0% found this document useful (0 votes)
209 views20 pages

Tinjauan Yuridis Kemitraan Sawit Aceh

This document provides an abstract and introduction to a study analyzing the legal framework and implementation of palm oil plantation partnership agreements between PT. Boswa Megalopolis and local communities in Aceh Jaya Regency, Indonesia. It summarizes the relevant laws and regulations governing agricultural partnerships. While the technical requirements are regulated, issues remain in practice, especially regarding profit allocation, lack of detail in partnership requirements, and potential for underhanded contracts. The regulation of plantation partnerships has not yet provided legal certainty or protection for communities. The study aims to examine the legal framework for agricultural partnerships, evaluate implementation of relevant laws, and analyze legal protections for communities in these agreements.

Uploaded by

vitha nazar
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
209 views20 pages

Tinjauan Yuridis Kemitraan Sawit Aceh

This document provides an abstract and introduction to a study analyzing the legal framework and implementation of palm oil plantation partnership agreements between PT. Boswa Megalopolis and local communities in Aceh Jaya Regency, Indonesia. It summarizes the relevant laws and regulations governing agricultural partnerships. While the technical requirements are regulated, issues remain in practice, especially regarding profit allocation, lack of detail in partnership requirements, and potential for underhanded contracts. The regulation of plantation partnerships has not yet provided legal certainty or protection for communities. The study aims to examine the legal framework for agricultural partnerships, evaluate implementation of relevant laws, and analyze legal protections for communities in these agreements.

Uploaded by

vitha nazar
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 20

Muhammad Milsa|1

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN POLA KEMITRAAN


PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INTI-PLASMA ANTARA
PT. BOSWA MEGALOPOLIS DENGAN MASYARAKAT
(Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Jaya)

MUHAMMAD MILSA

ABSTRACT

Business partnership is one of business partnership patterns stipulated in


PP No. 24/1997 on Partnership, in Kepmentan No. 40/kpts/OT.120/10/97, and in
Permentan No. 26/Permentan/OT.140/2/2007. Although the technical
requirement has been regulated, in reality, the provisions cannot accommodate
all requirements in business partnership agreement between companies and the
public. Partnership pattern is stipulated in Law No. 20/2008 on Micro, Small,
and Medium Businesses, in PP No. 44/1997 on Partnership, in Kepmentan No.
940/kpts/OT.210/10/97 on Guidance for Partnership in Agricultural Business,
and in Permentan No. 29/Permentan/OT.140/2/2007. In general, the plantation
business partnership agreement between PT. Boswa Megalopolis and the people
has implemented the above Kepmentan and Permentan. In practice, however,
there are still many defects, especially about the content of the contract related to
the mechanism of the allocation of profit, about the business partnership
requirements which are not arranged in detail, and about the opportunity to
make underhanded contract.The regulation of plantation business partnership
has not yet provided legal certainty and legal protection for the people. It is
recommended that the Government revise the substance of Kepmentan and
Permentan, particularly which are related to the partnership of plant
standardization and the assertion in making the contract in an authentic deed.

Keywords : Judicial Review on Partnership Pattern Agreement

I. Pendahuluan

Untuk meningkatkan produktifitas usaha tani diperlukan sub


kegiatan agribisnis yang menunjang agar mendapatkan hasil yang sesuai
harapan. Salah satu solusi yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini
adalah melalui pola kemitraan.
Muhammad Milsa|2

Pola kemitraaan antara pengusaha besar, menengah dan kecil diatur


dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yakni: 1
³.HUMDVDPD GDODP NHWHUNDLWDQ XVDKD EDLN ODQJVXQJ PDXSXQ WLGDN
langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat,
dan saling menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan
0HQHQJDK GHQJDQ 8VDKD %HVDU ´
Perusahaan biasanya menginvestasikan kapital uang dan tenaga ahli
dalam pembangunan kebun, sementara masyarakat menyediakan lahannya
untuk di kerjasamakan atau dimitrakan dalam pembangunan kebun.
Pola kerjasamanya sangat variatif, tergantung proposal perusahaan
dan kesepakatan diantara keduanya, ada pola bagi hasil, pola bagi lahan
dengan ketentuan 70 : 30, 60 : 40, sampai 50 : 50. Wujud kemitraan pun
sangat beragam, ada kemitraan yang sangat sederhana dan dibangun diatas
kesepakatan tidak tertulis, namun dapat berjalan dengan transparan, sukarela
dan setara.2
Kemitraan perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu upaya
Pemerintah dalam merevitalisasi perkebunan-perkebunan masyarakat.
Kehadiran perkebunan-perkebunan kelapa sawit dianggap berpengaruh
terhadap perubahan pola pekerjaan, yang diikuti dengan peningkatan
penghasilan masyarakat. Konsekuensi lain adalah berpengaruh terhadap pola
hidup dan hubungan sosial yang ditandai dengan pergeseran berbagai irama
kehidupan, perubahan pola interaksi sosial yang sederhana dan bercorak
lokal berubah ke pola interaksi yang kompleks serta menembus batas
pedesaan, bertambahnya penduduk sehingga berbagai pola kehidupan saling
mempengaruhi.
Pandangan optimistik tentang perubahan sosial sebagaimana yang
diharapkan di atas mungkin beralasan mengingat kebijaksanaan yang
melandasi kehadiran perusahaan PT. Boswa Megalopolis yang merupakan

