Sistem Peradilan Pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Indonesia
Sistem Peradilan Pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Indonesia
NEGARA DI INDONESIA
Ikhlazul Zuamal Mustofa
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono No. 169 Malang
Abstract
Abstract
Dalam penjelasan umum UUD NRI 1945 dikatakan bahwa negara Indonesia berdasar
atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)1. Di
Indonesia PTUN merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang secara struktur
dan organisasi berada di bawah Mahkamah Agung dan tidak berdiri sendiri seperti
pada negara-negara sistem Civil Law 2. Hal ini dapat dilihat dalam konstitusi kita UUD
NRI 1945 Pasal 24 :
1
UUD NRI Tahun 1945.
2
Umar Dani, Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Indonesia:
Sistem Unity of Jurisdiction Atau Duality Of Jurisdiction? Sebuah Studi Tentang
Struktur Dan Karakteristiknya. Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 7, Jakarta,
2018, hlm 407.
1
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dankeadilan
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Agung.
Peradilan meupakan suatu proses pemberian keadilan di dalam Pengadilan. Pada
artikel ini berfokus pada sistem acara yang ada pada Pengadilan Tata Usah di
Indonesia, kemudian pokok pembahasan disini adalah pada kedudukannya,
kewenangan atau kompetensinya, asas-asasnya, objek-objeknya, sumber hukum
beracaranya, prosedur pengajuan perkaranya, serta macam-macam bentuk beracara
dalam Pengadilan Tata Usaha Negara indonesia. Tujuan dari penulisan artikel ini
diharapkan dapat memberi pemahaman, menambah wawasan maupun literatur
maupun sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi para pembaca. Penelitian ini
menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu Penelitian Hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan Pustaka atau data sekunder belaka atau disebut
dengan Penelitian Hukum Kepustakaan. Penelitian Yuridis Normatif adalah penelitian
yang mengkaji pokok permasalahan berdasarkan kaidah hukum dan norma hukum
yang ada didalam hukum positif.
Kata Kunci : Sistem, Peradilan, PTUN
Latar Belakang
(2) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.” 3
3
UUD NRI Tahun 1945
4
Enrico, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 25.
2
Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu proses pemberian atau diberikannya
keadilan yang timbul dari sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Rumusan Masalah
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang dipergunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif5, yaitu
Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan Pustaka atau
data sekunder belaka atau disebut dengan Penelitian Hukum Kepustakaan.
Penelitian Yuridis Normatif adalah penelitian yang mengkaji pokok
permasalahan berdasarkan kaidah hukum dan norma hukum yang ada
didalam hukum positif.
2. Pendekatan Penelitian
Menggunakan pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan yang
dalam penelitiannya menggunakan bahan hukum berupa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan focus dan tema dari suatu
penelitian. 6.
Pembahasan
5
Soeryono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (suatu Tinjauan Singkat), C.V Rajawali, Jakarta,
1990).
6
S Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah) Usulan Tesis, Desain Penelitian, Hipotesis, Validitas,
Sampling, Populasi, Observasi, Wawancara, Angket, PT. Bumi Aksara, Jakarta, Cetakan Ke-4, 2011.
hlm 16.
7
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Sistem”, dalam (https://kbbi.web.id/sistem).
3
proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas
memeriksa, memutus dan mengadili perkara. 8
Sehingga system peradilan adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitan dalam proses memeriksa, memutus, dan mengadili suatu perkara yang
dalam hal ini pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Keudukan Peratun sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
merupakan sebuah cabang (lingkungan) peradilan yang berdiri sendiri, terpisah
dari Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Agama. Peratun
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Kewenangan peratun adalah memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan sengketa TUN sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan. 9 sengketa yang dimaksud adalah sengketa antara warga masyarakat
dengan pejabat pemerintahan sebagai akaibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara termasuk sengketa kepegawaian, serta inti dari fungsi PTUN
adalah Lembaga yang disediakan untuk menyelesaikan sengketa antara
pemerintah dan warga masyarakat dalam bidang hukum public10.
