Indonesian Journal of Theology 5/1 (July 2017): 42-67
MENEMUKAN TEOLOGI LEONARDO BOFF
DALAM ENSIKLIK PAUS FRANSISKUS LAUDATO SI’
Buce A. Ranboki
Abstract
As a Catholic theologian at the vanguard of liberation theology,
Leonardo Boff wrote much about the poor and of the destruction of
nature. Boff constructed his theology on the basis of Vatican II’s
(1962-1965) spirit of aggiornamento. Eventually, and with much
controversy, Boff opted to leave the Franciscan order, having oft
criticized the doctrines and social teachings of the Catholic Church
deemed “lukewarm” toward structural poverty and Latin American
socio-economic life that had been impacted by the actions of junta
militarism; as well, he criticized both the hierarchical spirit of the
Roman Catholic Church and the doctrine of papal infallibility. Since
the election of Jorge Mario Bergoglio (Pope Francis), who has
dedicated his life and theology to address the destruction of nature and
the cries of the poor, the spirit of Boff's theology seems again to be on
the rise. My conviction is that the theological content of Laudato si’
displays something of a Boffian character, the import of which propels
the present study. By way of comparative method, I show that there
are similarities in the theologies of both theologians. This essay begins
with an exploration of Boff's theology, continuing with an exploration
of the text of the encyclical Laudato si’, followed by the bringing
together of these texts comparatively. By the end of this paper, a
critique concerning the concept of sustaining development will be put
forth.
Keywords: Leonardo Boff, Pope Francis, Laudato si’, poverty,
destruction of nature, sustaining development.
Abstrak
Lenardo Boff, seorang teolog katolik dan salah satu tokoh pelopor
teologi pembebasan, banyak menulis tentang kemiskinan dan
kerusakan alam. Boff mengkonstruksi teologinya berdasarkan spirit
43 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
aggiornamento konsili Vatikan II (1962-1965). Di kemudian hari Boff
secara kontroversial memilih keluar dari tarekat Fransiskan, sebab ia
kerap mengkritik doktrin dan ajaran-ajaran sosial Gereja Katolik yang
tampak ”suam-suam kuku” terhadap konteks kemiskinan struktural
dan gerakan junta militer yang membawa dampak pada kehidupan
sosio-ekonomi di Amerika Latin, spirit hierarki Gereja Roma Katolik,
dan doktrin infalibilitas Paus. Sejak terpilihnya Jorge Mario Bergoglio
(Paus Fransiskus) yang mempersembahkan hidup dan teologinya bagi
kerusakan alam dan tangisan kemiskinan, semangat berteologi Boff
seolah-olah bangkit kembali. Konten teologi dalam ensiklik Laudato si’
saya asumsikan sebagai memerlihatkan karakter Boffian. Dalam
kepentingan demikianlah studi ini dilakukan. Melalui metode
komparatif, saya akan menunjukkan bahwa terdapat kesamaan
berteologi pada kedua teolog ini. Langkah merinci bahasan tulisan ini
dimulai dari eksplorasi teologi Boff, eksplorasi teks ensiklik Laudato si’,
dan kemudian mengkomparasi teks. Di ujung dari tulisan ini, kritikan
terhadap konsep sustaining development akan diejawantahkan.
Kata-Kata Kunci: Leonardo Boff, Paus Fransiskus, Laudato si’,
kemiskinan, kerusakan alam, sustaining development.
Pengantar
Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk menelisik teologi
Leonardo Boff, seorang teolog Katolik Brazil, yang cukup dikenal luas
pemikirannya, terutama di bidang sistematika, etika lingkungan, dan
teologi sosial. Saya berangkat dari isu teologis yang saat ini menjadi
perhatian utama banyak kalangan, yakni kerusakan alam (the suffering
earth) dan kemiskinan (the poor). Dua isu ini menurut hemat saya banyak
mendapat perhatian Boff dalam beberapa karyanya, seperti When
Theology Listen to the Poor (1987), Cry of the Earth, Cry of the Poor (1997),
Liberation Ecology (1995), dan masih banyak lagi. Di samping itu, seruan
yang sama atas situasi bumi dan ketertindasan kaum miskin ditegaskan
oleh Paus Fransiskus dalam ensikliknya Laudato si’: On Care for Our
Common Home (2015). Seruan Paus Fransiskus ini mengajak semua
orang agar mengatasi efek tragis dari degradasi lingkungan bagi orang-
orang termiskin di dunia. Orang tidak dapat membangun masa depan
hanya dengan memikirkan diri sendiri tanpa mempertimbangkan krisis
lingkungan dan penderitaan mereka yang dikucilkan.1
Paus Fransiskus, Laudato si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, terj.
1
Martin Harun, OFM (Jakarta: Obor, 2015), 13.
Indonesian Journal of Theology 44
Tampaknya, titik pijak berteologi yang menjadi perhatian Boff
dan Paus Fransiskus tidak lain adalah persoalan sosial, terutama
perhatian keduanya terhadap kemiskinan dan kerusakan ekologis. Jika
menelisik karya terbaru Boff misalnya, Francis of Rome and Francis of
Asisi: A New Springtime for The Church (2014), maka di sana pembaca
akan menemukan kepedulian yang mendasar Paus Fransiskus dan
Fransiskus dari Asisi tentang kemiskinan, dan bagaimana gereja secara
institusional dan organis (umat percaya), memberi hati pada tugas
merangkul dan memberdayakan, serta menatalayani kaum miskin dan
juga alam. Lebih dari itu, penekanan Boff tentang ensiklik Paus
Fransiskus, Laudato si’: On Care for Our Common Home membentangkan
paradigma baru untuk melawan patologi struktur-hirarki Gereja dan
spirit antroposentrisme manusia yang cenderung mendesakralisasi atau
mendestruksi alam.2 Apa yang diupayakan oleh Boff yaitu dengan
menarik pesan teologis utama dari pribadi Paus dan Fransiskus dari
Asisi, yang juga telah dilakukan oleh Xue Jiao Zhang. Zhang
memperlihatkan kesamaan panggilan pelayanan yang diemban oleh
Paus Fransiskus dengan meneladani sang poverello Fransiskus dari Asisi,
yaitu dengan menghidupi dan menjiwai “spiritualitas kosmis yang
mengalir dari cinta Allah Sang Rahmat” untuk peduli terhadap nasib
para papa dan keutuhan alam ciptaan.3
Apa yang ditunjukkan oleh Boff melalui karya-karya
akademisnya, juga Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato si’ patut
diperhatikan. Alasan mendasarnya bahwa kedua-duanya, secara
mendalam menelisik makna hidup yang berorientasi pada keutuhan
segenap ciptaan—justice, peace, and integration of creation. Di dalamnya juga
terdapat kritik serius terhadap masifikasi pembangunan
(developmentalisme) yang digadang-gadang sebagai “menyejahterakan
rakyat” namun pada akhirnya menghancurkan. Misalnya, Paus
Fransiskus menulis,
Di ujung yang satu, ada pihak yang kuat mempertahankan
mitos kemajuan [pembangunan] dan menegaskan bahwa
masalah ekologi akan dipecahkan hanya melalui penerapan
teknologi baru, tanpa perlu pertimbangan etis atau perubahan
mendalam. Di ujung yang lain, ada yang memandang bahwa
2 “Leonardo Boff, Francis and Rome and Francis of Asisi: A New
Springtime for The Church” Interview by Jonathan J. Armstrong, interview
received on: September 12, 2016.
https://leonardoboff.wordpress.com/2016/12/15/leonardo-boff-francis-of-rome-
francis-of-assisi/ (diakses 14 Mei 2017).
3 Xue Jiao Zhang, “How St. Francis Influenced Pope Francis Laudato si’,”
Crosscurrents 66, no. 1 (2016): 42-55.
45 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
manusia dengan segala intervensinya [antroposentrisme,
dualisme] hanya bisa menjadi ancaman dan membahayakan
ekosistem global, dan oleh karena itu kehadirannya di planet ini
harus dikurangi dan segala bentuk intervensinya terhadap alam
dicegah. Antara dua kutub ekstrem ini, perlu dipikirkan dan
diajukan skenario-skenario yang mungkin pada masa depan...4
Karena itu, pembangunan seolah-olah berdiri tepat di persimpangan
jalan, antara dua kutub yang saling kontra. Kita mungkin dapat
membicarakan banyak hal tentang progres kemajuan “pembangunan”
di negeri Indonesia melalui “Nawacita” yang ditargetkan oleh
pemerintah Joko Widodo. Hanya saja, pada satu sisi, pembangunan
meninggalkan bekas dan jejak destruksi ekologis yang juga berdampak
sosial dan ekonomis bagi ketahanan hidup masyarakat. Apakah
pembangunan perlu? Ya sangat perlu, namun ia pembangunan, harus
ditempatkan pada perbincangan tentang keberlanjutan hidup alam, dan
manusia yang bergantung penuh pada alam. Bagaimanapun juga, Paus
Fransiskus telah memperingatkan bahwa alih-alih menata atau
meningkatkan kemajuan di sektor pembangunan, ternyata sebagian
orang berperilaku tidak adil (korup), terutama dalam hal distribusi dan
penerapan kebijakan pembangunan.5 Ada “utang ekologis” terkait
dengan ketidakseimbangan perdagangan (kontrak material
pembangunan), dengan efek-efek ekologis yang timbul akibat dari
aktivitas pembangunan, dan juga terkait dengan penggunaan sumber
daya alam yang tidak proporsional.6
Dalam rangka inilah, studi terhadap Leonardo Boff dan Paus
Fransiskus sangatlah perlu. Kritik teologis keduanya terhadap
pembangunan berkaitan dengan keutuhan ekologis alam ini,
mensinyalemen sebuah titik berangkat teologis dalam menyikapi
masifikasi pembagunan dan dampaknya bagi kemiskinan.