1
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, Pasal 1 ayat 13.
2
Rafiq Ahmad, Perkebunan dari NES ke PI, Cetakan ke 1, (Jakarta : Penebar Swadaya,
1998), hlm 47.
Muhammad Milsa|3

salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan terhadap


pelaksanaan inti-plasma perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Jaya
yang telah disepakati dan dirumuskan oleh kedua belah pihak. Kemitraan
pembangunan kebun kelapa sawit, secara umum berarti kerjasama
pembangunan kebun kelapa sawit antara perusahaan PT. Boswa Megalopolis
dengan masyarakat di gampong Panggong Kabupaten Aceh Jaya. Dalam
konteks keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit keberadaan
perusahaan PT. Boswa Megalopolis dengan masyarakat menawarkan
alternatif tambahan sumber pendapatan rumah tangga bagi masyarakat yang
berasal dari lahan yang mungkin kurang mampu digarap oleh masyarakat
sendiri, atau yang selama ini masih kurang produktif. Hasil survey awal
dengan mewawancarai aparat pemerintah sebagai fasilitator dalam
pelaksanaan perjanjian antara pihak perusahaan dengan masyarakat, dapat
diketahui bahwa saat ini pihak perusahaan telah beberapa kali melaksanakan
sosialisasi kepada masyarakat yang akan bermitra dengan perusahaan.3
Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, kemitraan usaha yang demikian
harus dilakukan secara tertulis dalam bentuk perjanjian yang berisikan hak
dan kewajiban, pembinaan dan pengembangan usaha, pendanaan, jangka
waktu dan penyelesaian perselisihan yang selanjutnya ditandatangani kedua
belah pihak yakni antara perusahaan PT. Boswa Megalopolis dengan
masyarakat. Program kemitraan perkebunan kelapa sawit inti-plasma antara
PT. Boswa Megalopolis ini diharapkan dapat direalisasi dengan baik dan
mendapat dukungan semua pihak. Masyarakat akan menjadi pagar kebun
para pengusaha jika perusahaan berempati dan peduli pada rakyat sekitar.
Berdasarkan penelitian awal,Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya
menyambut baik komitmen PT. Boswa Megalopolis membangun kerjasama
dalam kemitraan perkebunan kelapa sawit inti-plasma khususnya bagi

3
Wawancara dengan Mukhtar, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Aceh Jaya, 19 Februari 2013.
Muhammad Milsa|4

masyarakat gampong Panggong di Kecamatan Kreung Sabee karena


keterlibatan kelompok tani setempat itu akan membantu memperbaiki
ekonomi mereka. Namun, Harus disadari bahwa pola kemitraan ini
mempertemukan dua kepentingan yang sama tetapi dilatarbelakangi oleh
kemampuan manajemen oleh PT. Boswa Megalopolis. Kekurangpahaman
dalam pengetahuan hukum serta permodalan yang berbeda sehingga plasma
sangat rentan untuk menjadi korban dari perusahaan inti yang mempunyai
latar belakang lebih kuat, baik dari segi permodalan dan manajemennya.
Notaris sebagai pejabat umum yang memiliki wewenang membuat
akta yang berkaitan dengan perjanjian tersebut sekiranya dapat memberikan
masukan-masukan dan mengetahui terdapatnya kekurangan dan kelemahan
dalam suatu perjanjian. Tindakan notaris yang memberikan penyuluhan dan
memberikan pengertian tentang resiko serta akibat perjanjian para pihak
merupakan salah satu upaya perwujudan pengembalian kepercayaan
masyarakat terhadap hukum.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah pengaturan pola kemitraan usaha perkebunan antara
perusahaan perkebunan dengan masyarakat?
2. Bagaimanakah implementasi Keputusan Menteri Pertanian Nomor
940/KPTS/OT.210/10/97 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
26/Permentan/OT.140/2/2007 dalam perjanjian pola kemitraan antara PT.
Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya?
3. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam
perjanjian pola kemitraan perkebunan kelapa sawit inti-plasma antara PT.
Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya?
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan pola kemitraan usaha perkebunan antara
perusahaan perkebunan dengan masyarakat.
2. Untuk mengetahui implementasi Keputusan Menteri Pertanian Nomor
940/KPTS/OT.210/10/97 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
26/Permentan/OT.140/2/2007 dalam perjanjian pola kemitraan antara PT.
Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya.
Muhammad Milsa|5

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam


perjanjian pola kemitraan perkebunan kelapa sawit inti-plasma antara PT.
Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya.

