0% found this document useful (0 votes)
242 views11 pages

Rencana Kontijensi Untuk Tanah Longsor Di Desa Kalikuning Pacitan

1. The document discusses contingency plans developed for potential landslides in Kalikuning Village, Pacitan, East Java. A landslide occurred in 2011, damaging some houses. 2. Focus group discussions were held with local stakeholders to assess hazards and develop response scenarios. The contingency plans covered management, evacuation, logistics, healthcare, transportation, communications and infrastructure. 3. The plans aimed to prepare local resources and coordinate government response in the event of future landslides, given assessments that additional landslides were possible. Gaps in resources like body bags and evacuation equipment were also identified.

Uploaded by

Jibraltar
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
242 views11 pages

Rencana Kontijensi Untuk Tanah Longsor Di Desa Kalikuning Pacitan

1. The document discusses contingency plans developed for potential landslides in Kalikuning Village, Pacitan, East Java. A landslide occurred in 2011, damaging some houses. 2. Focus group discussions were held with local stakeholders to assess hazards and develop response scenarios. The contingency plans covered management, evacuation, logistics, healthcare, transportation, communications and infrastructure. 3. The plans aimed to prepare local resources and coordinate government response in the event of future landslides, given assessments that additional landslides were possible. Gaps in resources like body bags and evacuation equipment were also identified.

Uploaded by

Jibraltar
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 11

Rencana Kontijensi untuk Tanah Longsor di Desa Kalikuning Pacitan, Jawa Timur

Article · August 2015 DOI: 10.12962/j12345678.v13i2.1593

CITATIONS 0 READS 4,638 5 authors, including: Some of the authors of this publication are
also working on these related projects: Development of technology gasification with
municipal solid waste as raw material for generating electricity View project Tatas Tatas
Institut Teknologi Sepuluh Nopember 9 PUBLICATIONS   6 CITATIONS    SEE PROFILE
Machsus Machsus Institut Teknologi Sepuluh Nopember 27 PUBLICATIONS   18 CITATIONS   
SEE PROFILE Mohammad Arif Rohman Institut Teknologi Sepuluh Nopember 17
PUBLICATIONS   74 CITATIONS    SEE PROFILE All content following this page was uploaded
by Tatas Tatas on 17 April 2018. The user has requested enhancement of the downloaded
file. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi
Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 27 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X Rencana
Kontijensi untuk Tanah Longsor di Desa Kalikuning, Pacitan, Jawa Timur Tatas, I Putu
Artama Wiguna, Machsus, Tri Dani Widyastuti, Mohammad Arif Rohman Pusat Studi
Kebumian, Bencana, Perubahan Iklim (PSKBPI), Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya Email: [email protected] Abstract Contingency plan (CP) is part of the concept
of disaster risk management as a mitigation measure in the form of a document as a
complement to emergency disaster management plans. In addition, it is a systematic
effort that aims to disaster preparedness, such as landslide. On January 2, 2011, landslides
occurred in Desa Kalikuning which is about 16 kilometers to the northeast Pacitan City.
There were no victims but some houses got damaged. However, according to previous
investigations, potential landslides would occur. If the landslide occurred, the possibility
of the affected area was in RT 1, 2, 3 RW IX which is located in the "bowl" of potential
landslides. Contingency plans were needed to prepare the possibility of landslides. The
method used in this study was Focus Group Discussion (FGD) which involved stakeholders.
Based on the results of FGD, to establish the document of CP involved several steps which
were the hazard assessment, hazard determination, the determination of scenario, the
determination of policy, and the planning of section allocation. The planning of section
allocation was divided into management and coordination, evacuation, logistics,
healthcare, transportation, communications, and infrastructure. These five factors were
performed according to the instructions of Pacitan regent. In addition, there was some gap
between the need and availability of resources such as the lack of corpse bags, evacuation
equipment, etc while there was excessive availability of medical personnel. Keywords:
contingency plans, landslide, Pacitan. Abstrak Rencana kontijensi merupakan bagian dari
konsep manajemen resiko bencana sebagai upaya mitigasi yang berupa dokumen sebagai
pelengkap rencana penanggulangan kedaruratan bencana. Rencana kontijensi merupakan
upaya sistematis yang bertujuan untuk kesiapsiagaan bencana, misalnya bencana tanah
longsor. Pada tanggal 2 Januari 2011, longsor terjadi di Desa Kalikuning yang berjarak
sekitar 16 kilometer ke arah timur laut Pacitan Kota. Tidak ada korban pada waktu itu
kecuali beberapa rumah mengalami kerusakan. Namun, menurut penyelidikan sebelumnya,
longsor berpotensi akan terjadi. Jika tanah longsor terjadi, kemungkinan daerah yang
terkena adalah di Rukun Tetangga (RT) 1, 2, 3 dalam Rukun Warga (RW) IX yang terletak di
dalam "mangkuk" longsor yang potensial terjadi. Untuk menyiapkan segala sesuatu apabila
hal tersebut benar terjadi maka perlu dilakukan penyusunan rencana kontijensi. Metode
yang digunakan adalah dengan Focus Group Dicussion (FGD). Kegiatan tersebut dilakukan
dengan melibatkan beberapa stakeholder, yaitu perwakilan Komunitas di Kalikuning,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan dinas pemerintah setempat yang terkiat dengan
kesehatan, informasi, transportasi, konstruksi, sosial, termasuk lembaga militer.
Berdasarkan hasil FGD, dokumen rencana kontingensi didirikan melibatkan beberapa
langkah, yaitu penilaian bahaya, penentuan insiden bahaya, penentuan skenario,
penentuan kebijakan, dan perencanaan alokasi sektoral. Perencanaan alokasi sektoral
dibagi dalam manajemen dan koordinasi, evakuasi, logistik, kesehatan, transportasi,
komunikasi, dan infrastruktur. Kelima sektor tersebut bergerak atas instruksi Bupati
Pacitan atau yang ditunjuk, dengan koordinasi utama ada pada sektor manajemen dan
koordinasi. Selain itu, ada beberapa kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan
sumber daya seperti kurangnya kantong mayat, alat evakuasi, dll. Sedangkan kebutuhan
yang telah melebihi kebutuhan adalah terkait dengan jumlah tenaga medis. Kata kunci:
rencana kontinjensi, longsor, Pacitan. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015 Halaman 28
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Jurnal APLIKASI
ISSN.1907-753X

