vailable at http://ejournal.stkipjb.ac.id/index.
php/sastra
                                                                                     P-ISSN 2337-7712
                                                                                     E-ISSN 2598-8271
     Volume 8         FIGUR TOKOH PEREMPUAN DALAM NOVEL ”HATI SUHITA”
    No.2, 2020                       KARYA KHILMA ANIS
    page 82-96
                       WOMEN’S FIGUR IN NOVEL “HATI SUHITA” CREATED BY
                                         KHILMA ANIS
Article History:
    Submitted:
    29-04-2020     Dicky Afrinsyah Pratama 1. Kamidjan 2 Resdianto Permata Raharjo 3
      Accepted:
    29-04-2020
     Published:
                              1 Pendidikan Bahasa dan dan Sastra Indonesia
    29-04-2020                         Universitas Hasyim Asy.ari
                              2 Pendidikan Bahasa dan dan Sastra Indonesia
                                       Universitas Hasyim Asy.ari
                              3 Pendidikan Bahasa dan dan Sastra Indonesia
                                       Universitas Hasyim Asy.ari
                             Jln. Irian Jaya No.55, Tebuireng Jombang, 61471, Indonesia                   
[email protected],
[email protected],rezdyraharjo@gmai
                                             l.com3
                   URL: https://ejournal.stkipjb.ac.id/index.php/sastra/article/view/1441
                   DOI: 10.32682/sastranesia.v8i2.1441
                                                  ABSTRACT
                   Novel Suhita Heart studies feminism. The purpose of this study was to
                   determine the representation of women in the character Alina Suhita in
                   the novel "Hati Suhita" by Khilma Anis. This study uses a qualitative
                   description approach because the researcher is the main tool in
                   gathering data from the novel "Hati Suhita" by Khilma Anis. The
                   research strategy used is the study of feminism namely Alina Suhita as
                   the main character in this novel. In the process of discovering the
                   meaning of data in the form of text in the novel "Hati Suhita" by Khilma
                   Anis, through the character character values, female character value
                   figures and the female character value structure. The Results There are
                   3 forms of injustice against women, namely: stereotyping,
                   subordination, and marginalization
                   Keywords: Figures, Social Feminisme, and Novels
                                                   ABSTRAK
                   Novel Hati Suhita kajian feminisme. Tujuan penelitian ini adalah untuk
                   mengetahui representasi perempuan pada tokoh Alina Suhita dalam
                   Novel “ Hati Suhita” karya Khilma Anis. Penelitian ini menggunakan
                   pendekatan deskripsi kualitatif karena peneliti sebagai alat utama
                   dalam mengngumpulkan data dari novel “ Hati Suhita” karya Khilma
                   Anis, Strategi penelitianyang digunakan adalah kajian feminisme yaitu
                               This is an open access article distributed under the Creative Commons 4.0 Attribution License, which
                               permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is
                               properly cited. ©2020 by author and STIKIP PGRI Jombang
                            Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                               & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
Alina Suhita sebagai tokoh utama dalam novel ini. Dalam proses penemuan
makna data yang berupa teks dalamNovel ”Hati Suhita” karya Khilma Anis,
melalui Nilai karakter tokoh, Figur nilai karakter perempuan dan Struktur nilai
karakter perempuan. Hasilnya Terdapat 3 Bentuk ketidakadilan terhadap
perempuan yaitu: stereotipe, subordinasi, dan marjinalisasi
Kata Kunci : Figur Tokoh, Feminisme sosial, dan Novel
Pendahuluan
     Karya sastra ”Hati Suhita” merupakan karya sastra yang mempunyai misi
tertentu menyangkut persoalan hidup dan kehidupan manusia. Demikian juga
novel menceritakan kehidupan yang terjadi dalam masyarakat seperti masalah
sosial yang tercakup didalamnya masalah agama, adat istiadat, pendidikan,
ekonomi, politik, dan lain-lain. Salah satunya Novel ”Hati Suhita” karya Khilma
Anis, menjadi buah pembicaraan di media sosial, terutama facebook. Tulisan
yang begitu menyita perhatian netizen ini membuat khazanah sastra pesantren
kembali ramai dan tentu digandrungi oleh pembaca. Novel yang menceritakan
kisah kehidupan rumah tangga yang dipenuhi haru biru, di mana Alina Suhita
sedari remaja sudah dianggap sebagai menantu kiai. Namun Gus Birru yang
senang menjadi aktivis kampus memiliki kisah masa lalu bersama Ratna
Rengganis yang membuatnya belum sepenuhnya menerima Suhita.
