NU dalam Dinamika Politik Lokal
NU DALAM DINAMIKA POLITIK LOKAL:
Studi Kasus pada PEMILUKADA di Kabupaten Sumenep
Tahun 2010
Nurfaizin
Kementerian Tenaga Kerja
Alamat Email: [email protected]
Abstract
Nahdlatul Ulama (NU) plays an important role in various
aspects of Indonesians’ life. In a political sphere, NU had became
a respected political party. Eventually, NU decided to withdraw
from politics through the declaration of khittah, which was
mandated by the National Alim Ulama NU meeting at Pondok
Pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, East Java
on 13-16 Rabi’ul Awwal 1404 H / 18-21 December 1983 M.
However, this declaration is not immediately release its’ cadres
not to plunge in the political stage. Nowadays, many NU cadres
occupying important positions both in local and the central
government. Therefore, it is interesting to observe how local elite
of NU in Sumenep during the local election contribute to shape
political dynamics in the region. This research using qualitative
research method by employing interpretive and naturalistic
approaches to the subject of study. The key informants for this
research are those who actively engage in politics, especially the
elites of the NU and their followers. This study found that there
are continuity relations between the NU elites who take part in
practical political stage and those who are behind the political
stage. In addition, the battle of several candidates for government
position among the local elites of NU pushed the blessing of kyai
away from the significant factor of voters to decide whom they
had chosen in the last election.
Key words: NU, Local Election, Kyai, and Politics.
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 51
Nurfaizin
Intisari
NU (Nadlatul Ulama) berperan penting dalam berbagai
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam ranah politik,
NU pernah menjadi sebuah partai besar yang disegani.
Akhirnya ia memilih keluar dari lingkaran percaturan
pilitik praktis melalui khittah NU 1926 yang dipuruskan
melalui musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Pondok
Pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa
Timur pada tanggal 13-16 Robi’ul Awwal 1404 H/18-21
Desember 1983 M. Sejak saat itu NU dan politik terpisah
secara praktis. Namun demikian tidak dengan serta
merta melepas para kader-kadernya untuk tidak terjun
di panggung politik. Saat ini telah banyak kader NU
menduduki posisi penting baik di pemerintahan daerah
hingga pemerintahan pusat. Hal tersebut tentunya tidak
terlepas dari background rumah asal mereka sebagai
golongan nahdliyin. Begitu pula yang terjadi di daerah
Kabupaten Sumenep. Sejak pemilihan umum secara
langsung tidak sedikit kader NU duduk di pemerintahan
lokal sebgai DPRD ataupun kepala pemerintah daerah
(bupati). Yang menjadi persoalan utama di sini ialah
tidak hanya mereka yang menang merebut kuasa, namun
lebih pada bagaimana pengaruh elite lokal NU dalam
dinamika Pemilukada di Kabupaten Sumenep terutama
pada tahun 2010. Dalam penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif, yang memfokuskan diri
pada perhatian dengan berbagai metode mencakup
pendekatan interpretatif dan naturalistik terhadap subjek
kajiannya. Sedangkan lokasi penelitian ialah di Kabupaten
Sumenep, Jawa Timur. Sasaran penelitian masyarakat
Sumenep dan elite NU Kabupaten Sumenep. Walau
penelitian berlangsung selama satu bulan penelitian
termasuk prelimenary research. Dalam penelitian ini
ditemukan beberapa rangkaian kesinambungan antara
elite NU yang berkiprah di panggung politik praktis dan
mereka yang berada di belakang panggung. Selain itu
pertarungan beberapa calon kepala pemerintahan yang
nota bane adalah rata-rata sebagai warga nahdliyin tidak
menjadikan pengaruh atau restu kiai sebagai alasan utama
pemilih pada Pemilukada tahun 2010 memilih calon yang
dikehendaki.
Kata Kunci: NU, Pemilukada, Pengaruh, Kiai, Sumenep
52 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
Pendahuluan
NU sejak kelahirannya tidak memposisikan diri sebagai partai
politik, melainkan sebagai organisasi sosial keagamaan. NU lebih
menjadi kekuatan politik kebangsaan daripada politik praktis.1
Walaupun dalam perjalanannya NU sempat juga menjadi Partai Politik
yakni pada tahun 1952 setelah menyatakan keluar dari Masyumi dan
mendirikan Partai NU.NU adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia
dengan jumlah pengikut 45 juta jiwa.2 Tidak heran, dengan jumlah
pengikut sebanyak itu di setiap menjelang pemilu, NU bagai madu di
taman yang siap dihisap oleh para kumbang. NU seperti rumah besar
yang menyediakan banyak madu. Kunjungan Capres dan Cawapres
tidak sekadar silaturrahmi, tetapi sekaligus ajang “tawar menawar”
politik, baik untuk jabatan menteri, dirjen, irjen, maupun yang lainnya.
Terlebih lagi warga NU itu dikenal ramah, terbuka, toleran, mudah
memaafkan, dan mudah diarahkan oleh tokoh lokal.3
Pada pemilu presiden tahun 2009 lalu, tepatnya di Jawa Timur,
pengurus wilayah NU Jawa Timur mengeluarkan surat keputusan
berupa edaran ke seluruh cabang-cabang di seluruh wilayah tersebut
untuk mendukung salah satu pasangan Capres dan Cawapres yaitu
Jusuf Kalla dan Wiranto. Dalam hal ini, NU sudah terlibat dalam politik
praktis yang tentunya bertolak belakang dengan semangat khittah
NU 1926 yang menyatakan NU sebagai jamiiyah secara organisatoris
tidak terikat dengan organisas politik dan organisasi kemasyarakatan
manapun juga.4Fenomena dukung-mendukung salah satu calon bukan
hanya pada pemilu presiden dan legislatif tapi juga pada Pemilukada
baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, seperti halnya
di salah satu kabupaten paling ujung timur di pulau Madura yaitu
Sumenep yang penduduknya berjumlah 1.136.000 jiwa.5
Kiai dalam masyarakat Madura sangat vital perannya dalam
berbagai sendi kehidupan. Ini bisa dilihat dari ajaran yang selama ini
dipegang teguh orang Madura, yang berbunyi bhuppa’, bhabbhu, ghuru,
rato (bapak, ibu, guru/kiai dan raja/pemerintah). Ketaatan kepada
orang tua (bapak/ibu) menjadi ketaatan yang paling tinggi yang
1 Lihat KOMPAS edisi Jumat, 19 Maret 2010
2 Lihat KOMPAS edisi Jumat, 16 April 2010
3 Ahmad Nurhasim dan Nur Kholik Ridwan, Demoralisasi Khittah NU dan
pembaruan, (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa,2004), hlm. xi
4 Teks khittah NU hasil muktamar NU ke- 27 di Situbondo, coba lihat
selengkapnya dalam Ahmad Nurhasim dan Nur Kholik Ridwan. Demoralisasi
Khittah NU dan pembaruan. (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), hlm. 175
5 http://www.sumenep.go.id/berita_c.php?pid=11234, diakses pada 20
Maret 2011, jam 20:03
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 53
Nurfaizin
harus dijunjung. Disusul ketaaan kepada kiai baru kemudian kepada
pemerintah. Posisi kiai mendapat posisi yang terhormat lebih tinggi
derajatnya dari pemerintah. Kiai selalu menjadi rujukan masyarakat
Madura dalam pengambilan keputusan terkait dengan hidupnya. Tidak
hanya pada wilayah sosial keagamaan saja akan tetapi juga persoalan-
persoalan yang sebenarnya “bukan” keahliannya seperti persoalan-
persoalan ekonomi dan politik.6Posisi istemewa ini didapat berkat
“kharisma” yang melekat pada sosok kiai. Kiai dianggap mempunyai
kekuatan supra natural yang tidak dimiliki sembarang orang.7
Kharisma itu didapatkan berkat dua dimensi yang dipunyainya.
Pertama, kharisma yang diperoleh secara given, seperti adanya ikatan
genealogis dengan kiai kharismatik sebelumnya, tubuh yang besar
serta suara yang keras. Kedua, melalui proses perekayasaan. Dalam
arti melalui kemampuan dalam penguasaan terhadap pengetahuan
keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang shaleh, dan
kesetiaan untuk berbagi kepada sesama.8 Melalui kharisma yang
melekat padanya, kiai menjadi imam tidak hanya pada urusan-urusan
ubudiyyah tetapi juga pada urusan-urusan politik. Sangat gampang
ditemui menjelang even-even politik seperti pemilihan legislatif dan
Pemilukada, banyak calon memerlukan sowan dan memohon restu
politik kepada para kiai yang diangap mempunyai kharisma untuk
melegitimasi dia sebagai calon yang pantas untuk dipilih.