Kekhususan Peratun sebaiknya dilihat pada aspek jenis sengketa yang
diadili (objectum litis) dan pihak yang berperkara (subjectum litis) yakni
sengketa TUN berada dalam ranah hukum administrasi dan pihak yang
berperkara secara prinsip adalah antara warga masyarakat dengan administrasi
pemerintahan (citizen versus government)11. Sehingga secara normative yang
dimaksud dengan pengadilan khusus di lingkungan Peratun adalah Pengadilan
Pajak12.
B. Kompetensi PTUN
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan Tata Usaha Negara
untuk mengadili suatu perkara, dibedakan menjadi : 13
8
Klinik Hukum Online, “Perbedaan Peradilan dengan Pengadilan”, dalam
(https://www.hukumonline.com/klinik/bacagrafis/lt57e20b90bdb53/perbedaan-peradilan-
dengan-pengadilan/).
9
Enrico, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm. 25.
10
Umar Dani, Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Indonesia:
Sistem Unity of Jurisdiction Atau Duality Of Jurisdiction? Sebuah Studi Tentang
Struktur Dan Karakteristiknya. Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 7, Jakarta,
2018, hlm 420.
11
Ibid, hlm 25.
12
Ibid, hlm 26.
13
Yodi, Martono, 2007, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia (online), https://ptun-jakarta.go.id/wp-
content/uploads/file/berita/daftar_artikel/Kompetensi%20Pengadilan%20Tata%20Usaha%20
Negara%20Dalam%20Sistem%20Peradilan%20Di%20Indonesia.pdf, (7 November 2020)
4
- Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah
hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan
berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang
bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum
yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.
+Dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004
menyatakan :
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota
Kabupaten/Kota, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota
Provinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
+Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 diatur
sebagai berikut: Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada
Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan tergugat.
(1) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum
Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara.
(2) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah
hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat
diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada
Pengadilan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara
yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah,
gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
(4) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar
negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
5
(5) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di
luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat
kedudukan Tergugat.
- Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata
Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau
pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara
adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 adalah Keputusan
tata usaha negara.
Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang
timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum
Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No.
9 Tahun 2004).
14
Enrico, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm. 34.
15
Fence, M, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, reviva Cendekia, Gorontalo, 2014, hlm 42.
6
2. Dalam proses pemeriksaan dipersidangan, Peranan Hakim Aktif. Karena
hakim dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil. Dapat dilihat pada
pasal 63 ayat (2) butir a, b, Pasal 80 ayat (1), pasal 95 ayat (1), dan Pasal
103 ayat (1) UU Peratun.
3. Dalam sengketa TUN kedudukan antara Penggugat dengan Tergugat tidak
seimbang. Dikarenakan Pengguggat sebagai orang atau badan hukum
perdata diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat
selaku pemegang kekuasaan public.
4. Asas pembuktian yang mengarah pada system Pembuktian Bebas terbatas
(vrij bewijs). Pengertian bebas terbatas karena menurut system hukum
Peratun, Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian, beserta penilaian pembuktian. Alat bukti dalam pembuktian
terbatas : surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan
para pihak, dan pengetahuan hakim.
5. Gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat. Hal ini sebagai
konsekuensi berlakunya asas praesumptio iustae causa terhadap suatu
KTUN, yang maknanya adalah suatu KTUN harus selalu dianggap benar
sampai dengan dibuktikan sebaliknya.
6. Putusan Hakim tidak boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan
Penggugat), akan tetapi reformation in peius dimungkinkna. reformation
in peius adalah suatu dictum putusan yang justru tidak menguntungkan
Penggugat
7. Putusan Pengadilan bersifat erga omnes. Maksudanya Putusan Peratun
tidka hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa, akan tetapi berleku
juga bagi pihak-pihak yang terkait diluar pihak yang bersengketa.
8. Seseorang atau badan hukum perdata untuk dapat mengajukan gugatan
harus mempunyai kepentingan yang dirugikan sebagai akibat terbitnya
suatu KTUN.
9. Dalam proses pemeriksaan gugatan di PTUN dikenal beberapa tahapan,
yaitu tahap penelitian administrasi, tahap proses dismissal, tahap
pemeriksaan persiapan, dan tahap persidangan terbuka untuk umum.