II. Metode Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian yuridis normatif dan didukung oleh data empiris bersifat deskriptif
analisis. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti
seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 940/KPTS/OT.210/10/97 tentang Pedoman
Kemitraan Usaha Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian Nomor
26/Permentan/OT.210/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
dan Perjanjian Kerjasama Kemitraan Usaha Pembangunan Kebun Kelapa
Sawit antara Petani Gampong Panggong Kecamatan Krueng Sabee
Kabupaten Aceh Jaya dengan PT. Boswa Megalopolis.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk
mhengenai bahan hukum primer seperti buku-buku referensi, jurnal hukum,
hasil-hasil penelitian karya ilmiah yang relevan dengan penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tertier
Disebut juga bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, yaitu berupa kamus, majalah, surat kabar, dan media
informasi lainya.
Disamping data sekunder, penelitian ini juga menggunakan data
primer sebagai data penunjang. Data primer diperoleh dari hasil wawancara
dengan narasumber.
Muhammad Milsa|6

Metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data dilakukan


melalui 2 (dua) cara, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan
penelitian lapangan (field research).
Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Hal ini
akan diusahakan untuk memperoleh data dengan mewawancarai informan
secara lisan dan terstruktur dengan menggunakan alat pedoman wawancara.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Dalam Kemitraan usaha dibidang perkebunan di Kabupaten Aceh
Jaya, masyarakat yang bertindak selaku pemilik lahan (petani) yang
melakukan perjanjian kemitraan usaha dengan PT. Boswa Megalopolis
tersebut adalah masyarakat yang berada di sekitar lokasi perkebunan yang
dimiliki oleh PT. Boswa Megalopolis dengan status Hak Guna Usaha
(HGU). Dalam perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak,
perjanjian ini berlaku hingga jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.
Pada perjanjian tersebut dicantumkan mengenai identitas masing-
masing pihak yang mengadakan perjanjian yakni Perusahaan Inti dan Petani.
Para pihak tersebut di atas adalah yang terlibat secara langsung dalam
pelaksanaan perjanjian kemitraan inti-plasma perkebunan. Dalam
mekanisme pelaksanaannya, terutama dari segi pendanaan dibantu oleh
pihak Bank sebagai lembaga keuangan yang memberikan fasilitas pinjaman
kepada Petani untuk keperluan pembangunan kebun kelapa sawit yang
dikelola oleh pihak perusahaan. Pihak Bank selaku pemberi fasilitas
pinjaman tersebut akan ditetapkan kemudian setelah dilakukannya
pembukaan perkebunan tahap awal (periode pertama) dengan sumber
pendanaan yang akan ditalangi oleh pihak perusahaan. Oleh karena itu dalam
hal ini yang bertindak sebagai kreditur adalah pihak Bank, sedangkan yang
bertindak sebagai debitur adalah masyarakat gampong panggong yang
menjadikan sertipikat hak milik atas tanahnya sebagai agunan.
Dalam perjanjian inti plasma antara PT. Boswa Megalopolis dengan
Masyarakat gampong panggong di Kabupaten Aceh Jaya memuat mengenai
hak dan kewajiban para pihak. Selanjutnya dalam perjanjian kemitraan
Muhammad Milsa|7

tersebut, khususnya bagi petani-petani yang tergabung dalam kepesertaan


plasma diwakili oleh Ketua Kelompok Tani yang bertindak dalam
jabatannya selaku Ketua Kelompok yang secara sah mewakili anggota
kelompok berdasarkan surat kuasa.
Dalam perjanjian kemitraan inti plasma di Kabupaten Aceh Jaya
terjadinya hubungan hukum diantara para pihak dimulai sejak
ditandatanganinya perjanjian pola kemitraan perkebunan kelapa sawit yang
telah dilaksanakan pada bulan februari 2013 yang lalu. Hubungan-hubungan
hukum yang timbul dalam perjanjian kemitraan ini, yaitu:
1. Hubungan Hukum antara Masyarakat sebagai petani plasma dengan
Perusahaan sebagai inti.
2. Hubungan Hukum antara Ketua Kelompok Tani dengan Petani
3. Hubungan Hukum antara Petani dengan Bank.
4. Hubungan Hukum Perusahaan sebagai avalis dengan Bank.
Pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan dalam prakteknya tidak
berjalan dengan mudah. Penyelesaian Konflik yang dikhawatirkan akan
muncul dikemudian hari perlu diatur sedemikian rupa dalam perjanjian agar
tidak terjadi kesewenang-wenangan salah satu pihak.
Dalam Pasal 9 Perjanjian Kemitraan, Para pihak sepakat bahwa
dalam penyelesaian perselisihan memuat sebagai berikut :
1. Dalam hal terjadinya perselisihan mengenai perjanjian ini maka PARA
PIHAK sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk
mufakat.
2. Apabila dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari kalender secara
musyawarah untuk mufakat antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK
KEDUA tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaian selanjutnya
melalui Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya.
Peran Pemerintah Kabupaten dalam hal ini dipandang mampu
memediasi apabila dikemudian hari akan timbul perselisihan para pihak baik
dalam kepemilikan lahan, hak dan kewajiban maupun terkait dengan
mekanime pengelolaan perkebunan. Menurut Ketua Kelompok Tani
Muhammad Milsa|8