Dari kharisma kiai inilah, NU dengan mudah memobilisasi massa
untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya. Ini menjadi semacam
social capital dalam memperkuat pengaruh dan otoritasnya di tengah
masyarakat. Banyaknya calon bupati dan wakilnya yang berasal “dari”
NU menandai persaingan yang kuat untuk berebut kantong suara yang
berasal dari kaum nahdiyyin. Setidaknya lima pasangan dari delapan
calon bupati dan wakilnya pada 2010 lalu merupakan kader-kader
NU. Ini bisa dilihat dari jejak rekam karier masing-masing calon yang
pernah ataupun yang masih aktif dalam kepengurusan NU seperti
salah satu calon Bupati yang berangkat dari jalur independen yaitu
KH. Ilyasi Siraj yang pernah menjabat sebagai ketua umum Pengurus
Cabang NU (PCNU) Sumenep periode 2000- 2005.9
6 Untuk lebih jelasnya baca skripsi Ahmad Chufron Sirodj yang berjudul
Peran dan Posisi Kiai di Tengah Masyarakat Madura, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Fakultas Usuluddin Jurusan Perbandingan Agama 2008)
7 Max Weber, Sosiologi, terjemahan, (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa,
2006), hlm. 292-301
8 Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa, (Yogyakarta: Pustaka
Marwah, 2004), hlm. 87-97
9 Untuk profil lengkap pasangan calon Bupati dan wakilnya lihat http://
www.smpn1.sumenep.go.id/mainx.php?smnp=Z289YmVyaXRhJnhrZD0xMTE5
54 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
Studi ini memfokuskan bahasan pada pengaruh elit lokal NU
dalam dinamika Pemilukada di Kabupaten Sumenep 2010. Dimana
posisi kiai mendapat posisi yang terhormat lebih tinggi derajatnya dari
pemerintah. Kiai selalu menjadi rujukan masyarakat Madura dalam
pengambilan keputusan terkait dengan hidupnya. Tidak hanya pada
wilayah sosial keagamaan saja akan tetapi juga persoalan-persoalan
yang sebenarnya “bukan” keahliannya seperti persoalan-persoalan
ekonomi dan politik.10 Posisi istemewa ini didapat berkat “kharisma”
yang melekat pada sosok kiai. Kiai dianggap mempunyai kekuatan
supra natural yang tidak dimiliki sembarang orang.11 Tulisan ini
bermaksud untuk mengkaji lebih dalam tentang fenomena sosial
politik yang muncul berkaitan dengan otoritas keagamaan. Dalam
hal ini adalah berkenaan dengan proses Pemilukada di Kabupaten
Sumenep tahun 2010, yang secara tidak langsung melibatkan NU
sebagai organisasi keagamaan dalam prosesnya.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)
yang dilakukan di Kabupaten Sumenep. Metode studi yang digunakan
adalah metode kualitatif diskriptif, yang berarti bahwa para peneliti
kualitatif harus mempelajari benda-benda di dalam konteks alaminya,
berupaya untuk memahami atau menafsirkan fenomena dilihat dari
sisi makna yang dilekatkan manusia (peneliti) kepadanya.12
Sejarah Singkat Kelahiran NU dan Kebangkitan Nasional
Kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari percaturan politik
nasional maupun internasional pada awal- 1920-an. Keterbelakangan
baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia,
akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah
kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa
ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul
1908 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat
kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat
pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan
bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi
NA%3D%3D, diakses pada 20 Maret 2011, jam 20: 21
10 Untuk lebih jelasnya baca skripsi Ahmad Chufron Sirodj yang berjudul
Peran dan Posisi Kiai di Tengah Masyarakat Madura, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Fakultas Usuluddin Jurusan Perbandingan Agama 2008)
11 Max Weber, Sosiologi, terjemahan, (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa,
2006), hlm. 292-301
12 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative
Research, terjemahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 1-2
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 55
Nurfaizin
pendidikan dan pembebasan, seperti antara lain Budi Utomo13, Syarikat
Islam14 yang kemudian disusul oleh Muhammadiyah.15
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme,
merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi
pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada
1916, yang didirikan oleh KH. Wahab Hasbullah. Organisasi ini
berkantor di Surabaya dengan gedung yang besar dan bertingkat. Di
tempat inilah lama- kelamaan menjadi markas ’tempat menggembleng’
para remaja yang akan menjadi calon pemimpin. Cabang-cabang
Nahdhatul Wathan berdiri di Semarang, Malang, Sidoarjo, Gresik,
lawang dan Pasuruan.16
Beranggotakan komite dan berbagai organisasi yang bersifat
embrional serta ad hoc, maka dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi
perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai
kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi
yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab
1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim
Asy’ari sebagai Rais Akbar.Untuk menegaskan prisip dasar organisasi
ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab qanun asasi (prinsip
dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah
NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam
berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan.
Struktur Kepemimpinan dalam Masyarakat Sumenep
Struktur kepemimpinan dalam Masyarakat Sumenep secara
garis besar sama dengan masyarakat Madura pada umumnya, bahwa
mereka memiliki konsep bhuppa’-bhabhu-ghuru-rato dalam hierarkhi
kepatuhan dalam budaya kehidupannya. Konsep ini hingga saat ini
13 Budi Utomo suatu perhimpunan Jawa yang berdiri tanggal 20 Mei 1908.
lihat di Kilasan Petikan Sejarah Budi Utomo, terjemahan,(Jakarta: Yayasan Idayu,
1975), hlm. 62
14 Serikat Islam berdiri tanggal 11 November 1912 di Solo merupakan
kelanjutan dari Serikat Dagang Islam yang berdiri satu tahun sebelumnya.
Organisasi ini sedikitnya didorong oleh dua hal yaitu kompetisi yang meningkat
dalam perdagangan batik terutama dari golongan Cina dan sikap superioritas
orang-orang Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya
revolusi Cina tahun 1911. Lihat Delian Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia1900-
1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm 115
15 Muhammdiyah adalah organisasi keagamaan yang didirikan oleh KH.
Ahmad dahlan pada tahun 1912 di Yogyakarta. Ibid, hlm 116
16 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara: pencarian Isi, Bentuk dan Makna,
(Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm 8
56 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
masih mengakar kuat sebagai penyangga bagi peradaban kebudayaan
masyarakat Madura. Hal ini tidak terlepas dari ajaran agama Islam
yang sudah lekat bagi sebagian besar masyarakat Madura.
Konsep bhuppa’-bhabhu-ghuru-rato merupakan konstruksi
kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode sejarah yang
relatif panjang. Ia dihasilkan oleh dan sekaligus menghasilkan
kehidupan sosial, sehingga ia menjadi kekuatan yang menstruktur
kehidupan sosial (structuring structure), sekaligus pula sebagai kekuatan
yang distrukturisasi oleh kehidupan sosial (structured structure).
Masyarakat Madura, terutama pada pedesaan menganggap
kyai sebagai pemimpin dunia sekaligus akhirat atau dengan kata
lain sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dalam hal kepemimpinan
dalam masyarakat Madura, kepemimpinan kharismatik seorang kyai
memiliki peran yang utama dalam segala aspek kehidupan. Melalui
kharisma yang melekatnya pada dirinya, kyai menjadi imam dalam
bidang ’ubudiyah dan sering dipinta untuk menyelesaikan segala
persoalan yang menyangkut masyarakat. Kepercayaan dari masyarakat
ini, seolah memperkuat posisi seorang kyai sebagai pemimpin yang
memang dibutuhkan tidak hanya untuk persoalan keagamaan saja,
akan tetapi menyangkut persoalan keduniawian seperti penentuan
jodoh, pencarian hari baik untuk bepergian, serta segala hal dalam
segala aspek kehidupan lainnya.
Biasanya gelar kyai ini diberikan masyarakat kepada seorang
tokoh yang dianggap pantas menerimanya. Tokoh yang bersangkutan
biasanya memiliki pengakuan sebagai seorang kyai karena faktor
keturunan atau karena kelebihan tertentu. Oleh sebab itu, gelar kyai
bagi masyarakat Madura tidak hanya panggilan bagi seorang tokoh
yang memiliki pesantren saja, tapi biasanya juga dilekatkan pada
tokoh kharismatik yang selalu mengajarkan dan menyebarkan ilmu-
ilmu agama melalui pengembaraan ke desa-desa yang lain selain desa
asalnya.
Kyai jenis ini biasanya disebut sebagai kyai teko, yaitu
diibaratkan seperti teko berisi air yang selalu menuangkannya kepada
orang yang membutuhkannya. Sementara seorang kyai yang memiliki
pesantren biasanya disebut sebagai kyai sumur, yaitu diibaratkan
sebagai tempat menimba bagi orang membutuhkannya. Kharisma
kyai memperoleh dukungan masyarakat karena dipandang memiliki
kemapanan moral, dan kualitas iman yang melahirkan model magnetis
bagi para pengikutnya. Dengan kekharismaannya, seorang kyai tidak
hanya dikategorikan sebagai elite agama, akan tetapi sebagai elite
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 57
Nurfaizin
pesantren dan tokoh masyarakat yang memilki otoritas tinggi dalam
menyebarkan ilmu-ilmu keagamaan Islam serta berkompeten dalam
mewarnai corak dan bentuk kepemimpinannya.17
Kepemimpinan seorang kyai sering dikaitkan dengan
faktor ketokohannya yang kharismatik. Dalam konteks tersebut,
Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa kyai-kyai Pondok Pesantren
dalam sejarahnya, merupakan sosok yang penting yang dapat
membentuk kehidupan sosial, kultural dan kegamaan warga muslim
Indonesia.18Pengaruh tersebut bagi santri berlaku tidak hanya pada
saat santri masih berada pada naungan pesantren yang bersangkutan,
akan tetapi dalam kurun waktu yang panjang pengaruh tersebut akan
melekat sepanjang hidup ketika ia sudah terjun di tengah-tengah
masyarakat.
Paham Keagamaan NU
NU menganut paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah pola pikir
yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan
kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU
tidak hanya al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan
akal ditambah dengan realitas empirik. Dari segi nama menurut Jalal
Muhammad Musa, Ahlussunah waljama’ah mempunyai dua pengertian.
Pertama, sunnah berarti metode atau tariqah yaitu mengikuti metode
para sahabat dan tabiin serta salaf dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihat19 dengan menyerahkan sepenuhnya pengertian ayat
tersebut kepada Allah sendiri tidak mereka- reka menurut daya nalar
manusia semata-mata. Kedua, sunnah berarti hadis Nabi Muhammad
SAW yaitu meyakini kebenaran hadis shahih sebagai dasar keagamaan.