10. Tidak mengenal putusan verstek, karena hakim bersifat aktif didalam
pemeriksaan persidangan untuk menemukan kebenaran materiil dengan
cara mencari bukti-bukti yang relevan didalam memutus perkaranya,
sehingga Hakim tetap dapat memutus perkaranya tanpa kehadiran Tergugat.
11. Tidak mengenal gugatan rekonpensi, karena objek gugatan dalam sengketa
TUN adalah KTUN diterbitkan oleh Tergugat berdasrkan wewenanng yang
7
ada padanya atau dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau
badan hukum perdata. 16
• Sumber hukum Formiil, adalah tempat atau sumber dari mana suatu
aturan memperoleh kekuatan hukum. 18
1. Bab III Undang-undang Peratun mulai dari passal 47 hingga Pasal
132
2. UU Administrasi Pemerintahan
3. UU Mahkamah Agung
4. UU Kekuasaan Kehakiman
5. UU keterbukaan Informasi Publik
6. UU Pelayanan Publik
7. UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
8. UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
9. UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana diubah
oleh UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
10. Dan UU Lain sebagainya
11. Perma no.2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelesaian Sengketa KIP
di Pengadilan
12. Perma No. 3 Tahun 2015 tentang Hakim Khusus Sengketa TUN
Pemilihan
16
Enrico, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm. 40.
17
Ibid, hlm. 57.
18
Ibid, hlm. 57.
8
13. Perma No.14 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam
Penyalahgunaan wewenang
14. Dan Perma Lain Sebagainya
15. Putusan MK No. 17/PUU-IX/2011
16. Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013
17. Dan Putusan MK Lain Sebagainya
18. Disamping keberadaan hukum positif tersebut, tentu tidak bisa
dikesampingkan adanya sumber PERATUN lainnya berupa
“peraturan internal” (interne regeling) yang berasal dan ditujukan
dalam rangka kepentingan internal pelaksanaan tugas dan fungsi
badan peradilan di lingkungan Peratun, yang biasa dituangkan
dalam bentuk Juklak, Juknis, Pedoman, Surat Edaran, dan
sebagainya
9
surat pendaftarannya pada Dirjen Administrasi Hukum Umum
(AHU) Kementeria Hukum dan HAM RI. UU Peraturn tidak cukup
memadai menjelaskan pengertian ‘badan hukum perdata’ sebagai
salah satu suhjek hukum yang dapat mengajukann gugatan di
Peratun 19.
Berdasarkan praktik di Peratun, badan hukum public dapat
bertindak sebagai penggugat manakala ia bertindak untuk
mempertahankan hak-hak keperdataannya. Dalam kegiatan
Rakernas Peratun Tahun 2007 disepakati manakala badan public
mengajukan gugatan terhadpa KTUN tentang Pencabutan Surat Izin
Penghunia (SIP) yang ditempati instansi pemerintah, atau
mengajukan terhadap KTUN yang berisi perintah bonhkar
bangunan milik instansi pemerintah, menagjukan gugatan terhadap
pembatalan sertifikat tanah milik instansi pemerintah, dsb. Dengan
pemahaman seperti ini badan hukum public dikonsepsikan dapat
bertindak sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU Peratun, artinya
Badan Hukum Publik dilihat bukan dalam kapasitasnya sebagai
bdan hukum ublik melainkan sebagai badan hukum perdata dan
sebagai wakil dari Badan Hukum Publik tersebut dipersidangan
adalah pimpinan (sebagai personifikasi) Badan Hukum Publik
tersebut20.
Lagi pula perkembangan hukum mutakhir di Peratun telah
mengakui secara normative kedudukan badan public sebagai pihak
penggugat dalam sengketa di Peratun, bukan dalam kapsitasnya
semata sebagai badan hukum perdata namun sebagai badan hukum
public. 21.
- Pihak ketiga yang berkepentingan
Dalam Pasal 83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan :
(1). Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang
berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang
diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan
mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat
masuk dalam sengketa tata usaha negara, dan bertindak
sebagai:
19
Ibid, hlm. 152.
20
Ibid, hlm. 153.
21
Ibid, hlm.154.
10
- pihak yang membela haknya, atau
- peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang
bersengketa.