1. Pendahuluan
Desa Kalikuning, Kabupaten Pacitan mengalami longsor pada tanggal 2 Januari
2011. Longsor terjadi di Dusun Sono. Desa Kalikuning yang berada di Kecamatan
Tulakan ini berlokasi di timur laut Pacitan Kota (lihat Gambar 1). Posisi astronomis
Dusun Sono ada pada kisaran koordinat UTM 524522 meter timur; 9101831 meter
selatan. Perjalanan ke Dusun Sono dapat ditempuh melalui perjalanan darat
dengan durasi antara satu sampai dengan dua jam perjalanan dari pusat
pemerintahan, Kabupaten Pacitan. Sedangkan jarak horisontal antara kedua lokasi
tersebut sekitar 16 Km (Tatas, dkk. 2011).
Gambar 2 menunjukkan Peta Situasi Dusun Sono, lokasi utama tanah longsor.
Warga memberikan informasi bahwa retakan telah terjadi pada pertengahan Tahun
2010 yang berupa retakan tanah yang memanjang. Tanggal 30 Desember 2010
terjadi hujan deras. Masyarakat sepertinya telah memahami potensi yang mungkin
terjadi akibat peristiwa alam tersebut sehingga masyarakat memutuskan mengungsi
pada hari itu. Selang dua hari, Tanggal 2 Januari 2011, terjadi longsor pada bukit di
sisi selatan Telaga Sono (Tatas, dkk. 2011).
Longsor yang merupakan gerakan massa tanah, sering terjadi pada lereng alami
maupun lereng buatan. Fenomena tersebut merupakan usaha dari lapisan
permukaan tanah untuk mencari keseimbangan baru. Hal tersebut akibat adanya
gangguan yang menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan
tegangan geser tanah. Selain kondisi topografi yang miring, pemicu lainnya adalah
air hujan dan gempa bumi (Priyono, 2008). Pengurangan kuat geser tanah di alam
karena kondisi geologi yaitu jenis dan tekstur (komposisi) tanah pembentuk lereng.
Kondisi geologi tersebut berupa sensivitas sifat-sifat tanah lempung karena adanya
lapisan tanah shale, loose, pasir lepas, dan bahan organik (Suryolelono K.B, 2002).
Pada konsep penanggulangan bencana, salah satu bentuknya adalah manajemen
risiko bencana. Pada tahap tersebut, diupayakan bila terjadi peristiwa bencana,
kerusakan, dan kerugian dengan skala dampak yang cukup besar dapat dihindari,
atau diminimalisir. Semua potensi risiko kejadian bencana di suatu wilayah,
diidentifikasi dan kemudian diukur tingkatannya dengan metode analisis risiko.
Berdasarkan tingkat risiko dari masing-masing kejadian, dapat dilakukan upaya
untuk mengurangi ancaman dan dampak yang akan ditimbulkan, yang sering
disebut sebagai upaya mitigasi.
Salah satu bentuk upaya mitigasi tersebut berupa rencana kesiapsiagaan untuk
mengantisipasi datangnya bencana yang disebut dengan Rencana Kontijensi
(Renkon). Rencana Kontinjensi diperlukan sebagai acuan apabila sebuah kejadian
bencana betul-betul terjadi. Rencana ini menjelaskan tentang siapa saja yang
harus terlibat dan tugas atau peranan setiap komponen manakala terjadi peristiwa
bencana.