     Khilma Anis, seorang Kepala Sekolah MA Annur, Kesilir Wuluhan ini berhasil
menelurkan banyak buku, terutama yang menggabungkan adat Jawa dengan
kehidupan Pesantren. Penulis menganalis Novel “ Hati Suhita” karya Khilma Anis
alasannya yaitu (1), sebuah karya sastra jika diteliti dari segi intrinsic saja maka
makna yang diperoleh akan dangkal. (2), Novel Hati Suhita ini mengisahkan
kehidupan sosial yang dialami oleh pengarang yang memuat aspek-aspek sosial
yang mendalam. (3), novel Hati Suhita ini dari aspek isi sangat menarik. (4),
sepengetahuan peneliti novel Hati Suhita ini belum ada yang meneliti masalah
proses sosial. Guna mampu menghadapi akan digunakan ilmu sosiologi sebagai
alat bantunya. Novel Hati Suhita berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi dan
politik yang pun menjadi urusa sosiologi. Perbedaan yang terdapat antara
keduannya bahwa sosiologi mengerjakan ilmiah yang objektif, sementara novel
menyusup, menjebol permukaan kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara
insan menghayati masyarakat dengan perasaanya
    Berdasarkan sumber dari novel yang telah penulis rangkum, dalam novel ini
Khilma Anis sebagai penulis menceritakan Alina Suhita perempuanpesantren
sedarikecil sudah ditembung yai Hanan untuk menjadi menantunya. Alina yang
punya watak manut, lembut, dan sabar menuruti dengan sukarela, mengubur
dalam, segala mimpi dan melulu mempersiapkan diri guna menjadi permaisuri di
kerajaan barunya. Saat hari pernikahan tiba, Alina dan Gus Birru di doakan oleh
ribuan kiyai, menebar haru di sana sini. Namun Gus Birru suaminya
                                                            STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                           Jombang      JOURNALS
                                                                                  83
                           Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                              & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
menumpahkan segala kesal dan amarah padanya sampai sejumlah purnama,
perang dingin menyelimuti keduanya.
      Rumusan masalah dalam penelitian ini “Bagaimana figur perempuan dalam
Novel ”Hati Suhita” karya Khilma Anis?”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
figur tokoh perempuan dalam Novel ”Hati Suhita” karya Khilma Anis
     Karya sastra ”Hati Suhita” merupakan karya sastra yang memiliki misi
tertentu menyangkut persoalan hidup dan kehidupan manusia. Demikian pun
novel mengisahkan kehidupan yang terjadi dalam masyarakat laksana masalah
sosial yang tercakup didalamnya masalah agama, adat istiadat, pendidikan,
ekonomi, politik, dan lain-lain. Salah satunya Novel ”Hati Suhita” karya Khilma
Anis, menjadi buah pembicaraan di media sosial, terutama facebook. Tulisan
yang begitu menyita perhatian netizen ini membuat khazanah sastra pesantren
kembali ramai dan tentu digandrungi oleh pembaca. Novel yang menceritakan
kisah kehidupan rumah tangga yang dipenuhi haru biru, di mana Alina Suhita
sedari remaja sudah dianggap sebagai menantu kiai. Namun Gus Birru yang
senang menjadi aktivis kampus memiliki kisah masa lalu bersama Ratna
Rengganis yang membuatnya belum sepenuhnya menerima Suhita.
     Berdasarkan sumber dari novel yang telah penulis rangkum, dalam novel ini
Khilma Anis sebagai penulis menceritakan Alina Suhita perempuan dari
pesantren sedari kecil sudah ditembung yai Hanan untuk menjadi menantunya.
Alina yang punya watak manut, lembut, dan sabar menuruti dengan sukarela,
mengubur dalam, segala mimpi dan hanya mempersiapkan diri untuk menjadi
permaisuri di kerajaan barunya. Saat hari pernikahan tiba, Alina dan Gus Birru di
doakan oleh ribuan kyai, menebar haru di sana sini. Namun Gus Birru suaminya
menumpahkan segala kesal dan amarah padanya hingga untuk beberapa
purnama, perang dingin menyelimuti keduanya.
      Novel Hati Suhita, Khilma Anis cukup baik menampilkan dialog dan analogi
yang mengibaratkannya dengan perempuan-perempuan hebat di masa kerajaan
Jawa dahulu. mengajarkan untuk melihat masa lampau, yaitu sejarah. Dimana
ada banyak tokoh yang kisah hidupnya penuh dengan makna. Khilma Anis juga
memberitahu bagaimana seorang perempuan dalam menyikapi suatu masalah.
Hal ini juga disampaikan lewat watak Suhita yang mikul dhuwur mendem jero.
      Kritik feminis terhadap karya sastra digunakan sebagai materi pergerakan
kebebasan perempuan dan dalam mensosialisasikan ide-ide feminis. Menurut
Register (dalam Sofia, 2009:65), karena berasal dari pergerakan kebebasan
perempuan, kritik feminis menilai karya sastra sebagai suatu yang berguna bagi
pergerakan itu. Kerja kritik sastra feminis ialah meneliti karya sastra dengan
melacak ideologi yang membentuknya dan menunjukkan perbedaan-perbedaan
antara yang dikatakan oleh karya dengan yang tampak dari sebuah pembacaan
                                                           STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                          Jombang      JOURNALS
                                                                                 84
                           Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                              & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
yang teliti (Ruthven dalam Sofia. 2009:76). Kritik sastra feminis
mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan paham
tertentu selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian
menimbulkan pandangan tertentu tentang perempuan. Kritik sastra feminis
dapat didefinisikan sebagai cara-cara agar sastra dapat menjadi sebab
kebebasan. Kritik sastra feminis merupakan sebuah pendekatan akademik pada
studi sastra yang mengaplikasikan pemikiran feminis untuk menganalisis teks
sastra
     Novel ini mengisahkan posisi wanita selama ini di masyarakat tidak jarang
kali berada di bawah atau di belakang laki-laki. Posisi yang tidak menguntungkan
untuk perempuan guna mengembangkan dirinya. Feminisme pada lazimnya
adalahpembahasan mengenai bagaimana pola relasi laki-laki dan wanita dalam
masyarakat, serta bagaimana hak, status, dan status perempuan dalam sektor
dalam negeri dan publik. Di samping sebagai suatu gerakan, feminisme pun
menjadi cara analisis dalam menilai eksistensi wanita dalam masyarakat serta
pola relasinya di masyarakat (Muslikhati, 2004). Inti destinasi feminisme ialah
meningkatkan status dan derajat perempuan supaya sejajar dengan status dan
derajat kaum laki-laki, perjuangan serta usaha feminisme untuk menjangkau
tujuan itu mencakup sekian banyak cara (Djajanegara 2000). Kajian feminisme
menurut Hollows (2010) dianggap sebagai suatu bentuk politik yang bertujuan
untuk mengintervensi dan mengubah hubungan kekuasaan yang tidak setara
antara lelaki dan perempuan Dalam riset ini representasi gerakan feminisme
yang dianalisis lebih difokuskan pada representasi gerakan feminisme social.
