DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
Laporan Kasus : Aplikasi Lenticule Patch Graft sebagai Tatalaksana
Perforasi Kornea
Penyaji : Atika Andianti
Pembimbing : dr. Angga Fajriansyah, SpM(K)
Telah diperiksa dan disetujui oleh
Pembimbing
dr. Angga Fajriansyah, SpM(K)
Rabu, 30 Juni 2021
Pukul 07.30 WIB
APPLICATION OF LENTICULE PATCH GRAFT AS MANAGEMENT
FOR CORNEAL PERFORATION
Abstract
Introduction: Corneal ulcer is an ophthalmology problem that leading to corneal
perforation, a surgical ophthalmological emergency. The urgency of the
treatment is dictated by the necessity of preventing complications that can lead to
serious ocular morbidities. Regardless of the etiology, treatment is essential to
maintain and restore the integrity of the globe related to ocular morbidity.
Management depends on the etiology, size and location of the perforation.
Limitation to obtain corneal donor develops alternative treatments for corneal
perforation. Corneal lenticule is a part of intrastromal corneal tissue that has
been used as one of patch graft methods for closing corneal perforation.
Purpose: To report management of corneal impending perforation with
application of lenticule patch graft.
Case report: A 50-year-old man presented with impending perforated corneal
ulcer on the right eye caused by bacterial infection. His visual acuity was 2/60
with no progression by pinhole measurement. The ulcer size was 2 mm x 2 mm
with central thinning and appearance of iris shadow, hypopyon was found at the
anterior chamber. The impending perforated corneal conditions was treated with
lenticule patch graft to prevent further perforation, maintain and restore the
globe integrity.
Conclusion: Lenticule patch graft can be considered as a good option to
maintain ocular structure integrity in case of corneal impending perforation with
limited donor of healthy cornea.
Keywords: corneal perforation, corneal ulcer, lenticule patch graft
I. Pendahuluan
Perforasi kornea merupakan komplikasi dari beberapa kondisi yang
menyebabkan diskontinuitas seluruh lapisan kornea. Penyebab infeksi memiliki
prevalensi 28% dari kasus perforasi kornea yang umumnya berhubungan dengan
infeksi oleh virus, jamur, bakteri, dan parasit. Perforasi kornea merupakan
kegawatdaruratan mata yang memerlukan tatalaksana segera dengan tujuan
mengembalikan integritas kornea dan meminimalisasi risiko komplikasi sekunder
seperti endoftalmitis.1–4
Perforasi kornea dapat merupakan komplikasi dari ulkus kornea yang menetap
atau tidak responsif terhadap tatalaksana medikamentosa. Tatalaksana
medikamentosa sangat penting sebagai manajemen awal ulkus kornea yang
bertujuan untuk mencegah komplikasi yang berkaitan dengan morbiditas okular.
1
2
Kasus perforasi kornea dan ulkus kornea yang menetap memerlukan tatalaksana
segera yang bergantung pada etiologi, ukuran, dan lokasi kelainan kornea.1,4,5
Tatalaksana utama perforasi kornea merupakan keratoplasti tembus dengan
cangkok donor kornea. Ketersediaan donor kornea yang terbatas secara kualitas
dan kuantitas menjadi salah satu faktor yang menghambat tatalaksana perforasi
kornea sehingga berkembang variasi alternatif tatalaksana terapeutik operasi
untuk perforasi kornea. Salah satu alternatif patch graft untuk tatalaksana
perforasi kornea yaitu cangkok lenticule yang merupakan lapisan intrastromal
kornea dari teknik operasi small incision lenticule extraction (SMILE) pada
bidang bedah refraktif. Laporan kasus ini bertujuan untuk melaporkan aplikasi
lenticule patch graft sebagai tatalaksana perforasi kornea.6–8
II. Laporan Kasus
Seorang laki-laki usia 50 tahun datang ke poli Infeksi dan Imunologi RS Mata
Cicendo pada tanggal 28 Mei 2021 dengan keluhan mata kanan nyeri dan buram
sejak satu bulan yang lalu serta muncul bercak putih sejak tiga minggu yang lalu.
Keluhan disertai dengan mata kanan merah, berair, silau, dan keluar kotoran mata.
