Jurnal Komunika: Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film
Jurnal Komunika: Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film
Abstrak
Sistem bahasa dalam film menyiratkan suatu bentuk kebudayaan implisit yang terwujud dalam tanda tertulis,
lisan atau gambar dan sekaligus beroperasi penting dalam memaknai, memproduksi dan mengubah makna yang tidak
lepas dari stereotip dan ideologi. Sehingga memungkinkan terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap penyandang
disabilitas sebagai kelompok minoritas. Penelitian ini berusaha melihat wacana penyandang disabilitas yang dibangun
dalam film Dancing In The Rain dengan metode penelitian analisis wacana kritis model Norman Fairclough yang
membagi analisis wacana menjadi tiga dimensi, yakni: teks, discourse practice dan sociocultural practice.
Berlandaskan tiga implikasi praktik sosial yang telah dikembangkan oleh Norman Fairclough bahwa; wacana
merupakan bagian dari masyarakat, wacana merupakan proses sosial, dan wacana berproses sesuai dengan yang
dikondisikan dalam masyarakat. Penelitian ini akan menganalisis dialog yang diartikulasikan antar tokoh, proses
produksi teks berdasarkan wawancara dengan penulis skenario, dan kondisi di luar teks yang berhubungan dengan
masyarakat atau budaya terhadap penyandang disabilitas.
Kata kunci : Analisis Wacana Kritis, Dancing In The Rain, Penyandang Disabilitas, Studi Film.
PENDAHULUAN
Wacana penyandang disabilitas dalam film Permasalahan disabilitas ditinjau dari sisi
masih menjadi praktik ketidakadilan sosial bagi internal permasalahan datang dari gangguan atau
kelompok minoritas. Film melalui stereotip dan kerusakan organ dan fungsi fisik dan atau mental,
representasi negatif secara tidak langsung kesulitan dalam orientasi, mobilitas, komunikasi,
menciptakan konstruksi penyandang disabilitas dan lainnya. Di sisi eksternal permasalahan datang
sebagai kelompok minoritas yang tidak bisa lepas dari rendahnya pemahaman masyarakat tentang
dari stigma dan diskriminasi. Untuk melakukan disabilitas, stigma, isolasi, kurangnya peran keluarga
konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai suatu dan masyarakat dalam penanganan disabilitas
strategi tertentu yang tidak terlepas dari pengaruh (Dinda, Filosa, 2019).
eksternal dan internal (Hamad, 2007). Berbagai konstruksi sosial membuat kelompok
penyandang disabilitas membuat persepsi sosial
84
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
akan identitas disabilitas sebagai kelompok individu seorang penyandang disabilitas mental yang
yang tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan dibesarkan oleh sang nenek karena ditelantarkan
(Nastiti, 2013). Tampilan di media dengan berbagai oleh kedua orang tuanya. Banyu sebagai tokoh
stereotip yang negatif akan menghasilkan sikap penyandang disabilitas dalam film ini dikucilkan
negatif dan pengabaian terhadap natur dari oleh teman sebayanya karena dianggap ‘berbeda’
penyandang disabilitas sesungguhnya (Niyu, 2017). hingga suatu ketika ia bertemu dengan Radin dan
Mengacu pada Struat Hall (1997:28 dalam Kinara, tokoh sahabat yang setia dengan Banyu.
Noviani, 2011) film adalah sebuah representasi di Namun persahabatan mereka ditentang oleh ibu
mana praktik-praktik pemaknaan dilakukan. Film Radin, yakni Katrin. Bertahun-tahun bersama
terbagi menjadi dua unsur pokok pembentuk, yakni nyatanya membuat Katrin semakin murka. Ia benci
unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur Banyu dengan ‘ketidaknormalannya’ dan Kinara
tersebut bersifat saling melengkapi dalam yang memiliki penyakit keras. Kisah ini diakhiri
merepresentasikan sebuah film. Representasi dengan Banyu yang mendonorkan jantungnya pada
merupakan produksi makna dari konsep yang ada di Radin sahabat sejatinya. Radin sendiri diketahui
pikiran manusia dan digambarkan kembali melalui memiliki penyakit jantung turunan, dan Banyu rela
bahasa (Susanti, Imron, 2020). Bahasa lisan berkorban untuk menyelamatkan nyawa sang
digunakan dalam dialog-dialog, sedangkan bahasa sahabat.