Kemiskinan dan Kerusakan Alam: Titik Berteologi
Berkaitan dengan pergumulan Boff dalam teologinya,
persoalan-persoalan ekologi dan kemiskinan telah sekian lama
digumuli dalam ajaran-ajaran sosial gereja Katolik, terutama setelah
konsili Vatikan II (1962-1965). Benarlah bahwa Gereja Katolik
menemukan angin segar setelah konsili ekumenis ini, terutama
kedamaian diri selepas skisma Barat-Timur (1054 M.) dan kontra
4 Paus Fransiskus, Laudato si’, 60.
5 Laudato si’, 50.
6
Laudato si’, 51.
Indonesian Journal of Theology 46
reformasi (abad ke-16 M.). John Chryssavgis, seorang penasihat
Patriarkh Konstantinopel dan teolog Gereja Ortodoks Timur dalam
bidang ekologis, merujuk pada tindakan simbolik Paus Fransisikus dan
Patriakh Bertholomew dalam anjangsana ke Yerusalem sebagai
momentum merayakan 50 tahun perjalanan ziarah Paus Paulus VI dan
Patriakh Athenagoras di tahun 1964, sebagai titik balik pengakuan dan
penerimaan atas perbedaan kedua gereja, setelah peristiwa tragis skisma
Timur dan Barat.7 Perhatian yang sama dari kedua tokoh ini atas situasi
kontemporer bumi dan makna kehadiran gereja melalui pelayanan
sosialnya berimplikasi pada munculnya spirit ekumenis dan kerja sama
antargereja tanpa memandang historisitas dan perbedaan identitas.8
Tampaknya, beberapa ajaran sosial gereja dibarui dan dipikirkan ulang
selepas Konsili Vatikan II.
Leonardo Boff mengembangkan teologinya berdasarkan hasil
konsili Vatikan II. Spirit aggiornamento yang diusung oleh konsili,
menurutnya, menuntut gereja untuk merumuskan diri dalam
menghadapi tantangan sekularisasi dan modernisme sembari
memikirkan tugas penatalayanan dan misi gereja di tengah dunia dalam
segala lini kehidupan: ekonomi, sains, teknologi, sosial dan politik.
Seruan aggiornamento itu antara lain, “The Church is sensitive to the
dramatic misery of the poor . . . the Church has made a worthy effort
to define its place and mission in the modern world.”9 Bertolak dari
perhatian itu, beberapa varian teologi sebagai metode dalam menyikapi
dan merespons tugas pelayanan gereja juga mendapat perhatian Boff
seperti yang dibicarakan dalam konsili Vatikan II, misalnya teologi
sekuler sebagai respons iman atas klaim modernitas di segala bidang
atau teologi politik sebagai sebuah upaya untuk menempatkan pesan
eskatologis Kristen dalam relasi dengan dunia modern dalam bentuk-
bentuk praktik yang logis, sebagaimana diadopsi dari Johann B. Metz.
Selain itu, teologi pengharapan (sebuah varian teologi politik)
7 John Chryssavgis, “Pope Francis Laudato si’: A Personal Response, An
Ecumenical Reflection,” Phronema 31, no. 2 (2016): 17-21. Skisma Gereja Timur dan
Barat pada awalnya dipicu oleh faktor perebutan kekuasaan di antara Patriakh
Michael Cerularius dan Paus Leo IX. Paus menghendaki agar Patriakh tunduk pada
otoritas Paus. Faktor lain yang memicu terealisasinya skisma ini antara lain
penolakan doktrin purgatori (pemurnian) oleh kalangan Gereja Ortodoks,
sementara Roma Katolik tetap mempertahankannya, para Patriakh Gereja
Ortodoks dapat menikah sementara Roma Katolik memilih selibat, dan perbedaan
kedua gereja dalam menyikapi isu fillioque: apakah Roh Kudus berasal dari Bapa
sang penyebab utama, ataukah dari Bapa dan Anak sebagai sebuah processio? Lihat
Kenneth Curtis, dkk, 100 Persitiwa Penting dalam Sejarah Gereja, terj. A. Rajendran
(Jakarta: Gunung Mulia, 2003), 52.
8 Francis, Laudato si’, 7.
9 Leonardo Boff, When Theology Listen to The Poor, terj. Robert R. Barr
(Maryknoll: Orbis, 1984), 3.
47 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
merupakan upaya berteologi untuk menerjemahkan prinsip-prinsip
transformasi sejarah ke dalam utopia, karya, dan perhitungan revolusi
konkret melalui level-level sosio-historis, sebagai bentuk aplikatif dari
kerajaan Allah (teologi mesianik). Pada akhirnya, Boff menyebut
teologi revolusi (theology of revolution) sebagai sebuah pendekatan praksis
untuk mendorong tindakan kasih berbasis anti-violence yang bersumber
pada Injil, sebagaimana diklaim dalam teologi pembebasan.10 Memang,
di kemudian hari, Vatikan menentang eksistensi teologi khas Amerika
Latin dan berakibat pada penolakan Vatikan terhadap teologi ini. Saya
tidak bermaksud membahas kedudukan teologi pembebasan, sebab
rasanya tidak cukup ruang untuk melakukannya secara rinci. Cukuplah
disimpulkan bahwa konsili Vatikan II benar-benar hadir untuk
mengkinikan Gereja Katolik dalam merespons dunia dan tantangan
pelayanan yang berubah-ubah. Tentang varian teologi yang disebutkan
dalam konsili Vatikan II, ketika berbenturan dengan konteks, misalnya
mengaplikasikan teologi pembebasan terhadap fakta kemiskinan,
tampak varian teologi yang lain (misalnya teologi politik dan teologi
pengharapan) dapat dipakai sebagai pembanding atau paradigma
analisis untuk menilai relevansi, metode, dan pendekatan teologi
pembebasan. Jadi, kehadiran teologi pembebasan di awal munculnya
selalu dicurigai. Inilah yang kemudian menimbulkan pertentangan
antara Vatikan dan beberapa uskup Katolik di Amerika Latin menyoal
model dan metodologi teologi in loco Amerika Latin tersebut.
Ajaran sosial Gereja Katolik yang berkaitan dengan problem
ekologis dan kemiskinan sejatinya terkulminasi pada ensiklik Paus
Fransiskus Laudato si’ yang disahkan pada 18 Juni 2015. Ensiklik ini
mendapat apresiasi luar biasa oleh karena di dalamnya Paus Fransiskus
mengkonstruksi isu ekologi dan kemiskinan secara berkelindan.
Ensiklik ini hadir sebagai upaya untuk memikirkan situasi bumi
berbarengan dengan akar-akar sosial manusia, baik dalam perlakuan
terhadap sesama maupun dalam sikap menyahabati alam. Tampaknya
ensiklik ini hendak mengkritik teori-teori “ekologi konvensional” yang
hanya serius pada problem lingkungan (environmentalism) tanpa melihat
timpangnya relasi di antara manusia dan alam. Dalam pengertian yang
demikian, manusia tidak mendapat perhatian serius dalam studi
ekologi, seolah-olah manusia tidak ada sangkut pautnya dengan alam.
Sebagai contoh, Boff mengkritik dunia Utara yang mengagendakan
situasi ekologis bumi sebagai agenda politik dan bukan persoalan
kehidupan integral.11 Paus Fransiskus menyebutkan bahwa akibat dari
10 Ibid., 4-7.
11 Leonardo Boff, “Social Ecology: Poverty and Misery,” dalam
Ecotheology: Voices from South and North, peny. David. G. Hallman (Maryknoll: Orbis,
1994), 221.
Indonesian Journal of Theology 48
konsumerisme dan budaya konsumtif dunia Utara muncul utang
ekologis yang besar atas kondisi belahan dunia Selatan, dan dengan
alasan material dan utang ekologis itu, kebergantungan struktural dunia
Selatan terhadap dunia Utara yang menyediakan sumber-sumber
pembangunan, modal dan industri, semakin meningkat. Akibatnya,
hegemoni Utara terhadap Selatan terus melanggengkan kesenjangan
sosial dan ekonomi.12
Saya menyadari bahwa dua isu ini (kemiskinan dan kerusakan
alam) bukanlah persoalan baru, sebab banyak teolog konstruktif telah
menggumuli problem kerusakan alam berkaitan dengan akar-akar relasi
sosial manusia. Saya tidak berkesempatan untuk menunjukkan banyak
teolog tersebut, hanya menurut saya satu nama yang patut disebutkan
di sini, yang merupakan “pendahulu” Boff dan Paus Fransiskus, yakni
St. Fransiskus dari Asisi, pendiri ordo Fransiskan. Saya memilih St.
Fransiskus sebab tokoh ini banyak berpengaruh bagi eko-teologi Boff
dan Paus Fransiskus. Jadi, jelaslah, Leonardo Boff, Paus Fransiskus,
dan St. Fransiskus dari Asisi adalah teladan dan teolog yang serius
menggumuli isu-isu ini.