Feminisme adalah faham guna menyadarkan posisi wanita yang rendah dalam
masyarakat, dan kemauan memperbaiki atau mengubah suasana tersebut.
(Saptari dan Holzner, 2007)
Metode Penelitian
        Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mencari, memahami, dan
menemukan makna fenomena sosial yang bersifat alamiah, data spesifik yang
berasal dari informan dan hasil pengamatan, data dianalisis secara induktif mulai
dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum, berfokus pada makna
individual, dan menjelaskan persoalan yang kompleks sesuai fokus penelitian
(Creswell, 2015). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena
peneliti sebagai alat utama dalam mengngumpulkan data dari novel “Hati
Suhita” karya Khilma Anis. Teknik analisa dalam proses penemuan makna pada
novel “Hati Suhita” karya khilma Anis menggunakan proses hermeneutika. Teknik
pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik (a) observasi merupakan
salah satu alat penting untuk pengumpulan data kualitatif. Mengamati berarti
memperhatikan fenomena di dalam Novel ”Hati Suhita” karya Khilma Anis, (b)
                                                           STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                          Jombang      JOURNALS
                                                                                 85
                            Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                               & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
pencatatan merupakan cara mencatat hasil pengamatan. Teknik ini merupakan
teknik yang sering digunakan peneliti yang tidak menggunakan perekaman.
Teknik pencatatan hanya membutuhkan bloknote atau buku tulis dan bolpoin, (c)
dokumentasi adalah cara pengumpulan data dari bahan-bahan dokumen
fenomena di dalam Novel ”Hati Suhita” karya Khilma Anis.
       Teknik trianggulasi dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : (1)
trianggulasi sumber data, teknik ini digunakan untuk mencari data dari sumber
informasi, yaitu orang yang terlibat langsung dengan objek kajian, (2) trianggulasi
pengumpulan data, teknik ini digunakan untuk mencari data dari banyak sumber
informan, (3) trianggulasi pengumpulan data meliputi,observasi, wawancara,
perekaman, pencatatan, dan dokumen, dan (4) trianggulasi teori, digunakan
dengan cara mengkaji berbagai teori yang relevan.
Hasil dan Pembahasan
Terdapat 3 Bentuk ketidakadilan terhadap perempuan yaitu: stereotipe,
subordinasi, dan marjinalisasi.
1.     Stereotipe
         Stereotipe adalah pelabelan terhadap jenis kelamin laki-laki atau
perempuan yang selalu berkonotasi negatif terhadap perempuan sehingga
menimbulkan masalah diskriminasi perempuan. Misalnya perempuan selalu
dinilai lemah, penakut, cerewet, emosional, kurang bisa bertanggung Jawab, dan
sebagainya. Sementara laki-laki dipandang kuat, keras, kasar, rasional, egois, dan
pencemburu. Pelabelan atau penandaan yang terkait dengan perbedaan jenis
kelamin tertentu dapat menimbulkan kesan yang negatif dan merugikan. Dalam
novel “Hati Suhita” karya Khilma Anis tergambar ketidakadilan tersebut,
terdapat pada kutipan tersebut:
       “Aku baru sedikit bergetar menyaksikan Alina belum lama ini. Waktu itu,
       aku sedang mencari berkas penting tapi raib dari mejaku. Di ndalem tidak
       ada seorang pun yang bisa kumintai tolong. Lalu aku menyelinap ke kantor
       madin dengan maksud bertanya pada Alina. ternyata kulihat Alina sedang
       memimpin rapat ustadz dan ustadzah. Pandangannya menunduk tapi
       suaranya lantang. Kalimatnya lugas dan mudah dipahami. Aku kaget karena
       seumur-umur, aku hanya melihat dia pasif. Ternyata dalam kepasrahan, dia
       aktif. Aku jadi paham kenapa abah dan ummik sangat mengandalkannya”
       (NHS,2019:133).
        Data diatas menggambarkan bahwa Alina Suhita mengalami deskriminasi.
Gus Birru berpikir negatif tentang Alina Suhita, Gus Birru berpikiran bahwa Alina
Suhita adalah orang yang pasif, dikarenakan Alina Suhita selalu patuh dan
mengikuti apa yang di perintahkan oleh Abah, Ummik, dan Gus Birru, Alina
Suhita tidak pernah membantah perintah beliau.
                                                            STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                           Jombang      JOURNALS
                                                                                  86
                          Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                             & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
       Akan tetapi di madrasah, Alina Suhita ternyata mampu memimpin rapat
para ustadz dan ustadzah, Alina Suhita mampu memberi penjelasan dengan
kalimat lugas dan mudah dipahami. Hal itu membuat Gus Birru paham alasan
Abah dan Umiknya sangat mengandalkan Alina Suhita dalam masalah pesantren.