tulisan yang ada dalam film adalah penegas dari Perlunya memandang wacana penyandang
dialog yang disampaikan (Goziah, 2018). disabilitas dalam film secara lebih kritis ini
Struat Hall (1997 dalam Sayekti, 2018) membentuk rumusan masalah “Bagaimanakah
mengemukakan bahwa representasi merupakan wacana penyandang disabilitas dibangun dalam film
sistem tanda yang dikonstruksi dengan tujuan untuk Dancing In The Rain?” Peneliti menduga adanya
melahirkan wacana atau pengetahuan. Sesuatu yang praktik ketidakadilan sosial, stigma dan diskriminasi
direpresentasikan oleh media mampu menghasilkan terhadap penyandang disabilitas dalam film Dancing
budaya yang berkesinambungan melalui kekuatan In The Rain. Sehingga tujuan dari penelitian ini
penyebaran maknanya (Ulvianti, 2019). Melalui adalah untuk membongkar dan mendeterminasi
pesan yang disampaikan, film berkuasa menetapkan wacana tersembunyi yang mucul dan diartikulasikan
nilai budaya untuk menyajikan gambaran tentang melalui sebuah bahasa terhadap penyandang
realitas sosial dan identitas yang dapat dianut oleh disabilitas dalam film Dancing In The Rain.
masyarakat luas guna mewujudkan lingkungan
budaya bersama. METODE
Menurut Purwasito (2003 dalam Sutarman,
Pendekatan yang digunakan adalah penelitian
2006;5-6) sistem bahasa dalam film selalu
kualitatif dengan metode Analisis Wacana Kritis
menyiratkan suatu bentuk kebudayaan implisit yang
(Critical Discourse Analysis) dan tipe penelitian
terwujud dalam tanda tertulis, lisan atau gambar dan
deskriptif. Dengan menggunakan analisis wacana
sekaligus beroperasi penting dalam memaknai,
kritis dengan model milik Norman Fairclough.
memproduksi dan mengubah makna. Sehingga,
Menurut Norman Fairclough, diskursus atau wacana
dalam setiap representasi yang ditampilkan akan
merupakan sebuah bentuk praktik sosial yang
selalu membawa gagasan mengenai posisi sosial,
mengkonstruksikan dunia sosial, identitas dan relasi-
pengalaman, maupun kelompok tertentu. Melalui
relasi sosial (Munfarida, 2014). Sehingga Fairclough
bahasa yang diartikulasikan dari sebuah teks
membagi analisis wacana kritis dalam tiga dimensi,
memungkinkan terdapat ideologi dominan yang
yakni: teks, discourse practice, dan sociocultural
masih memarginalkan kelompok minoritas
practice. Tiga dimensi tersebut digambarkan sebagai
penyandang disabilitas di dalam realitas sosial
berikut:
masyarakat. Bahasa juga merupakan mekanisme
kontrol sosial yang sangat kuat, maka bisa disanggah
dan patut diperdebatkan.
Film Dancing In The Rain dipilih sebagai bahan
utama penelitian karena merupakan salah satu dari
tiga film dengan isu penyandang disabilitas yang
memiliki jumlah penonton terbanyak sepanjang
tahun 2018. Berkisah tentang kehidupan Banyu Gambar 1. AWK Fairclough
85
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
Pertama, Fairclough melihat teks dalam berbagai adegan, dialog, dan bagian-bagian lain yang sesuai
tingkatan dan setiap teks pada dasarnya dapat dengan pokok bahasan penelitian. Tidak hanya itu,
diuraikan dan dianalisis dari ketiga unsur sebagai studi kepustakaan juga dilakukan guna menunjang
berikut, yaitu: representasi, relasi, dan identitas keakuratan penelitian. Kemudian data-data tersebut
(Eriyanto, 2001:289). Sehingga dimensi ini akan akan diolah sesuai dengan pola pikir analisis wacana
menganalisis penggunaan kosakata, gramatika, dan kritis model Norman Fairclough.