Pertanyaannya sekarang, mengapa kita perlu menemukan
teologi Boff dalam ensiklik Laudato si’?Alasan mendasar terhadap
pertanyaan ini adalah bahwa Boff maupun Paus Fransisikus menjiwai
dan mengamalkan spiritualitas Fransiskan yang terpancar di dalam diri
St. Fransiskus dari Asisi. Alasan lainnya adalah bahwa Boff adalah
salah satu teolog dari belahan Selatan yang paling ngotot membela
persoalan ekologis dari perspektif pembebasan. Menurutnya, umat
manusia berkewajiban mewujudkan keadilan kepada bumi. Salah satu
kritiknya dialamatkan terhadap kapitalisme, teknologi dan IPTEK,
yang berwajah eksploitif dan konsumeristis.13 Sama halnya juga dengan
Bergoglio (Paus Fransiskus) yang datang dari belahan dunia Selatan,
yang benar-benar mengabdikan diri dan amal pelayanannya untuk
orang miskin, terpinggirkan dan kepada keutamaan keadilan ekologis.14
Boff sepanjang hidupnya tetaplah seorang Fransiskan, sementara Paus
Fransiskus (Jorge Mario Bergoglio) adalah seorang Jesuit, namun
memilih menggunakan nama Fransiskus setelah konklaf penetapan
12 Francis, Laudato si’, 52.
13 Leonardo Boff, Ecology and Liberation: A New Paradigm, terj. John
Cumming (Maryknoll: Orbis, 1995), 75.
14 Clemens Sedmak, A Church of the Poor: Pope Francis and the Transformation
of Orthodoxy (Maryknoll: Orbis, 2016), viii. Buku yang baik tentang karya, hidup dan
pelayanan Jorge Mario Bergoglio, dapat dibaca dalam Luke Chopen, “Book Review:
Pope Francis, Untying the Knots, by Paul Vallely,”
http://www.independent.co.uk/arts-entertainment/books/reviews/book-review-
pope-francis-untying-the-knots-by-paul-vallely-8755018.html (diakses 1 Maret
2018).
49 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
dirinya sebagai Paus, untuk menghormati St. Fransiskus dari Asisi atas
kepedulian, cinta, dan spiritualitas hidupnya kepada alam dan orang
miskin. Benar bahwa Bergoglio mewakili ordo Jesuit yang untuk
pertama kali tampil sebagai Paus setelah sekian lama dalam sejarah
kelam Ordo ini, dihambat perkembangannya oleh Paus Clemens XVI
pada tahun 1773, sehingga mereka tidak terorganisasi selama kurang
lebih 70 tahun. John W. O’Malley, seorang profesor teologi dan
sejarawan Yesuit di Georgetown University, menginformasikan bahwa
perkembangan Jesuit yang pesat sampai sekarang ini tidak terlepas dari
sejarah kelamnya. Misalnya, perselisihan dan permusuhan di antara
Ordo Benediktin dan Ordo Yesuit di China ketika iman Katolik
diberitakan. Perselisihan ini dipicu oleh kegusaran rahib Benediktin
terhadap para Jesuit mengikuti penghambatan dari Paus Clemens XVI.
Lembaran buram lainnya adalah penghambatan Yesuit di Roma,
namun di biarkan berkembang di Rusia oleh Catherina the Great. Bukti
sejarah ini menampilkan sisi kesyahihan Ordo Jesuit sepanjang
perkembangannya walau dihambat.
Terpilihnya Bergoglio sebagai Paus, menjadi catatan menarik
bahkan menyejarah bagi kalangan Ordo Jesuit.15 Bergoglio merupakan
person pertama dari luar Eropa yang pernah menduduki takhta suci
Vatikan dari Ordo Jesuit. Awal keterpilihan Bergoglio dan penggunaan
nama besar Fransiskus, membuat banyak orang berpendapat bahwa
nama Fransiskus diabadikan untuk mengenang sang rasul dari Jesuit,
Fransiskus Xaverius. Namun, seyogianya tidak. Fransiskus, seperti
dikutip oleh Clemens Sedmak, mengabadikan nama Fransiskus dari
Asisi bagi gelar kepausannya di dalam menyatakan kepedulian terhadap
orang miskin dan juga ibu bumi. Saya meyakini bahwa, ada ekspresi
teologis yang autentik yang dapat membangun komunitas (misalnya
Jesuit mengakui tradisi kesahajaan Fransiskan), atau gagasan-gagasan
teologis yang dikembangkan Paus Fransiskus nyaris sama dalam
formulasi yang diperkaya dari St. Fransiskus dari Asisi atau pemikiran
cemerlang Boff. Saya meyakini bahwa Boff dan Paus Fransiskus
berutang moral terhadap St. Fransiskus dari Asisi dalam
mengembangkan teologi ekologis dan kemiskinan.
Karya-karya Boff yang saya sebutkan di atas menggumuli isu
ekologis dan kemiskinan, begitu pula ensiklik Laudato si’. Saya akan
menunjukkan dalam pembahasan ini, bahwa gagasan-gagasan seperti
pembebasan, tangisan alam tangisan kemiskinan, Trinitas dan
15 Detail pembahasan tentang Sejarah perkembangan Yesuit dapat dibaca
pada John W. O’Malley, The Jesuits: A History from Ignatius to the Present (Lanham:
Rowman and Littlefeld, 2014). Resensi atas buku ini dapat dilihat pada
http://www.thetablet.co.uk/books/10/3658/the-jesuits-a-history-from-ignatius-
to-the-present (diakses 19 Mei 2018).
Indonesian Journal of Theology 50
interkoneksi, jejaring kehidupan, ekologi integral, Fransiskus dari Asisi,
dan masih banyak lagi, adalah frasa-frasa yang cukup dikenal di dalam
tulisan Boff dan kemungkinan dikembangkan lebih komprehensif oleh
Paus Fransiskus. Benar bahwa Paus Fransiskus tidak menyebutkan
Boff secara eksplisit dalam ensikliknya, namun beberapa rujukan yang
diacu dapat dijadikan pijakan berteologi kedua orang ini, selain
beberapa gagasan yang sudah penulis sebut seperti: hasil konferensi
Rio de Janeiro (1992) tentang lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan, konferensi para uskup Amerika Latin (CELAM) di
Medellin, Colombia (1972) yang membahas konflik politik dalam
terang iman Kristen, dan di Puebla, Meksiko (1978) yang berfokus
pada isu kemiskinan sebagai panggilan misi gereja untuk terlibat dalam
mengawasi dan menatalayani sebab-sebab ekonomi-politik yang
menimbulkan kemiskinan struktural di Amerika Latin.16 Sumber-
sumber tersebut dipakai sebagai sumber teologi oleh kedua pemikir
ulung ini, terutama konten ensiklik Laudato si’. Paus Fransiskus melalui
tim penulisan ensiklik, tampaknya menggunakan tulisan Boff untuk
menyusun ensiklik yang mengatas namakan dirinya. Penggunaan karya
Boff dimungkinkan karena Paus Fransiskus pernah berdomisili dan
berkarya di Buenos Aires, Argentina dan sudah barang tentu ia
mengenal baik teologi pembebasan, pemikiran Boff maupun tulisan
tentang Boff, mengingat Bergoglio adalah seorang akademisi juga.
Apakah dapat dikatakan bahwa Bergoglio adalah seorang Boffian?
Inilah yang akan menjadi bahan studi tulisan ini.
Saya mengarahkan tulisan ini pertama-tama pada teologi
Lenardo Boff, menggunakan referensi utama Cry of the Earth, Cry of the
Poor (1997). Literatur lain tentang Boff dipakai seperlunya. Selanjutnya,
perhatian diberikan pada ensiklik Laudato si’. Di dalamnya, kutipan
pasal-pasal yang identik dengan teologi Boff diikutsertakan. Saya juga
menelisik beberapa ikhwal seperti teologi pembebasan, konsep trinitas,
dan spiritualitas panenteisme, kemudian menarik kesimpulan di akhir
tulisan ini.
Boff tentang Keadilan Alam dan Keadilan Sosial
Baiklah kita coba memahami konsep ekologi integral yang
mengarahkan pikiran kita pada bentuk-bentuk relasi manusia dengan
alam dan sesama makhluk hidup. Singkatnya, tema tentang keadilan
alam dan keadilan sosial dielaborasi secara berkelindan tanpa harus
saling terpisahkan. Dengan demikian, ketika menghampiri atau
16 Ibid., 94, 96.
51 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
membaca Boff, maka alarm utama yang menjadi pra-pengetahuan
pembaca adalah bahwa studi mengenai ekologi mesti dipahami dalam
pengertian interkoneksi dan bukan melalui konsep singular atau
tunggal. Artinya, ekologi itu sendiri terhubung dengan percakapan di
sekitar isu sosial, budaya, agama, dan geografi. Dengan demikian
problem ekologis tidak mungkin dibahasakan terlepas dari perhatian
atau efek yang ditimbulkan dari problem ekologis, misalnya kondisi
kemiskinan manusia. Begitu pula sebaliknya, ketika tema tentang
kemiskinan diwacanakan, model-model relasi antara manusia dan alam,
sumber daya manusia dan sumber daya alam, dapat meluas hingga
perbincangan di sekitar isu eksploitasi, kapitalisme, pencaplokan tanah,
degradasi hutan, dan seribu satu masalah ekologis lainnya.