20
Rangkain kata sunnah dengan jama’ah menjadi Ahlussunah
waljama’ah memberi arti bahwa dasar keagamaan yang dianut
bersumber kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi dan sunnah para
sahabat, yaitu tradisi yang telah melembaga dalam kehidupan
sosial keagamaan para sahabat Nabi setelah Nabi Muhammad SAW
wafat khususnya zaman Khulafaur Rasyidin. Pola dasar pemahaman
17 Sebagaimana dikutip oleh Edi Susanto, Kepemimpinan Kharismatik
Kyai,dalam KARSA Jurnal Studi Keislaman, Vol. XI No. 1 April, 2007, hlm 32
18 Ibid, hlm 34
19 Ayat mutasyabihat ialah ayat yang mengandung kata yang artinya kurang
atau tidak jelas atau memang kata yang artinya ganda seperti kata wajh, yad arsy
dan inzal dalam bidang kalam dan lams atau quru’ dalam bidang fikih, lihat M. Ali
Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm 67
20 Ibid, hlm 67
58 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
keagamaan yang demikian ini berbeda dengan golongan khawarij, syiah
atau muktazilah. Mereka umumnya menekankan interpretasi rasional
dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat dan mengabaikan hadis Nabi
Muhammad dan tradisi sahabat Nabi. 21
Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang
teologi. Aliran tersebut merupakan jalan tengah antara rasionalisme
mu’tazilah dan antropomorpisme jabariyah dengan pendekatan yang
menggabungkan aspek rasional (akal) dan teks (naql).22 Kemudian
dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi’i
dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Malikidan
Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU
berbintang 4 di bawah. Dengan konsep madzhab empat ini secara
teoritis NU memiliki keleluasaan menerapkan kebijaksanaan jam’iyyah
untuk mengantisipasi masalah-masalah yang timbul sehingga tidak
kaku dengan berbagai alternatif dari pendapat-pendapat madzhab
yang ada.Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode
Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara
tasawuf dengan syariat.
Jadi madzhab ahlussunnah wal jamaah yang dianut NU merupakan
pendekatan yang multidimensional dari sebuah gugusan konfigurasi
aspek-aspek kalam, fikih dan tasawwuf. Ketiganya merupakan kesatuan
yang utuh, masing-masing tidak dipilah dalam trikotomi yang
satu berbeda atau berlawanan dengan yang lain.Gagasan kembali
kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk
menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal-jamaah, serta merumuskan
kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta
merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut
berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika
sosial dalam NU.
Akar Historitas Keterlibatan NU dalam Politik
Irama politik yang diperankan NU, sangat menarik untuk
ditelaah, terutama arah kebijakan politiknya yang selalu bergeser dari
waktu ke waktu. Sesuai kecenderungan dan perkembangan sikap
politik yang diambil NU, Martin Van Bruinessen mengikuti suatu
periode pembagian konvesional yang dintaranya sebagai berikut:
”pada periode pemerintahan kolonial Belanda (1926-1942) yang kemudian
21 Ibid, hlm 68
22 Ibid, hlm 75
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 59
Nurfaizin
diikuti masa Pendudukan Jepang (1942-1945), periode perjuangan
kemerdekaan (1945-1949), periode tahun-tahun demokrasi parlementer
(1949-1959), periode demokrasi terpinpinnya Soekarno (1959-1965),
masa tradisi yang keras (1965-1966), masa Orde Barunya Soeharto
(1967-1998), dan pada masa era reformasi.”23
Peranan penting NU dalam kehidupan politik pada masa-masa
penjajahan sungguh tidak dapat diabaikan. Berdirinya Serikat Dagang
Islam (1911) yang didominasi oleh kelompok Islam medernis yang ada
diperkotaan merupakan salah satu upaya para ulama untuk menghapus
penjajahan di tanah air ini.24 Selain itu berdirinya organisasi Nahdlatul
Ulama (NU) pata tahun 1926 juga tidak lepas dari situasi waktu itu.25
Dengan pengaruhnya yang kuat dan luas, NU berhasil memobilisasi
para petani, rakyat dan massa untuk bangkit sebagai kekuatan akar
rumput melawan kesewenang-wenangan kaum penjajah.
Diantara kesuksesan perjuangan NU dalam melawan penjajahan
diantaranya:26
a. Memperjuangkan pencabutan Guru Ordonantie yang
dialamatkan kepada sekolah-sekolah dan pesantren.
b. Menolak kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk
mencabut artikel 117 Indische Startregeling yang mengandung
semangat dan politik diskriminasi golongan dan agama.
c. Melarang pemuda-pemudi Islam memasuki milisi Belanda
untuk menghadapi tentara Jepang.
d. Mengharamkan pemberian sumbangan darah bagi kepentingan
meliter kolonial Belanda.
e. Menolak subsidi yang ditawarkan oleh pemerintah Belanda
kepada madrasah-madrasah NU.
f. Memprotes penarikan masalah warisan dari wewenang
pengadilan agama.
Semangat perlawanan terhadap penindasan kolonial juga
dipicu oleh jihad fisabilillah yang kemudian di kenal dengan Resolusi
Jihad.27 Hal itu juga diperkuat diperkuat oleh pidatonya Kiai Hasyim
Asy’ari pada pembukaan muktamar NU ke-16. Pergeseran perilaku
politik kiai yang cukup signifikan itu akhirnya dapat melahirkan tiga
23 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana
Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm 41-42
24 Bahrul Ulum, Bodohnya NU Apa NU Dibdohi, Jejak Langkah NU Era
Reformasi; Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-ruzz
Press, 2002), hlm 58-59.
25 Ibid, hlm 56
26 Ibid, hlm 59
27 Ibid. hlm 61
60 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
kebijakan politik strategis, yakni resolusi jihad, pembubaran PKI, dan
penerimaan asas tunggal Pancasila.
1. Resolusi Jihad
Ini momentum histories pertama yang dilakukan NU dalam
gerakan-gerakan politiknya, yakni dengan dicetuskannya Resolusi
Jihad, pada tahun 1945. Resolusi Jihad memiliki dampak yang luas
di Jawa Timur. Pasukan-pasukan reguler yang dikenal dengan
Sabilillah rupanya respon langsung atas resolusi jihad. Resolusi
Jihad ini dicetuskan oleh NU di Surabaya, ketika organisasi ini
masih berstatus sebagai gerakan sosial keagamaan dan belum
mentransformasikan dirinya menjadi partai politik.28 Kendatipun
demikian, NU sangat menaruh perhatian kepada masalah-masalah
politik, perjuangan kemerdekaan, nasib bangsa, dan masa depan
Indonesia.
Dalam perspektif keindonesian, Resolusi Jihad ini dapat
dipandang sebagai bentuk kontribusi dan manifestasi partisipasi
politik dan keterlibatan perjuangan NU dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Inti Resolusi Jihad ini adalah mewajibkan para ulama
dan seluruh anggota NU serta umat Islam, secara bersama-sama
dengan gerakan-gerakan perlawanan rakyat lainnya, menentang
bercokolnya kembali kolonialisme dan imprealisme di Indonesia.
2. Pembubaran PKI
Momentum historis kedua yang dilancarkan NU dalam
gerakan-gerakan politiknya terjadi ketika partai NU pada tahun
1965 menuntut dibubarkannya PKI. Pada waktu itu, NU dikenal
sebagai satu-satunya kelompok dan partai politik pertama yang
mengajukan tuntutan dibubarkannya PKI, karena partai yang
beraliran komunis ini telah diketahui secara jelas sebagai dalang
dan arsitek pemberontakan G30S/PKI.29 Sementara, kelompok-
kelompok organisasi kemasyarakatan dan partai politik lain belum
mengambil sikap politik terhadap peristiwa tersebut, NU telah
tampil di barisan paling depan dan mengajukan tuntutan bagi
pembubaran PKI. Dilihat dari perspektif kerakyatan, kebangsaan,
dan keindonesiaan, gerakan politik NU yang menuntut
pembubaran PKI ini dapat dipandang sebagai manifestasi dan
substansi komitmen NU dalam perjuangan berbangsa dan
bernegara.
28 Opcit, hlm 61
29 Loc,cit, hlm 61
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 61
Nurfaizin
3. Penerimaan Asas Pancasila
Momentum historis ketiga yang mengisi lembaran sejarah
NU terjadi pada tahun 1984, ketika organiasi jam’iyah diniyah ini
menyatakan penerimaannya atas Pancasila, sebagai satu-satunya
asas bagi semua organisasi kemasyarakatan.30 Peristiwa ini, juga
menempatkan NU sebagai satu-satunya organisasi kemasyarakatan
yang pertama yang menerima asas tunggal Pancasila. Dengan
argumen historis bahwa K.H.A. Wahid Hasyim sebagai salah
seorang perumus Pancasila dan didukung oleh argument-argumen
agamis yang dirumuskan para ulamnya, NU tidak ragu-ragu
menerima asas Pancasila.31
Dalam penerimaan asas tunggal ini, NU menyatakan bahwa
ia berasas Pancasila dan berakidah Islam ala ahlussunnah wal
jama’ah. Dengan formula ini, NU tidak menempatkan Pancasila
dan Islam sebagai sesuatu yang paradoks dan antagonistis, tetapi
meletakkan keduanya dalam perspektif dan konteks keindonesiaan
dan keislaman. Salah seorang kiai senior NU yang terkenal dalam
merumuskan peneriman NU terhadap asas Pancasila ini adalah K.
H. Ahmad Siddiq.32
Masa Perubahan Arah Politik NU
Kebijakan tiga politik strategis, seperti yang dijelaskan di atas,
yakni resolusi jihad, pembubaran PKI, dan penerimaan asas tunggal
Pancasila, merupakan contoh kebijakan politik NU. Sementara,
program-program politik yang dijalankan NU, baik sebagai partai
maupun keterlibatannya dalam membentuk partai (misalnya PKB atau
PPP), dalam banyak hal mengarah ke politik kekuasaan, karena selalu
terkait dengan upaya-upaya yang bersifat perebutan kekuasaan.