Dalam siklus perencanaan dan penanggulangan bencana, rencana kontinjensi ini


masuk dalam fase kesiapsiagaan menghadapi datangnya saat bencana. Secara
lengkap Konsep Perencanaan dan Penanggulangan Bencana yang direkomendasikan
oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini ditunjukkan dalam
Gambar 2. Dengan adanya longsor di Desa Kalikuning pada 12 Januari 2011, yang
memberi bekas akan adanya longsor susulan berupa garis-garis amblesan tanah,
maka perlu disusun Rencana Kontijensi untuk menanggulangi potensi bencana
tersebut.
Terkait dengan kondisi tersebut, kajian ini dimaksudkan untuk menyusun Rencana
Kontinjensi untuk menghadapi bencana tanah longsor di Desa Kalikuning,
Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan. Diharapkan melalui rencana yang sudah
dibuat ini seluruh stakeholder yang terkait dapat mengetahui dan ikut terlibat
secara aktif dalam menyiapkan kesiapsiagaan menghadapi bencana yang mungkin
terjadi. Rencana kontijensi tersebut disusun sebelum kedaruratan/kejadian
bencana, dengan sifat rencana yang terukur. Cakupan kegiatan dalam dokumen
rencana kontijensi adalah spesifik yang dititikberatkan pada kegiatan untuk
menghadapi keadaan darurat. Dalam dokumen rencana kontijensi, hanya memuat
satu jenis ancaman bencana (single hazard) dengan pelaku yang terlibat sebatas
pada ancaman tersebut (Triutomo, dkk. 2011).