struktur kalimat yang muncul dan diartikulasikan
melalui dialog antartokoh dan mise-en-scene. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kedua, discourse practice merupakan dimensi Berdasarkan data yang diambil sebagai korpus
yang berhubungan dengan proses produksi dan penelitian, terdapat empat kecenderungan wacana
konsumsi teks (Eriyanto, 2001:287). Teks dibentuk penyandang disabilitas yang muncul dan
lewat suatu praktik diskursus, yang menentukan diartikulasikan melalui dialog antartokoh. Empat
bagaimana teks tersebut diproduksi (Eriyanto, wacana penyandang disabilitas tersebut ialah
2001:316). Dengan demikian penelitian ini akan ketidakadilan sosial, diskriminasi, stigma sosial, dan
melihat proses produksi melalui aspek praktik stereotip. Maka wacana penyandang disabilitas akan
diskursif dari proses produksi teks oleh penulis dikaitkan dengan ketidakadilan sosial terhadap
skenario film Dancing In The Rain. penyandang disabilitas, perlakuan diskriminasi,
Ketiga, analisis sociocultural practice stigma penyandang disabilitas, dan penyandang
didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang disabilitas sebagai stereotip. Yang mana dialog-
ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana dialog tersebut muncul dan diartikulasikan dalam
yang muncul dalam media (Eriyanto, 2001:320). teks film Dancing In The Rain berdasarkan
Berperan dalam menggambarkan kekuatan klasifikasi data pada tabel berikut:
masyarakat terhadap kaitannya memaknai dan
menyebarkan ideologi dominan kepada masyarakat Tabel 1.
serta media. Secara lebih rinci, dimensi ini bertujuan Klasifikasi Data
untuk membongkar keterkaitan serta hubungan No Wacana Penyandang Disabilitas Scene
saling memengaruhi antara paradigma yang melekat Pembatasan
Kemerdekaan 44, 43
di masyarakat dengan teks yang diproduksi Individu
mengenai penyandang disabilitas dalam film Tidak setara 31, 44, 70
Dancing In The Rain. Identitas diri
penyandang
Korpus dalam penelitian ini adalah adegan disabilitas dibuat
6, 30,43, 70
(scene) dalam film Dancing In The Rain yang ambigu
mengandung wacana tersembunyi tentang praktik Tidak pantas
ketidakadilan sosial terhadap penyandang mendapatkan 31
disabilitas. Setidaknya ada 12 dari 125 total scene bantuan
Penyandang
yang tersebar di sepanjang film Dancing In The Rain disabilitas mental
terdiri dari scene 6, 9, 16, 28, 30, 31, 43, 33, 69, 70, 78
dianggap
75, dan 78. Subjek dalam penelitian ini adalah membahayakan
wacana yang muncul dan diartikulasikan tentang Pengucilan diri 9
ketidakadilan sosial terhadap penyandang disabilitas Bahan lelucon dan
28, 69
olok-olok
di dalam objek penelitian. Sedangkan objek dari
Dianggap sebagai
penelitian ini adalah film Dancing In The Rain. 16
penyakit
Sumber data primer adalah film Dancing In The Dianggap aib yang
6, 44
Rain dilengkapi dengan wawancara dengan kru film. memalukan
Tidak berdaya dan
Sementara sumber data sekunder diambil dari beban bagi orang
28, 43,75,
berbagai sumber tertulis, data ini berfungsi untuk 78
normal
melengkapi sekaligus menyempurnakan penelitian.
Karenanya, teknik pengumpulan data akan Norman Fairclough melakukan analisis wacana
dilakukan dengan cara memilih dan memilah data berdasarkan tiga tahap, yaitu: teks, discourse
primer. Agar sesuai dengan relevansi penelitian, data practice, dan sociocultural practice. Maka peneliti
primer tersebut dikelola dengan cara mencatat setiap
86
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
akan melakukan analisis data dan penjelasan Ungkapan “Nggak normal” sendiri terdiri atas
berdasarkan tiga dimensi tersebut. dua kata yakni nggak yang berarti tidak dan normal.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Ketidakadilan Sosial Terhadap Penyandang Normal memiliki arti sesuai dan tidak menyimpang
Disabilitas dari suatu norma atau kaidah, sesuai keadaan yang
Ketidakadilan sosial erat kaitannya dengan biasa, tanpa cacat, tidak ada kelainan. Sementara itu
perilaku hukum yang tidak sesuai dengan undang- kata ‘Tidak’ merupakan sebuah partikel utuk
undang atau peraturan yang berlaku. Hukum Hak menyatakan pengingkaran, penolakan,
Asasi Manusia (HAM) terhadap hak-hak penyangkalan. Sehingga tentu saja fungsi sintaksis
penyandang disabilitas secara terperinci telah “nggak normal” merujuk pada ujaran menghina dan
dinyatakan dalam Konvensi Internasional Hak merendahkan penyandang disabilitas yang dianggap
Penyandang Disabilitas (2006). Di antara teks yang memiliki kelainan. Adapun bentuk proses dari
muncul dan diartikulasikan dinilai sebagai dialog yang diartikulasikan oleh tokoh Katrin
pelanggaran hukum akibat menyalahi hak-hak tersebut membentuk koherensi lokal. Koherensi
penyandang disabilitas dalam film ini antara lain lokal merupakan gabungan antar anak kalimat yang
adalah pembatasan kemerdekaan individu, tidak pada titik tertentu dapat menunjukkan ideologi
setara, dan identitas diri penyandang disabilitas pemakai bahasa.