Bagi sebagian orang, dunia politik (praktis) adalah sederetan
kursi empuk yang menyenangkan. Itulah sebabnya, tujuan politik
antara lain adalah merebut sebanyak kursi, kedudukan dan posisi di
pemerintahan. Banyak orang, termasuk kiai-kiai yang tergabung dalam
NU, yang suka pada posisi semacam itu.33 Akibat adanya perebutan
kekuasaan ini terjadi polarisasi politik atau kepentingan politik yang
menyebabkan terjadinya perseteruan di dalam NU sendiri, antar kiai
30 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai; Konstruksi Sosial Berbasis Agama
(Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm27
31 Ibid, hlm 27
32 Ibid, hlm 125
33 Fran Magnis Suseno, Jika Rakyat Berkuasa; Upaya Membangun Masyarakat
Madani , (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm 59
62 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
dan antar pesantren di bawah naungan NU. Disamping itu, karena
kiai NU atensi dan energinya terserap dalam dunia politik, banyak
kiai kurang atau tidak memberikan perhatian mereka secara penuh
terhadap pesantren dan madrasah yang mereka asuh. Karenanya,
banyak pesantren dan madrasah yang kurang berkembang dan bahkan
nasibnya tidak menentu.
Di era reformasi, sebenarnya, kesempatan untuk memperbaiki
sistem pemerintahan sangat luas. Ikut andil dalam menciptakan good
government tidak seluruhnya harus melalui kedudukan dan posisi di
pemerintahan, tetapi melalui tradisi sikap oposisi.34Dapat dipahami
juga, pergeseran kebijakan politik kebangsaan ke politik kekuasaan
yang dilakukan NU sangat terkait dengan upaya kepentingan sesaat,
yakni masalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan posisi di
pemerintahan. Kecenderungan ini terjadi, karena dipengaruhi oleh
reformasi politik yang memberi kebebasan politik kepada semua
warga negara, baik dilakukan secara individual maupun kelompok.
Konstalasi Pemilukada Kabupaten Sumenep Tahun 2010
Dalam pemilukada di Kabupaten Sumenep yang dilaksanakan
pada 14 Juni 2010, sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 68 Tahun
2009, Anggota KPU Sumenep menetapkan delapan pasangan calon
yang maju pada Pemilu Kepala Daerah (pemilukada) Sumenep.35
Namun demikian, jika salah satu pasangan calon tidak berangkat dari
latar belakang kalangan nahdliyyin ataupun pondok pesantren maka
dapat dipastikan tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat.
Kekuatan politik yang dijalankan oleh masing-masing calon
peserta Pemilukada 2010 kemarin sebagian besar dipengaruhi oleh
gerakan kultural masyarakat yang berbasis nahdliyyin. Hal tersebut
nampak pada saat pemungutan suara. Yang memperoleh suara rata-
rata terbanyak dari masing-masing calon didukung oleh kalangan
masyarakat yang berpaham, meminjam bahasanya As. Hikam, NU
kultural. NU kultural merupakan paham yang dianut mayoritas
masyarakat Sumenep. Banyak kiai, pesantren, masjid, serta paham-
paham ahlussunnah waljama’ah lainnya (seperti tahlil, qunut, talqin,
dll) secara historis-sosial menggerakkan masyarakat untuk memilih
calonnya yang latar belakangnya berpaham ahlussunnah waljama’ah.
34 H. Rozikin Damam, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca
Khittah (Yoyakarta: Gama Media, 2001), hlm 207
35 http://berita-lampung.blogspot.com/2010/06/pemilihan-kepala-
daerah-pilkada.html, diakses pada 24 Maret 2011, jam 4:22.
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 63
Nurfaizin
Walaupun terdapat calon yang tidak berpaham ahlussunnah
waljama’ah, seperti misalnya calon yang diusung oleh parpol PAN
dan Hanura (Malik Efendi, SH, M.H dan Rahmad, SE) memperoleh
suara 48.013 suara, secara tersirat dapat disimpulkan sementara bahwa
kekuatan NU kultural sangat berpengaruh dalam konstalasi pemilihan
kepala daerah di Kab. Sumenep pada 2010 lalu.
Terbukti kekuatan kultural NU pada konstalasi politik pada
pemilihan kepala derah di kabupaten Sumenep sejak awal pelaksanaan
pemilu secara langsung berkali-kali dimenangkan oleh pasangan
yang berangkat atau berlatar belakang paham NU atau ahlussunnah
waljama’ah. Terlebih pada pelaksanaan pemilukada tahun 2010
kemarin yang berlangsung selama dua putaran selalu dimenangkan
oleh pasangan dari NU. pada putaran pertama pemenangnya ialah
pasangan KH. Busyro Karim, M.Si – Ir. H. Soengkono Sidik dengan
perolehan suara 116.677 dan pasangan H. Azazi Hasan, SE, MM - Hj.
Dewi Khalifah, SH,MH dengan perolehan suara 111.569. Sedangkan
pada putaran kedua KH. Busyro Karim, M.Si – Ir. H. Soengkono Sidik
dengan perolehan suara 241.622 dan pasangan H. Azazi Hasan, SE,
MM - Hj. Dewi Khalifah, SH,MH dengan perolehan suara 231.250.
Kedua pasangan tesebut semuanya berlatar belakang nahdliyin
atau dengan kebiasaan dan tradisi kaum pesantren. Misalnya
pemenang putaran kedua KH. Busyro Karim, M.Si merupakan
pengasuh pondok pesantren Baraji. Ia pernah mengenyam pendidikan
tinggi di IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syari’ah.
Selain menjadi pemangku agama, ia juga menjabat sebagai salah satu
pengurus cab. NU di kabupaten Sumenep sedangkan wakilnya Ir.
H. Soengkono Sidik walaupun sebagai birokrat ia masih memiliki
darah NU. Bapaknya merupakan salah satu pengurus MWC NU di
Karangduwek Sumenep.
Memang dalam sejarah pemilukada langsung pasca reformasi
calon yang berlatar belakan dari NU atau berpaham ahlussunnah
waljama’ah mempunyai kans besar memenangkan pertandingan
pemilihan kepala daerah di kabupaten Sumenep. Misalnya bupati
terdahulu, K.H.Ramdhan Siradj secara aklamasi memenangkan suara
di berbagai wilayah pemilihan di berbagai kecamatan. Tidak heran
kemudian bila ia terpilih selama dua kali sebagai kepala daerah
(bupati) kabupaten Sumenep. Kemenangan KH. Ramdan Siraj selama
dua periode juga dipengaruhi oleh ketokohan Beliau sebagai salah
satu kiai terpandang yang berasal dari NU. Ia menduduki jabatan
sebagai bupati selama periode 2000-2005 dan 2005-2010. Ketokohan
64 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
K.H. Ramdhan Siradj sebagai kiai, pengasuh pesantren, plus juga
sebagai pengurus NU cabang kabupaten Sumenep.
Konstelasi politik di kabupeten Sumenep diyakini masih
menomorsatukan bagi calon dari kalangan NU atau ahlussunnah
waljama’ah. Hal tersebut diakui oleh Khalqi Kr, bahwa posisi kiai
sebagai pranata sosial ganda (pemangku agama dan sosial) masih
relevan di tengah-tengah realitas hubungan masyarakat yang berpaham
ahlussunnah waljamaa’ah kultural.
“Kemenangan orang yang dari NU tidak akan bergeser pada untuk
beberapa tahun selanjutnya selama masih ada keterikatan emosi-sosial
antara kiai dan masyarakat.” masih berkeyakinan bahwa posisi kiai sebagai
pemangku agama dan sebagai institusi personal pranata sosial.”36
Pernyataan Khalqi tersebut senada dengan teori Max Weber
tentang kharisma. Karekter kharismatik yang melekat pada diri seorang
kiai tidak serta merta diciptakan secara an sich. Ia melalaui proses
kultural jangka panjang dengan identifikasi moral dan keteguhan
agama sebagai pemimpin umat. Masyarakat sebagai bagian kultural
dari sistem kharisma tersebut secara tidak langsung membuat pilihan
tidak berdasar pada pilihan pribadi semata, namun restu, pilihan, dan
tausiah dari seseorang yang mempunyai kharisma (dalam hal ini kiai)
mempunyai andil yang sangat signifikan bagi terbentuknya kesadaran
patron politik masayrakat Sumenep. Yang dimaksud oleh Johnson
sebagai ”mereka” mengacu pada realitas sosial masyarakat Sumenep
tidak lain ialah warga nahdliyin atau masyarakat yang berpaham
ahlussunnah waljama’ah dan atau NU kultural, yang mana ”terdapat
hubungan erat antara agama dan perilaku politik. Keanggotaan dan
kegiatan keagamaan satu komunitas dengan nilai-nilai dan orientasi
tertentu mempunyai pengaruh yang menentuakan terhadap perilaku
politik mereka.” 37
”Mereka memperoleh bimbingan yang terus-menerus dari pemimpinnya,
dan meminta nasihatnya dalam menghadapi kesulitan, mengambil
keputusan dan menyelamatkan sumber-sumber penghasilan yang
dibutuhkan untuk mempertahankan hidup.” 38
Secara sosiologis masyarakat di Madura khususnya di
kabupaten Sumenep meminjam bahasanya Emha Ainun Najib, ketika
36 Wawancara dengan Khalqi Kr, S.Ag pada 3 Januari 2011, jam 20.40 WIB
di kediamannya.
37 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS,
Juli 2004, hlm. 159
38 Doyle Paaul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (terj), Jakarta:
Gramedia, 1988, hlm. 230
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 65
Nurfaizin
ditanya agamanya mereka akan menjawab beragama NU. Keterikatan
hubungan masyarakat dengan kiai dan keberagaman masyarakatnya
yang taat terhadap pemimpinnya (terutama kiai). Dominasi NU
dalam perpolitikan di Sumenep sangat kuat ini dibuktikan dengan
terpilihnya KH. Romdlan Siraj dua kali berturut turut dengan jumlah
suara mayoritas. Selain itu juga perolehan kursi partai-partai berbasis
NU sangat saignifikan. PKB misalnya dalam pemiilu tahun 1999
memperoleh kursi 25 dari total 50 kursi yang diperebutkan. Pada
tahun 2004 PKB mendapat kursi 20 dan pada tahun 2009 kemarin
memperoleh kursi 15. Gerakan politik berbasis tradisi nasionalisme-
ahlussunnah waljama’ah ini secara historis telah terbangun sejak NU
berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan, berubah menjadi gerakan
politik praktis dan kembali lagi menjadi organisasi massa sosial
keagamaan hingga kini.