2. Metodologi Metode yang digunakan untuk menyusun Rencana Kontijensi (Renkon)


dapat dilihat pada Gambar
3. Tahapan penyusunan meliputi penilaian bahaya, penentuan kejadian,
pengembangan skenario, penetapan kebijakan strategi. Selanjutnya melakukan
analisis Gambar 3. Tahapan Penyusunan Rencana Kontijensi (Triutomo, dkk. 2011).
kesenjangan dengan membandingkan perkiraan kebutuhan apabila bencana yang
dimaksud terjadi dengan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki dan pada tahap
akhir disusun rencana tindak lanjut. Tahapan-tahapan tersebut terdapat pada
dokumen Renkon. Setelah dokumen berhasil disusun, maka tahapan selanjutnya
adalah melakukan proses formalisasi yaitu suatu proses penetapan keabsahan
dokumen Renkon. Analisis risiko dilakukan terhadap satu jenis ancaman yang sudah
diidentifikasi sebelumnya, yaitu ancaman tanah longsor. Analisis risiko dilakukan
dengan menggunakan formula sebagai berikut: Risiko = Probabilitas x Dampak
Variabel Probabilitas (probability = P) menyatakan kemungkinan atau frekuensi
kejadian dari sebuah ancaman bencana. Sedangkan variabel Dampak (Impact = I)
menyatakan besarnya dampak atau akibat apabila sebuah bencana terjadi. Analisis
risiko secara kualitatif dipakai sebagai pendekatan untuk menentukan tingkat risiko
ancaman yang sudah diidentifikasi. Pada analisis risiko ini digunakan lima klasifikasi
yang menunjukkan tingkatan/level dari variabel probabilitas dan dampak. Variabel
probabilitas dikategorikan menjadi lima klasifikasi, yaitu pasti, kemungkinan besar,
kemungkinan terjadi, kemungkinan kecil, dan kemungkinan sangat kecil
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan Volume 13, Nomor 2, Agustus
2015 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini
Halaman 31 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X variabel dampak dikategorikan menjadi
lima klasifikasi, yaitu sangat parah, parah, sedang, ringan dan sangat ringan
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Klasifikasi tingkatan dan kriteria
untuk variabel probabilitas (Triutomo, dkk. 2011) Bobot Level Probabilitas
Penjelasan Kriteria Probabilitas 5 Pasti Hampir dipastikan 80 - 99% 4 Kemungkinan
besar 60 – 80% terjadi 3 Kemungkinan terjadi 40 – 60% terjadi 2 Kemungkinan Kecil
20 – 40% terjadi 1 Kemungkian sangat kecil 0 – 20% terjadi Tabel 2. Klasifikasi
tingkatan dan kriteria untuk variabel dampak (Triutomo, dkk. 2011) Bobot Level
Dampak Penjelasan Kriteria Dampak 5 Sangat parah 80 - 99% wilayah
hancur/lumpuh total 4 Parah 60 – 80% wilayah hancur 3 Sedang 40 – 60% wilayah
terkena rusak 2 Ringan 20 – 40% wilayah yang rusak 1 Sangat Ringan Kurang dari 20%
wilayah rusak Sedangkan untuk melakukan analisa risiko digunakan Matriks
ProbabilitasDampak sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 2 dipakai
sebagai sarana untuk menentukan tingkat risiko yang terjadi dari kombinasi setiap
nilai probabilitas dan dampak dari setiap jenis ancaman. Penentuan nilai dari
masing-masing cell matriks dilakukan secara subyektif, dimana dalam hal ini bobot
lebih besar diberikan untuk variabel dampak (impact) dibandingkan dengan
probabilitas. Gambar 4. Analisa Risiko dengan Metode Matriks Probabilitas-Dampak
(Triutomo, dkk. 2011) Dari Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa bila probabilitas
kejadian adalah kemungkinan sangat kecil dan dampak kejadian adalah sangat
ringan, maka tingkat risiko adalah rendah. Bila probabilitas kejadian adalah pasti
dan dampak kejadian adalah sangat parah, maka tingkat risiko adalah tinggi. Bila
probabilitas kejadian adalah kemungkinan besar dan dampak kejadian adalah
ringan, maka tingkat risiko adalah sedang. Aspek yang terkena dampak bencana
dapat dikategorikan menjadi 5, yaitu aspek penduduk, sarana, dan prasarana,
ekonomi, pemerintahan dan lingkungan (Triutomo, dkk. 2011). Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pengukuran dampak tersebut adalah: a. Dampak pada
penduduk dapat berupa kematian, cidera, hilang, pengungsian, dll. Sebelum
melakukan perhitungan dampak tersebut perlu diperkirakan jumlah dan komposisi
Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015 Halaman 32 Jurnal APLIKASI: Media Informasi &
Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X penduduk
yang terancam berdasarkan worst scenario. b. Dampak pada aspek sarana dan
prasarana dapat berupa kerusakan jalan, jembatan, instalasi air, listrik maupun
rumah penduduk. c. Dampak pada aspek ekonomi dapat berupa kerusakan pasar,
gagal panen, terganggunya perekonomian, perdagangan, dan transportasi. d.
Dampak pada aspek pemerintah dapat berupa kerusakan dokumen/arsip, peralatan
kantor, dan bangunan pemerintahan, serta jalannya proses pemerintahan. e.
Dampak pada aspek lingkungan dapat berupa rusaknya kelestarian alam, obyek
wisata, dan pencemaran lingkungan. Sebelum melakukan pengukuran dampak perlu
diperkirakan sebaran atau luasan daerah terdampak sehingga perkiraan jumlah
penduduk dan daerah terancam dapat diperkirakan dengan lebih tepat. Selanjutnya
pada Tahap Analisis Kesenjangan, salah satu metode yang dapat digunakan adalah
dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD). Metode ini dipilih karena
Dokumen Renkon harus disusun secara bersama-sama oleh para stakeholder yang
multi sektor yang memiliki peran dalam penanggulangan bencana. FGD yang
dilakukan dengan mengundang para pemangku jabatan yang dapat dilibatkan bila
bencana tersebut terjadi. Para pemangku kepentingan tersebut dapat dari instansi
pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perkumpulan Sosial, dan tokoh
masyarakat setempat. 3. Hasil dan Pembahasan Penilaian Bahaya Bencana tanah
longsor sudah pernah terjadi dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi
pada lokasi yang sama. Kejadian ini dapat dijadikan acuan dalam penentuan
ancaman bencana serupa di masa mendatang. Dengan demikian dapat diidentifikasi
bahwa ancaman yang berisiko tinggi dan yang paling mungkin terjadi adalah tanah
longsor pada lokasi eksisting. Longsor tersebut diiringi dengan suara yang
bergemuruh. Akibat longsor, Sungai Sono saat itu tertutup material longsor, dan
terbentuklah tampungan kecil selama beberapa hari. Di beberapa tempat lain, juga
mengalami retakan dan amblesan (Gambar 5a dan 5b). Retakan dan amblesan ada
di permukiman warga, jalan akses dan sekolah. Luasan longsor yang telah terjadi
pada Tanggal 2 Januari 2011 adalah 12.000 meter persegi (asumsi adalah jarak
horisontal pada gambar (Tatas, dkk. 2011). Secara khusus untuk faktor dampak,
penilaian dilakukan terhadap beberapa faktor dampak yang meliputi dampak
terhadap manusia, dampak terhadap infrastruktur/sarana prasarana, dampak
terhadap lingkungan, dampak terhadap ekonomi, dampak terhadap pemerintah
(Triutomo, dkk. 2011). Selanjutnya dilakukan penilaian detail khusus untuk jenis
ancaman bahaya tersebut. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015 Jurnal APLIKASI:
Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 33 Jurnal
APLIKASI ISSN.1907-753X Gambar 5. Gambaran umum longsor di Desa Tulakan dan
Potensi Longsor Lanjutan (Tatas, dkk. 2011) Gambar 6. Prakiraan luasan longsor
yang kemungkinan akan terjadi (garis sambung) dan longsor yang telah terjadi,
garis putus-putus (Pusat Studi Kebumian dan Bencana, 2012) Sebelum dilakukan
penilaian deteil terlebih dahulu dilakukan pendalaman terhadap kedua jenis
ancaman tersebut. Pendalaman ini dimaksudkan agar terdapat kesamaan persepsi
terhadap pengertian dan cakupan serta upaya mitigasi yang telah dilakukan
terhadap keduanya. Berdasarkan hasil penilaian detail diperoleh bahwa jenis
ancaman tanah longsor dinilai memiliki risiko lebih tinggi dibanding jenis ancaman
lainnya, misalkan kebakaran hutan, tsunami, dan lain-lain. Satu dokumen Renkon
memuat satu jenis bencana. Sedangkan jenis bencana yang lain juga memiliki
dokumen Renkon tersendiri. Oleh karena itu, tanah longsor dipilih sebagai jenis
ancaman yang paling tinggi atau diprioritaskan. Tahapan selanjutnya adalah
dilakukan pengembangan skenario kejadian berdasarkan ancaman terpilih.
Penentuan Kejadian Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015 Halaman 34 Jurnal
APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Jurnal
APLIKASI ISSN.1907-753X Mengingat hanya ada satu jenis ancaman yang sangat
berisiko tinggi, maka dalam penentuan risiko dapat langsung ditetapkan tanah
longsor sebagai prioritas utama kejadian yang harus ditanggulangi. Tabel 3.
Penentuan Skala Probabilitas dan Dampak No. Jenis ancaman Probabilitas
(frekuensi) Dampak Akibat Kejadian Manusia Lingkungan Infrastruktur Ekonomi
Pemerintahan 1 Tanah Longsor 5 5 5 5 4 3 2 Ancaman lain (mis. ada) 3 1 3 4 3 2
Keterangan : Probabilitas Kejadian Dampak Kejadian Skala Probabilitas terjadi
dalam 1 tahun kedepan : Dampak Kerugian yang ditimbulkan (khusus di wilayah
terancam): 5 Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%). 5 Sangat Parah (80% - 99% wilayah
hancur dan lumpuh total) 4 Kemungkinan besar (60 – 80%) 4 Parah (60 – 80% wilayah
hancur) 3 Kemungkinan terjadi (40-60%) 3 Sedang (40 - 60 % wilayah terkena
berusak) 2 Kemungkinan Kecil (20 – 40%) 2 Ringan (20 – 40% wilayah yang rusak) 1
Kemungkian sangat kecil (kurang 20%) 1 Sangat Ringan (kurang dari 20% wilayah
rusak) Penentuan risiko ini dapat diperkuat dengan adanya kesepakatan bersama
dengan stakeholder maupun dengan instansi terkait atau lintas sektoral secara
bersama-sama. Tahapan selanjutnya adalah dilakukan pengembangan skenario
kejadian berdasarkan ancaman terpilih. Berdasarkan hasil penilaian bahaya,
diketahui bahwa jenis risiko yang paling tinggi adalah kejadian tanah longsor
(Tatas, 2011). Beberapa kejadian yang perlu dipertimbangkan sebagai dasar
penyusunan skenario adalah: 1. Waktu kejadian. Waktu kejadian tanah longsor ini
akan menentukan bentuk respon yang diberikan. Waktu kejadian malam hari
berpotensi menimbulkan jumlah korban yang lebih banyak di permukiman, karena
para penghuninya sedang tertidur lelap. sedangkan pagi, siang, atau sore
kemungkinan jumlah korbannya lebih sedikit, karena para peghuninya sedang pergi
keluar rumah untuk berbagai keperluan. Seperti yang telah terjadi, waktu kejadian