dibuat ambigu. Salah satu teks yang memuat unsur Bentuk dari koherensi antarkalimat yang
ketidakadilan sosial dalam film ini muncul dan membentuk dialog tersebut tergolong dalam bentuk
diartikulasikan melalui dialog dalam scene 31. perpanjangan kontras. Ketika diketahui tokoh
tersebut merupakan penyandang disabilitas, tokoh
Katrin : “Pokoknya mama nggak mau tersebut ditempatkan dalam kalimat yang
denger ya, kamu main sama siapa itu tadi diartikulasikan melalui dialog dianggap sebagai
namanya pa…” kontras “Kamu bisa main sama siapa pun, tapi
Papa Radin : “Udah ma, udah ma.” nggak sama anak yang nggak normal” yang mana
Katrin : “Banyu. Kamu bisa main sama dapat dimaknai kalau Radin boleh bermain dengan
siapa pun, tapi nggak sama anak yang nggak siapa pun tapi bukan dengan anak penyandang
normal, ngerti nggak?! Pokoknya kalo kamu disabilitas. Dialog yang diartikulasikan dan
masih main sama dia, mama samperin orang dimunculkan dalam teks ini menggambarkan
tuanya!” ketidakadilan sosial terhadap kelompok minoritas
penyandang disabilitas. Relasi yang dibangun antara
Dialog pada scene ini menunjukkan bahwa pembuat teks, khalayak, dan aktor/aktris mengenai
ketidakadilan sosial terhadap penyandang disabilitas persoalan penyandang disabilitas yang muncul dan
tidak setara. Tampak melalui potongan dialog pada ditampilkan dalam teks tersebut menunjukkan
scene 31 dimulai dengan percakapannya dengan kesenjangan sosial antara kaum dominan dan
Radin, yang menyatakan bahwa Radin baru saja minoritas. Pada dialog yang muncul dan
membantu anak penyandang disabilias yaitu tokoh diartikulasikan dalam cuplikan adegan ini, khalayak
Banyu dalam film ini. “Pokoknya mama nggak mau dihubungkan dengan ketidakadilan sosial yang
denger ya, kamu main sama siapa itu tadi namanya terjadi antara kaum minoritas dengan kaum
pa…” sementara tokoh Papa berusaha dominan.
mendinginkan suasana mengatakan “Udah ma, udah Pembuat teks dalam hal ini mengidentifikasikan
ma” sambil menepuk-nepuk pundak sang istri. dirinya sebagai bagian dari orang tua dari anak
Masih melanjutkan dialognya Katrin menutup nondisabilitas yang mengetahui anaknya bergaul
kalimat panjang itu dengan mengungkapkan dengan anak penyandang disabilitas. Alih-alih
“Banyu. Kamu bisa main sama siapa pun, tapi memberikan pemahaman, orang tua cenderung
nggak sama anak yang nggak normal, ngerti melarang anak mereka bergaul dengan anak
nggak?! Pokoknya kalo kamu masih main sama dia, penyandang disabilitas. Tindak ketidakadilan sosial
mama samperin orang tuanya!”. Munculnya fungsi pada dialog tersebut memunculkan hak penyandang
sintaksis “nggak normal” terhadap subjek yang disabilitas yakni diperlakukan tidak sama dengan
merujuk pada penyandang disabilitas secara implisit nondisabilitas. Secara implisit dialog dalam scene
menunjukkan konotasi negatif. ini mempertegas bahwa anak penyandang disabilitas
87
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
dianggap tidak normal. Dianggap manusia yang mundur. Masih merancaukan kata yang sama, Banyu
berbeda dan tidak seharusnya berteman dengan terus menunjuk Katrin sambil mengatakan “Radin…
anak-anak yang dianggap normal. Konotasi negatif Radin… Radin… jahat Radin…” sementara Radin
yang diartikulasikan dalam teks ini secara tidak menolong Katrin “Mama nggak papa ma?”