Konstelasi politik di kabupaten Sumenep tidak hanya
mensyaratkan kiai dan nilai ahlussunnah waljama’ah menjadi jalan
utama terbangunnya patron politik. Lain itu kekuatan finansial dari
masing-masing calon didorong juga oleh kalangan teknokrat atau
para pengusaha lokal. Seperti dikatakan oleh H. Pandji Taufik, bahwa
perpolitikan di negeri ini, terutama di Sumenep biaya untuk menang
atau minimal biaya kampanye menghabiskan dana yang tidak sedikit.
Di kabupaten Sumenep pada pelaksanaan pemilukada 2010 kemarin
secara akumulatif dua putaran menghabiskan lebih dari 1 miliar
rupiah.
”Saya pikir kan begini ya. Menurut saya pemilu itu kontes demokrasi tapi
saya merasa masih sifatnya transaksional. Untuk kasus yang di sumenep,
misalnya ada istilah ‘tongket’ settong saeket’. Kecuali menunggu
masyarakatnya sudah jadi pemilih yang rasional dan cerdas.”39
Istilah tongket settong saeket bermakna tongkat yang diikat menjadi
satu. Istilah tersebut merupakan istilah lokal bagi keberlangsungan
perpolitikan baik dari tingkat bawah (desa) hingga atas (kabupaten
dan nasional). Tongket settong saeket mempunyai makna sosiologis
sebagai hubungan emosional suatu struktur masyarakat selain dapat
dibangun oleh pencitraan sosial yang baik, dapat pula dan sudah
menjadi rahasia umum acap dibarengi dengan ‘ongkos’ politik yang
diberikan ‘secara cuma-cuma’ kepada para pemilih atau pemilih yang
mempunyai otoritas sosial tinggi di suatu desa.
39 Wawancara dengan H. Pandji Taufiq di kediamannya pada tanggal 4
April 2011, jam 09.30 WIB.
66 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
Adanya kekuat politik NU kultural di kabupaten Sumenep
secara tidak langsung membenarkan teori hegemoni Gramsian. Gramsi
membenarkan bahwa hegemoni sosial secara bertahap dibangun oleh
kekuatan orang-orang atau institusi yang mempunyai pengaruh kuat
terhadap realitas sosial. Hegemoni yang digaris bawahi oleh Gramsi
seakan-akan memberikan gambaran ‘paksaan’ secara kultural yang
dibangun oleh beberapa orang atau kelompok.
Kepentingan politik yang dibangun dari relasi sosial hegemonik
menurut ukuran Gramsian menemukan relevansinya ketika suatu
perubahan sosial terjadi atas dasar kekuatan suatu kelompok atau
konstruktsi hegemonik yang menjadikan peran intelektual dan emosi
sosial menjadi senjata utama. Hegemoni intelektual dan emosi sosial
terlihat dari pemilihan kepala daerah di kabupaten Sumenep yang
menjadikan sosok kiai atau tokoh berpengaruh dengan segala atribut
sosialnya termasuk di dalamnya keikutsertaan dalam organisasi
keagamaan sosial seperti NU secara bertahap membentuk suatu
pranata sosial. Suatu institusi non-formal yang mengantarkan
kepercayaan publik di dalam titik kesadaran pengabdian baik dalam
urusan keagamaan, budaya, politik dan bahkan ekonomi.
1. Hasil Perolehan Suara Pasangan Peserta Pemilukada Kabupaten
Sumenep Tahun 2010
Tabel 1. Kedelapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah Kabupaten Sumenep dan partai yang mengusungnya40
No. Nama Pasangan Calon Sebutan Parpol
Pengusung
1. H Azasi Hasan – Hj. Dewi ASHIFA PKNU dan
Khalifah,SH, MH PBB
2. KH. A. Busyro Karim, M.Si – Ir. H. ABUSIDIK PKB dan
Soengkono Sidik PDI
3. Malik Efendi, SH, MH., - Rahmad, MAMAD PAN dan
SE Hanura
4. Ir. R. Bambang Mursalin, MM, BASMALAH Demokrat,
MBA., - Drs. KH. Moh. Shaleh Golkar, dan
Abdullah PKS
5. H. Moh. Samarudin Toyib – Drs. H. SAYA Independen
Abd. Kadir
6. H. Moh. Kafrawi, SE., - Djoko KD Independen
Sungkono
40 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumenep tahun 2010.
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 67
Nurfaizin
7. KH. Ilyas Siraj - Drs. H. Rasik IMAN Independen
Rahman
8. H. Sugianto - Drs. KH. Moh. SMS PPP dan
Muhsin Amir PDP
Sumber: Analisis Data Sekunder tahun 2010
Tabel 2. Latar belakang kedelapan pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah41
Calon Latar Belakang Wakil Calon Latar
No Kepala Daerah Kepala belakang
Daerah Wakil Calon
1. H. Azasi Hasan Birokrat Dewi Pengasuh
Khalifah,SH, PP. Aqidah
MH Usymuni dan
Ketua PC
Muslimat NU
Kabupaten
Sumenep
2. KH. A. Busyro Pengasuh PP. Ir. H. Birokrat
Karim, M.Si Al-Karimiah Soengkono
dan A’wan Sidik
PCNU
Kabupaten
Sumenep
3. Malik Efendi, SH, Politisi, anggota Rahmad, SE Pengusaha
MH DPRD Propinsi
Jawa Timur
4. Ir. R. Bambang Pengusaha Drs. KH. Pengasuh
Mursalin, MM, Moh. Shaleh PP. Matoliul
MBA Abdullah Anwar
5. H. Moh. Pengusaha Drs. H. Abd. Pengusaha
Samarudin Toyib Kadir
6. H. Moh. Kafrawi, Pengusaha Djoko Birokrat
SE Sungkono
41 Wawancara dengan Ach. Tirmidzi, S.Ag, anggota PPK Kec. Dungkek
2010 dan Sekretaris Tanfidziyah MWC NU Kecamatan Dungkek Pereode 2010-
2015. Tanggal 6 Januari 2011. Pukul 09.30 WIB.
68 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
7. KH. Ilyas Siraj Pengasuh PP. Drs. H. Rasik Pengusaha
Al-Taufiqiah Rahman
dan mantan
ketua PCNU
Kabupaten
Sumenep
periode 2000-
2005
8. H. Sugianto Pengusaha Drs. KH. Pengasuh PP.
Moh. Muhsin Annuqoyah
Amir
Sumber: Analisis Data Sekunder tahun 2010
2. Hasil Suara Pasangan Peserta Pemilukada Kabupaten Sumenep
Tahun 2010
Seperti kami sebutkan di atas bahwa calon-calon yang
bukan berasal dari kalangan nahdliyyin ataupun pesantren dapat
dipastikan tidak akan memperoleh dukungan dari masyarakat
luas. Ini bisa dibuktikan dengan perolehan suara para calon, baik
pada putaran pertama ataupun pada putaran kedua. Bisa dilihat
dari lima besar perolehan suara terbanyak kesemuanya pada
pemilukada putaran pertama adalah kader-kader NU dan berasal
dari lingkungan pondok pesantren.
Tabel 3. Jumlah Suara pada Putaran Pertama
No. Nama Pasangan Calon Kepala Daerah dan Jumlah
Wakilnya Suara
1. H. Azazi Hasan, SE, MM – Hj. Dewi Khalifah, 111.569
SH,MH
2. KH. Busyro Karim, M.Si – Ir. H. Soengkono Sidik 116.677
3. Malik Effendi, SH. MH. – Rahmad, SE 48.013
4. Ir. R. Bambang Mursalin, MM, MBA., - Drs. KH. 73.635
Moh. Shaleh Abdullah
5. H. Moh. Samarudin Toyib - Drs. H. Abd. Kadir 31.353
6. H. Moh. Kafrawi, SE., - Djoko Sungkono 10.074
7. KH. Ilyas Siraj – Drs. H. Rasik Rahman 111.0007
8. H. Sugianto - Drs. KH. Moh. Muhsin Amir 42.713
Sumber: Analisis Data Sekunder tahun 2010
Pada putaran kedua pemilukada hanya diikuti oleh dua calon yang
menempati suara terbanyak. Dan kesemuanya adalah dari kalangan NU.
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 69
Nurfaizin
Tabel 4. Jumlah Suara pada Putaran Kedua.
No. Nama Pasangan Calon Kepala Daerah Jumlah Suara
dan Wakilnya
1. H. Azazi Hasan, SE, MM – Hj. Dewi 231.250
Khalifah, SH,MH
2. KH. Busyro Karim, M.Si – Ir. H. 241.622
Soengkono Sidik
Sumber: Analisis Data Sekunder tahun 2011
Kiai dan Politik Lokal di Kabaputen Sumenep
Tidak dapat dipungkiri bahwa sosok kiai dalam kepengurusan
NU di berbagai wilayah mempunyai peran penting. NU dan kiai atau
kiai dan NU merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan.
Bagaikan pinang yang dibelah dua. Mempunyai kesamaan dan
kemanfaatan yang sama pula. Kiai tidak hanya menjadi pemimpin
agama dalam pesantren, akan tetapi ia juga mempunyai peran signifikan
dalam hal penentuan kebijakan apapun di tengah-tengah masyarakat
kaum nadliyin (warga NU). Begitu pentingnya kiai dalam hubungan
struktur masyarakat mengakibatkan masyarakat cukup bergantung
pada keputusan kiai, termasuk di dalamnya ialah mengenai pilihan
politik.
Sebaliknya NU sebagai wadah gerakan Islam yang dinaungi
oleh sekolompok kiai sebagai stackholders atau pengurus, tidak lebih
sebagai payung gerakan sosial Islam yang menjadikan performa kiai
lebih terstruktur dan membumi. Selain itu sosok kiai dalam naungan
payung NU seakan terinstitusionalisasikan dalam struktur sosial
masyarakat (warga nadliyyin).