biasanya terjadi di malam hari yang diawali dengan curah hujan tinggi selama
beberapa hari sebelumnya. 2. Lokasi kejadian: Kemungkinan terjadi tanah longsor
tetap pada lokasi eksisting (Gambar 6). 3. Intensitas: Kejadian tanah longsor ini
bisa lebih dari satu kali, sangat dipe- Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015 Jurnal
APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 35
Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X ngaruhi oleh kondisi intensitas hujan dan kondisi
kemiringan lereng di lokasi kejadian. 4. Lama Kejadian: Pada tanah longsor
waktunya bisa sangat singkat yaitu hanya hitungan menit atau kurang dari satu
jam. 5. Area yang terdampak: Longsoran tanah dapat menimbulkan risiko rusak
atau hancurnya bangunan atau bendabenda lain yang berada diatas permukaan
tanah yang mengalami longsor. Jadi area terdampak nya bisa meliputi: penduduk,
permukiman, persawahan, infrastruktur, dll. Kondisi permukiman yang mungkin
terkena dampak dari longsorang tanah dapat dilikat pada sketsa seperti pada
Gambar 5 dan 6. 6. Hal-hal lain yang berpengaruh: Halhal ini yang sangat
berpengaruh terhadap timbulnya kejadian tanah longsor ini diantaranya: intensitas
hujan yang lebat dalam kurun waktu yang cukup lama, kondisi kemiringan lereng,
gundulnya pohon atau hutan pada lereng, dan lain-lain. Pengembangan Skenario
Untuk dapat membuat rencana pengembangan skenario kejadian, maka perlu
diidentifikasi masyarakat (data demografi penduduk) dan daerah yang terancam
berdasarkan peta wilayah, sehingga besaran atau luasan dampak yang
diakibatkannya dapat diprediksi dengan tepat. Berdasarkan hasil diskusi dengan
para pakar dan stakeholder selama FGD berlangsung, disepakati bahwa
pengembangan skenario kejadiannya adalah ”Tanah longsor terjadi pada malam
hari sekitar pukul 24.00 di lokasi eksisting dengan intensitas satu kali kejadian yang
lamanya 5 (lima) menit, sedangkan area yang terdampak adalah kawasan
permukiman penduduk di satu Dusun Sono” (Pusat Studi Kebumian dan Bencana,
2012). Lokasi dan area dampak dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar
6, potensi longsor lanjutan diperkirakan seluas 250.000 meter persegi (Tatas, dkk.
2011). Longsor pada Tanggal 2 Januari 2011 tersebut tidak menimbulkan korban
jiwa. Namun potensi longsor selanjutnya berada di jalan akses, sekolah serta
permukiman warga Dusun Sono. Kemungkinan longsor tersebut akan terjadi di RT
1/IX, RT 2/IX serta RT 3/IX yang terletak di dalam “mangkuk” potensi longsor
(Gambar 5.b). Jumlah kepala keluarga (KK) dan penduduk masing-masing RT
tersebut berturutturut adalah sebagai berikut 29 KK, 183 jiwa; 10 KK, 45 jiwa dan 8
KK, 38 jiwa (sumber: papan informasi posko bantuan) (Pusat Studi Kebumian dan
Bencana, 2012). Penetapan Kebijakan Strategi Setelah mengetahui pengembangan
skenario terjadinya bencana, langkah selanjutnya adalah menetapkan kebijakan
dan strategi penanganan bencana yang meliputi kebijakan dan strategi. Kebijakan
penanganan tanggap darurat, jika bencana tersebut terjadi, dimaksudkan untuk
memberikan arahan atau pedoman bagi stakeholders maupun sektor-sektor terkait
untuk dapat melaksanakan kegiatan tanggap darurat tersebut. Diperlukan
kesepakatan bersama untuk membuat rencana tanggap darurat ini dan hasilnya
dijadikan suatu kebi- Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015 Halaman 36 Jurnal
APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Jurnal
APLIKASI ISSN.1907-753X jakan yang sifatnya mengikat. Kebijakan tersebut dapat
meliputi penetapan waktu tanggap darurat, layanan pengobatan, dan penyiapan
alat dan material. Sedangkan strategi penanganan tanggap darurat bertujuan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut dengan efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan
pembuatan tugas dan tanggung jawab masingmasing sektor sesuai dengan
sumberdaya dan kompetensi yang dimilikinya. Kebijakan dalam mengantisipasi
ancaman tanah longsor adalah sebagai berikut (Pusat Studi Kebumian dan Bencana,
2012): a. Mengkoordinasikan kegiatan penanganan tanah longsor secara integratif
yang berbasis masyarakat. b. Rehabilitasi dan revitalisasi sarana prasarana terkait
dengan kebutuhan pelayanan minimal. c. Penanganan masalah sosial di tempat
evakuasi secara cepat, tepat, dan terpadu. d. Pemenuhan pelayanan sosial dasar
secara terpadu dan optimal bagi semua korban. e. Penyediaan informasi
penanggulangan bencana yang akurat. f. Mengkoordinasikan dan memobilisasi
kelompok strategis Penanggulangan Bencana dalam operasional tanggap darurat. g.
Penanganan/pemulihan darurat pada saat tanggap darurat. h. Penanganan gawat
darurat medik terhadap korban. i. Penanganan kesehatan untuk mengurangi risiko
munculnya penyakit. j. Pengelolaan bantuan secara optimal. k. Dalam hal kejadian
bencana yang mengakibatkan tidak berjalannya fungsi pelayanan kesehatan
setempat, kendali operasional diambil alih secara berjenjang ke tingkat yang lebih
tinggi. l. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi. m. Pengadaan tempat
pengungsian yang memadai. Strategi dalam mengantisipasi ancaman tanah longsor