Gampong Panggong Kecamatan Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya,


menyatakan pentingnya peran pemerintah sebagai berikut :
³NHNXUDQJSDKDPDQ GLELGDQJ KXNXP WHUXWDPD PHQJHQDL SHUMDQMLDQ
ini yang merupakan perjanjian pertama yang ada di kabupaten aceh jaya,
perlu keterlibatan pihak pemerintah daerah dalam mengawasi dan menjadi
penengah apabila terjadinya kesalahpahaman untuk mencegah terjadinya
NRQIOLN´4
Tujuan kemitraan usaha adalah peningkatan nilai tambah bagi
pekebun dalam perjanjian kemitraan usaha perkebunan antara PT. Boswa
Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya sudah
terimplementasikan. Hal ini ditemukan pada Pasal 3 perjanjian mengenai hak
dan kewajiban yang berbunyi bahwa pihak Pekebun berhak memperoleh
hasil keuntungan dari hasil perkebunan setelah dikurangi biaya operasional
termasuk kewajiban kepada bank yang dibagi oleh ketua kelompok kepada
anggotanya secara merata. Memprioritaskan pemberian lapangan kerja bagi
pekebun sebagai buruh sesuai kemampuan merupakan salah satu upaya yang
ditempuh oleh Perusahaan dalam memberikan tambahan pengahasilan bagi
pekebun.
Dari hasil wawancara dengan Kepala Bagian Humas PT. Boswa
Megalopolis, diketahui bagaimana proses perjanjian kemitraan tersebut
terjadi. Sebelum sebuah perusahaan inti mengajukan pola kemitraan pada
petani plasma, biasanya terlebih dulu mereka akan mengadakan sosialisasi
dan penjelasan tentang bagaimana pola kemitraan itu dan bagaimana
pelaksanaan kemitraan itu sendiri. Perusahaan inti memberikan penjelasan
yang mendetail mengenai apa keuntungan dan kerugian dari pola kemitraan
yang mereka tawarkan. Secara umum biasanya perusahaan inti hanya
menjelaskan hal-hal yang bersifat teknis dalam menjalankan usaha
perkebunan, mulai dari persiapan lahan, sarana dan prasarana produksi, cara
pemeliharaan dan panen.5

4
Wawancara dengan Hasyimi, Ketua Kelompok Tani. 30 Mei 2013.
5
Wawancara dengan Herman Nurdin, Kepala Bagian Humas PT. Boswa Megalopolis, 5
Juni 2013.
Muhammad Milsa|9

Kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan inti dalam pelaksanaan


kemitraan yang ada di kabupaten Aceh Jaya ini pada dasarnya telah sesuai
dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 tentang
Kemitraan. Pada pelaksanaan pola kemitraan di Kabupaten Aceh Jaya ini,
perusahaan inti yang ada telah memenuhi ketentuan-ketentuan di atas, tetapi
yang perlu diperhatikan lebih jauh adalah pada prakteknya, prinsip kerja
sama usaha yang didasarkan pada kesejajaran kedudukan bagi pihak yang
bermitra ternyata sulit terpenuhi. Dalam kondisi demikian peran pemerintah
Kabupaten Aceh Jaya sangat diperlukan untuk menjadi fasilitator yang baik.
Tujuan prioritas lain yang termaktub dalam Permentan tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yaitu untuk menjamin keberlanjutan
usaha perkebunan. Dalam perjanjian kemitraan usaha perkebunan antara PT.
Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya dipandang
mampu untuk memberikan penjaminan keberlangsungan usaha tersebut.
Keberlanjutan usaha dimaksud sudah direncanakan dalam perjanjian yakni
pembangunan kebun oleh Perusahaan inti yang akan dilakukan sesuai
standar teknis dan kualitas yang disepakati oleh para pihak. Disisi lain,
perolehan dana pembangunan perkebunan sebagai modal investasi diberikan
oleh lembaga pembiayaan yang dibantu oleh perusahaan yang sekaligus
perusahaan akan bertindak selaku avalis dengan Bank. Hal ini tentu sangat
membantu pekebun guna keberlanjutan usahanya.
Pasal 23 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian Nomor
26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan, mengindikasikan kemitraan perkebunan diharapkan mampu
menjamin terbentuknya harga pasar yang wajar. Dalam Perjanjian kemitraan
usaha perkebunan antara PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di
Kabupaten Aceh Jaya usaha membentuk harga pasar yang wajar sudah
diimplementasikan. Hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 6 ayat (1)
Perjanjian para pihak yang menyebutkan harga penjualan TBS ditetapkan
secara berkala oleh Pemerintah c.q Dinas Kehutanan dan Perkebunan
disesuaikan dengan harga pasar yang mengacu pada Harga Dasar Satuan Jual
TBS.
M u h a m m a d M i l s a | 10