Benar kiranya masyarakat yang menganut sistem demokrasi
bahwa mereka memiliki pilihan sendiri dari hati nurani dalam memilih
pemimpin mereka dalam politik. Namun realitas semacam itu kiranya
agak terbantahkan pada tataran masyarakat yang menganut sistem
patriarkal. Sistem masyarakat patriarkal mensyaratkan masyarakat
patuh terhadap pemimpinnya. Dalam hal ini terlihat sedikit banyak
dalam hubungan kiai dan masyarakat di kabupaten Sumenep. Hal
tersebut terlihat dari jargon sosial bapak, baphuk, guru, ratoh. Sebagian
besar masyarakat di kabupaten Sumenep sejak dahulu hingga kini
yang semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, menjadikan
pengabdian kepada orang tua dan guru (kiai) sebagai sesuatu yang
sakral dan dijaga.
70 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
”Kiai itu bagaikan emas. Dia dicari oleh banyak orang dan disimpan
rapat-rapat di lemari rumahnya. Begitupula kiai, petuahnya jarang tidak
diikuti oleh masyarakat. Apalagi di sini (Sumenep) beliau seringkali
menjadi rujukan dalam menjalani kehidupan masyarakat.” 42
Kiai merupakan posisi sentral dalam masyarakat Sumenep.
Pandangan politik kiai yang acapkali mengarah pada pembenaran
kultur keagamaan dan kultrul sosial tidak lain menjadi semacam alat
’propaganda’ dalam mendobrak suara pada pemilihan umum kepala
daerah kemarin. Hegemoni yang melekat pada posisi kiai membuat
kasadaran masyarakat akan demokrasi tidak lagi menjadi keyakinan
realistis mereka. Karena adanya anggapan dan jargon bapak, bephuk,
guru, ratoh semakin membuat posisi kiai tidak lagi sebagai pranta
sosial-kegamaan, lebih dari itu ialah sebaga pranata sosial, politik dan
eknomi.
Posisi penting kiai tidak lepas dari karakteristik pribadinya yang
sarat dengan berbagai nilai lebih. Pada diri kiai melekat kuat otoritas
karismatik karena ketinggian ilmu agama, kesalehan dan kepemimpinan.
Kondisi seperti ini menjadikan seorang kiai di Sumenep disebut oleh
masyarakat sebagai orang yang patut dicontoh (uswah hasanah) atau
panutan yang baik di lingkungan masyarakatnya. Sebagaimana di
sebutkan oleh Rozaki dalam penelitiaannya di Madura bahwa segala
sesuatu yang berkaitan dengan sisi kehidupan kiai dijadikan rujukan
oleh masyarakat di sekitarnya. Tidak hanya dalam aspek agama yang
diteladani masyarakatnya, tapi semua aspek, baik itu dalam urusan
ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain sebagainya.43
Sementara hubungan antara kiai dan masyarakatnya di Sumenep
diikat oleh hubungan emosi keagamaan yang membuat kekuasaan
sahnya semakin berpengaruh.44 Kharisma yang mempengaruhi aksi-
aksi kiai juga menjadikan hubungan itu penuh dengan emosi, karena
kiai telah menjadi penolong bagi para penduduk dalam memecahkan
masalah-masalah mereka. Sebab itu masyarakat juga menganggap kiai
sebagai pemimpin dan wakil mereka dalam sistem nasional.45
Menurut Fawaid Baidlawi bahwa restu kiai secara kultural
berpengaruh saat pemilihan umum berlangsung. Ia mengatakan
42 Wawacara dengan H. Fawaid Baidlawi (Rais ‘Am MWC NU Kec.
Dungkek Kab. Sumenep) pada 15 Januari 2011, jam 18.30 WIB di kediamannya.
43 Abdur Rozaki, Menabur Karisma Menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater
sebagai Rezim Kembar di Madura (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004). hlm. 68
44 Wawacara dengan H. Fawaid Baidlawi (Rais ‘Am MWC NU Kec.
Dungkek Kab. Sumenep) pada 15 Januari 2011, jam 18.30 WIB di kediamannya.
45 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai; Konsturksi Sosial Berbasis Agama
(Yogyakarta: LKiS, 2007). hlm. 113-119
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 71
Nurfaizin
bahwa walaupun calon pemimpin daerah berlatar belakang non-
pesantren rasanya tidak lengkap apabila belum bersilaturrahim kepada
kiai. Nilai silaturrahim secara kultural memang menjadi poin penting
dalam melakukan penetrasi politik ke tingkat pemilih.
”Sepertinya kalau tidak bersilaturrahim ke kediaman kiai (berpengaruh),
para calon pemimpin daerah di Sumenep sulit untuk mendapat tempat
di hati masyarakat. Adanya adagium bephak, bephu,’ guru, ratoh telah
mendarah daging dalam konstruk pemikiran dan realitas masyarakat disini
(di Sumenep begitupula di daerah lain di Madura secara umum).”46
Masyarakat Madura, khususnya di Sumenep yang sebagian
besar masyarakat nahdliyyin berkeyakinan bahwa ketaataan sosial yang
dijewantahkan dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih merupakan
ajaran sosial yang tertanan secara emosional sejak masih kanak-kanak.
Oleh kerana tidak heran apabila pengabdian total diberikan oleh
masyarakat pada sosok yang berpengaruh dalam hidupnya. Bephak,
bephu,’ guru, ratoh47 merupakan bagian dari ketaatan masyarakat dalam
menjunjung tinggi pranata sosial. Terutama bagi orang pesantren yang
sebagian besar dialami oleh masyarakat Sumenep, walaupun secara
kuantitatif tidak dapat dihitung, adagium tersebut selalu menjadi
cermin dalam bersikap.
Dapat dimaknai secara filosofis bahwa kiai selain sebagai
pemangku agama ia mempunyai peran sebagai penjaga pintu gerbang
peradaban sosial khususnya di Kabupaten Sumenep. Analogi tersebut
menemukan relefansinya pada massifitas kepercayaan sebagian
besar masyarakat Sumenep terhadap sosok kiai. Kiai layakanya pintu
gerbang dalam merebut kekuasaan, misalnya dalam pertarungan
politik di kabupaten Sumenep. Sebagai pintu gerbang kemudian
banyak para calon kepala daerah di Sumenep yang hendak ’bertarung’
dalam konstelasi politik lokal tidak lengkap bila pintu tersebut tidak
dilalui.
Kiai sebagai instisionalisasi agama di tingkatan sosial masyarakat
Sumenep, mengacu pada stuktur sosial Robert K. Mrton ialah menjadi
salah satu dari rangkaian realitas dan kultur sosial. Begitupula
institusi formal yang menaungi kiai, sebut saja misalnya pesantren
dan organisasi keagamaan NU, menjadi satu rangkaian dalam
pembangunan struktur sosial nyata. George Ritzer mengatakan bahwa
Merton mendifinisikan kultur sebagai seperangkat nilai normatif yang
46 H. Fawaid Baidlawi , Op.cit.
47 Adagium bephak (bapak), bephu’(ibu), guruh (guru), ratoh (raja atau
pemimpin)adalah adagium yang menjadi kayakinan sebagian besar masyarakat
Madura yang menomorsatukan ketaatan dalam hubungan sosialnya.
72 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat
atau anggota kelompok.48
NU dan Politik di Kabupaten Sumenep
Kultur menurut merton adalah seperangkat nilai normatif yang
terorganisir yang menentukan perilaku kolektif masyarakat, dalam
NU dikenal yang namanya khittah26 yang menjadi landasan berpikir
dan bergerak NU. Akan tetapi kemudian nilai-nilai luhur itu banyak
terabaikan karena struktur NU tidak lagi terlalu memperdulikan apa- apa
yang dirumuskan dalam khittah 26 tersebut. Ini bisa dibuktikan dengan
banyaknya pengurus NU mulai dari tingkat cabang sampai ranting yang
terlibat terlalu jauh masuk dalam ranah politik praktis. Yang demikian
inilah kemudian disebut dengan anomie dalam konsepnya merton.
Padahal secara tersurat telah disebutkan bahwa NU secara
struktural telah menarik diri dari panggung politik. Adanya kader-
kader NU yang sudah bertarung dalam persilatan politik lokal di
Sumenep tidak lepas dari kultur masyarakat yang sebagian besar
warga nahdlyin dan pengaruh kultur kiai masih melekat sebagai
pintur gerbang politik. Hakikatnya NU sebagai organisasi massa yang
secara sengaja menarik diri dari panggung politik juga diungkapkan
oleh H.A. Pandji Taufiq selaku ketua tanfidziyah PCNU Kab. Sumenep.
Ia mengemukakan bahwa politik NU bukanlah politik struktural
akan tetapi gerakan politik yang dibangung dari kesadaran kultural
wargannya, antara kiai dan masyarakat.49
Pemikiran masyarakat yang menyatakan bahwa kiai adalah
sosok panutan segala kebijakan masih tetap tercipta dalam benak
masyarakat Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep. Kefanatikan
masyarakat yang dibarengi dengan lemahnya pengetahuan politik
mengakibatkan masyarakat melakukan apa yang diinstruksikan
kiai mengenai mana parpol dengan kandidat yang diajukan adalah
merupakan pilihan yang terbaik bagi masyarakat. Mereka percaya
apa yang menjadi pilihan kiai merupakan suatu jalan yang terbaik.
Sebab kiai dalam pandangan masyarakat adalah sosok pemimpin
yang dianggap mempunyai kharisma yang banyak melakukan
pendekatan spritual kepada Tuhan terhadap segala permasalahan
yang dihadapinya, baik untuk kepentingan umum atau kepentingan
pribadi. Dalam hal memilih pasangan calon pemilu, biasanya kiai
48 George Ritzer dan Douglas J. Goodman (ed), Teori Sosiologi Modern (terj),
(Jakarta: Prenada Media. 2005). hlm. 142
49 Wawancara dengan H.A. Pandji Taufik di kediamannya.
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 73
Nurfaizin
melakukan salat sunnah istikharah untuk memastikan mana pasangan
calon yang lebih mendekati kebaikan bersama. Kiai misalnya sebagai
entitas kultural NU, mempunyai peran yang sangat signifikan dalam
pemenangan suatu calon.