Dalam pendahuluan buku Cry of the Earth, Cry of the Poor, Boff
menulis, “The aim of this book is to connect the cry of the oppressed
with the cry of the earth.”17 Terlihat di dalam karya ini upaya Boff
membahas problem kemiskinan dan kerusakan alam di Amerika Latin
dengan menggunakan analisis praksis pembebasan (aksi-refleksi-aksi)
terhadap kenyataan ketertindasan struktural dan sekaratnya ibu bumi
akibat pola-pola relasi yang bercirikan antroposentris-teknokratis.
Melalui buku ini, Boff juga menjelaskan bagaimana spirit maskulinitas
mewujud ketika dunia Utara memandang dunia Selatan sebagai lahan
kapitalisasi dan eksploitasi yang hanya diperuntukkan sebagai
penambah investasi modal. Boff melihat bahwa kesenjangan relasi
antar sesama manusia dapat berakibat pada nihilnya solidaritas manusia
dengan alam, misalnya keseimbangan alam terancam, sesama manusia
saling berlaku tamak, dan dominasi manusia atas alam semakin berakar.
Di masa kini, alam dan mereka yang miskin mesti dibebaskan. Boff
menulis, “It is not only the poor and oppressed that must be liberated,
today all human must be liberated.”18 Di sini tampak jelas bahwa Boff
menghendaki sebuah gerakan ekologi yang mengamankan dan
mengupayakan keutamaan atau keberlangsungan hak asasi alam.
Dalam tulisannya “Social ecology: Poverty and Misery,” Boff
mengatakan bahwa gerakan ekologi dimaknai sebagai sebuah upaya
merawat alam sekaligus mengawasi pembangunan masyarakat,
bertujuan mencapai kemakmuran tanpa harus mengorbankan
lingkungan, dan karena itu tanggung jawab manusia adalah mengelola
alam, mengupayakan kesejahteraan kaum miskin, membangun relasi
yang utuh dengan segenap ciptaan.19
17 Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, terj. Paul Burns
(Maryknoll: Orbis, 1995), xi.
18 Boff, ibid., xii.
19 Boff, “Poverty and Misery,” 237.
Indonesian Journal of Theology 52
Kesadaran Boff dalam menilai kondisi real alam dan manusia
yang demikian membuatnya berkata bahwa manusia mesti bertobat
dari cara-caranya memperlakukan alam dan sesamanya. Pengisapan,
eksploitasi, kooptasi alam, perampasan hak asasi manusia, dan sikap
tak-acuh atas peristirahatan dan regenerasi alam harus diperangi.
Bahasa persahabatan sudah seharusnya dijiwai. Persahabatan yang
mutual dengan alam dan sesama manusia menandakan adanya
hubungan yang harmonis sebagai satu komunitas kosmik,20 dan bahwa
semua makhluk dalam planet ini saling terhubung (interkoneksi)
sebagai bapa, ibu, dan saudari-saudari, yang saling menerima dan
memberi dalam keutuhan relasi sebagai satu keluarga kosmis. Gagasan
inilah yang menurut Boff disebut mentalitas ekologis.21 Mentalitas
demikian menunjukkan bahwa semua makhluk, anasir-anasir bumi,
memiliki nilai di dalam dirinya, yaitu apa yang disebut oleh Paus
Fransikus sebagai nilai intrinsik, yakni hak yang ada pada setiap elemen
ciptaan untuk dapat eksis dan koeksis dalam membentuk jejaring
kesatuan yang tersistem.22 Keterhubungan dan persaudaraan yang
demikian melahirkan spiritualitas persaudaraan dan persahabatan yang
saling menata dan merawat (mutuality), yaitu sebuah panggilan hidup
dalam penatalayanan agar saling membagi cinta dan kasih, persekutuan
di antara semua makhluk. Inilah yang dimaksudkan dengan etika
ekologi.23 Etika ekologi dirumuskan oleh Boff dalam pengertian bahwa
ciptaan merupakan satu keutuhan keluarga kosmis. Dengannya, tidak
ada anggota-anggota keluarga yang saling menciderai dan menindas
apalagi merusak bumi sebagai rumah bersama, saudari perempuan, ibu
yang mengasuh dan memberi makan. Etika kosmik seperti inilah yang
semestinya diupayakan pada masa kini dan masa depan.
Dalam terang persekutuan kosmis demikian, semua makhluk
dapat hidup sebagai satu keluarga. Dari gagasan keluarga kosmis ini
diskursus teologi kita tentang persekutuan dapat mencirikan sebuah
definisi teologi sakramental yang mewadahi keutuhan persekutuan
kasih di antara Allah dan ciptaan (melalui penciptaan dan inkarnasi) ke
dalam haribaan communio Allah. Dunia adalah pengejawantahan nilai
dan realisasi, tanda dan makna kerajaan Allah. Dengan demikian,
melalui bahasa sakramental itu, segala sesuatu di dalam alam ini
diarahkan pada theosphere, di mana Allah berada di dalam semua dan
semua di dalam Allah (God in all, all in God).24 Itulah sebabnya panggilan
etis menghidupi persekutuan kosmis layaknya mewadahi aksi
20 Boff, Cry of the Earth., 6
21 Ibid.
22 Ibid., 7.
23 Ibid.
24 Ibid., 144
53 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
pemulihan kesucian ciptaan dan perbaikan martabat bumi (reclaiming the
dignity of earth), sembari menemukan kembali misi anak-anak bumi
untuk merayakan keindahan kosmos, dan akhirnya kita dapat
mengalami perjumpaan dengan Allah, Sang Sekutu, dalam seluruh
dinamika kosmogenis. Boff benar ketika mengatakan bahwa dalam
merangkul dunia, kita merangkul Allah:“In embracing the world, we
shall be embracing God.”25
Laudato si’ dari Paus Fransiskus:
Tangisan Alam, Tangisan Kemiskinan
Uraian di atas memperlihatkan upaya Boff dalam menjelaskan
sebuah etika ekologi kosmik, yang ditandai oleh relasi persekutuan
timbal-balik di antara alam dan manusia, yang adalah cerminan
gambaran kualitas keintiman di antara manusia dengan Allah. Saya
yakin bahwa sebuah perspektif eko-sosial merupakan pendasaran
berpikir ekologi Boff dalam mempercakapkan isu kerusakan alam dan
problem kemiskinan.
Saya memiliki alasan spesifik mengapa memberi judul seperti
di atas, sebab hemat saya, frasa demikian mewakili inti percakapan kita
tentang ekologi sosial.Yang menarik, judul di atas merupakan bahasa
Boff menurut buku yang ditulisnya. Dengan nada yang sama, di dalam
ensikliknya Paus menyatakan sebuah aksioma tentang kemerosotan
alam dan sosial demikian, “Pendekatan ekologis yang sejati selalu
berupa pendekatan sosial yangharus mengintegrasikan soal keadilan
dalam diskusi lingkungan hidup, untuk mendengar jeritan bumi
maupun jeritan kaum miskin.”26 Dengan ensikliknya, Paus mencoba
membuka mata dunia dengan menyebutkan beberapa fakta ekologis
yang sedang mengancam keutuhan hidup segenap makhluk.
Menurutnya, tujuan ensiklik ini adalah untuk menyadarkan semua
orang tentang ancaman serius yang menimpa rumah kita. Beberapa
fakta yang mengancam telah disebutkan dalam ensiklik ini seperti:
polusi, meningkatnya volume limbah dan sampah, perubahan iklim,
pemanasan global, cuaca ekstrem, penaikan permukaan laut, hujan
asam, kekeringan sumber mata air, kehilangan biodiversitas dan masih
banyak fenomena lain. Fakta yang disebutkan ini, belum selesai realisasi
penanganannya baik di sektor lokal maupun global, namun di saat yang
sama, masalah kemiskinan mencuat berbarengan dengan fakta tadi.
Planet ini sedang diancam oleh dua problem krusial yaitu kerusakan
alam, rumah kita, dan kemiskinan anak-anak bumi. Paus Fransikus
25 Ibid., xii.
26 Laudato si’, 49.
Indonesian Journal of Theology 54
mengatakan bahwa sebagian besar orang miskin tetap
menggantungkan hidupnya pada hasil alam. Banyak di antara mereka
yang tinggal di area-area gejala alam terkait. Cadangan makanan mereka
bersumber dari hasil pertanian, peternakan, dan hutan, yang semuanya
disediakan alam. Kebergantungan orang-orang miskin terhadap alam
membawa dampak moril dan sosial, sebab masih terlihat minimnya
akses orang miskin dalam memeroleh jaminan sosial. Pada tataran
biodiversitas, akibat dari degradasi hutan, beberapa spesies tidak
mampu beradaptasi dengan lingkungan, komunitas, ekosistemnya,
akibatnya banyak spesies bermigrasi mencari habitat baru dan sebagian
lagi terancam punah.27
Bertolak dari fakta ekologis tersebut, maka sebuah pertanyaan
hakiki tentang keberlanjutan hidup manusia di bumi menjadi penting
pada masa ini. Pertanyaan ini dapat dirumuskan: bagaimana semestinya
relasi persaudaraan dan persekutuan semua makhluk di bumi ini, di
rumah milik bersama, dapat menjamin kenyamanan hidup setiap
makhluk tanpa saling meniadakan dan memusnahkan, bukankah kita
satu keluarga dalam rumah, bumi yang adalah milik bersama?