Dalam Pasal 10 Keputusan Menteri Pertanian Nomor


940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dan
Pasal 23 ayat (2) Peraturan Menteri Pertanian Nomor
26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan, mengatur mengenai isi perjanjian yang secara minimum harus
dimuat dalam perjanjian pola kemitraan. Perjanjian kemitraan usaha
perkebunan antara PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten
Aceh Jaya secara umum sudah mengimplementasikan Permentan dan
Kepmentan tersebut walaupun belum dipenuhi secara maksimal. Namun,
Permentan dan Kepmentan juga tidak menjelaskan secara rinci mengenai
hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan kemitraan pola inti plasma,
hal ini menunjukkan kelemahan dari perangkat produk hukum pemerintah
dibidang perkebunan.
Pasal 14 Keputusan Menteri Pertanian Nomor
940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian
mengatur mengenai kedudukan perusahaan mitra dalam melakukan
pembinaan kepada mitra usahanya. Dalam pasal tersebut menerangkan
pembinaan oleh Perusahaan Mitra dilakukan dalam rangka pelaksanaan
kemitraan yang meliputi peningkatan pengetahuan dan kewirausahaan
kelompok mitra, membantu mencarikan fasilitas permodalan yang layak,
mengadakan penelitian, pengembangan dan penyaluran teknologi tepat guna
dan melakukan konsultasi dan temu usaha.
Dalam perjanjian kemitraan usaha perkebunan antara PT. Boswa
Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya secara umum
sudah mengimplementasikan Kepmentan tersebut walaupun belum
dilakukan secara maksimal. Salah satunya bentuk pembinaan yang dilakukan
yakni sebagaimana ditulis pada pasal 3 perjanjian para pihak, yang
menyebutkan Pihak Perusahaan memberikan komitmen dengan upaya
terbaik kepada Bank terhadap kewajiban masyarakat untuk melunasi fasilitas
pinjaman.
Notaris merupakan perjabat umum untuk membuat suatu dokumen
berupa akta notaris dibidang hukum perdata. Oleh karena Notaris
M u h a m m a d M i l s a | 11

menjalankan sebagian kekuasaan Negara sebagaimana yang telah dimuat


dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Jabatan atas kewenangan publik ini merupakan dasar dari pekerjaan Notaris
yang bidang hukumnya berada dalam konteks hukum privat. Dalam
kehidupan masyarakat, Notaris muncul sebagai sosok yang mempunyai
kewenangan publik, penyuluh dan pemberi nasihat.
Demikian halnya dalam kemitraan usaha perkebunan yang dilakukan
antara PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya,
semestinya harus dibuat dalam bentuk akte otentik untuk lebih memberikan
kepastian hukum bagi para pihak. Hal ini juga diperkuat dengan
diberikannya peluang oleh Pemerintah bahwa kemitraan usaha dapat dibuat
dalam bentuk akte Notaris sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Sesuai
dengan tugas dan kewenangannya, Notaris dapat melibatkan diri harus
dimuat dalam suatu perjanjian serta mengenai mekanisme penyelesaian
perselisihan apabila terjadinya sengketa dikemudian hari.
Secara yuridis, pemerintah telah memberikan pedoman pelaksanaan
kemitraan sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang meliputi: 6
a.Penyediaan dan penyiapan lahan; b.Penyediaan sarana produksi;
c.Pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha; d.Perolehan,
penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan; e.Pembiayaan;
f.Pemasaran; g.Penjaminan; h.Pemberian informasi; i.Pemberian bantuan
lain yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktifitas dan
wawasan usaha.
Prinsip kerjasama usaha yang telah dilakukan antara perusahaan
dengan masyarakat yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah dalam
prakteknya. Perusahaan inti sebagai pihak yang mempunyai posisi yang
lebih kuat dibandingkan masyarakat yang cenderung punya nilai tawar yang
lebih rendah. Termasuk dalam hal penentuan isi perjanjian yang mempunyai

6
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah, Pasal 27.
M u h a m m a d M i l s a | 12

kewenangan lebih tinggi sebagai perusahaan pemodal atau pembina. Pada


posisi yang kurang seimbang tersebut maka potensi masyarakat sebagai
petani untuk tereksploitasi oleh perusahaan inti memberikan peluang yang
sangat besar. Peran pemerintah dalam hal ini sangatlah diperlukan sebagai
fasilitator. Dalam pelaksanaan kemitraan usaha, pemerintah juga
mengharuskan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Hal ini telah diatur
dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan yang menyebutkan bahwa: 7
Usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar yang telah bersepakat
untuk bermitra, membuat perjanjian tertulis dalam bahasa Indonesia dan atau
bahasa yang disepakati dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia.
Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa akta
dibawah tangan atau akta notaris.
Peran pemerintah dalam membantu dan memfasilitasi pelaksanaan
kemitraan bagi masyarakat telah tertuang dalam Pasal 19 yang
menyebutkan:8
³0HQWHUL DWDX 0HQWHUL WHNQLV PHPEHULNDQ ELPELQJDQ DWDX EDQWXDQ
lainnya yang diperlukan usaha kecil bagi terseOHQJJDUDQ\D NHPLWUDDQ´
Selanjutnya dalam Pasal 12 Keputusan Menteri Pertanian Nomor
940/kpts/OT.210/10/1997 menyebutkan bahwa: 9
Pembinaan oleh Direktur Jenderal lingkup Pertanian, Kantor
Wilayah, Dinas, dan Instansi pembina teknis lainnya bersama Lembaga
Konsultasi Pelayanan, Agribisnis dan Perusahaan Mitra bertujuan untuk
menyiapkan Kelompok Mitra agar siap dan mampu melakukan kemitraan.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97 tentang
Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dan Pasal 23 Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan
Usaha Perkebunan, mewajibkan bagi Perusahaan mitra yang akan
melakukan kemitraan usaha dengan kelompok mitra untuk melakukan