adalah sebagai berikut: a. Merealisasikan koordinasi kegiatan penanganan bilamana
terjadi tanah longsor yang berbasis masyarakat. b. Menyediakan/memfasilitasi
sarpras terkait dengan kebutuhan pelayanan minimal. c. Memerintahkan seluruh
dinas instansi lembaga masyarakat untuk mengerahkan semua sumber daya dengan
mempergunakan prasarana dan sarana yang dimiliki masing-masing sektor. d.
Menyediakan sarana mobilitas pengungsi antara lain; angkutan barang, angkutan
pengungsi, ambulance, medis dan para medis dan obat-obatan dalam upaya
memberiakan perlindungan dan pelayanan kesehatan kepada para penggungsi. e.
Melakukan pengawasan dan pengendalian, monitoring serta evaluasi terhadap
sektor-sektor operasional di lapangan. f. Menempatkan kelompok-kelompok
strategis sesuai bidang masing-masing ke lokasi bencana dan segera melakukan
tindakan sesuai tugasnya yang sudah tersusun pada SOP. g. Menempatkan sarana
untuk mendukung kegiatan pada point diatas. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015
Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini
Halaman 37 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X h. Melaksanakan pemulihan pada
daerah yang terjadi kerusakan berdasarkan prioritas. i. Setiap korban akibat
bencana perlu mendapatkan pelayanan sesegera mungkin secara maksimal dan
manusiawi. j. Prioritas awal selama masa tanggap darurat adalah penanganan
gawat darurat medik terhadap korban luka dan identifikasi korban mati di sarana
kesehatan. k. Prioritas berikutnya adalah kegiatan kesehatan untuk mengurangi
risiko munculnya bencana lanjutan, di wilayah yg terkena bencana dan di lokasi
pengungsian. l. Managemen bantuan dari penerimaan sampai pendistribusian
sehingga bantuan tersebut aman bagi korban. m. Bantuan teknis medis maupun
peralatan sesuai dengan kebutuhan dan sarana yang ada didaerah, bila tidak
mencukupi akan diberikan bantuan oleh instansi diatasnya. n. Monitoring evaluasi
setiap saat baik rutin maupun insidentil dengan tujuan perbaikan pelayanan
secepatnya. Analisis Kesenjangan Dalam melakukan analisis kesenjangan dapat
dibagi dalam beberapa sektor, diantaranya sektor manajemen dan koordinasi,
sektor evakuasi, sektor logistik (pangan dan non-pangan), sektor kesehatan, sektor
perhubungan dan sarana/prasarana. Untuk Sektor Manajemen dan Koordinasi pada
saat kejadian, upaya-upaya yang harus dilakukan, antara lain (Pusat Studi
Kebumian dan Bencana, 2012): 1. Sebelum terjadi longsor BPBD dan BMKG
setempat melakukan pemantauan cuaca dan kondisi wilayah potensi longsor
tersebut 2. Apabila terjadi longsor, masyarakat melaporkan kepada aparat dusun/
desa/kecamatan. Aparat pemerintah tersebut langsung melaporkan kejadian
kepada BPBD (atau kantor polisi terdekat, jika melalui polisi harap diteruskan ke
kantor BPBD atau Polres setempat), dapat melalui pesan singkat (sms) atau telepon
kepada kontak person nomor darurat. BPBD melaporkan kepada Bupati Pacitan dan
selanjutnya mengkoordinasikan dengan pihak-pihak terkait. Selaku kepala daerah,
Bupati mengkoordinir penanggulangan bencana tersebut. Selama proses tersebut,
Bupati Pacitan memberi laporan kepada BPBD Provinsi Jatim dan Gubernur Jatim.
3. Semua instansi yang terkait dengan penanggulangan bencana siap di Posko yang
sudah ditentukan yaitu di lokasi yang agak jauh dari lokasi longsor dan yang
diperkirakan aman dari longsor. 4. Incident Commander (IC) dalam hal ini Bupati
Pacitan, atau yang ditunjuk, segera menentukan, menginstruksikan tindakan-
tindakan, langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam rangka penanganan
darurat. Stakeholder yang dapat dilibatkan dalam Sektor ini adalah Bupati Pacitan
BPBD Pacitan, BMKG Pacitan, Polres, TNI. Juga dapat melibatkan ORARI, RAPI,
Dishub kominfo untuk menerima dan menyampaikan informasi, serta masyarakat.
Selain itu dapat melibatkan Dinsosnakertrans, PMI, SAR Polres, Volume 13, Nomor
2, Agustus 2015 Halaman 38 Jurnal APLIKASI: Media Informasi & Komunikasi Aplikasi
Teknik Sipil Terkini Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X SAR Kodim, Brigade Penolong
(Pramuka). Kebutuhan sektor ini diantaranya adalah alat komunikasi seperti
telepon, radio komunikasi, sound system, handy talkie. Alat dokumentasi seperti
kamera dan handycam, alat transportasi akses ke lokasi, serta tenda darurat dan
kelengkapannya untuk lokasi koordinasi di lokasi setempat. Dari hasi FGD dapat
disimpulkan bahwa kondisi kebutuhan untuk Sektor Manajemen dan Koordinasi
dapat dipenuhi semua meskipun ada beberapa item jumlahnya terbatas. Untuk
Sektor Evakuasi (Penyelamatan dan Perlindungan, SAR) pada saat kejadian, upaya-
upaya yang harus dilakukan, antara lain: Pertolongan dan perlindungan bagi yang
masih hidup, mencegah agar tidak berkembangnya jatuh korban, evakuasi
mayat/korban, penyelamatan dan perlindungan, SAR bagi masyarakat/korban
hidup/mati, inventarisasi masyarakat/korban bencana, penanganan secara
maksimal masyarakat/korban bencana. Pada sektor ini ketersediaan seperti
kantung mayat dan alat evakuasi lainnya (misalkan cangkul, dll) masih mengalami