Tampaknya, semakin meningkat problem ekologis hendak
membuktikan bahwa ekologi kosmik hanyalah jargon teologis, dan
masih minim implementasi. Kesadaran terhadap vitalitas eko-biologis
yang diusung oleh ekologi kosmis mengenai hidup yang saling
bergantung dan berjejaring (web of relations) membentuk keteraturan
ekosistem, masih terkungkung dalam penjara teori semata. Padahal
semua orang tahu dan meyakini bahwa apabila ekosistem dirusak,
bahaya kaotik mangancam. Ferdinand Nwaighbo mencoba
menyadarkan betapa pentingnya keseimbangan ekosistem dalam
menjaga stabilitas hidup makhluk di bumi. Melalui tulisannya,
Nwaighbo menghimbau agar setiap orang menerapkan cara hidup yang
“bertobat dari dosa-dosa ekologis” dengan mengarahkan totalitas diri,
jiwa dan pikiran pada keadaan baik alam ini, sehingga melaluinya orang
dapat menyaksikan Allah Sang Pencipta. Menurutnya, dengan
keharmonisan kosmik, jiwa dan spirit kita dituntun melalui
kontemplasi dan permenungan, ke dalam persekutuan-perjumpaan
dengan Allah. Nwaighbo menulis, “Studi ekologis tanpa perspektif
spiritual atau perubahan pola hidup, hanya terbatas pada kepuasan
intelektual semata.”28 Manusia mestinya menyadari arti panggilan dan
identitasnya dalam membangun kekeluargaan kosmik. Pada satu segi,
manusia tahu menilai zaman bahwa kerusakan alam tidak terelakkan
lagi dan bumi sedang menuju kehancuran namun, pada sisi yang lain,
27 Laudato si’, 25-26.
28 Ferdinand, Nwaighbo, “Pope Francis and the Programme of Ecology in
a Time of Change,” African Ecclesial Review 58, vol. 3 & 4 (2016): 220.
55 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
masih banyak orang memilih berdiam diri dari ancaman-ancaman
ekologis tersebut.
Hemat saya, walaupan seruan pertobatan (metanoia) merupakan
jargon lama, namun paling tidak ia mencakup pertama-tama
pembaruan pola-pola relasi manusia dengan alam.”29 Nwaighbo
melanjutkan gagasan ”kekeluargaan kosmis” dengan menyadari bahwa
salah satu faktor penyebab menurunnya spiritualitas persahabatan,
kekeluargaan manusia dengan alam dan sesamanya, karena
meningkatnya budaya individualisme. Individualisme teraktualisasi
melalui sifat keserakahan (greed), dan intoleransi yang tergambar melalui
kepentingan kohesi kelas dan egoisme pribadi. John Zizioulas
menyambung wacana Nwaighbo dengan menganjurkan sikap
“pemurnian” relasi, yang menandakan kualitas ikatan persaudaraan
universal. Persaudaraan universal tersebut tegas Zizioulas, mesti
dibingkai ke dalam sebuah term ekologi sosial yang holistik.30 Senada
dengan Zizioulas, Boff kemudian mendefinisikan ekologi sosial
sebagai sebuah studi integratif yang mengupayakan keutuhan relasi di
antara masyarakat dengan segenap anggotanya, melalui institusinya
dengan alam.31 Boff mengutip pandangan dan pemikiran Eduardo
Gudynas untuk membenarkan bahwa ekologi sosial mencakup pula
persoalan politik dan sosial: persoalan politik, sebab ia terhubung
dengan kebijakan dan keputusan dari pemangku kebijakan (struktur
kuasa) dan persoalan sosial, sebab ekologi menentukan kesejahteraan
kehidupan khalayak sosial. Sebuah contoh menarik dikatakan oleh Boff
terkait dengan isu sosial dan isu lingkungan bahwa dimensi sosial
manusia ditentukan oleh relasinya dengan alam. Menurutnya, orang
rimba (isu sosial) membutuhkan hutan untuk tetap hidup (isu
lingkungan). Karena itu, alasan apa pun atas nama pembangunan
(misalnya tata kelola hutan) mesti membawa keuntungan sosial
terutama bagi keseimbangan komunitas sosial-kosmik itu sendiri.
Konsep ekologi sosial menurut Boff baiknya ditempatkan
dalam pengertian “mengupayakan sebuah ekologi holistik”tadi. Tesis
Boff ini penting untuk diindahkan sebab diskusi di sekitar ekologi
sosial mengandung empat elemen utama. Pertama, manusia baik
individu ataupun sosial selalu berinteraksi dengan alam. Kedua,
interaksi itu terjadi di dalam waktu dan secara historis, sejarah manusia
tidak terlepas dari sejarah lingkungan. Ketiga, manusia senantiasa
beradaptasi dengan lingkungannya. Keempat, bahwa ekologi sosial
terkait erat dengan bagaimana manusia memperlakukan
29Ibid.
30John Zizioulas, “A Comment on Pope Francis Encyclical Laudato si’”
GOTR 60, vol. 3-4, (2015): 188.
31 Boff, Cry of the Earth., 223.
Indonesian Journal of Theology 56
lingkungannya.32 Empat elemen ekologi holistik ini dapat didiskusikan
sampai pada batasan di mana kemiskinan dan kerusakan alam
tersimpul atau terwujud dalam keutuhan persaudaraan kosmis dan
mengerucut pada diskusi tentang keadilan sosial.
Ibarat gayung bersambung, Paus Fransiskus melalui
ensikliknya mengutarakan betapa pentingnya mengindahkan “ekologi
integral,” yaitu sebuah bahasa ekologis yang dapat menghubungkan
bentuk, model, relasi manusia dengan alam dalam hubungan mutual.
Menurut Paus Fransiskus, interaksi sistem sosial dan sistem-sistem
alam perlu dicarikan solusi komprehensif, yakni sebuah pendekatan
yang menyeluruh dalam memerangi kemiskinan, memulihkan martabat
orang kecil dan pada saat yang sama melestarikan alam.33 Benarlah
bahwa aktualisasi pengertian ekologi integral yang ditawarkan Paus
Fransiskus bertujuan pada keadaan baik manusia: budaya, sosial,
ekonomi dan produksi materi (kreativitas), yang sudah seharusnya
berdampak penghargaan terhadap alam dan berwawasan
“pembangunan komunitas berkelanjutan.” Jadi terlihat usaha Paus
dalam mengutamakan “pengakuan dan penghargaan”atas nilai intrinsik
alam yang mesti berbanding lurus dengan sikap saling menghargai di
antaramanusia (relasi sosial). Logika ekologi Paus sejatinya sederhana,
bahwa interaksi sosial yang benar berdampak baik pada relasi manusia
dengan alam; begitu sebaliknya, bahwa penghargaan terhadap alam
terproyeksi melalui model persahabatan manusia satu dengan yang lain.
Paus Fransiskus mengingatkan semua orang agar sebelum
menyembuhkan relasi horizonnya dengan alam, pertama-tama baiknya
bertobat dari dosa ekologis, membenahi diri dalam membangun relasi
dengan sesama, dan teristimewa relasi transendentalnyadengan sang
Ilahi.34 Jadi indikasinya, sikap “pertobatan ekologis” tercermin dari cara
membangun relasi dengan Allah dan sesama. Cara berelasi kita dapat
dipakai sebagai model sekaligus cermin, membangun misi
menatalayani alam seperti: model antropologi, model stewardship, dan
model jejaring kekeluargaan (kinship model).
Dengan melihat situasi, keadaan dunia dan manusia masa kini,
maka dalam rangka memulihkan martabat kaum miskin, menghargai
nilai intrinsik alam, himbauan “aksi ekologis” yang ditawarkan Paus
Fransiskus patut diindahkan. Tawaran kebijakan ekologis itu antara
lain: mengupayakan dialog pada tataran lokal, nasional dan
internasional, dan dialog lintas iman di bidang ekologi. Dialog
bertujuan untuk mentransformasi kultur konsumtif dan eksploitatif
manusia. Dialog bertujuan memanggil semua orang, berkomitmen
32 Ibid., 236-237.
33 Laudato si’, 139.
34 Laudato si’, 119.
57 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
bersama meminimalisasi dosa ekologis (melawan legalitas
antroposentrisme). Dengan dan melalui dialog, pengakuan kita, level
kesadaran setiap orang akan kemerosotan moral ekologis dan sosial
dapat dibangun. Adalah lebih baik apabila kesadaran etis ekologis yang
lahir dari dialog, menuntun kita pada aplikasi atau praksis ekologis,
pertama-tama pembebasan dari hegemoni antroposentris, yang
dipolakan oleh kontrol sosio-ekonomis (depend), berujung pada
kesenjangan struktural. Baiknya, relasi demikian diminimalisasi dengan
membuka ruang persahabatan dan pengelolaan alam lestari baik Utara
dan Selatan, pemodal dan pekerja, pemerintah dan rakyat, dengan
melibatkan mereka yang miskin, atau dengan kata lain
mengikutsertakan semua orang dalam aksi saving the earth.