     “Husein Muhammad berpendapat bahwa, tidak ada batasan bagi lakilaki
     dan perempuan dalam menegakkan kebenaran. Bila pada zaman dahulu
     jihad perempuan hanya sebatas ruang domestik, namun tidak dengan
     sekarang. Banyak perempuan yang sudah cerdas dan mendapatkan
     pendidikan yang setara dengan laki-laki. Maka dengan kemampuannya
     perempuan dapat menenggakan kebenaran dan mencegah penindasan,
     kezaliman, dan kekerasan yang terjadi terhadap kaum perempuan. Seperti
     Alina Suhita yang dianggap pasif oleh Gus Birru karena selalu mematuhi
     dan mengikuti semua hal yang diperintahkan oleh Umik, Abah, dan Gus
     Birru dan tidak pernah membantahnya, bukan berarti Alina Suhita lemah
     dan tidak mampu melawan, melainkan karena sikap patuh dan tunduk dia
     kepada orang tua dan suami.” (NHS,2019:134)
2.     Subordinasi
        Subordinasi adalah suatu keadaan saat seseorang atau kelompok tertentu
dianggap tidak penting dalam pengambilan keputusan atau dianggap lebih
rendah kedudukannya dibandingkan dengan yang lain. Subordinasi perempuan
dalam bidang pendidikan di lingkungan pesantren dapat dicontohkan bahwa
yang memimpin pesantren mayoritas adalah seorang laki-laki atau biasa disebut
dengan Kyai, karena Islam memandang bahwa laki-laki merupakan seorang
imam, dan perempuan dalam tradisi pondok pesantren harus manut dan tunduk
dengan aturan yang ada. Seperti halnya di lingkungan keluarga, perempuan
diposisikan sebagai orang yang ahli dalam bidang memasak dan mengurus rumah
tangga, sedangkan laki-laki adalah orang yang memimpin dalam suatu keluarga
atau biasa disebut kepala rumah tangga
Contoh kalimat yang menunjukkan perbuatan subordinasi dalam novel Hati
Suhita sebagai berikut:
    “Aku shalat sambil menangis. Ingat bahwa Mas Birru tidak punya pikiran
    sedikitpun untuk menyusulku dan menenangkan isakku. Dia justru
    menampilkan wajah sumringah di depan perempuan lain. Rengganis
    perempuan beruntung. Dia tidak perlu susah payah menempuh jalan
    sepertiku, mondok dan kuliah di tempat yang sudah ditentukan abah dan
    ummik sampai harus kehilangan kebebasan dan masa mudaku. Ia tidak perlu
                                                          STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                         Jombang      JOURNALS
                                                                                87
                           Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                              & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
     tenggelam dalam tangis. Tidak perlu teguh dalam tirakat, Mas Birru sudah
     mencintainya tanpa cela. Utuh, semakin bertambah dari waktu ke waktu.
     Tidak berkurang sedikitpun.” (NHS,2019:274)
        Data tersebut menggambarkan bahwa Alina Suhita mengalami
subordinasi. Alina Suhita tidak punya pilihan dalam hidupnya, sejak remaja
hidupnya sudah ditentukan oleh kedua mertuanya, sehingga Alina Suhita merasa
kehilangan kebebasan dan masa mudanya. Alina Suhita dijadikan menantu bukan
karena dia keturunan kyai. Namun, dikarenakan dia yang akan dijadikan sebagai
penerus pemimpin pesantren, sebab Gus Birru (suaminya) yang harusnya jadi
penerus tahta memilih lebih fokus pada dunia aktifis dan kepenulisannya. Gus
Birru tidak tertarik untuk menjadi pemimpin pesantren, oleh karena itu Alina
Suhita yang dijadikan penerus pemimpin pesantren, melakukan semua hal yang
harusnya adalah tugas Gus Birru. Sejak remaja, tempat Alina Suhita akan mondok
dan jurusan yang harus dipilihnya sudah ditentukan oleh kedua mertuanya. Alina
Suhita mematuhi semua perintah Abah, Umik, dan Gus Birru dan tidak pernah
membantahnya. Akan tetapi perbuatan Alina Suhita tidak bernilai apapun bagi
Gus Birru. Gus Birru lebih mencintai Rengganis dan mengabaikan Alina Suhita
        Dalam Islam ajaran kemanusiaan (hablun min an-nas) yang paling
mendasar adalah tentang keharusan menghargai sesama manusia, kesetaraan,
dan tidak boleh adanya penindasan terhadap sesama manusia. Walaupun
berbeda ras, suku, apalagi jenis kelamin, karena pada hakikatnya semua manusia
di mata Tuhan adalah sama sebagai hamba. Alina Suhita memang tidak
mengalami deskriminasi (subordinasi) secara terang-terangan, tetapi perlakuan
Gus Birru yang mengabaikannya sejak hari pertama pernikahan mereka sampai 7
bulan, membuat Alina Suhita merasa tidak dianggap sebagai istri. Bahkan Gus
Birru membawa Rengganis bertemu kedua orang tuanya tanpa memberitahu dan
minta pendapat Alina Suhita.