7
Op. cit. Pasal 18.
8
Op. cit. Pasal 19.
9
Op. cit. Pasal 12.
M u h a m m a d M i l s a | 13

pembinaan. Namun Kepmentan dan Permentan tidak merinci dengan jelas


mengenai pembinaan dan pengembangan usaha seperti apa dan bagaimana
yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan mitra.
Demikian halnya dengan perjanjian kemitraan usaha perkebunan
antara PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya,
sebelum melakukan kemitraan, pihak mitra yaitu pekebun yang memiliki
tanah diberikan bimbingan awal dalam bentuk sosialisasi mengenai
kemitraan yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan dan
Perkebunan maka pembinaan dan pengembangan usaha yang dimaksud
terbagi dalam 2 (dua) tahapan yaitu: 10
1. Tahap Pra Perjanjian
Tahapan utama yang ditempuh oleh Pihak Perusahaan Inti maupun
Masyarakat yaitu melakukan negosiasi baik mengenai mekanisme kerja
sama, manajemennya, permodalan, jaminan, penyelesaiaan perselisihan serta
mengenai hal-hal lain yang dianggap perlu. Pada tahap ini para pihak secara
terbuka menyatakan kehendaknya mengenai kemitraan perkebunan di atas
lahan yang dimiliki oleh Masyarakat sebagai Petani Plasma. Pemerintah
Kabupaten dalam hal ini berindak selaku fasilitator perjanjian kemitraan
antara para pihak yang kemudian ditandantanganinnya perjanjian oleh kedua
belah pihak serta diketahui oleh Bupati dan Kepala Dinas terkait yang
bertindak selaku fasilitator dan penjamin kemitraan.
2. Tahap Pelaksanaan Perjanjian
a. Periode Pertama
Pada tahap ini (pra-konversi) para pekebun peserta belum dibebankan
dan belum diwajibkan untuk membayar angsuran kredit. Pada tahap ini pula
Pemerintah Kabupaten mulai membentuk dan membina kelompok tani
dalam rangka persiapan menuju kepada tahapan selanjutnya.
b. Periode Kedua

10
Wawancara dengan Mukhtar, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Aceh Jaya, 21 Mei 2013.
M u h a m m a d M i l s a | 14

Pada tahap ini seluruh kegiatan pengembangan usaha merupakan


tanggung jawab dari perusahaan inti. Dalam tahap ini juga manajemen hasil
produksi dilakukan oleh perusahaan inti baik untuk pembayaran kredit
kepada bank, bagi hasil kepada pekebun peserta, biaya perawatan dan
pemeliharaan kebun sampai pada manajemen fee bagi perusahaan inti
tersebut yang tentu dilakukan dengan metode perhitungan manajemen yang
baik yang akan disepakati para pihak.
Dalam mekanisme pelaksanaan kemitraan usaha, Pemerintah
melakukan pengawasan dan pengendalian yang bertujuan untuk
pendampingan usaha hingga mampu berproduksi secara berkelanjutan.
Adanya perangkat regulasi yang kuat di bidang perkebunan setidaknya dapat
memberikan perlindungan hukum secara preventif dan represif, terutama
untuk perkebunan yang berada di daerah-daerah yang tidak terjangkau
dengan pengawasan pemerintah pusat. Seperti halnya di Kabupaten Aceh
Jaya, untuk dapat menciptakan keberhasilan usaha perkebunan, diperlukan
upaya pemerintah daerah untuk membentuk aturan-aturan yang akan
mengikat bagi para pihak yang melakukan kemitraan serta dapat melindungi
kepentingan masyarakat rata-rata yang kurang memiliki pendidikan.
Namun pada kenyataannya, Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya belum
mempunyai perangkat perundang-undangan yang dapat memberikan sanksi
bagi perusahaan-perusahaan inti yang tidak menepati isi perjanjian. Oleh
karenanya Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya pada tahapan ini harus berperan
aktif dalam melakukan pengawasan serta evaluasi secara berkala terkait
mengenai pengelolaan perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan inti yaitu
PT. Boswa Megalopolis.
Dalam rangka keseimbangan perkembangan perkebunan yang
semakin pesat, Pemerintah melalui Permentan Nomor
24/Permentan/OT.140/2/2013 telah mengatur mengenai Pedoman Penetapan
Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Di
Kabupaten Aceh Jaya. Kebijakan penetapan harga TBS produksi dari lahan
milik pekebun plasma di Kabupaten Aceh Jaya dibentuk secara berkala oleh
Pemerintah Daerah c.q Dinas Kehutanan dan Perkebunan sebagaimana
M u h a m m a d M i l s a | 15