Peluang mewacanakan spiritualitas persahabatan, atau
menyahabati alam dapat diterapkan melalui wadah perayaan liturgis
gereja, ibadah mingguan, dan ibadah dalam pengertian implementasi
moral di kehidupan nyata. Dengan ikut mengerjakan panggilan menata
alam yang termanifestasi melalui perilaku atau habit berwawasan
lingkungan, maka ibadah kita sesungguhnya dapat mentransfigurasi
pola antroposentrisme legal ke dalam persekutuan dan persaudaraan
kosmik. Nilai-nilai spiritualitas, cinta kasih, pengurbanan dan
penghematan, baiknya mewadahkan sebuah “pertobatan ekologis”
pertama-tama di mulai dari kesadaran komunitas untuk mengkritik
agenda politik dan sipil yang diselubungi anima kapitalis, pembangunan
dan pasar bebas yang bertujuan meraup untung tanpa mendengar atau
peduli dengan jeritan alam dan tangisan kemiskinan.35
Mengkonstruksi Teologi Laudato si’ à la Boffian
Setelah melihat dan menemukan bahasa teologis yang sama
dari Boff dan Paus Fransiskus, saya mencoba untuk mensintesiskan
gagasan-gagasan dari kedua teolog ini. Usaha ini bermaksud
memperlihatkan bahwa pengaruh teologi Boff cukup kuat dalam
muatan teologis Laudato si’. Atau, dengan merujuk pada alur penjelasan
John Vennari Laudato si’ yang terimplisit pembahasan bahwa Paus
Fransiskus menggunakan referensi dari, dan tentang Boff di bidang
ekologi. Vennari mengutip karya Paul Vallely berjudul Untying the Knots,
sebuah biografi kehidupan, pemikiran dan teologi sang Paus di kala
menjabat sebagai Uskup Agung Argentina.36 Vennari mencatat, “Pope
35 Laudato si’, VI.
36 Untuk mendapatkan gambaran detil sila mengunjungi John Vennari,
“Religion at the Service of Ecology: Francis Laudato si’ and the Boff Connection,”
Indonesian Journal of Theology 58
Francis asked Boff to send him his writings on eco-theology in
preparation for a majory encyclical Francis is considering on
environmental matters.”37 Vennari memperlihatkan bagaimana
pemikiran Boff dikembangkan dengan cermat oleh Paus Fransiskus.
Dengan menggunakan informasi baku dari Vennari, saya kemudian
menyelam ke dalam literatur-literatur Boff, untuk membuktikan
hipotesis awal, dan meyakinkan pembaca bahwa apa yang dipaparkan
Vennari patut diapresiasi. Di sinilah saya berupaya mengkomparasi
teks. Beberapa gagasan atau frasa dari Boff yang dikembangkan dapat
dibaca di bawah ini.
Pertama, Cry of the Earth, Cry of the Poor (1997). Buku ini
membahas dua isu besar: ekologi dan kemiskinan diayakkan dengan
lensa teologi pembebasan, yaitu sebuah model praksis (aksi-refleksi-
aksi) atas fakta kerusakan alam dan ketertindasan manusia yang
diakibatkan oleh ekonomi struktural (kapitalisme), teknologi global
yang pro-pembangunan, tanpa memikirkan keutuhan relasi sosio-
kosmis yang seharusnya mutual. Tesis Boff dalam pendahuluan buku
ini mengatakan “the aim of this book is to connect the cry of the
oppressed with the cry of the earth.”38 Frasa seperti yang penulis kutip,
dapat dijumpai di dalam ensiklik pasal 49. Pasal ini berbunyi
“pendekatan ekologis yang sejati selalu berupa pendekatan sosial, yang
harus mengintegrasikan soal keadilan dalam diskusi lingkungan hidup,
untuk mendengarkan tangisan bumi maupun tangisan kemiskinan.”
Kedua, everything is interrelated. Dalam tulisannya “Social
Ecology: Poverty and Misery,” Boff memperkenalkan definisi ekologi
berkaitan dengan isu sosial yang mesti disikapi secara bersamaan, sebab
kemiskinan dan penderitaan adalah isu sosial bukan persoalan alamiah
atau fenomena predestinasi. Keduanya merupakan hasil produksi
sosial yang diorganisasi. Dengan demikian maka “ekologi mesti
dimaknai dalam pengertian relasi timbal balik di antara semua elemen
kehidupan, bahwa “everything is interconnected, there are no closed
compartments of environment on one side and social issues on the
other.”39 Boff melanjutkan,“All the living and non living elements are
interconnected and make up an organic whole in dynamic
equilibrium.”40 Tentang keterjalinan hubungan di antara semua elemen
bumi, Paus Fransiskus juga menandaskan hal yang sama, misalnya pada
Luadato Si’ pasal 92 (everything is related), 120 (since everything is interrelated),
www.cfnews.org/page88/files/11c42809f2c00aa4bf5352fd5dcf2cae-410. html
(diakses 25 Agustus 2017).
37 Ibid.
38 Boff, Cry of the Earth., xi.
39 Boff, “Poverty and Misery,” 237.
40 Boff, Cry of the Earth., 49.
59 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
137 (since everything is closely interrelated), 142 (if everything is related).
Kesamaan gagasan ini menjadi menarik, sebab dalam definisi yang
disebutkan Paus Fransikus dan Boff, ia ditempatkan dalam pengertian
kosmik, “an ecological view of the cosmos,” yang menurut keduanya
merupakan “source of cosmogenesis.” Artinya, di dalamnya semua
unsur kehidupan ataupun benda-benda mati dipandang sebagai satu
kesatuan (holism). Apa yang dikatakan oleh Boff dan Paus Fransiskus
memberi insight bagi definisi ekologi kosmis. Jika ekologi tidak
dimaknai dalam definisi kosmis, maka ia bukanlah ekologi “if ecology
is not holistic, it is not really ecology.”41 Inilah yang kemudian saya
sebut sebuah eko-kosmologi. Gagasan ekologi kosmis ini menuntun
pemahaman kita kepada pentingnya memahami “ekologi integral.”42
Ketiga, The Trinity and interconnectedness. Konsep trinitas
memberi pendasaran dogmatis Kristen sekaligus sebagai counterattack
terhadap struktur relasi master-owner antara manusia dan alam. Trinitas
memberi model mutual bagi kesetaraan dan kebermaknaan
membangun relasi partisipatif. Vestigia trinitatis menjadi mungkin,
sebab relasi perikhoretik (perichoretic relation) Allah Trinitas dalam
kepelbagaian pribadi (keberagaman dalam kesatuan), memberi
kemungkinan ruang, gambaran dan model relasi egaliter, dalam
membangun persekutuan manusia dengan alam lingkungannya. Joas
Adiprasetya menyebutkan perikhoresis person sebagai peneguhan
identitas dan penyatuan kodrat, yang ilahi dan insani, kudus dan
manusiawi, pencipta dan ciptaan, ke dalam relasi saling serap
(interpenetrasi), dan perikhoresis realitas, yaitu partisipasi Allah
Trinitas ke dalam aktivitas atau perayaan kehidupan manusia,
singkatnya Allah terlibat dengan dunia ciptaan-Nya.43 Jadi, di dalam
persekutuan Trinitas kudus, cinta kasih Allah yang dinyatakan dalam
kerangka persekutuan dan persahabatan yang partisipatif itu (reality
perichoretics), dapat memberi daya (energia) kepada ciptaan, untuk
mentransformasi seluruh kehidupan ciptaan dalam membangun
komunitas ekosistem yang holistik. Tentang Trinitas kudus Boff
mencatat demikian,
Trinity centers on a vision of relationship,
reciprocities and inter (retro) communions . . . with
the Trinity Christians want to express the unique
experience that God is communion and not solitude .
. . God embodies paternity, filiation, and essence of
41 Ibid., 141.
42 Laudato si’, IV.
43 Joas Adiprasetya, An Imaginative Glimpse: The Trinity and Multiple Religious
Participations (Eugene: Picwick, 2013), 105-108.
Indonesian Journal of Theology 60
the family that is love . . . God Trinity is thus
relatedness par excellence . . . Each of the Divine
Persons is in each of the others, and all are in each
one, and each one is all, and all are in all and all are
only one . . . The Trinity emerges as one of the most
suitable representations of the mystery of the
universe, as we interpret it today (web of relationships,
arena of interdependencies, cosmic dance).44
Rupanya konstruksi berpikir Boff juga ditempuh oleh Paus
Fransiskus ketika berbicara tentang Allah Trinitas yang adalah
gambaran sempurna, model relasi manusia dengan sesama dan alam.
Gagasan ini disebut vestigia trinitatis. Namun, kita menyadari bahwa
keterbatasan bahasa manusia ketika membahasakan Allah melalui
konsep vestigia trinitatis, dapat menggeneralisasi Allah Trinitas ke dalam
bahasa relasional, seolah-olah trinitas dapat ditaksir menurut gambaran
dan struktur antropomorfisme, dan kita berpotensi merelatifkan Allah.
Misteri trinitas tetaplah diimani sejauh Allah menyatakannya kepada
kita di dalam Yesus Kristus (revelatio verbum incarnatio). St. Bonaventura,
seorang teolog Fransiskan kenamaan di Abad Pertengahan (skolastik),
pernah menegaskan bahwa alam semesta merupakan pengungkapan
diri Allah Trinitas melalui sang Logos atau “Firman” yang adalah
exemplar Allah dan exemplar segala sesuatu yang diciptakan Allah,
akibatnya segala ciptaan mesti dipahami sebagai tanda sekaligus simbol
revelasi Allah. Bonaventura menambahkan bahwa seluruh dunia dan
semua makhluk adalah bayangan (umbra), bekas (vestigium), gambar
(imago) dari Allah Trinitas.45 Dengan demikian, relasi antara Allah
Trinitas dengan dunia sama seperti relasi di antara cermin dan yang
bercermin melalui participatio; bahwa di dalamnya ada identitas dalam
diversitas, dan diversitas dalam identitas. Apa yang ditegaskan oleh
Boff dan Bonaventura, diingatkan lagi oleh Paus Fransiskus dalam
Laudato si’ pasal 239-240, “Seluruh realitas mengandung dalam dirinya
jejak Allah Tritunggal . . . setiap makhluk membawa dalam dirinya
struktur yang khas tritunggal . . . semuanya saling berhubungan dan
hal itu mengajak kita untuk mengembangkan suatu spiritualitas
kesetiakawanan global yang mengalir dari misteri Trinitas.”