(2). Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat l dapat
dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang
dicantumkan dalam berita acara.
(3). Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi
harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap
putusan akhir dalam pokok sengketa.
Pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum
perdata ikut serta dalam pemeriksaan perkara yang sedang berjalan
22
.
2. Pihak Tergugat
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 12, tergugat adalah badan atau pejabat
tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang
yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh
orang atau badan hukum perdata23.
22
Yodi, Martono, 2007, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia (online), https://ptun-jakarta.go.id/wp-
content/uploads/file/berita/daftar_artikel/Kompetensi%20Pengadilan%20Tata%20Usaha%20Negara
%20Dalam%20Sistem%20Peradilan%20Di%20Indonesia.pdf, (7 November 2020)
23
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
24
Yodi, Martono, 2007, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia (online), https://ptun-jakarta.go.id/wp-
content/uploads/file/berita/daftar_artikel/Kompetensi%20Pengadilan%20Tata%20Usaha%20Negara
%20Dalam%20Sistem%20Peradilan%20Di%20Indonesia.pdf, (7 November 2020)
11
F. Objek Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara
Obyek sengketa di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara
sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986
jo UU No. 9 Tahun 2004., yaitu : 25
- Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan tata usaha negara menurut pasal 1 angka 3 uu No. 5
Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 ialah Suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,
individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang
atau Badan Hukum Perdata.
- Keputusan tata usaha negara fiktif negatif
Diantaranya yaitu :
1. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara.
2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka
waktu sebagai mana ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau penjabat
tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak
mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak menentukanjangka waktu maka setelah
lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya
permohononan, badan atau penjabat tata usaha negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan.
25
Yodi, Martono, 2007, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia (online), https://ptun-jakarta.go.id/wp-
content/uploads/file/berita/daftar_artikel/Kompetensi%20Pengadilan%20Tata%20Usaha%20Negara
%20Dalam%20Sistem%20Peradilan%20Di%20Indonesia.pdf, (7 November 2020)
12
Keputusan fiktif negatif merupakan perluasan dari keputusan
tata usaha negara tertulis yang menjadi objek dalam sengketa
tata usaha negara.
26
Enrico, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm. 164.
27
Ibid, hlm 166.
28
Ibid, hlm 171.
13
Dalam SEMA Nomor : 2 Tahun 1991 dinyatakan bahwa bagi mereka yang
tidak dituju oleh suatu Keputusan tata usaha negara, yang merasa
kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya
dirugikan oleh Keputusan tata usaha negara yang bersangkutan. 29
29
Yodi, Martono, 2007, Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia (online), https://ptun-jakarta.go.id/wp-
content/uploads/file/berita/daftar_artikel/Kompetensi%20Pengadilan%20Tata%20Usaha%20Negara
%20Dalam%20Sistem%20Peradilan%20Di%20Indonesia.pdf, (7 November 2020)
30
Enrico, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm. 175.
14
pemeriksaan biasa. Jenis pemeriksaan lainnya seperti acara singkat, acara cepat,
dan acara-acara pemeriksana sectoral cenderung bersifat incidental31.
1. Acara singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat dilakukan untuk perkara perlawanan
atas penetapan dismissal Ketua Pengadilan dan dilaksanakan oleh Majelis
Hakim dalam siding yang tertutup untuk umum, terkecuali pembacaan
putusannya. Perlawanan yang diajukan oleh penggugat/perlawanan
terhadap penetapan dismissal tersebut pada dasarnya membantah alasan-
lasan yang digunakan oleh Ketua Pengadilan sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 62 ayat (1) huruf (a) s.d. € UU Peratun. Penggugat/pelawan
harus mampu membuktikan bahwa pertimbangan hukum Ketua Pengadilan
dalam Penetapan dismissal tersebut tidak tepat secara hukum. Tenggang
waktu mengajukan perlawanan adalah 14 hari sejak penetapan tersebut
diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Ketua
Pengadilan atau apabila para pihak tidak hadir dalam persidangan tersebut
maka tenggang waktu dihitung sejak pemberitahuan penetapan kepada para
pihak secara sah. UU Peratun tidak mengatur secara rinci bagaimana
pemeriksaan persidangan dengan acara singkat harus dilakukan32.