Pasien bekerja sebagai petani di sawah. Pasien memiliki riwayat mata kanan
terkena lumpur sawah satu minggu sebelum muncul keluhan. Pasien kemudian
mencuci mata kanannya dengan air sumur setelah kejadian. Pasien merasa
keluhan semakin parah dan muncul bercak putih pada mata kanan. Pasien
kemudian berobat ke dokter umum dua minggu kemudian dan diberikan obat tetes
mata serta kapsul per oral. Pasien tidak mengetahui nama obat, namun dikatakan
bawa obat tetes mata dalam bentuk botol berwarna putih. Pasien berobat ke dokter
spesialis mata di Rumah Sakit setempat dua hari yang lalu dan diberikan obat tetes
mata air mata buatan serta obat tetes mata lainnya yang tidak dibeli oleh pasien.
Riwayat mata merah berulang, trauma, penggunaan kacamata, dan operasi
sebelumnya disangkal. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, alergi, dan asma
disangkal.
Pasien telah berobat satu hari sebelumnya dengan keluhan yang sama ke Poli
Paviliun pada tanggal 27 Mei 2021 dan telah dilakukan pemeriksaan apus kornea
3
dengan hasil pada pewarnaan Gram didapatkan bakteri gram positif kokus
susunan satu-satu dua-dua 4-6 sel/lapang pandang besar (LPB), leukosit 5-7
sel/LPB, dan epitel 1-3 sel/LPB. Acanthamoeba sp dan jamur tidak ditemukan
pada pemeriksaan Giemsa dan KOH.
A B
Gambar 2.1 Foto klinis mata kanan Tn. W usia 50 tahun pada tanggal 28 Mei
2021
A. Segmen anterior OD pre operasi
B. Segmen anterior OD dengan thinning pada sentral ulkus kornea
Dikutip dari: RS Mata Cicendo
Pada pemeriksaan oftalmologis tanggal 28 Mei 2021 didapatkan visus mata
kanan 2/60 dan tidak maju dengan pinhole, pemeriksaan tekanan bola mata
dengan palpasi N, blefarospasme pada kelopak mata, injeksi siliar, edema kornea,
ulkus kornea ukuran 2 mm x 2 mm dengan infiltrat dan area penipisan di sentral,
tes seidel negatif, bayangan iris pada area penipisan kornea, bilik mata depan Van
Herick Grade III dengan hipopion 1 mm dan flare/cell +2/+2, pupil relatif bulat,
sinekia anterior, dan lensa agak keruh. Mata kanan dilakukan ultrasonografi
(USG) dengan kesan suspek detasemen vitreus posterior komplit dan opasitas
vitreus et causa suspek sel radang dd/ fibrosis vitreus. Visus mata kiri 0.7f2
pinhole 1.0 dengan segmen anterior dan posterior mata kiri dalam batas normal.
A B
Gambar 2.2 Pemeriksaan USG mata kanan pasien Tn. W pada tanggal 28 Mei 2021
A. Kesan suspek detasemen vitreus posterior komplit
4
B. Kesan opasitas vitreus et causa suspek sel radang dd/ fibrosis
vitreus
Dikutip dari: RS Mata Cicendo
Pasien didiagnosis dengan ulkus kornea impending perforasi okuli dekstra
(OD) et causa infeksi bakteri. Pasien mendapatkan terapi antibiotik topikal
fluorokuinolon generasi keempat satu jam sekali per hari OD, tetes mata
siklopentolat 1% tiga kali per hari OD, dan air mata buatan delapan kali per hari
OD. Pasien kemudian direncanakan untuk menjalani tindakan washout bilik mata
depan, lenticule patch graft dan cangkok membran amnion, serta pemeriksaan
kultur dan resistensi pada mata kanan.