Berikut ini saya akan menunjukkan beberapa pemikiran Boff
yang dikembangkan oleh Paus Fransiskus dalam ensikliknya. Gagasan-
gagasan ini saya perbandingkan agar dapat terlihat kesamaan frasa
44Boff, Cry of the Earth., 155-156.
45Yohanes Kristoforus Tara, OFM, Ekologi dalam Kristen dan Islam: Sebuah
Perjumpaan Transformatif Menuju Dialog Ekologis (Semarang: Pustaka Nusantara, 2008),
58.
61 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
teologi di dalamnya. Tabel seperti tertera di bawah, merupakan
komparasi teks yang saya kutip langsung dari literatur Boff, sementara
ensiklik Laudato si’ saya paparkan struktur babnya sebagai patron atau
patokan pembanding.
Komparasi Teks
Book Article Encyclical
Boff, Cry of the Earth, Boff, “Social Ecology: Pope Francis, Laudato si’:
Cry of the Poor, terj. Paul Poverty and Misery,” On Care of Our Common
Burns (Maryknoll: dalam Ecotheology: Voices Home, Roma: Vatikan
Orbis, 1995) from South and North., (2015)
peny. David G. Hallman
(Maryknoll: Orbis, 1994)
The ecological cricis Akibat dari relasi negatif Chapter 1: What is
(the loss of antara element sosial happening to our
connectedness): dan lingkungan di common home?
tecnhology is not Amerika Latin Note: green house gases,
socially integrated . . . it berdampak pada: pollution, climate change,
does not produce loss of biodiversity,
benefits for all societies the death of birds, millions of global warming, denger
but only for those that children were also pised by fossil fuels, rain
control scientific and contamined and many died, forest, global technolgy,
technical production . . thermal invertion, acid rain capitalism,
. ecocapitalism and in summer, the air antropocentrism, etc.48
antropocentrism, the contamined with acids,
human being, earth’s sulfur, nitrogen and carbon
Satan, civilization dioxide contaminates the
against nature.46 cloud water, and when it
rains this water in turn
poisons streams, lakes,
plantations and animals.
The mega project of the
hamburgerization of the
forest by Daniel Ludwig and
volkswagen Projects, the
Amazon Forest were lost to
all.47
46 Boff, Cry of the Earth, 63-71.
47 Boff, “Poverty and Misery,” 246-247.
48 Francis, Laudato si’: On Care for our Common Home. Encyclical Letter, I, 20-
42.
Indonesian Journal of Theology 62
Boff membahas ekologi Seruan Boff dalam Chapter II: The Gospel
dalam perspektif tulisan ini berbunyi: we Of Creation;
trinitarian dan dalam need a new theological Ajakan untuk melihat
skema ekonomis worldview that sees this kondisi rill alam dan
(Bapa,Putera, dan Roh) planet as a great sacrament ketertindasan manusia
yang tersegmentasi ke of God, the tample of Spirit, dalam perspektif biblis,
dalam struktur bab. the place of creative teologi penciptaan,
Konsep trinitarian responsibility for human hikmat dari cerita alkitab
dalam bab bukunya, di beings, a dwelling place for (Mazmur, Amsal),
mulai dari definisi all beings created in love.The kesaksian kitab Kejadian,
theosphere (panentheisme), biblical precept “You shall dan etika panggilan
yakni konstruksi not kill” (Ex. 20:13), may Kristen untuk memaknai
teologia penciptaan, also refer to biocide and persekutuan yang
pneumatologi kosmik, ecoside of the trinitarian (pasal 238-40),
dan konsep the cosmic future.Tampak di sini yang termanifestasi
Christ (inkarnasi, teologi ajakan untuk melihat kedalam bahasa
ekaristi,dan perayaan dunia dari perspektif sakramental kosmik);
liturgis).49 biblis sekaligus perlu juga belajar dari
mengupayakan teladan St. Fransiskus dari
tanggungjawab manusia Asisi.51
dalam menatalayani
bukan membunuh dan
merusak.50
Poin ini sama dengan Di sini Boff berbicara Chapter III: The Human
bab tentang the ecological mengenai sistem-sistem roots of the ecological
cricis yang telah sosial yang anti-ekologi cricis; Paus Fransiskus
disebutkan di atas. dan memproduksi banyak berbicara
penderitaan. Di mengenai penyimpangan
dalamnya Boff teknologis global, spirit
menyebutkan capitalistic antroposentrisme
order yaitu spirit modern, relativisme
menguasai materil dan praktis, dan modofikasi
mengutamakan genetika, dll.52
keuntungan modal,
namun mengabaikan
keseimbangan vital.
Pembangunan material
masih merupakan
fenomena yang sering
disalahartikan, dan
sering diaplikasikan
secara sepihak menurut
kuasa pemodal.
49 Boff, Cry of the Earth, bab VII-IX.
50 Boff, “Poverty and Misery,” 244-245.
51 Francis, Laudato si’, chapter II.
52 Francis, Laudato si’, 79, 81, 89.
63 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
Defenisi Boff tentang Boff menyebutkan Chapter IV Integral
ekologi bertolak dari pentingnya sebuah Ecology: Semua saling
gagasan Ernst Haeckel “holistic ecology” yaitu terkait dan tersistem di
(1834-1919) bahwa pola hidup yang antara dimensi sosial dan
ekologi merupakan mengutamakan ekologi. Ekologi integral
studi interrelasi ilmu. kesinambungan mencakup seluruh
Ekologi tak dapat komunitas manusia dan keutuhan hidup manusia:
didefiniskan sendiri lingkungannya ekonomi sosial,
pada dirinya, ia bukan mencakup: sosialitas, budaya,mental hidup
bidang studi yang budaya, ekonomi, setiap hari, prinsip-
berdiri sendiri, ia politik, edukasi dan prinsip kesejahteraan, dan
banyak menggabungkan institusional atau arti keadilan antar
aspek psikologi, kelembagaan. Ekologi generasi.55
geologi, eceonografi, selalu bermakna
biologi, termodinamika, interdependensi dan
biogenetik, zoologi, sistemik.54
antropologi, kosmologi
dan teologi. Ecology is
holistic.53
Pada Bab X, Boff Spirit antroposentrisme Chapter V: Beberapa
menyebutkan bahwa yang berakar pada pedoman orientasi dan
eco-spirituality adalah manusia baiknya aksi: Dialog di tataran
prinsip hidup, akal dan ditinggalkan. Urgensi internasional, lokal dan
perasaan yang menaruh menatalayani alam dan nasionalmengenai
respek terhadap mereka yang miskin kebijakan ekologis,
lingkungan sekitar, seyogianya mengusung transparansi ekonomi,
seolah-olah alam adalah spiritualitas ekologis demi pemenuhan
subjek relasi yang hidup yang penuh solidaritas kebutuhan manusia.
dan memiliki hak-hak persahabatan, Dialog lintas agama,
asasi. Manusia dalam membatasi diri dari dialog antar disiplin ilmu
pengertian spiritualitas godaan materil untuk tentang ekologi,
mesti mengagendakan melawan alam hanya mengupayakan
dalam kehidupannya karena tawaran modal pendidikan berwawasan
sebuah nilai “Feeling, dengan alasan ekologis dan
loving, and thinking as pembangunan, berkomitmen dalam
earth.”56 mengupayakan habit meghidupi spiritualitas
atau gaya hidup ekologis setiap hari
ugahari.57 (ugahari, hemat, daur
ulang, dll).58
Mengupayakan pola Perlunya pertobatan Chapter VI: Pendidikan
hidup bermotifkan “An ekologis dari budaya dan spiritualitas ekologis
53 Boff, Cry of the Earth, 3
54 Boff, “Poverty and Misery,” 240.
55 Francis, Laudato si’, Bab II, 138-140.
56 Boff, Cry of the Earth, 187.
57 Boff, “Poverty and Misery,” 244-245.
58 Francis, Francis, Laudato si’, bab V, 146-199.
Indonesian Journal of Theology 64
ecologically sustainable antropesentrisme dan menuju pertobatan dan
spirituality” yang lahir gaya hidup konsumtif. perubahan gaya hidup.
dari cinta kepada “we may speak Inilah tujuan dari ensiklik
sesama, dan ecological sin”60 Paus Laudato si’.61
persahabatan dengan
alam.59
Demikianlah, dari komparasi di atas dapat disimpulkan bahwa
teologi Boff sangat bersesuaian dengan ensiklik Laudato si’. Literatur
dari Boff tentang ekologi dan kemiskinan sangat mungkin digunakan
oleh tim penyusun ensiklik Paus, sebagaimana dilansir oleh John
Vennari. Dari komparasi yang sudah saya tunjukkan, dapat
disimpulkan bahwa eko-teologi kedua tokoh ini mengandung
kesamaan.