kekurangan yang cukup banyak. Untuk Sektor Logistik (Pangan dan Non-Pangan)
pada saat kejadian, upayaupaya yang harus dilakukan, antara lain (Pusat Studi
Kebumian dan Bencana, 2012) langkah-langkah penyelamatan dan pelayanan sosial
berupa pemenuhan kebutuhan dasar bagi para korban hidup dan petugas lapangan
dalam bentuk pendirian shelter (pengungsian), pemberian bantuan seperti sandang,
pangan, dan papan, sebagai upaya tanggap darurat tahap pertama selama 15 hari.
Sasaran-sasaran pada sektor ini antara lain terlayaninya semua kebutuhan dasar
pengungsi, mulai dari balita sampai kepada orang tua dan petugas selama masa
tanggap darurat, tersedianya tempat penampungan yang layak dan terlaksananya
penerimaan, penyortiran dan pendistribusian logistik sesuai dengan sasaran.
Instansi yang dapat berperan di sektor ini antara lain Dinsosnakertrans dan BPBD,
dan dapat dibantu oleh Tagana. Dari segi kesenjangan kebutuhan dan sumberdaya
diperkirakan hal dasar yang belum dapat tercukupi adalah kebutuhan bahan pangan
(beras, air bersih, lauk-pauk, dll), sedangkan yang telah mampu dipenuhi adalah
kelengkapan dapur umum dan kelengkapan posko. Untuk Sektor Kesehatan pada
saat kejadian, upaya-upaya yang harus dilakukan, antara lain terlaksananya
pelayanan kesehatan bagi pengungsi, terlaksananya tindakan medis bagi korban
luka, terlaksananya rujukan kesehatan yang optimal, dan mengurangi resiko
terjadinya penularan penyakit terutama pada lokasi pengungsian. Sedangkan
kondisi pengungsi yang memungkinkan adalah bila terjadi longsor maka
kemungkinan yang terjadi adalah terdapat penduduk yang menderita luka–luka dan
mungkin patah tulang akibat tertimpa reruntuhan bangunan, ada yang tertimbun
dan diperkirakan tidak ada fasilitas kesehatan yang terdampak pada bencana
amblesan ini. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2015 Jurnal APLIKASI: Media Informasi
& Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Halaman 39 Jurnal APLIKASI ISSN.1907-
753X Instansi yang dapat dilibatkan dalam sektor ini adalah Dinas Kesehatan,
Palang Merah Indonesia, dan BPBD. Untuk tenaga medis Kabupaten Pacitan tidak
mengalami kekurangan, baik dokter maupun perawat. Selain itu, Kabupaten
Pacitan juga memiliki dokter spesialis bedah dan spesialis anastesi, psikolog, ahli
gizi, apoteker, dan juga memiliki kelengkapan kesehatan yang memadai juga
termasuk Disaster Victim Identification (DVI). Sektor Perhubungan dan
Sarana/Prasarana bertugas untuk melancarkan tim evakuasi untuk melakukan
pertolongan gawat darurat di lokasi kejadian dan melancarkan proses kedatangan
alat berat sebagai peralatan utama evakuasi. Sektor ini merupakan kerjasama
instansi bidang pekerjaan umum, dinas perhubungan, polres, dan BPBD.
Ketersediaan alat berat sampai dengan saat FGD dilaksanakan adalah grader dan
dump truck, sedangkan ekscavator belum tersedia. 4. Simpulan Berdasarkan survei
dan wawancara yang dilakukan pada saat terjadinya longsor di awal tahun 2011,
masyarakat telah memahami tanda-tanda utama longsor, diantaranya hujan yang
terjadi terus-menerus dalam beberapa hari. Saat itu terlihat, masyarakat secara
sadar telah mengungsi di tempat yang dirasa aman, hal tersebut tampak dari
dibongkarnya beberapa rumah warga yang berpotensi akan tertimpa longsor.
Inisiatif tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Dusun Sono sangat memahami
dampak yang ditumbulkan akibat longsor sehingga dengan kesadaran membongkar
rumah untuk pindah ke tempat yang aman. Berdasarkan rencana kontijensi yang
telah disusun tersebut (berupa Dokumen Rencana Kontijensi), maka berbagai
stakeholder di Kabupaten Pacitan dapat dikelompokkan dalam lima sektor yang
bergerak berdasarkan instruksi Bupati Pacitan atau yang ditunjuk, dengan
koordinasi utama ada pada sektor manajemen dan koordinasi. Selain itu, ada
beberapa kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya seperti
kurangnya katong mayat, alat evakuasi, dll. Sedangkan kebutuhan yang telah
melebihi kebutuhan adalah terkait dengan jumlah tenaga medis. Daftar Pustaka
Priyono. (2008). Analisis Morfometri dan Morfostruktur lereng Kejadian Longsor di
Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara. Forum Geografi, 22 (1). pp. 72-
84. ISSN 0852-0682 Pusat Studi Kebumian dan Bencana. (2012). Rencana Kontijensi
Bencana Tanah Longsor di Tulakan, Kabupaten Pacitan. BPBD JatimPSKB ITS.
Surabaya. Suryolelono K.B., (2002). Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu
Geologi Teknik. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Sugeng Triutomo, B. Wisnu
Widjaja, R. Sugiharto, Siswanto B.P., Yohanes Kristanto. (2011). Panduan Volume
13, Nomor 2, Agustus 2015 Halaman 40 Jurnal APLIKASI: Media Informasi &
Komunikasi Aplikasi Teknik Sipil Terkini Jurnal APLIKASI ISSN.1907-753X
Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana, Ed. 2. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. ISBN 978-979-18441-3-0. Jakarta. Tatas, Machsus, Amien
Widodo. (2011). Studi Investigasi Longsor di Desa Kalikuning, Kecamatan Tulakan,
Kabupaten Pacitan. Jurnal Aplikasi ISSN.1907-753X. Surabaya View publication stats

You might also like