Mengacu pada teori kharisma Weber, bahwa identitas kultural
seseorang dapat mempengarungi pola pikir dan pendapat umum
dari suatu golongan atau masyarakat. Memang secara politis kiai
tidak mempunyai hubungan akademis pada teoritisi politik. Tapi kiai
yang telah terinstitusionalisasikan oleh kharisma, ia secara langsung
berubah menjadi institusi invidiual yang sangat diperhitungkan dalam
menciptakan citra politik etis kaum bersarung.
Peran Politik NU di Kabupaten Sumenep dalam Pemilukada
Sumenep 2010
1. Peran NU dalam Pemilukada di Kabupaten Sumenep
Tentang jarak dan pilihan politik warga nahdliyyin memang
sepenuhnya dipasrahkan terhadap pemilih bersangkutan. NU tidak
mempunyai wewenang untuk menggemboskan partai tertentu atau
dengan membuat kebijakan formal terhadap suatu pilihan politik
warganya. Namun adanya kiai secara tidak langsung, mengacu
pada Gramsci tentang hegemoni sosial, kekuasaan kiai diperoleh
dari sebuah ”konsensus” bukan kekerasan ataupun pemaksaan.
Konsensus yang terbangun ialah adanya keterikatan secara
emosional antara masyarakat dan sosok kiai sebagai ’pemegang’
jalur hukum sosial agama.
Hal itu senada dengan pengalaman yang dikemukakan
oleh H. Fawaid Baidlawi di lingkungan sekitarnya. Ia mengatakan
bahwa NU ialah kiai. Walaupun secara politis kadangkala kiai
tidak mempunyai sikap formal seperti halnya organisasinya (NU),
namun secara kultural hubungi pemilih dalam penggunaan suara
di pemilu sedikit banyak melibatkan sosok kiai sebagai rujukan
dalam memilih.
”Seorang tetangga kampung sebelum pencoblosan datang sama saya.
Katanya ”pak haji, calonna se benner se ka’dimmah? Kuleh posang
bennyak oreng nyoro se fulan, tape kan kuleh tak oneng se ka’dimmah se
begus. Menorot sampyan paserah se nyaman? (pak haji, calon yang baik
yang mana? Saya bingung banyak orang yang nyuruh untuk nyoblos
fulan, tapi saya kan tidak tahu mana yang baik. Menurut anda siapa yang
baik untuk dipilih).”50
50 Wawancara dengan H. Fawaid Baidlawi di kediamannya.
74 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
Dari pengalaman tersebut dapat disimpulkan secara
sederhana bahwa kepentingan politik dari berbagai golongan di
kabupaten Sumenep dibangun oleh kesadaran kulutural masyarakat
yang menjadikan sosok kiai, pesantren, dan NU sebagai wadah
kebijakan publik. Walaupun secara nyata NU di berbagai wilayah
termasuk di kabupaten Sumenep tidak ikut secara praksis dalam
konstelasi politik, akan tetapi dari berbagai pengalaman yang ada di
tengah-tengah masyarakat nama besar NU dengan segala bendera
sosialnya telah secara tidak langsung memberikan nafas hidup
masyarakat untuk menentukan pilihan politik mereka. Dalam
kacamata konflik Ralf Dahrendorf masyarakat terbagi menjadi
dua. Yaitu sebagai masyarakat konflik dan masyarakat konsensus.
Adanya kesepakatan mengembalikan NU pada bentuknya semula
sebagai organisasi sosial-keagamaan tidak lain sebagai bagian dari
konsensus yang diambil di tengah-tengah arus hegemoni politik
dari berbagai oknum atau kelompok yang hendak menguasi NU
sebagai ladang kepentingan politik merekan.
Jadi hegemoni politik NU sebagaimana menjadi digariskan
oleh Gramsci tidak lain adalah terbangun dari kesadaran dan
solidaritas sosial masyarakat yang berpaham ahlussunnah
waljama’ah. Bukan berdasarkan pada kebijakan politik NU an
sich. Sebab NU jauh-jauh hari memang membuat garis damarkasi
antara domain kepentingan politik dan domain kepentingan
sosial-keagamaan. Jadi NU pada percaturan politik di kabupaten
Sumenep, sejak dari awal pemilihan kepala daerah secara langsung,
memang tidak menghendaki keterlibatan secara praksis dan
struktural yang pada akhirnya berat sebelah terhadap kepentingan
partai politik tertentu. Kalaupun ada sebagian besar warga NU di
partai tertentu, tidak lain karena adanya kedekatan emosional para
pengurusnya yang nota-bene kiai dengan masyarakat.
Kalaupun ada sebagian besar warga NU tergabung
dalam partai politik tertentu, hal tersebut tidak lain merupakan
ketidaksengajaan kebijakan politik yang dibangun oleh
peroranganan ataupun invidu. Hal teserbut acapkali terbangun
dari sebuah pengaruh tokoh publik dalam partai tersebut. Misalnya
yang berada di dalam PKB, tidak lepas dari andil Abdurrahman
Wahid yang mempunyai pengaruh luas ke segenap elemen
masyarakat. Disinilah posisi kharisma, seperti mejadi garis besar
teoritisi kepemimpinan Max Weber, bahwa pengaruh sautu tokoh
dengan segala atribut sosialnya acap kali menjadi landasan pola
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 75
Nurfaizin
pikir dan bertindak bagi hubungan dan terbangunnya realitas
sosial berkesinambungan.51
NU di kabupaten Sumenep tidak terlibat secara langsung dalam
percaturan politik lokal. Secara struktur masyarakat mengenal kiai
mereka di tubuh NU, menjadikan NU yang sudah berurat berakar
di dalam sendi-sendi sosial masyarakat mengakibatkan pilihan
politik masyarakat menjatuhkan pilihan politik mereka kepada
calon yang direstui NU (secara kultural). Restu kultural yaitu restu
yang diberikan oleh para kiai yang mempunyai peran signifikan di
dalam tubuh organisasi NU, misalnya sebagai pengurus ataupun
berpaham sebagai ahlussunnah wajlama’ah.
Mencermati fenomena sosial pada pemilihan umum pada
tahun 2010 lalu menjadikan posisi NU penting. Ia menjadi semacam
katalisator penggerak untuk masyarakat untuk menyumbangkan
suara mereka pada pemilukada kemarin. Misalnya masih tingginya
suara PKB di DPRD menyiratkan bahwa PKB yang mengklaim
dirinya sebagi partai politik yang direstui oleh kalangan kiai
sepuh, seakan menjadi ampuh dalam menarik konstituen politik.
Walaupun akhirnya pada pemilukada 2010 lalu, antara PKB dan
NU secara institusi-nonformal tidak terdapat komunikasi baik
untuk membicarakan dua kepentingan berbeda.
Akan tetapi dalam hubungan normatif antara NU dan PKB
di kabupaten Sumenep untuk saat ini seakan terdapat jarak antar
keduanya. PKB yang mengklaim diri sebagai anak sah dari NU,
seakan mati kutu akibat adanya konflik kepentingan dari beberapa
kubu ataupun oknum baik dari pengurus NU sendiri ataupun
PKB. Walaupun demikian masyarakat masih merasa yakin bahwa
PKB dilahirkan semata-mata dari NU sebagai jawaban politik
bagi kesejahteraan umat. Disamping itu ketokohan Abdurrahman
Wahid sebagai pendiri dan deklarator PKB, memberikan stimulus
positif bagi masyakarakat di kabupaten Sumenep yang notabene
mengidolakan beliau. Terlihat sejak dari dikenalnya nama
Abdurrahman Wahid sebagai tonggak perubahan PBNU, menjadi
presiden, hingga kuburannya yang acap diziarahi oleh masyarakat
Madura di jombang.
Kini nama besar PKB di berbagai wilayah semakin menipis
taringnya. Terlihat dari semakin tipisnya perolehan suara partai dari
waktu ke waktu. Hal tersebut juga terlihat di kabupaten Sumenep.
Walaupun tidak terjadi penurunan suara pada pemilukada tahun
2010 lalu, akan tetapi hubungan struktural kepengurusan NU dan
51 Ibid.
76 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
PKB seringkali bersebrangan.
“Hubungan PKB dengan NU tidak ada komunikasi yang baik. Sejak
tahun 2000 keduanya jalan sendiri- diri. Sebenarnya kalau keduanya
ketemu sebagian persoalan-persoalan yang ada akan terselesaikan dengan
baik. Karena di dewan sebagian besar itu anggotanya dari PKB. Pada
tahun 1999 anggota PKB itu 45 kursi dari 60 kusri di dprd. Dimana-
mana PKB selalu bilang punya hubungan dengan NU, tetapi sebenarnya
praksisnya enggak.”52
Adanya kesenjangan sosial yang ada di beberapa golongan
di tubuh NU dan partai politik secara tidak langsung memberikan
pengaruh kuat pada warga NU yang lain sebagai pemilih di
pemilukada. Praktik politik yang berbeda dan berdasarkan
kepentingan parsial berbeda menjadikan NU seakan tidak
mempunyai taring merebut kuasa politik yang dibangun oleh
NU kultural, dalam hal ini beberapa kiai. Anomi semacam itu
memberikan peluang baru bagi terbangunnya hubungan politik
banyak kader NU. NU secara struktural tidak mewajibkan warganya
untuk memilih satu calon, namun secara kultural sebagian besar kiai
dan tokoh masyarakat yang berpaham ahlussunnah waljama’ah
sebagai kekuatan kultur mengakar di tengah-tengah masyarakat.
Disinilah anomi seperti digarikan Robert K. Merton, bahwa
kultur sebagai seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang
menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota
kelompok.53 Adanya fragmentasi pilihan politik antar elit NU dan
mayoritas warganya di berbagai wilayah menjadikan NU sebagai
rumah kembali merupakan harga yang tidak bisa ditawar-tawar.
