventing Allergies and
Asthma by Nutritional Intervention. Current Opinion in Immunology. 60 : 10-18

Pouessel, G. Et al. (2017). Abstract From the Food Allergy and Anaphylaxis Meeting 2016.
Clinical and Translational Allergy. 7(10) : 1

Toizumi, Michiko, et al. (2019). Asthma, Rhinoconjunctivitis, eczema, and the Association
with perinatal Anthropometric Factors in Vietnamese Children. Scientific Reports.
9(2655) : 1-5

Tannaro, A. P., Expósito, I. L., Ojalvo, D. L., Fandiño, R. L., & Molina, E. (2016). Antibody
Production, Anaphylactic Signs, and T-Cell Responses Induced by Oral Sensitization
With Ovalbumin in BALB/c and C3H/HeOuJ Mice. Allergy, Asthma & Immunology
Research. 8(3) : 239-240
7. LAMPIRAN

Transkip Wawancara
Narasumber : Dokter
P : Bagaimana bentuk pencegahan reaksi anafilaksis?
N : Bentuk pencegahan reaksi anafilaksis adalah dengan menghindari alergen atau zat yang
memicu terjadinya reaksi tersebut. Untuk mengetahui alergennya, bisa dilakukan tes alergi
seperti skin prick test nanti dilihat reaksinya. Kalau ada alergi biasanya timbul kemerahan,
gatal, dan bengkak.
P : Bagaimana penanganan yang dapat dilakukan ketika terjadi syok anafilaksis? Apa saja
obat-obatan yang digunakan serta berapa dosisnya?
N : Untuk pertolongan pertama pasien dijauhkan dari alergen dilanjutkan dengan
membebaskan jalan napas pasien. Apabila pasien menunjukkan tanda-tanda henti napas atau
henti jantung dilakukan RJP. Untuk obat-obatnya, biasanya diberikan epinefrin atau adrenalin
untuk menaikkan tekanan darah, mengurangi efek inflamasi dan melonggarkan saluran napas,
dosis yang digunakan biasanya 0,01 mg/kg melalui injeksi subkutan. Pemberian epinefrin
bisa diulang sampai gejalanya membaik. Bisa juga ditambah obat antihistamin/kortikosteroid
seperti dexamethasone 5 mg melalui intravena atau efedrin untuk membantu memacu
jantung melalui injeksi intramuskular/subkutan, dosisnya 0.5 ml.
P : Selain menghindari kontak dengan alergen apa saja terapi yang dapat dilakukan untuk
terapi terhadap pasien alergi/anafilaksis?
N : Bisa dilakukan pemberian alergen dalam dosis kecil dan secara bertahap ditambah
dosisnya. Hal ini dilakukan untuk menurunkan hipersensitivitas tubuh terhadap alergen,
sehingga tubuh menjadi kebal. Tapi harus dalam pengawasan dokter karena dikhawatirkan
dapat terjadi reaksi alergi yang membahayakan pasien.

Responden 1
P : Apakah memiliki riwayat alergi atau pernah mengalami anafilaksis? Apa saja alergennya
dan bagaimana bentuk reaksi alerginya?
N : Iya punya, alergi dengan udang, kacang tanah, debu. Pernah mengalami reaksi alergi
parah setelah makan udang. Setelah makan udang jadi sesak napas, berdebar-debar, rasanya
mau jatuh, pusing, dan berkeringat.
P : Bagaimana bentuk pencegahan terjadinya reaksi alergi?
N : Biasanya menghindari makanan yang memicu alergi dan kalau ragu-ragu di makanan itu
ada zat yang memicu alergi minum obatnya dulu.
P : Bagaimana penanganan yang dilakukan apabila mengalami reaksi anafilaksis?
N : Kalau penanganannya langsung dibawa ke dokter, nanti disana diberi obat seperti
kortikosteroid dan ada yang disuntik juga.
P : Apakah sehari-hari mengonsumsi obat? Apabila iya, obat apa?
N : Kadang iya, kadang tidak. Biasanya minum obat antihistamin seperti cetirizine.
P : Apakah pernah mencoba mengonsumsi alergen dalam dosis kecil secara rutin untuk
terapi? Bagaimana hasilnya?
N : Pernah coba makan kacang jumlah sedikit saat usia muda. Hasilnya saat ini tidak
mengalami alergi lagi setelah makan kacang, kalau udang belum pernah coba.

Responden 2
P : Apakah memiliki riwayat alergi atau pernah mengalami anafilaksis? Apa saja alergennya?
N : Punya, alergi dengan udang
P : Bagaimana bentuk pencegahan terjadinya reaksi alergi?
N : Menghindari mengonsumsi udang
P : Bagaimana penanganan yang dilakukan apabila mengalami reaksi anafilaksis?
N : Kalau terjadi reaksi alergi, dibawa ke dokter. Dari dokter diberi obat-obatan seperti
antihistamin dan sebagainya.
P : Apakah sehari-hari mengonsumsi obat? Apabila iya, obat apa?
N : Waktu muda iya, karena punya atopik, sekarang sudah tidak. Obatnya antialergi.
P : Apakah pernah mencoba mengonsumsi alergen dalam dosis kecil secara rutin untuk
terapi? Bagaimana hasilnya?
N : Iya waktu muda karena saran dari dokter untuk mengonsumsi udang dalam jumlah kecil.
Tapi tetap ada pengawasan. Sekarang sudah tidak mengalami reaksi separah dulu.

Responden 3
P : Apakah memiliki riwayat alergi atau pernah mengalami anafilaksis? Apa saja alergennya?
N : Ya, alergi debu jadi batuk dan bersin, kalau makan udang jadi pusing terus sesak napas.
P : Bagaimana bentuk pencegahan terjadinya reaksi alergi?
N : Berusaha untuk menghindari dari bahan yang memicu alergi.
P : Bagaimana penanganan yang dilakukan apabila mengalami reaksi anafilaksis?
N : Biasanya dikasih obat dari dokter.
P : Apakah sehari-hari mengonsumsi obat? Apabila iya, obat apa?
N : Tidak. Biasanya cuma minum obat kalau mau makan makanan yang diduga ada
udangnya.
P : Apakah pernah mencoba mengonsumsi alergen dalam dosis kecil secara rutin untuk
terapi? Bagaimana hasilnya?
N : Belum pernah

You might also like