Penutup
Dari hasil penelusuran di atas dapat disimpulkan beberapa
catatan. Pertama, dari ensiklik Paus dan dua karya Boff yang dijadikan
pembanding, ajakan untuk bertobat dari dosa ekologis menuju kepada
“kesadaran ekologis” menjadi perhatian sentral konstruksi eko-teologi
kedua tokoh ini, terutama aspek spiritualitas: feeling, loving, thinking as
earth. Nilai-nilai demikian lahir dari model manusia Santo Fransiskus
dari Asisi, pelindung bagi semua orang yang bekerja di bidang ekologi,
yang hidupnya dibayangi terang Injili yakni Kristus yang mencintai dan
menyahabati semua orang dengan kasih-Nya yang besar (Yoh. 3:16).
Spirit solidaritas atau berbela rasa, dan persaudaraan universal
mengajak semua orang untuk saling menyapa dalam kehangatan
sebagai saudara-saudari yang mencintai dan dicintai, memelihara dan
dipelihara. Kedua, spiritualitas demikian memanggil kita merajut asa
menuju sebuah eco-social justice yang manusiawi dan berwawasan
lingkungan. Spiritualitas yang bersaksi dan ber-aksi menjadi acuan
dalam menatalayani, sebab tiap orang meyakini bahwa kasih Allah
mesti dinyatakan bagi mereka yang tertindas dan teraniaya, yang hak-
hak mereka dilecehkan dan dipermainkan akibat ketidakadilan
struktural. Gereja, komunitas iman dan semua orang, dapat
berpartisipasi dalam spirit, energia Injili untuk mentransformasi kondisi
eko-sosial komunitas menurut pengakuan percayanya kepada Kristus.
Inilah sesungguhnya akta iman kita. Spiritualitas pertobatan
dapat berarti transformasi radikal, bahwa kita dipanggil dan diutus
59 Boff, Cry of the Earth, 196
60 Boff, “Poverty and Misery,” 244
61 Francis, Laudato si’,, Laudato si’, 222-242.
65 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
untuk menjadi serupa seperti Kristus, melawan pengisapan dan
pengasingan. Dengan mengingat model ekologi kosmik yang digagas
Boff dan Bergoglio, maka gereja dalam menatalayani, semestinya
mewujudnyatakan pola hidup sederhana yang menuntun orang
menggapai tujuan luhur “pembangunan masyarakat yang
berkelanjutan.” Boff mensinyalir bahwa sustaining development apabila
salah diaplikasikan dapat berpotensi melanjutkan eksploitasi alam atas
nama pembangunan.62 Yang manusia butuhkan bukanlah sustainable
development, melainkan sustainable society, yaitu membangun masyarakat
yang berkeadilan dan berwawasan lingkungan. Dengan kata lain, tanpa
keadilan dan kelestarian lingkungan, masyarakat tidak mungkin
berkelanjutan (sustain) sebab manusia dengan sendirinya menjadi
rentan dan mudah pecah (fragile).63
Baiknya kita perlu menyadari bahwa pembangunan masif yang
dipraktikkan oleh Pemerintahan Jokowi perlu melihat juga aspek-aspek
ekologis. Infrastruktur sebagai bukti fisik pembangunan tampaknya
baik, namun menyisahkan celah krusial ekologis bagi masyarakat.
Pembangunan bukan cara utama mencapai kesejahteraan. Bagaimana
pun pembangunan selalu dilematis, pro-kontra dan ambigu.
Tentangnya, alangkah baiknya jika, pemberdayaan masyarakat menjadi
agenda utama pemerintahan Jokowi dan bukan hanya pembangunan
fisik semata. Pernyataan demikian bukan berarti menolak progres
pembangunan dan pesimis terhadapnya, hanya saja mengenal
kebutuhan konteks real satu daerah (misalnya NTT dengan problem
kerusakan hutan dan lahan tandusnya, pendidikan dan dekadensi moral
kemanusiaan akibat human trafficking, dan, Papua dengan kelangkaan
pangan, dan kesehatan) . Inilah yang seharusnya menjadi pokok
substantif “pemberdayaan berbasis komunitas” untuk dientaskan oleh
pemerintah. Dengan kata lain, “revolusi mental” yang diidealisasikan,
tidak hanya diukur melalui kemajuan pembangunan infrastruktur, dan
kemudian buruk dalam kualitas sumber daya manusianya (kemiskinan
horizontal, gizi buruk, dan rendahnya kualitas pendidikan).
Kesejahteraan sosial sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi real
ekologis-geografis daerah tertentu.
Pada akhirnya, keadilan lingkungan dapat dimulai dari
pembenahan relasi manusia dengan sesama dilandasi cinta, kesetaraan,
dan kemitraan, sehingga di dalam hidup bermasyarakat, keadilan sosial,
dan kesejahteraan bersama menjadi cita-cita ideal semua orang dalam
merayakan kehidupan. Dengan kata lain, terciptanya kesejahteraan
sosial, kiranya berdampak pada kualitas persahabatan manusia dengan
62 Bandingkan ibid., 50.
63 Josef Widiyatmaya, Yesus dan Wong Cilik (Jakarta: Gunung Mulia, 2010),
180-181.
Indonesian Journal of Theology 66
alam, sebab di tanah-bumi ini, semua makhluk tetap bergantung pada
alam, menaruh asa dan kehidupan yang layak kepada alam. Jika
keadilan sosial dan keadilan alam diupayakan dalam ruang komunitas
bermasyarakat secara etis, maka secercah harapan dalam menggapai
kesejahteraan bersama anak-anak bumi yang paling miskin sekalipun
niscaya dapat diraih.
Tentang Penulis
Buce Alexander Ranboki, lahir di Oekabiti, 21 Maret 1992.
Menamatkan studi Sarjana Teologia (S.Th) di Universitas Kristen
Artha Wacana Kupang-NTT, sejak Maret 2015. Saat ini, sedang belajar
pada Program Pascasarjana STFT Jakarta di bidang Teologi
Sistematika. Menjadi aktivis di Gereja Kristen Indonesia GKI
Perniagaan, Bakal Jemaat Petak Asem, Jakarta Utara, DKI Jakarta.
Daftar Pustaka
Adiprasetya, Joas. An Imaginative Glimpse: The Trinity and Multiple
Religious Participations. Eugene: Picwick, 2013.
Boff, Leonardo. When Theology Listen to the Poor. Terj. Robert R. Barr.
San Fransisco: Harper & Row, 1984.
Boff, Leonardo. “Social Ecology: Poverty and Misery.” Dalam.
Ecotheology: Voices from South and North, peny. David. G.
Hallman. Maryknoll: Orbis, 1994.
Boff, Leonardo. Cry of the Earth, Cry of the Poor. Terj. Paul Burns,
Maryknoll: Orbis, 1997.
Boff, Leonardo. Ecology and Liberation: A New Paradigm. Terj. John
Cumming. Maryknoll: Orbis, 1995.
Chryssavgis, John. “Pope Francis Laudato si’: A Personal Response,
An Ecumenical Reflection.” Phronema, Vol. 31 (2): 17-21,
2016.
Chopen, Luke. “Book Review: Pope Francis, Untying The Knots, by
Paul Vallely,” http://www.independent.co.uk/arts-
entertainment/books/reviews/book-review-pope-
francis-untying-the-knots-by-paul-vallely-8755018.html
(diakses 1 Maret 2018).
Curtis, Kenneth, dkk. 100 Persitiwa Penting dalam Sejarah Gereja. Terj.
A. Rajendran , Jakarta: Gunung Mulia, 2003.
Francis, Pope. Laudato si’: On Care for Our Common Home. Encyclical
Letter. Roma: Vatican, 2015.
67 Menemukan Teologi Leonardo Boff dalam Laudato si’
Fransiskus, Paus. Laudato si’: Tentang Perawatan Rumah Bersama. Terj.
Martin Harun, OFM. Jakarta: Obor, 2015.
Kristoforus Tara, Yohanes, OFM. Ekologi dalam Kristen dan Islam:
Sebuah Perjumpaan Transformatif Menuju Dialog Ekologis.
Semarang: Pustaka Nusantara, 2008.
“Leonardo Boff, Francis and Rome and Francis of Asisi: A New
Springtime for The Church” Interview by Jonathan
J. Armstrong, interview received on: September 12,
2016.
https://leonardoboff.wordpress.com/2016/12/15/leona
rdo-boff-francis-of-rome-francis-of-assisi/ (diakses 14
Mei 2017).
Nwaighbo, Ferdinand. “Pope Francis and The Programme of
Ecology In A Time of Change. African Ecclesial Review,
Vol. 58, no. 3 & 4: 218-227, 2016.
“O’ Malley, John W. SJ, The Jesuits: A History from Ignatius to the
Present.” http://www.amazon.com/Jesuit-HIstory-
Ignatius-Present/dp/144223475X (diakses 19 Mei 2018).
Sedmak, Clemens. A Church of The Poor: Pope Francis and The
Transformation of Orthodoxy. Maryknoll: Orbis, 2016.
Sigmund, Paul E. Liberation Theology At The Crossroads: Democracy or
Revolution. New York: Oxford University Press. 1990.
Vennari, John. “Religion at the Service of Ecology: Francis Laudato si’
and the Boff Connection.”
www.cfnews.org/page88/files/11c42809f2c00aa4bf5352
fd5dcf2cae-410.html, (diakses 25 Agustus 2017).
Widiatmadja, Josef. Yesus dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif
dan Teologi Rakyat di Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia,
2010.
Zhang, Xue Jiao. “How St. Francis Influenced Pope Francis Laudato
si’,” Crosscurrents 66:1 (2016): 42-55.
Zizioulas, John. “A Comment on Pope Francis Encyclical Laudato
si’.” GOTR 60: 3-9, 2015.