3.      Marjinalisasi
        Marjinalisasi adalah proses peminggiran secara sistemik, baik disengaja
atau tidak terhadap jenis kelamin tertentu untuk mendapatkan akses dan
manfaat dalam kehidupan. Akibat adanya stereotipe dan subordinasi sehingga
yang mengalami marjinalisasi biasanya tidak atau kurang dapat menikmati hasil
pembangunan meskipun mereka telah banyak berkonstribusi. Misalnya: kegiatan
masak-memasak sebenarnya adalah pekerjaan perempuan, namun jika kegiatan
ini dalam restoran besar (koki) yang memperoleh gaji, pekerjaan ini bukan
menjadi hak khusus perempuan, melainkan sudah dikuasai laki-laki.
        Perempuan yang termarjinalisasi sesungguhnya bukan karena kesalahan
realitas sosial semata, akan tetapi marjinalisasi perempuan adalah akibat adanya
                                                           STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                          Jombang      JOURNALS
                                                                                 88
                           Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                              & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
perlambangan wacana modernitas, perspektif, dan deterministik, bahwa
perempuan adalah komunitas marginal, dan bahwa perempuan adalah hasil
reproduksi luas, sementara yang determinan berkuasa adalah laki-laki, karena
selain kuat mereka adalah kepala rumah tangga.
Contoh kalimat yang menunjukkan perbuatan marjinalisasi dalam novel Hati
Suhita terdapat pada halaman 344 :
      “Metik suruh temu ros. Pitu ya. Tak buatkan jamu. Mumpung suamimu
      rawuh. Bagus banget itu buat perempuan yang sudah menikah. Bikin
      keringet jadi harum. Terus rapet dan keset. Tambah enak nek jare wong
      biyen.” Aku tertegun. Berdebar-debar mengingat jamu kewanitaan itu.
      Beberapa detik aku melongo. Mbah Puteri pasti tidak tahu kalau aku masih
      perawan dan minuman itu tidak ada gunanya untukku. Tapi aku tidak
      punya alasan untuk menolaknya. (NHS,2019:344)
        Data tersebut menggambarkan adanya marjinalisasi. Perempuan seakan
dijadikan sebagai objek sex. Tradisi minum berbagai jamu dalam hal sexualitas
hanya berlaku untuk perempuan saja, dan tidak berlaku untuk lakilaki.
Seharusnya baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berusaha
menyenangkan pasangannya dalam hal sexualitas. Tradisi tersebut banyak
berlaku di masyarakat berbagai daerah, khususnya pulau Jawa. Dari penjabaran
diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam novel Hati Suhita, peran dan posisi
perempuan dengan laki-laki dianggap sama. Perempuan boleh melakukan segala
hal yang dilakukan laki-laki. Perempuan boleh menjadi pemimpin, mengajar, aktif
di kepenulisan (jurnalistik), dan lain-lain. Akan tetapi dalam novel Hati Suhita
juga terdapat problematika gender yang berupa stereotip, subordinasi, dan
marjinalisasi. Namun hal itu tidak berdampak pada pembedaan peran dan posisi
perempuan dengan lakilaki.
        Menurut pemikiran Husein Muhammad, laki-laki dan perempuan
mempunyai kedudukan dan hak kemanusian yang sama di hadapan Allah. Tidak
ada yang lebih unggul kecuali berdasarkan ketakwaannya. Perempuan juga
punya andil khilafah dan juga sama-sama memiliki tugas untuk amar ma’ruf nahi
nunkar (melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan). Perempuan juga dapat
menentukan pilihannya, menjadi ibu rumah tangga saja atau ingin keluar rumah
untuk menjadi wanita karir dan mencari nafkah. Seorang manusia yang bertauhid
bebas untuk menentukan pilihannya, tapi harus disertai pertanggung Jawaban.
Tokoh Alina Suhita memperlihatkan kecerdasan serta keluasan khazanah
pengetahuan. Tokoh Alina Suhita, tidak hanya memiliki pengetahuan tentang
                                                           STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                          Jombang      JOURNALS
                                                                                 89
                           Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                              & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
kebudayaan Jawa yang menjadi basis kebudayaan masyarakatnya, tetapi juga
memiliki pengetahuan sejarah Indonesia yang mumpuni. Itu tampak pada Data
berikut:
      “Kehebatan prajurit perempuan itu bahkan sampai membuat pejabat VOC
      keheranan melihat keterampilan Prajurit Estri sebagai prajurit berkuda. Ia
      yang terlatih secara militer, bisa takjub melihat prajurit perempuan Jawa
      menembakkan salvo dengan teratur dan tepat.” (NHS,2019:199)
       Hal yang sama juga tampak pada kepribadian tokoh Rara Rengganis.
Tokoh tersebut ditampilkan oleh Khilma Anis dalam novel Hati Suhita sebagai
tokoh yang tidak hanya kalem, dan aktif dalam kehidupan sosial, tetapi juga
digambarkan sebagai sosok yang pintar. Itu tampak pada Data dialog antara
tokoh Mas Birru dengan Rara Rengganis berikut:
       Kenapa gak drama tentang pendekar perempuan di Indonesia, Re? Atau
       wayang-wayang perempuan
       Sebenarnya pengen banget. Waktunya belum ada. Jadi bertahap. Dia
       terkekeh. Lalu menjelaskan kalau dia tidak menangani langsung. Hanya
       bertanggung jawab membuatkan naskah saja. Dia sudah membentuk tim.
       Kebetulan saja dia punya sahabat kaya raya yang tinggal di Belanda dan
       menyukai seni. Sahabatnya ini mau mendanai pementasan anak-anak
       muda kreatif. Dia meyakinkan teman-temannya kalau ia akan tetap setia
       di dunia jurnalistik dan menjalani hobinya travelling dan sedikit sibuk di
       LSM. Drama-drama hanya kesibukan kecil.