langsung dapat memengaruhi perlakuan khalayak tanyanya khawatir.
terhadap penyandang disabilitas dengan cara yang Katrin pun memanfaatkan kesempatan itu
tidak tepat. sambil mengungkapkan dialog “Kamu lihat sendiri,
kan, Radin? Kalau dia bisa nyelakain mama
Perlakuan Diskriminasi sekarang, dia juga bisa nyelakain kamu, buka mata
Diskriminasi merupakan perlakuan tidak adil kamu Radin, ayo kita pulang!” diakhiri dengan
atau dapat dikatakan pula sebagai Katrin yang menarik tangan Radin. Tindak
ketidakseimbangan tindakan yang dilakukan untuk diskriminasi dalam dialog yang muncul dan
membedakan seseorang atau kelompok tertentu. diartikulasikan oleh karakter tokoh Katrin ini
Perlakuan diskriminasi yang merujuk pada terletak pada “Kamu lihat sendiri, kan, Radin?
penyandang disabilitas yang muncul dalam dialog Kalau dia bisa nyelakain mama sekarang, dia juga
antartokoh film Dancing In The Rain adalah tidak bisa nyelakain kamu, buka mata kamu Radin”.
pantas mendapatkan bantuan, dan disabilitas mental Dalam konteks ini, diskriminasi yang dilakukan oleh
dianggap membahayakan. Salah satu teks yang tokoh Katrin adalah dengan perlakuan tidak adil atau
memuat unsur perlakuan diskriminasi dalam film ini tidak seimbang yang membedakan penyandang
muncul dan diartikulasikan melalui dialog dalam disabilitas sebagai orang yang berbahaya.
scene 78. Analisis hubungan yang dibangun antara
pembuat teks, khalayak, dan aktor/aktris mengenai
Katrin : (Menarik Banyu) persoalan penyandang disabilitas yang muncul dan
Banyu : (Mendorong Katrin) diartikulasikan dalam teks tersebut menunjukkan
Katrin : (Terjatuh) “Ah…” bahwa penyandang disabilitas khususnya mental
Radin : “Ma??” dapat membahayakan siapa pun tanpa pandang bulu.
Banyu : “Radin, Radin” Pembuat teks dalam hal ini mengidentifikasikan
(Menunjuk Katrin) “Jahat, jahat” dirinya sebagai bagian dari seorang ibu dari
Radin : “Jangan mendekat!” nondisabilitas. Tokoh Katrin yang bertindak sebagai
Banyu : “Radin… Radin… pemeran antagonis secara konsisten
Radin… jahat Radin…” mengartikulasikan dialog-dialog mengandung
Radin : “Mama nggak papa ma?” wacana penyandang disabilitas berupa perlakuan
Katrin : “Kamu lihat sendiri, kan, diskriminasi. Perlakuan diskriminasi tersebut
Radin? Kalau dia bisa nyelakain mama menyangkut hubungan interaksi sosial penyandang
sekarang, dia juga bisa nyelakain kamu, buka disabilitas dengan nonpenyandang disabilitas. Yang
mata kamu Radin, ayo kita pulang!” mana, penyandang disabilitas mental dianggap dapat
membahayakan semua orang.
Potongan dialog pada scene ini menunjukkan
bahwa perlakuan diskriminasi terhadap penyandang Stigma Sosial Penyandang Disabilitas
disabilitas mental yang dianggap membahayakan. Stigma sosial adalah sebuah penolakan atau
Dialog pada scene 78 ini terjadi setelah Banyu yang tidak ada penerimaan dari seseorang kepada
berusaha membebaskan diri dari Katrin. Banyu seseorang lainnya atau kelompok tertentu karena
berontak karena tindakan Katrin yang menarik-narik berkeyakinan bahwa orang atau kelompok tersebut
lengan Banyu sambil memarahinya. Tindakan telah melawan norma. Norma sendiri merupakan
Banyu tersebut justru membuat Katrin tersungkur aturan atau kaidah bertingkah laku tidak tertulis
dan secara tiba-tiba Radin muncul sambil yang disepakati bersama oleh masyarakat. Sehingga
memanggil “Ma??” langsung menghampiri ibunya. norma menjadi suatu hukum yang samar dan
Bersamaan dengan itu, Banyu mengatakan “Radin, memunculkan tindakan stigma sosial. Stigma sosial
Radin” kemudian menunjuk Katrin “Jahat, jahat” penyandang disabilitas dalam film ini, antara lain
namun sambil menunjuk Banyu, Radin berteriak pengucilan diri, serta bahan lelucon dan olok-olok.