tercantum dalam perjanjian yang dibuat Para Pihak. Dinas dimaksud dalam
menetapkan standar harga juga merujuk pada Permentan tesebut. Dengan
demikian Pihak Perusahaan tidak serta merta dapat membeli TBS dengan
standar harga yang dibuat sepihak.
Terkait dengan perjanjian pola kemitraan inti-plasma di Kabupaten
Aceh Jaya, guna adanya kepastian bagi para pihak pada perjanjian kemitraan
antara PT. Boswa Megalopolis dengan masyarakat para pihak mengatur
mengenai pola bagi hasil dengan sistem manajemen fee yang berhak
diperoleh oleh pihak perusahaan pada penjualan Tandan Buah Segar (TBS)
dalam setiap pemanenan. Sedangkan mengenai prediksi terhadap jumlah
hasil produksi yang dapat diperhitungkan disesuaikan dengan kondisi
dilapangan. Disisi lain, hal ini dikhawatirkan menjadi factor penyebab
timbulnya kesalahpahaman dalam pembagian hasil keuntungan. Setidaknya
ada pihak ketiga yang akan melakukan pengawasan pada saat penjualan TBS
tersebut sehingga sesuai antara jumlah penjualan dengan perhitungan
pendapatannya.
Menurut Harimurti Subanar dalam bukunya yang berjudul
manajemen usaha kecil, kondisi force majeur mengandung risiko yang tidak
terduga-duga. Sehingga apabila risiko tersebut datang, pengusaha tidak
sempat untuk melakukan persiapan dan upaya lain, risiko tersebut dapat
berupa antara lain yaitu; mesin rusak atau terbakar tanpa sebab, gempa bumi
besar di sekitar lokasi usaha, kecelakaan individu atau musibah yang
menimpa karyawan, pemilik sakit atau meninggal, adanya kegiatan tertentu
yang merugikan bagi kelangsungan hidup perusahaan misalnya penutupan
ruas jalan sebagai akibat adanya perbaikan jalan, jembatan, kegiatan lain
yang menuju ke perusahaan. 11
Dalam perjanjian kemitraan perkebunan antara PT. Boswa
Megalopolis dengan Masyarakat, tidak mengatur mengenai keadaan
memaksa atau force majeur. Namun para pihak sepakat apabila terjadinya

11
Harimurti Subanar, Manajemen Usaha Kecil, (Yogyakarta: BPFE, 1998), hlm. 89
M u h a m m a d M i l s a | 16

hal demikian akan diselesaikan secara musyawarah. Itikad baik kedua belah
pihak dalam menyelesaikan persoalan demikian sangatlah dibutuhkan,
mengingat program yang telah lama dicanangkan ini dapat berhasil
hendaknya dan dapat menjadi usaha yang berkelanjutan.
Musyawarah merupakan solusi utama dalam menyelesaikan konflik
kemitraan yang telah dituangkan dalam perjanjian kemitraan antara
Perusahaan PT. Boswa Megalopolis dengan Masyarakat. Kemudian para
pihak sepakat bahwa apabila dalam kurun waktu tertentu tidak selesai,
Pemerintah Kabupaten akan menjadi Mediator dalam persoalan tersebut.
Kepmentan tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dan
Permentan tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan memerintahkan
untuk diatur mengenai penyelesaian perselisihan para pihak dalam perjanjian
kemitraan usaha perkebunan. Hanya saja Keputusan dan Peraturan tersebut
tidak memberikan solusi yang dapat memberikan jaminan perlindungan
hukum kepada para pihak apabila terjadinya sengketa yang sulit untuk
diselesaikan selain harus menempuh jalur litigasi.
Penerapan kebijakan yang dilakukan oleh PT. Boswa Megalopolis
dengan Mayarakat dalam pola kemitraan di Kabupaten Aceh Jaya secara
umum dipandang telah sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 yang
menyebutkan:12
³0HQWHUL DWDX 0HQWHUL WHNQLV PHPEHULNDQ ELPELQJDQ DWDX EDQWXDQ
lainnya yang diperlukan usaha kecil bagi terselenggaranya kemLWUDDQ´
Terkait dengan kelompok mitra yang akan melakukan kemitraan
usaha, seharusnya adalah kelompok yang telah dibina terlebih dahulu oleh
pemerintah daerah. Kesiapan kelompok mitra juga dipandang perlu
diperhatikan oleh pemerintah daerah agar dapat terbentuknya kelompok yang
siap bermitra dan mempunyai manajemen yang baik. Sesuai dengan

12
Ibid, Pasal 3.
M u h a m m a d M i l s a | 17

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/1997 pada Pasal 9


ayat (2) menyebutkan: 13
³.HORPSRN PLWUD \DQJ DNDQ PHQMDGL PLWUD XVDKD GLXWDPDNDQ WHODK
dibina oleh SHPHULQWDK GDHUDK ´
Selain itu pada pra pemberian izin perkebunan kepada perusahaan
diperlukan upaya dari pemerintah dalam membuat persyaratan yang konkrit
terhadap pelaksanaan kemitraan. Pemerintah telah mendelegasikan kepada
daerah yang mempunyai otonomi khusus seperti Provinsi Aceh untuk
mengatur secara khusus mengenai pedoman perizian usaha perkebunan. Hal
tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
26/permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
pada Pasal 43 menyebutkan bahwa: 14
³3HODNVDQDDQ SHOD\DQDQ SHUL]LQDQ XVDKD SHUNHEXQDQ GL 3URYLQVL
Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua dengan otonomi khusus
dilakukan oleh provinsi sesuai peraturan perundang-XQGDQJDQ ´

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


1. KESIMPULAN
a. Pola Kemitraan perkebunan diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan dan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah. Selanjutya sebagai aturan pelaksananya
masih digunakan PP Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, serta
Kepmentan tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dan Permentan
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Pengaturan kemitraan
dalam rangka menjamin keberlanjutan usaha yang sesuai dengan sifat
dan tujuan usaha masih memerlukan pengaturan yang lebih kompleks.
Kelemahan dan kekurangan materi kemitraan yang terdapat dalam
literatur peraturan perundang-undangan yang telah ada, dikhawatirkan
akan menimbulkan kondisi ketidakstabilan yang disebabkan lemahnya
aturan yang bersifat teknis salah satunya.