       Berarti kapan-kapan bisa bikin film di pesantren ya, Re? (NHS,2019:89)
        Kecerdasan sosok tokoh Rara Rengganis tidak hanya ditampilkan pada
dialog tersebut. Upaya Khilma Anis untuk memberikan gambaran kepada
pembaca tentang sosok tokoh Rara Rengganis yang cerdas, pintar, dan penuh
pesona juga ditampilkan melalui narasi yang disampaikan oleh tokoh Alina
Suhita. Sebagaimana tampak pada Data berikut (NHS, 2019: 92): Ia seperti
Srikandi. Cantik, santun, berpengetahuan, dan dicintai Mas Birru.
        Dalam masyarakat yang menganut sistem budaya patriarki seperti di
Indonesia seorang perempuan dikonstruksikan sebagai mahluk yang lemah, tidak
memiliki kemampuan atau kapabilitas untuk berada di masyarakat. Ini
menyebabkan perempuan dianggap sebagai warga masyarakat kelas dua.
        Menurut Simone De Beauvoir (2006), seorang tokoh feminis, dalam
masyarakat yang menganut sistem patriarki perempuan dianggap sebagai liyan.
Hal itu menyebabkan wilayah perempuan diposisikan sebagai subjek yang hanya
layak berada arena domestik menciptakan suatu hubungan yang terdominasi dan
tersubordinasi, hubungan antara perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis, yakni
laki-laki berada pada kedudukan yang dominan sedangkan perempuan
subordinat. Subordinasi tersebut membuat perempuan Indonesia selalu berada
pada pihak yang tertindas, yang selalu mengalami pengibirian hak-hak individu.
                                                           STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                          Jombang      JOURNALS
                                                                                 90
                          Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                             & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
        Dalam novel Hati Suhita pemahaman mengenai perempuan sebagai liyan
atau subjek subordinat dalam budaya patriarki seakan menemui gugatan.
Melalui tokoh Alina Suhita dan Rara Rengganis merupakan perempuan dalam
budaya patriarki.
        Melalui aksi dan dialog kedua tokoh perempuan tersebut, Novel Hati
Suhita karya Khilma Anis memberikan pemahaman dan gambaran bahwa budaya
patriarki adalah budaya yang tidak pantas untuk terus dirawat keberadaannya.
Pemaknaan terhadap kedudukan perempuan dalam sistem budaya tersebut
harus direvisi karena perempuan adalah mahluk hidup yang sama diciptakan
Tuhan, oleh karena itu ia harus mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki.
Feminisme perempuan yang terungkap dalam novel ini adalah sebagai berikut:
a) Sabar adalah suatu kekuatan jiwa yang diwujudkan melalui sikap dan
   ketahanan untuk menderita sesuatu yang tidak diinginkan. Merupakan daya
   tahan manusia untuk menguasai sikap destruktif yang terdapat pada setiap
   manusia, yang disebut hawa nafsu. Dari pengertian di atas menunjukkan
   bahwa sabar itu mengandung ketabahan, keuletan, ketahanan dalam
   menghadapi tantangan, ancaman, dan hambatan untuk mewujudkan apa
   yang kita inginkan. Tingkat kesabaran antara laki-laki dan perempuan memang
   berbeda apalagi jika perempuan tersebut sudah berumah tangga. Perempuan
   akan lebih sabar dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan jika terjadi
   permasalahan dalam rumah tangganya.
         “Aku tau dia butuh waktu untuk menerima pernikahan kami. Aku tau
         perjodohan baginya sangat berat. Apalagi dia adalah aktivis dengan
         kehidupan yang sama sekali berbeda denganku. Tapi kalau dalam
         hidupnya ada Ratna Rengganis itu, bagaimana mungkin aku bisa
         tenang?” (NHS,2019:199)
       Kutipan di atas menggambarkan Suhita mengetahui bahwa perempuan
yang dicintai suaminya adalah Rengganis melalui percakapan whatsapp di HPnya.
Mengetahui hal tersebut Suhita bagaikan tak berpijak di bumi, rasanya seperti
dihantam ombak yang begitu besar. Air mata Suhita membasahi kain bantal,
meskipun begitu Suhita 91ias memahami bahwa suaminya butuh waktu untuk
menerima pernikahan atas dasar perjodohan orang tua dan bagi Suhita sangat
berat.
                                                          STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                         Jombang      JOURNALS
                                                                                91
                          Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                             & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
       “Aku turun dari ranjang, menatapnya yang pulas di sofa.Aku tahu, dia
       adalah matahari. Sia-sia kakek memberiku nama Suhita kalau aku tak bisa
       menaklukkannya. Akan kuda-patkan malam pertamaku tak lama lagi.”
       (NHS,2019:7-8)
       Kutipan di atas menggambarkan bahwa Suhita membayangkan rumah
tangganya yang bahagia dan diibaratkan naik sebuah perahu, suaminya
memegang dayung. Dipangkuanku, sosok laki laki kecil yang aku tak tahu.