A B C
D E F
G H I
Gambar 2.3 Intraoperasi mata kanan Tn. W usia 50 tahun tanggal 2 Juni 2021
Gambar (A) pembentukan side port pada arah jam 11; gambar (B)
washout bilik mata depan dan pengambilan sampel infiltrat dan
hipopion; gambar (C), (D), dan (E) pemasangan lenticule dan
5
penjahitan dengan teknik interrupted; gambar (F) dan (G) pemasangan
cangkok membran amnion dan penjahitan teknik interrupted; gambar
(H) injeksi udara pada bilik mata depan melalui side port; gambar (I)
pemasangan bandage contact lens
Dikutip dari: RS Mata Cicendo
Pada tanggal 2 Juni 2021, pasien dilakukan tindakan washout bilik mata depan,
lenticule patch graft serta cangkok membran amnion, pemeriksaan kultur dan
resistensi dalam anestesi umum. Setelah dilakukan anestesi, pasien dilakukan
tindakan aseptik dan antiseptik serta pemasangan drape steril dan spekulum mata
pada mata kanan. Pada pasien dilakukan pembuatan side port dengan
menggunakan stab knife pada limbus temporal arah jam 11, kemudian dilakukan
washout bilik mata depan, dan pengambilan sampel infiltrat dan hipopion dari
bilik mata depan untuk pemeriksaan kultur dan resistensi.
Setelah itu dilakukan pemasangan lenticule dengan penjahitan teknik
interrupted pada lenticule terhadap kornea resipien dengan benang ethylone 10-0
sebanyak empat jahitan pada arah jam 12, 6, 3, 9. Prosedur diikuti dengan overlay
cangkok membran amnion dengan penjahitan teknik interrupted pada cangkok
amnion terhadap kornea dengan benang ethylone 10-0 di antara jahitan lenticule
patch graft sebanyak empat jahitan. Kemudian dilakukan injeksi udara pada bilik
mata depan melalui side port. Operasi diakhiri dengan penetesan antibiotik
fluorokuinolon generasi keempat dan pemasangan bandage contact lens. Pasien
mendapatkan terapi fluorokuinolon generasi keempat delapan kali per hari OD,
tetes mata siklopentolat 1% tiga kali per hari OD, air mata buatan delapan kali per
hari OD, dan asam mefenamat per oral apabila nyeri.
Gambar 2.4 Foto klinis mata kanan Tn. W usia 50 tahun pada tanggal 3 Juni 2021
6
Segmen anterior satu hari pasca operasi
Dikutip dari: RS Mata Cicendo
Pada pemeriksaan oftalmologis satu hari pasca operasi didapatkan visus mata
kanan 1/300, tekanan bola mata dengan palpasi normal, palpebra blefarospasme
minimal, tampak injeksi siliar, edema kornea, graft intak, jahitan intak delapan
buah, terpasang bandage contact lens, bilik mata depan Van Herick Grade III
dengan flare/cell sulit dinilai, plak hipopion 1 mm, dan tampak udara, tidak
tampak sinekia, pupil kesan bulat, dan lensa agak keruh. Visus mata kiri 0.7f2
pinhole 1.0 dengan segmen anterior dalam batas normal. Terapi pasca operasi
dilanjutkan sampai perencanaan kontrol berikutnya.
Gambar 2.5 Foto klinis mata kanan Tn. W usia 50 tahun pada tanggal 23 Juni 2021
Segmen anterior mata kanan tiga minggu pasca operasi
Dikutip dari: RS Mata Cicendo
Pada pemeriksaan oftalmologis tanggal 23 Juni 2021 didapatkan visus mata
kanan 0.08 tidak maju dengan pinhole, tekanan bola mata dengan palpasi N,
palpebra tenang, tampak injeksi siliar, graft intak dan jahitan intak delapan buah
pada kornea, tampak neovaskularisasi di inferior, terpasang bandage contact lens,
bilik mata depan Van Herick Grade III dengan flare/cell +1/+1, plak hipopion 0,5
mm, tidak tampak sinekia, pupil kesan bulat dengan dilatasi farmakologis, dan
lensa agak keruh. Visus mata kiri 0.7f1 pinhole 1.0 dengan segmen anterior dalam
batas normal. Pasien membawa hasil pemeriksaan kultur dan resistensi dengan
hasil tidak ditemukan bakteri dan jamur. Pasien dilakukan penggantian bandage
contact lens serta mendapatkan terapi antibiotik topikal fluorokuinolon generasi
7
keempat delapan kali per hari OD, tetes mata siklopentolat 1% tiga kali per hari
OD, dan air mata buatan delapan kali per hari OD.