Segala kepentingan politik yang terjadi di tengah-tengah pemilihan
politik praksis seyogianya dapat dileburkan di dalam hubungan
kultural sebagai bagian dari nafas NU. Adanya anomi di tengah-
tengah pilihan politik masyarakat pada pemilukada tahun 2010
lalu seakan menjadi rahasia publik bahwa perbedaaan sikap antara
calon yang berasal dari para elit NU dengan kader kultural NU
semakin nampak dan hal tersebut menjadi tantangan besar bagi
keberlangsungan dan keutuhan NU di masa mendatang.
Pilihan politik memang lumrah terjadi dimanapun.
Begitupula yang terjadi di kabaputen Sumenep. Pilihan politik
yang berasaskan paham ahlusunnah waljama’ah selalu menjadi
52 Wawancara dengan Dardiri di kediamannnya pada 3 Januari 2011, jam
20.40 WIB di kediamannya.
53 George Ritzer- Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terjemahan,
(Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 142
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 77
Nurfaizin
jargon politik antar golongan partai dan calon kepala daerah. Hal
tersebut terlihat besar ketika terjadi pemilukada dua kali yang
dimenangkan dari partai berbeda tapi masih mempunyai nafas
yang sama dari gerakan kultural NU. Walaupun pada akhirnya
K.H. Busyro Karim, M.Si yang memenangkan pertandingan
akhir, tidak menjadikan warga NU yang berbeda politik tidak
memunculkan konflik horizontal.
Disinilah nilai kearifan lokal warga NU yang bertarung
dikancah politik praksis di kabupaten Sumenep. Walaupun
terdapat pilihan politik berbeda hingga memenangkan dua suara
besar yang calonnya berlatar belakang NU, akan tetapi tidak
menjadikan kepentingan politik parsial memecah belah masyarakat
di berbagai wilayah di kabupaten Sumenep yang sebagian besar
warga NU. NU secara struktural memang tidak mempunyai andil
dalam pelibatan politik praksis. Namun secara kultural masyarakat
dan elitnya bermain-main memerankan posisinya masing-masing
dalam merebut suara.
NU berperan besar dalam meminimalisir konflik dalam
pemilukada kabupaten Sumenep 2010. Hal ini dibuktikan dengan
tidak adanya konflik fisik selama berlangsungnya pemilukada
kemarin. Padahal pemilukada di sumenep dilaksanakan dua
kali putaran. Di daerah-daerah lain yang pemilukadanya dua
putaran bisa dipastikan konflik horizontal terjadi seperti halnya
di Mojokerto, Situbondo, dll. realitas politik tersebut juga diakui
oleh Gubernur Jawa Timur dalam sambutannya pada pelantikan
Bupati dan Wakil Bupati Sumenep.
2. Pandangan Masyarakat terhadap Peran NU dalam Dunia
Politik
Secara garis besar NU sangat berperan terhadap percaturan
dunia politik lokal di kabupaten Sumenep. Walaupun secara
struktur NU tidak melibatkan diri dalam politik praksis, namun
orang-orang yang aktif dalam masing-masing partai ataupun
kontestan calon kepala daerah sebagian besar ialah warga NU.
Dalam menentukan kebijakan politik serta menjaga relasi sosial
harmonis, NU secara kultural sangat berperan dalam menentukan
konstelasi politik. Secara garis besar misalnya, selama pemungutan
suara berlangsung dua kali putaran hingga pelantikan kepala
daerah yang baru konflik yang rentan terjadi tidak muncul ke
permukaan. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari peran kiai
78 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
dan pengurus NU, baik secara struktural ataupun kultural jauh-
jauh hari telah memberikan semacam maklumat kepada para
pemilih (terutama warga NU sendiri) untuk tetap tenang dalam
menghadapi kondisi apapun.
Realitas politik di kabupaten Sumenep yang menyelaraskan
demokrasi dan harmonisasi secara tidak langsung telah dilakukan
oleh sebagian besar masyarakat di kabupaten Sumenep. Walaupun
pengaruh kiai sangat besar, disamping itu rasionalitas pemilih
yang mulai meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa
etensitas pemilih dalam memilih calonnya tidak semata-mata
berdasar kepentingan egoisme. Kalaupun ada hal tersebut
barangkali dapat diukur dari sekian persen masyarakat pemilih
rasional-pragmatis.
Seperti dikatakan Dardiri bahwa walaupun tidak dapat
diukur secara seksama, masyarakat pemilih di kabupaten
Sumenep yang cenderung pragmatis tidaklah sedikit. Hal tersebut
terlihat misalnya diacuhkannya fatwa beberapa kiai yang secara
terang-terangan menyeru untuk memilih salah satu calon yang
direkomendasikan.
Adanya pendidikan yang baik bagi warga NU disamping
kekuatan kultural NU yang melekat pada setiap sendi kehidupan
masyarakat di kabupaten Sumenep, merupakah salah satu
pengambilan kebijakan politik NU terapan. Hal tersebut secara tidak
langsung menciptakan realitas sosial holistik bagi keberlangsungan
kehidupan yang lebih baik lagi. Pendidikan politik yang diberikan
NU secara kultural dengan topangan hubungan sosial-emosional,
seperti dikatakan oleh Dardiri mengenai perilaku pemilih pada
pemilu-pemilu selanjutnya, NU dan politik tidak akan tercederai
dan warga NU atau elit NU untuk beberapa tahun akan datang
dapat dipastikan akan selalu memimpin dan menjadi pemenang
di garda depan percaturan politik lokal.
Secara umum pandangan masyarakat terhadap citra politik
NU di kabupaten Sumenep cukup baik. Terlihat dari antusiasme
masyarakat menyambut para calon kepala daerah yang juga
berlatar belakang NU atau berpaham ahlussunnah waljam’ah.
Adanya pandangan positif masyarakat terhadap kebijakan politik
NU berdasarkan pada adanya sikap para elit NU yang akomodatif
terhadap warganya sehingga NU secara struktural memang-
memang besih dari pertarungan politik praktis di kabupten
Sumenep.
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 79
Nurfaizin
Daftar Bacaan
Buku
Arifin, As’ad Syamsul. (1989). NU dalam Tantangan. Jakarta: Al
Kautsar.
Bruinessen, Martin Van. (1994). NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian
Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS.
Damam, H. Rozikin. (2001). Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU
Pasca Khittah. Yoyakarta: Gama Media.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. (2009). Handbook of
Qualitative Research. terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fealy, Greg. (2008). Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967.
Yogyakarta: LkiS
Feillard, Andree. (1999). NU vis-à-vis Negara: pencarian Isi, Bentuk dan
Makna. Yogyakarta: LkiS.
Haidar, M. Ali. (1998). Nahdatul Ulama dan Islam Di Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Hasan, Syamsul A. (2003). Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat. Yogyakarta:
LKiS.
Johnson, Doyle Paaul. (1988). Teori Sosiologi Klasik dan Modern (terj).
Jakarta: Gramedia
Moesa, Ali Maschan. (2007). Nasionalisme Kiai; Konstruksi Sosial Berbasis
Agama. Yogyakarta: LKiS.
Noer, Delian. (1982). Gerakan Modern Islam di Indonesia1900-1942.
Jakarta: LP3ES.
Nurhasim, Ahmad dan Nur Kholik Ridwan. (2004). Demoralisasi Khittah
NU dan pembaruan. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa.
Ritzer, George- Douglas J. Goodman. (2004). Teori Sosiologi Modern,
terjemahan. Jakarta: Kencana.
Rozaki, Abdur. (2004). Menabur Kharisma Menuai Kuasa. Yogyakarta:
Pustaka Marwah.
Sirodj, Ahmad Chufron. (2008). Peran dan Posisi Kiai di Tengah Masyarakat
Madura. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Fakultas Usuluddin
Jurusan Perbandingan Agama.
Suseno, Fran Magnis. (1999). Jika Rakyat Berkuasa; Upaya Membangun
Masyarakat Madani. Bandung: Pustaka Hidayah.
Turmudi, Endang. (2004). Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta:
LkiS
Ulum, Bahrul. (2002). Bodohnya NU Apa NU Dibdohi, Jejak Langkah NU
Era Reformasi; Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik.
Yogyakarta: Ar-ruzz Press.
80 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017
NU dalam Dinamika Politik Lokal
Weber, Max. (2006). Sosiologi. terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Tokoh
Bangsa.
Jurnal, Makalah dan Arsip
Hefni, Moh. Jurnal Studi Keislaman (Vol. XI No. 1 April, 2007). Bhuppa’-
Bhabhu’-Ghuru-Rato dalam KARSA.
Edi Susanto, Jurnal Studi Keislaman (Vol. XI No. 1 April, 2007).
Kepemimpinan Kharismatik Kyai, dalam KARSA.
Kilasan Petikan Sejarah Budi Utomo, terjemahan,Jakarta: Yayasan
Idayu, 1975.
Internet
http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Dalam%20
Negeri/1)%20Pemilu/2)%20Pemilu%20tahun%201999/
Pemilu%201999.pdf, diakses pada 20 Maret 2011, jam 20: 45.
http://www.smpn1.sumenep.go.id/mainx.php?smnp=Z289YmVya
XRhJnhrZD0xMTE5NA%3D%3D, diakses pada 20 Maret 2011,
jam 20: 21.
http://www.sumenep.go.id/berita_c.php?pid=11234, diakses pada
20 Maret 2011, jam 20:03.
http://berita-lampung.blogspot.com/2010/06/pemilihan-kepala-
daerah-pilkada.html, diakses pada 24 Maret 2011, jam 4:22.
Media Massa
KOMPAS edisi Jumat, 19 Maret 2010.
KOMPAS edisi Jumat, 16 April 2010.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumenep tahun 2010.
Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017 81
Nurfaizin
82 Sosiologi Reflektif, Volume 11, N0. 2 April 2017