Kuingat udara begitu segar. Air begitu tenang. Suasana begitu lapang. Namun
kenyataanya berbeda, dan dalam hati Suhita bertekad agar bisa menaklukkan
keangkuhan suaminya itu
       “Ku hela nafas panjang. Sampai kapan dia menggapku orang asing? Dia
       tidak tahu bahwa selama dua jam tadi, aku memakai lulur pengantin di
       kamar mandi. Dia tidak tahu bahwa dibalik gamisku, sudah kupakai
       lingerie warna kuning gading. Dia tidak memperhatikan bahwa aku sudah
       bersolek dan siap melayaninya.Aku sudah siap menjemput pahala tapi dia
       sama sekali tidak tergoda.Maka, aku memilih diam, membuka Jendela,
       duduk bersila menderas Qur'anku, aku tak sanggup menanggung
       kesunyian.” (NHS,2019:10)
         Kutipan di atas menggambarkan Suhita sudah berusaha menjadi istri yang
salehah bagi suaminya, dengan memakai lulur pengantin sudah bersolek dan siap
melayani suaminya, namun suaminya sama sekali tidak tergoda. Maka, Suhita
memilih diam, membuka Jendela, duduk bersila menderas Qur'an-ku, karena tak
sanggup menanggung kesunyian karena berfikir bahwa apa yang dilakukannya
sia-sia.
       “Aku ingin marah lalu kuingat nasehat begawan Wiyasa, orang orang yang
       dapat menaklukkan dunia adalah orang yang sabar menghadapi caci maki
       orang lain. Orang yang dapat mengendalikan emosi ibarat seorang kusir
       yang dapat menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. Dia dapat
       mengambil jarak dari amarahnya seperti ular menanggalkan kulitnya.
       Hanya mereka yang tidak gentar dengan siksaan, yang akan berhasil
       mencapai apa yang dicitakan.” (NHS,2019:61)
                                                          STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                         Jombang      JOURNALS
                                                                                92
                          Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                             & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
      Kutipan di atas menunjukkan bahwa Suhita ingin marah tetapi dia ingat
nasehat 93amper93 Wiyasa dalam pewayangan Mahabarata dapat menaklukkan
dan mengendalikan kuda liar. Suhita berusaha mengendalikan emosinya dan
berusaha tidak gentar dengan cobaan hidup yang dialaminya agar berhasil
mencapai apa yang selama ini menjadi cita-citanya.
b) Percaya diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek
   kelebihan yang dimiliki seseorang dan keyakinan tersebut membuatnya
   merasa mampu untuk 93amp mencapai tujuan dalam hidupnya. Pengertian
   percaya diri dalam 93amper gaul harian, pede yang dimaksudkan adalah
   percaya diri. Semua orang sebenarnya punya masalah dengan istilah yang satu
   ini. Ada orang yang merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di 93amper
   keseluruhan wilayah hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri,
   depresi, hilang kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan,
   dan lainlain. Ada juga orang yang merasa belum pede/percaya diri dengan apa
   yang dilakukannya atau dengan apa yang ditekuninya.
        “Aku menutup jendela. Tidak. KangDharma bukan tandingan Rengganis.
        Aku harus digdaya tanpa Aji. Aku harus menaklukkan Mas Birru dg
        kelembutan kasih sayang-ku. Bukan dengan menghadir-kan Kang
        Dharma.” (NHS,2019:20)
       Kutipan di atas menggambarkan sikap percaya diri Suhita yang akan
berusaha menaklukan hati suaminya dengan kelembutan kasih sayangnya. Bukan
dengan mengaha-dirkan orang lain yang justru akan menimbulkan masalah baru.
Bertanggung jawab Bertanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah berkewajiban menanggung segala tugas yang sudah diberikan.
     “Gus, saya harus pulang. Saya ada rapat sama ustadz-ustadzah diniyah
     habis isya.” “Sini dulu” “Tapi saya yang memimpin rapat, Gus. Saya sudah
     janji. Antar saya pulang nggih…(NHS,2019:108)”
       Kutipan di atas menggambarkan bahwa Suhita merupakan sosok
perempuan yang bertanggung jawab dengan segala tugas yang sudah menjadi
kewajibannya apalagi tugas tersebut sudah dijanjikan sebelumnya sehingga jika
ia meninggalkan kewajibannya tanpa sebeb yang jelas itu berakibat tidak baik.
c) Tegar, Kesulitan seseorang ketika dihadapkan dengan musibah adalah untuk
   tetap tegar menghadapinya. Sikap seperti ini akan membuat seseorang dapat
   memberikan solusi dan berpikir jernih, sehingga tidak salah dalam mengambil
   keputusan. Itulah mengapa sikap tegar sangat dibutuhkan ketika menghadapi
   masalah. Jika semua orang panik, maka semua akan hancur. Namun jika ada
                                                          STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                         Jombang      JOURNALS
                                                                                93
                          Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa    Volume 8
                                             & Sastra Indonesia   No. 2, 2020
  beberapa orang yang tegar dan tenang, solusi akan lebih cepat dan mudah
  didapatkan. Hal ini sebagaimana yang dihadapi Suhita dalam kehidupannya,
  dan Suhita tegar dalam menghadapi cobaan hidup sebagaimana kutipan
  berikut
       “Inilah yang tak boleh kulupa: Tapa-Tapak- Telapak.Kakek mengajarkan
       itu karena di sanalah kekuatan seorang wanita berada. Tapa akan
       menghasilkan keteguhan diri. Tapa akan mewujud dalam tapak. Tapak
       adalah telapak. Kekuatan wanita ada di telapaknya. Sesungguhnya di-
       bawah telapak wanita eksis-tensi dan esensi surga berada.Aku sudah
       hafal teori itu diuar kepala.” …(NHS,2019:16)
         Kutipan di atas menggambarkan bahwa Suhita merasa sudah tidak kuat
lagi jika mendengar Rengganis menghubungi suaminya. Akan tetapi Suhita tetap
tegar dalam mengahadapi cobaan ini. Suhita teringat pesan kakeknya yang
mengajarkan bahwa wanita, adalah wani tapa, berani bertapa. Tapa akan
menghasilkan keteguhan diri. Tapa akan mewujud dalam tapak. Tapak adalah
telapak. Kekuatan wanita ada di telapaknya. Sesungguhnya dibawah telapak
wanita eksistensi dan esensi surga berada.