III. Pembahasan
Ulkus kornea merupakan kelainan klinis pada kornea yang ditandai dengan
defek epitel, defek pada stroma, inflamasi stroma, atau kombinasi dari beberapa
tanda klinis tersebut. Ulkus kornea akibat infeksi dapat disebabkan oleh bakteri,
jamur, Acanthamoeba, dan virus. Ulkus kornea bakteri yang tidak mendapatkan
terapi adekuat dapat menyebabkan kerusakan jaringan kornea secara progresif dan
menyebabkan perforasi kornea. Perforasi kornea akibat infeksi memiliki
prevalensi 24-55% dengan bakteri sebagai etiologi yang paling sering ditemukan.
Faktor risiko ulkus kornea bakteri antara lain penggunaan lensa kontak, trauma,
medikasi okular yang terkontaminasi, mekanisme pertahanan kornea yang
terganggu, serta perubahan stuktur permukaan kornea. Penelitian lain di India
menyebutkan bahwa pekerjaan di luar ruangan, trauma vegetatif, dan
keterlambatan terapi berhubungan dengan peningkatakan risiko perforasi kornea
akibat ulkus bakteri. Penelitian yang sama juga menyatakan bahwa
Staphylococcus epidermidis merupakan patogen terbanyak yang ditemukan pada
ulkus kornea perforasi. Kasus ini memiliki faktor risiko berupa pekerjaan petani
yang merupakan pekerjaan dengan aktivitas di luar ruangan, trauma vegetatif
akibat paparan lumpur sawah, serta keterlambatan terapi karena pasien tidak
berobat sampai tiga minggu setelah keluhan. Berdasarkan hasil pewarnaan Gram,
karakteristik susunan bakteri gram positif yang ditemukan dapat berupa bakteri
Staphylococcus.3–5,9
Ulkus kornea akibat bakteri diawali dengan invasi bakteri melalui epitel kornea
yang mengalami kerusakan. Bakteri yang sudah berhasil menginvasi kornea akan
menginisiasi proses inflamasi. Pelepasan sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) dan
tumor necrosis factor (TNF) terjadi dan memicu aktivasi sel-sel polimononuklear.
Tumor necrosis factor menginduksi sitokin proinflamasi dari makrofag, sel-sel
polimononuklear, dan sel T dari epitel serta stroma kornea. Nekrosis stroma yang
progresif dan penyebaran infeksi ke lapisan kornea yang lebih dalam
8
menyebabkan penipisan lapisan kornea sehingga terjadi perforasi kornea. Jhanji
dkk. menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara sitokin pada kornea
berkontribusi terhadap progresivitas kerusakan kornea meskipun amplifikasi
bakteri sudah berhenti sehingga tetap berisiko terjadi perforasi kornea.5,9,10
Terapi inisial ulkus bakteri yaitu antibiotik topikal empiris spektrum luas.
Kasus ulkus kornea secara umum dengan monoterapi fluorokuinolon topikal
memberikan hasil yang ekuivalen dengan terapi kombinasi karena penetrasi
fluorokuionolon yang baik. Fluorokuinolon generasi kedua seperti siprofloksasin
dan ofloksasin merupakan terapi yang efektif pada infeksi Pseudomonas sp.,
namun kurang efektif untuk infeksi bakteri gram positif. Fluorokuinolon generasi
ketiga dan keempat seperti moksifloksasin, gatifloksasin, levofloksasin, dan
besifloksasin efektif terhadap infeksi bakteri gram positif dengan dosis topikal 5–
6 mg/mL. Rekomendasi pemberian inisial antibiotik tersebut yaitu setiap 30-60
menit dan dilakukan penurunan frekuensi sesuai dengan respon klinis. Terapi
pada kasus di atas disesuaikan dengan rekomendasi yaitu pemberian antibiotik
topikal fluorokuinolon generasi keempat dengan frekuensi setiap jam. Terapi
diberikan berdasarkan temuan dari apus kornea berupa bakteri gram positif kokus
pada pewarnaan Gram. Hasil kultur dan resistensi menyatakan tidak ditemukan
bakteri maupun jamur. Penggunaan antibiotik topikal sebelum dilakukan
pemeriksaan dapat mempengaruhi hasil kultur. Penggunaan antibiotik yang efektif
dapat menyebabkan hasil kultur negatif setelah 48-72 jam pada kasus infeksi
ulkus.4,5,9,10
Perforasi kornea merupakan kegawatdaruratan mata karena dapat
menyebabkan komplikasi berat pada mata dan mengancam penglihatan. Penyebab
perforasi kornea dapat berupa ulkus kornea yang tidak memiliki respon terhadap
terapi medikamentosa. Klasifikasi penyebab perforasi kornea antara lain trauma
dan nontrauma, yang kemudian terbagi atas penyebab infeksi dan noninfeksi.