“Jangan mendekat!” membuat Banyu langsung Salah satu teks yang memuat unsur perlakuan
88
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
diskriminasi dalam film ini muncul dan Cowok 2 : “Iyalah nggak pantes aduuhhh…
diartikulasikan melalui dialog dalam scene 69. temen lu kayak begitu, setelannya norak banget
sih!”
Cowok 1 : “Sttt… anak idiot” Kinara : (Menahan Radin)
Cowok 2 : “Mana?” “Udah… nggak usah diladeni!”
Cowok 1 : “Nihh… Haduhhh setelannya…” Radin : “Idiot ya? Ohh”
(terkekeh pelan) (Menghajar cowok 1)
Cowok 2 : “Haduuhh norak banget sih
setelannya, mau ke mana… lagi dia..” Dialog pada scene ini menunjukkan bahwa
Radin : “Entar dulu ah, entar lagi stigma penyandang disabilitas sebagai bahan lelucon
kita main, tadi kan udah maen. Bayu, di sini dan olok-olok. Scene tersebut terjadi setelah
nggak boleh bikin rusuh loh yaa, jangan kayak perayaan ulang tahun Kinara. Diceritakan, pada hari
di lapangan basket, janji? Tos dulu dong.” yang sama Radin juga beru mengalami kemenangan
(Menepuk-nepuk kursi untuk Kinara) Sini, atas pertandingan basket. Sehingga setelah
birthday girl. Mbak mau pesen yaa…” merayakan ulang tahun Kinara di taman, mereka
Cowok 1 : “Jangan mau mbak, orang idiot menuju ke pasar malam dan berakhir di rumah
kok pesen makanan di sini…” (Mencibir) makan sebagai penyempurna pesta mereka. Namun
Radin : “Banyu mau pesen apa?” baru saja masuk ke rumah makan itu. Tampak tiga
Banyu : “Mmmm… mau sate.” pria tengah duduk tak jauh dari pintu masuk. Saat
Cowok 1 : “Bisa emang ngelepasin sate?” Radin, Banyu, dan Kinara masuk ke restoran itu,
Cowok 2 : “Alah… paling juga dibantu sontak mereka pun menggunjing kehadiran Banyu.
ngelepasnya.” Salah satu di antara mereka berbisik “Sttt… anak
Semua cowok : (Terbahak-bahak) idiot” yang langsung mendapat respon reaktif dari
Kinara : “Kita makan di luar aja teman-temannya “Mana?” dan begitu Banyu dan
deh, yukk..”(Meletakkan buku menu) kawan-kawannya melintas, salah satu dari mereka
Radin : “Kok makan di luar? Kan itu pun mempertegas “Nihh… Haduhhh
ini makan di luar.” (Mengambil kembali buku setelannya…” dengan nada mencibir. Temannya
menu) yang lain ikut menimpali “Haduuhh norak banget
Kinara : “Udah….” sih setelannya, mau ke mana… lagi dia..” meski
Cowok 3 : “Paling dia di rumah disuapin Radin, Banyu, dan Kinara tidak menanggapi mereka
emaknyee..” tetap mengejek Banyu dengan bahasa verbal yang
Semua cowok : “Iya.. bener” (Terbahak-bahak) negatif.