     “Tapi aku tidak boleh larut dalam tangis. Namaku Alina Suhita. Suhita
     adalah nama pemberian kakek dari ibuku. Ia ingin aku jadi dewi Suhita.
     Perempuan tangguh yang pernah memimpin kerajaan sebesar Majapahit.
     Perempuan hebat yang tegar walau di masa kepemimpinannya ada perang
     Paregreg yang memilukan itu.” …(NHS,2019:4)
       Kutipan di atas menggambarkan Suhita adalah seorang perempuan yang
memiliki pribadi yang tangguh. Nama Suhita yang diberikan kakeknya merupakan
gambaran perempuan tangguh yang pernah memimpin kerajaan sebesar
Majapahit. Perempuan hebat yang tegar walau di masa kepemim-pinannya ada
perang Paregreg
                                                          STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                         Jombang      JOURNALS
                                                                                94
                                Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa      Volume 8
                                                   & Sastra Indonesia     No. 2, 2020
Penutup
        Terdapat 3 Bentuk ketidakadilan terhadap perempuan yaitu: stereotipe,
subordinasi, dan marjinalisasi. Stereotipe adalah pelabelan terhadap jenis
kelamin laki-laki atau perempuan yang selalu berkonotasi negatif terhadap
perempuan sehingga menimbulkan masalah diskriminasi perempuan. Misalnya
perempuan selalu dinilai lemah, penakut, cerewet, emosional, kurang bisa
bertanggung Jawab, dan sebagainya. Sementara laki-laki dipandang kuat, keras,
kasar, rasional, egois, dan pencemburu. Pelabelan atau penandaan yang terkait
dengan perbedaan jenis kelamin tertentu dapat menimbulkan kesan yang negatif
dan merugikan. Stereotipe, melahirkan subordinasi, yaitu penempatan salah satu
jenis kelamin dari aspek status, peran, dan relasi yang tidak setara. Pandangan
subordinat didasarkan pada stereotipe gender yang menghambat akses
partisipasi dan kontrol, terutama uang berhubungan dengan peran pengambilan
keputusan dan pemanfaatan sumber daya. Misalnya menjadi seorang
perempuan hanya mampu diberi pekerjaan yang lebih mudah dari laki-laki.
        Subordinasi adalah suatu keadaan saat seseorang atau kelompok tertentu
dianggap tidak penting dalam pengambilan keputusan atau dianggap lebih
rendah kedudukannya dibandingkan dengan yang lain.11 Subordinasi
perempuan dalam bidang pendidikan di lingkungan pesantren dapat dicontohkan
bahwa yang memimpin pesantren mayoritas adalah seorang laki-laki atau biasa
disebut dengan Kyai, karena Islam memandang bahwa laki-laki merupakan
seorang imam, dan perempuan dalam tradisi pondok pesantren harus manut dan
tunduk dengan aturan yang ada. Seperti halnya di lingkungan keluarga,
perempuan diposisikan sebagai orang yang ahli dalam bidang memasak dan
mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki adalah orang yang memimpin
dalam suatu keluarga atau biasa disebut kepala rumah tangga. Dalam
ketidakadilan gender, subordinasi melahirkan marjinalisasi atau pemiskinan
peran pada kaum perempuan. Marjinalisasi adalah proses peminggiran secara
sistemik, baik disengaja atau tidak terhadap jenis kelamin tertentu untuk
mendapatkan akses dan manfaat dalam kehidupan. Akibat adanya stereotipe
dan subordinasi sehingga yang mengalami marjinalisasi biasanya tidak atau
kurang dapat menikmati hasil pembangunan meskipun mereka telah banyak
berkonstribusi. Misalnya: kegiatan masak-memasak sebenarnya adalah
pekerjaan perempuan, namun jika kegiatan ini dalam restoran besar (koki) yang
memperoleh gaji, pekerjaan ini bukan menjadi hak khusus perempuan,
melainkan sudah dikuasai laki-laki.
Daftar Pustaka
Anis, Khilma. 2019. Hati Suhita, Yogyakarta: Telaga Media
Creswell, John W. (2015). Research Design, Penedekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed
                   (edisi ke-5). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, John W. (2015). Metode Penelitian Kualitatif & Desain Penelitian .Yogyakarta: Pustaka
           Pelajar.
                                                                  STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                                 Jombang      JOURNALS
                                                                                            95
                              Sastranesia:Jurnal Pendidikan Bahasa     Volume 8
                                                 & Sastra Indonesia    No. 2, 2020
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia
       Pustaka Utama.
Endaswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Moleong Lexy J. 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte, 2007, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah
       Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Grafiti
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D),
       Bandung: CV. Alfabeta
Sutopo. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas.
                                                               STIKIP PGRI
ISSN 2337-7712ONLINE ISSN 2928-393                              Jombang      JOURNALS
                                                                                        96