Penyebab perforasi akibat infeksi mikoorganisme, sedangkan penyebab
noninfeksi dapat berupa kelainan permukaan okular dan penyakit autoimun.1,3,8
Perforasi kornea memerlukan tatalaksana segera dengan tujuan untuk
mengembalikan integritas anatomi kornea, mencegah terjadinya sinekia,
9
masuknya mikroorganisme, terbentuknya jaringan parut yang dapat menyebabkan
komplikasi lebih lanjut, seperti glaukoma sekunder, endoftalmitis, dan kebutaan.
Pertimbangan waktu dan pemilihan tatalaksana perforasi kornea berdasarkan
etiologi, ukuran, keparahan, dan lokasi penting dalam tatalaksana perforasi
kornea. Tatalaksana medikamentosa antara lain terapi topikal berdasarkan
etiologi, serta terapi lainnya untuk pencegahan komplikasi dan pendukung
penyembuhan luka kornea. Tatalaksana nonmedikamentosa dapat berupa terapi
konservatif maupun operasi. Terapi konservatif dapat berupa penggunaan
bandage contact lens untuk ukuran perforasi yang kecil (<1 mm) dan tidak dalam
keadaan infeksi. Perforasi yang lebih besar (>2 mm) memerlukan tatalaksana
operasi. Keratoplasti tembus merupakan gold standard untuk tatalaksana operasi
perforasi kornea terutama dengan ukuran lebih besar dari 3 mm, namun
ketersediaan donor kornea terbatas secara kuantitas maupun kualitas. Penelitian
oleh Raychaudhuri dkk. di India menyatakan bahwa hanya 34% donor kornea di
negara berkembang yang dapat digunakan dalam operasi keratoplasti tembus.
Kondisi inflamasi dan immune-mediated sering menyebabkan risiko komplikasi
kegagalan cangkok kornea. Beberapa alternatif lain pada tatalaksana operasi
perforasi kornea yang antara lain tissue adhesive, flap konjungtiva, cangkok
membran amnion, patch graft, dan keratoplasti. Teknik patch graft dapat
menggunakan kornea, sklera, perikardium, fascia lata, duramater, dan membran
amnion.2,4,6,11
Lenticule patch graft saat ini menjadi alternatif lain dalam penatalaksaan
perforasi kornea. Perkembangan teknologi laser femtosecond dapat memberikan
hasil pemotongan jaringan cangkok kornea tiga dimensi dengan ketepatan tinggi.
Refractive lenticule extraction (ReLex) dengan teknik small incision lenticule
extraction (SMILE) merupakan prosedur surgikal refraksi dengan teknik laser
femtosecond untuk memperbaiki kelainan refraksi yang menghasilkan lenticule
kornea intrastromal. Prosedur SMILE dilakukan dengan memasukkan disektor
melalui insisi kecil sebesar 2-3 mm untuk memisahkan permukaan lenticular
untuk kemudian lenticule dikeluarkan. Prosedur SMILE menghasilkan lenticule
kornea dengan diameter dan ketebalan yang bergantung pada ketebalan dan
10
diameter cup, zona optikal lenticule, dan sudut pemotongan. Ukuran lenticule
yang dihasilkan pada umumnya berdiameter 6 mm hingga 6,5 mm. Penelitian oleh
El Aziz dkk. memilih subjek penelitian dengan ekuivalen sferis koreksi refraksi
lebih dari enam diopter untuk memastikan ketebalan bagian sentral lenticule
intrastromal ≥100 mikrometer.3,7,12,13
Setelah proses ekstraksi lenticule, beberapa penelitian menerapkan proses
pencucian lenticule dengan wash buffer yang terdiri atas larutan salin, human
serum-free medium, serta larutan antibiotik dan antimikotik. Penelitian Lui dkk.