13
Op.cit, Pasal 9 ayat (2).
14
Op.cit. Pasal 43.
M u h a m m a d M i l s a | 18

b. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97 tentang


Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan secara umum diimplementasikan dalam Perjanjian pola
kemitraan perkebunan inti-plasma antara PT. Boswa Megalopolis dengan
Masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya. Namun, terdapat kewajiban
perusahaan sebagai perusahaan mitra untuk memberikan pembinaan
kepada mitranya yaitu masyarakat yang belum dipenuhi. Dari sisi lain,
juga terdapat kelemahan dari Kepmentan dan Permentan dimaksud yang
tidak secara rinci memberikan pedoman dalam melakukan kemitraan dan
diperbolehkannya perjanjian dibuat dibawah tangan serta tidak diatur
secara rinci mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh
kedua belah pihak sebelum melaksanakan kemitraan.
c. Perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam Perjanjian pola
kemitraan usaha perkebunan inti-plasma di Kabupaten Aceh Jaya
dilakukan secara langsung melalui peraturan perundang-undangan
berupa pembinaan, pengawasan dan konsultasi agribisnis dan
perlindungan secara tidak langsung melalui perjanjian kemitraan. Peran
Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Jaya dalam memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat dalam pola kemitraan
perkebunan adalah hanya sebagai fasilitator kemitraan dan pembinaan
kepada masyarakat yang bertindak selaku petani, namun pembinaan dan
pengawasan tersebut pun juga belum dilakukan secara maksimal.
2. SARAN
a. Disarankan kepada pihak Pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian
Republik Indonesia untuk melakukan revisi substansi materi terhadap
Kepmentan Nomor 940/kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan
Usaha Pertanian dan Permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang belum mengatur
secara tegas mengenai kemitraan usaha, terutama mengenai perjanjian
yang harus dibuat dalam akta otentik dan standarisasi kebun dalam
kemitraan usaha inti-plasma.
M u h a m m a d M i l s a | 19

b. Disarankan kepada pihak perusahaan untuk eksistensinya melakukan


pembinaan kepada masyarakat selaku kelompok mitra yang bertujuan
untuk keberhasilan pengelolaan perkebunan guna peningkatan nilai
tambah dan kebrerlanjutan usaha dan perlunya dibuat addendum
perjanjian untuk mengatur secara rinci mengenai hak dan kewajiban para
pihak terutama mengenai pembagian keuntungan, pengelolaan produksi
perkebunan dan pengawasan dalam penjualan TBS serta penanganan
keadaan force majour.
c. Disarankan kepada pihak Pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya untuk
berperan aktif sebagai Fasilitator Kemitraan, melakukan pembinaan dan
pengawasan secara berkala yang berorientasi pada perlindungan hukum
dan kepastian hukum bagi masyarakat yang cenderung mempunyai
kelemahan dalam pemahaman hukum. itu, juga perlu dibuat regulasi
dalam bentuk Perda yang mengatur mengenai pengelolaan Perkebunan
Pola Kemitraan Inti-Plasma mengingat pesatnya perkembangan
perkebunan rakyat selama ini.

V. DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku.
Ahmad, Rafiq, Perkebunan dari NES ke PI, Cetakan ke 1, Jakarta: Penebar
Swadaya, 1998

Hafsah, Jafar Mohammad, Kemitraan Usaha, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,


1999

Hartono, Sri Redjeki, Bentuk-bentuk Kerja Sama dalam Dunia Usaha,


Semarang: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, 1984

Linton, Ian, Kemitraan, Jakarta: Harlimy, 1997

Pahan, I, Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu


hingga Hilir, Jakarta: Penebar Swadaya, 2006

Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1984

Ubaidillah, Dampak Pelaksanaan Kemitraan Pendapatan Petani Mitra,


Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2012
M u h a m m a d M i l s a | 20

B. Peraturan Perundang-undangan.

Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan, Kelapa Sawit, Karet,


Kakao, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian,
Jakarta, Januari 2007

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 940/KPTS/OT.210/10/97 tentang


Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang


Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan


Menengah.

C. Jurnal dan Tesis

/DOD 0 .RORSDNLQJ ³.HPLWUDDQ GDODP 3HQJHPEDQJDQ 8VDKD (NRQRPL 6NDOD


.HFLO *XUHP´ 0DNDODK /RNDNDU\D 1DVLRQDO 3HQJHPEDQJDQ
Ekonomi Daerah Melalui Sinergitas Pengembangan Kawasan,

$JXV $GL 'HZDQWR ³3HUMDQMLDQ .HPLWUDDQ GHQJDQ 3ROD ,QWL-Plasma pada


Peternak Ayam Potong/Broiler di Pemerintah Kabupaten Grobogan
-DZD 7HQJDK´ 7HVLV 3URJUDP 3DVFD 6DUMDQD 8QLYHUVLWDV
Dipenogoro, 2005

D. Internet.

http://kelapasawituntukbumi.blogspot.com/2011/11/managemen-pengelolaan-
kebun-plasma.html, diakses 15 April 2013

http://mariotedja.blogspot.com/2012/12/teori-kepastian-dalam-prespektif-
hukum.html, diakses 3 Mei 2013

You might also like