2. Acara Cepat
Dalam hal perkara telah dinyatakan lolos dismissal oleh Ketua PTUN,
sedangkan penggugat mengajukan permohonan agar dilakukan
Pemeriksaan dengan Acara Cepat dengan dasar adanya kepentingan
penggugat yang sangat mendesak atau adanay kegentingan yang memaksa,
maka Ketua PTUN dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah
menerima permohonan dimaksud harus mengeluarkan penetapan tentang
dikabulkan atau tidaknya permohonna tersebut. Jika permohonan tersebut
dikabulkan, maka Ketua PTUN menunjuk Hakim Tunggal yang akan
memeriksa perkaranya. Jika permohonan tersebut ditolak oleh Ketua
PTUN, maka tidak dibuatkan penetapan sendiri yang isisnya menolak
permohonan acara cepat, melainkan cukup dengan penetapan penunjukkan
Majelis Hakim yang akan memeriksa perkara tersebut dengan acara biasa.
Jika permohonan Acara Cepat dikabulkan, diikuti dengan keluarnya
penetapan Ketua PTUN tentang penunjukkann hakim tunggal, maka
selambatnya 7 (tujuh) hari, hakim tunggal segera menentukan hari
31
Ibid, hlm 218.
32
Ibid, hlm 219.
15
persidangan tanpa melalui pemeriksaan persiapan. Pada Putusan Acara
Cepat masih dapat diajukan upaya hukum selanjutnya ke jenjang
pemeriksaan peradilan yang lebih tinggi. UU Peratun tidak mengatur
mekanisme pemeriksaan atas putusan perkara cepat ditingkat banding atau
kasasi33.
3. Acara Biasa
Acara biasa dimulai dari pemeriksaan persiapan. Setelah pemeriksan
persiapan dan gugatan penggugat diperbaiki dan dianggap layak untuk
disidangkan, maka hakim menetapkan hari persidangan yang terbuka untuk
umum yang kemudian selanjutnya tahapan persidangan dimulai dari
pembacaan gugatan penggugat dan jawaban tergugat, replik dan duplik,
pembuktian, kesimpulan sampai dengan tahapan Pembacaan Putusan34.
Simpulan
33
Ibid, hlm 221.
34
Ibid, hlm 222.
16
Subjek didalam Peratun ada pihak penggugat diantaranya orang, bdan
hukum perdata serta badan hukum publik, pihak ketiga yang berkepentingan.
Serta ada pihak tergugat yaitu badan atau pejabat tata usaha negara. Objek
sengketanya adalah Keputusan tata usaha negara dan Keputusan fiktif negative.
Dalam mengajukan gugatan harus memperhatikan dasar hukum dalam
pengajuan gugatan, memperhatikan batas waktu dalam mengajukan gugatan.
Prosedur pendaftaran perkaran dalam Peratun terbagi dalam tiga fase yakni fase
pendaftaran, fase penelitian administrasi, dan fase registrasi.
Dalam beracara di Peratun terdapat tiga macam beracara diantaranya
ada acara singkat, acara cepat, dan acara biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Enrico, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Sinar Grafika,
2018).
Fence, M, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, reviva Cendekia,
Gorontalo, 2014.
Soeryono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (suatu Tinjauan Singkat),
C.V Rajawali, Jakarta, 1990).
Peraturan Perundang-undangan :
Junal :
17
Umar Dani, Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara Di
Indonesia: Sistem Unity of Jurisdiction Atau Duality Of Jurisdiction?
Sebuah Studi Tentang Struktur Dan Karakteristiknya. Jurnal Hukum
dan Peradilan, Volume 7, Jakarta, 2018, hlm 407,
https:jurnalhukumdanperadilan.org, (7 November 2020)
Internet :
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Sistem”, dalam
(https://kbbi.web.id/sistem). diakses pada 7 November 2020.
Klinik Hukum Online, “Perbedaan Peradilan dengan Pengadilan”, dalam
(https://www.hukumonline.com/klinik/bacagrafis/lt57e20b90bdb53/perbe
daan-peradilan-dengan-pengadilan/). diakses pada 7 November 2020.
18