mengenai teknik penyimpanan lenticule menyatakan bahwa larutan gliserol
merupakan media yang efektif dan efisien, serta bekerja paling optimal pada suhu
4°C. Gliserol memiliki kemampuan untuk menyimpan jaringan lamelar donor
lebih lama dan memiliki efek dehidrasi serta antimikroba. Hal tersebut
mempertahankan struktur kolagen stroma sehingga menjadikan gliserol sebagai
media yang baik untuk penyimpanan lenticule. Lenticule sebagai jaringan yang
aseluler akan disimpan pada suhu ruangan selama 15 menit sebelum operasi
dengan dimasukkan dalam larutan salin 24°C untuk mencapai suhu ruangan
sebelum digunakan.3,12,14
Prosedur patch graft diawali dengan debridemen lapisan epitel kornea sekitar 1
hingga 2 mm dari lokasi perforasi. Operator kemudian meletakkan lenticule di
tengah lokasi perforasi. Variasi teknik patch graft dengan lenticule dapat
menggunakan lem fibrin dan penjahitan. Penelitian Ganesh dkk. mengenai
tatalaksana mikroperforasi korena, defek kornea, dan trauma laserasi kornea yaitu
dengan melekatkan lenticule dengan kornea resipien menggunakan lem fibrin. Wu
dkk. mengaplikasikan lenticule dengan ketebalan lebih dari 100 mikrometer untuk
menutup perforasi kornea ukuran ≤3,5 mm dengan melakukan penjahitan
lenticule ke resipien kornea menggunakan benang nylon 10-0 dan menyatakan
keberhasilan pada enam pasien dengen perforasi kornea dengan tiga diantaranya
menunjukkan peningkatan best corrected visual acuity (BCVA).2,7,15
Penelitian Wu et al. menunjukkan reepitelisasi kornea pada minggu ketiga
sampai keempat pasca operasi dan tidak ditemukan komplikasi berupa infeksi,
ulkus berulang, serta perforasi setelah dilakukan follow up selama 12 bulan.
11
Penyatuan antara lenticule dengan stroma kornea terjadi setelah beberapa minggu
mengindikasikan adanya efek regenerasi parsial. Hasil penelitian oleh Jiang dkk.
mengenai keratoplasi tektonik menggunakan lenticule pada 14 kasus ulkus kornea
dan enam kasus perforasi kornea menunjukkan integritas okular tercapai, tidak
ada penolakan cangkok, dan tidak ada perforasi rekuren pada semua kasus sampai
enam bulan follow up pasca operasi. Best corrected visual acuity pasca operasi
mengalami perbaikan pada 11 mata dan menetap pada sembilan mata. Bhandari
dkk. melakukan lenticule patch graft pada tujuh mata dengan mikroperforasi,
defek kornea partial thickness, dan laserasi kornea akibat trauma dengan
menggunakan lem fibrin. Penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan
BCVA, kejernihan graft, restorasi integritas optikal dan tektonik dalam follow up
sampai tiga bulan pasca operasi.2,8,11
Ulkus kornea pada kasus ini memiliki ukuran 2 mm x 2 mm sehingga aplikasi
lenticule patch graft merupakan tatalaksana yang sesuai untuk mencegah perforasi
kornea. Kasus ini juga mengguanakan cangkok amnion sebagai overlay dari
lenticule patch graft. El Aziz dkk. mengaplikasikan prosedur yang sama, yaitu
dengan melakukan penjahitan lenticule ke kornea resipien dengan benang nylon
10-0 pada arah jam 12, 6, 3, dan 9 secara beruturan dengan teknik interrupted,
kemudian melakukan aplikasi cangkok membran amnion di atasnya dengan
penjahitan menggunakan teknik dan jenis benang yang sama.2,3,6
Membran amnion mengandung komponen yang sesuai untuk tatalaksana
perforasi kornea, yaitu faktor pertumbuhan seperti hepatocyte growth factor,
keratocyte growth factor, dan epidermal growth factor. Faktor pertumbuhan
tersebut membantu penyembuhan lapisan epitel dengan menginisiasi migrasi dan
diferensisasi sel epitel yang berkontak dengan bagian membran amnion. Membran
amnion juga melepaskan protease inhibitory yang menginduksi apoptosis sel
inflamasi lokal dan menurunkan risiko melting kornea. Kombinasi lenticule patch
graft dan membran amnion diharapkan dapat mengembalikan integritas kornea
serta mempercepat induksi penyembuhan luka pada epitel, memberikan efek anti
inflamasi, meningkatkan efek anti scarring, dan anti angiogenik pada permukaan
okular.1,4,9
12
IV. Simpulan
Lenticule patch graft merupakan alternatif tatalaksana kasus impending
perforasi dan perforasi kornea dengan hasil yang baik pada kondisi keterbatasan
donor kornea. Kombinasi prosedur overlay cangkok membran amnion dapat
meningkatkan penyembuhan epitel dan menurunkan inflamasi. Lenticule patch
graft merupakan tatalaksana kasus impending perforasi dan perforasi kornea yang
baik terutama bagi pusat pelayanan kesehatan mata yang memiliki fasilitas
refractive lenticule extraction (ReLex).
DAFTAR PUSTAKA
1. Deshmukh R, Stevenson L, Vajpayee R. Management of corneal perforations:
an update. Indian J Ophthalmol. 2020;68(1):7-14.
2. Wu, F, Jin X, Xu Y, Yang Y. Treatment of corneal perforation with lenticules
from small incision lenticule extraction surgery: a preliminary study of 6
patients. Cornea. 2015; 34(6):658-63.
3. El Aziz SA, Zaky AG, Sarhan ARES. Stromal lenticule transplantation for
management of corneal perforations: one year results. J Clin Exp Ophthalmol.
2016:07(6):1-4.
4. Stamate A-C, Tătaru CP, Zemba M. Update on surgical management of
corneal ulceration and perforation. Romanian J Ophthalmol. 2019;63(2):166–
73.
5. Weisenthal RW, Daly MK, Freitas D, Feder RS, Orlin SE, Tu EY, et al. 2019-
2020 Basic and Clinical Science Section 8 External Disease and Cornea. San
Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2020. hlm. 243-283
6. Song YJ, Kim S, Yoon GJ. Case series: use of stromal lenticule as patch graft.
Am J Ophthalmol Case Rep. 2018;12:79–82.
7. Lagali N. Corneal stromal regeneration: current status and future therapeutic
potential. Curr Eye Res. 2020;45(3):278–90.
8. Jiang Y, Li Y, Liu X-W, Xu J. A novel tectonic keratoplasty with
femtosecond laser intrastromal lenticule for corneal ulcer and perforation.
Chin Med J (Engl). 2016;129(15):1817–21.
9. Jhanji V, Young AL, Mehta JS, Sharma N, Agarwal T, Vajpayee RB.
Management of corneal perforation. Surv Ophthalmol. 2011;56(6):522–38.
10. Nishida T, Saika S, Morishige N. Bacterial keratitis. Dalam: Mannis MJ,
Holland EJ. Cornea. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier; 2017. hlm. 875-901.
11. Bhandari V, Ganesh S, Brar S, Pandey R. Application of the SMILE-derived
glued lenticule patch graft in microperforations and partial-thickness corneal
defects. Cornea. 2016;35(3):408–12.
12. Yang H, Zhou Y, Zhao H, Xue J, Jiang Q. Application of the SMILE-derived
lenticule in therapeutic keratoplasty. Int Ophthalmol. 2020;40(3):689–95.
13. Pant OP, Hao J, Zhou D, Lu C. Tectonic keratoplasty using femtosecond laser
lenticule in pediatric patients with corneal perforation secondary to
blepharokeratoconjunctivitis: a case report and literature review. J Int Med
Res. 2019;47(5):2312–20.
14. Liu Y-C, Williams GP, George BL, Soh YQ, Seah XY, Peh GSL, et al.
Corneal lenticule storage before reimplantation. Mol Vis. 2017; 23:753-764
15. Yin H, Qiu P, Wu F, Zhang W, Teng W, Qin Z, et al. Construction of a
corneal stromal equivalent with SMILE-derived lenticules and fibrin glue. Sci
Rep. 2016;6(1):1-10.