Kinara : “Udah, udah, kan aku Pada adegan ini, kosakata “Idiot” dimunculkan
udah bilang, mending kita keluar dari sini!” kembali. Kosakata “Idiot” secara implisit merujuk
(Menarik tangan Radin dan Banyu) “Ayok, pada konotasi negatif terhadap penyandang
udah… ayok Banyu!” disabilitas, bersifat merendahkan, mengolok-olok,
Cowok 2 : “Orang kampuuungggg.” dan menghina. Sementara fungsi sintaksis yang
Cowok 1 : (Menjegal Banyu hingga jatuh) diartikulasikan dalam dialog “Haduhhh setelannya”
Semua cowok : (Menertawakan) dan “Haduuhh norak banget sih setelannya” juga
Radin : “Banyu…. hei, nggak mengandung konotasi yang tidak hanya sebatas
papa?” merendahkan fisik, melainkan cara berpakaian dari
Kinara : “Sakit ya?” penyandang disabilitas. Kosakata “Haduh” yang
Radin : “Jagain Banyu ya..” merupakan keluhan serta “Setelannya” yang
Kinara : “Radin, udah nggak usah merujuk pada sepasang kostum yang dikenakan oleh
di ladenin, udah..” penyandang disabilias secara implisit mengandung
Radin : “Udah… jagain bentarrrr konotasi negatif. Pada dialog selanjutnya, pemilihan
ajaaa.” (Mendekati cowok 1) “Sorry, lu kosakata “Norak” mempertegas maksud dari
ngomong apa tadi?” keluhan yang diartikulasikan melalui bahasa.
Cowok 1 : (Berdiri) “Gue bilang, temen lu Kosakata “Norak” sendiri memiliki beberapa arti,
idiot, nggak pantes kan duduk sini?” dikutip dari lektur.id arti kata norak adalah sangat
melebih-lebihkan.
89
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
Norak juga berarti kurang serasi (tentang paling juga dibantu ngelepasnya”. Fungsi sintaksis
dandanan dan sebagainya). Norak juga berarti “Alah… paling juga” merupakan konotasi negatif
kampungan. Sehingga representasi dari dialog yang secara implisit merendahkan dan menunjukkan
tersebut adalah pakaian yang digunakan Banyu ketidakberdayaan penyandang disabilitas dalam
sebagai tokoh penyandang disabilitas dalam teks melakukan kehidupan sehari-hari, bahkan
tersebut tampak kurang serasi, atau kampungan. sesederhana memakan sate.
Sementara itu, berusaha mengabaikan celotehan tiga Adapun bentuk proses dari dialog tersebut
lelaki yang duduk di sana, Radin melintas sambil adalah bentuk proses mental. Fenomena yang
merengkuh pundak Banyu dari belakang sambil ditunjukkan merupakan ketidakmampuan
mengatakan “Entar dulu ah, entar lagi kita main, penyandang disabilitas dalam melakukan mobilitas
tadi kan udah maen”, kemudian tepat sebelum dalam kehidupan sehari-hari. Adegan ini dilanjutkan
mereka bertiga duduk dan Radin membuat dengan ketidaknyamanan Kinara di tempat itu.
kesepakatan dengan Banyu, “Banyu, di sini nggak Tanpa ragu, Kinara menutup buku menu “Kita
boleh bikin rusuh loh yaa, jangan kayak di lapangan makan di luar aja deh, yukk..” sambil
basket, janji? Tos dulu dong”. Kinara yang sejak meletakkannya. Namun Radin masih bersikeras
awal tidak nyaman dengan tiga lelaki yang mencibir makan di situ dan mengambil kembali buku menu
Banyu terus memandangi tiga orang itu, sampai “Kok makan di luar? Kan ini makan di luar”
Radin menepuk-nepuk kursi di sebelahnya sambil sahutnya enggan merasa kalah pada kumpulan lelaki
mengatakan “Sini, birthday girl. Mbak mau pesen itu. Kinara berusaha menghentikan Radin sambil
yaa…” yang diikuti suara samar dari salah satu dari mengatakan “Udah….” namun sesaat kemudian
tiga lelaki itu. “Jangan mau mbak, orang idiot kok salah satu dari tiga lelaki itu menyeletukkan kalimat
pesen makanan di sini…” imbuhnya membuat Radin “Paling dia di rumah disuapin emaknyee..” sambil
dan Kinara melirik sebal. tertawa.
Seperti pemilihan kosakata yang sudah-sudah, Terdapat fungsi sintaksis “Disuapin
lagi-lagi kosakata “Idiot” diartikulasikan dalam emaknyee..” yang mengandung ungkapan
dialog yang mengandung stigma negatif terhadap eufimistik. Ungkapan “Disuapin” sebetulnya tidak
penyandang disabilitas. Sementara fungsi sintaksis merujuk pada konotasi negatif, melainkan kosakata
“Orang idiot kok pesen makanan di sini” pasif yang tidak dilakukan oleh individu itu sendiri,
menunjukkan tindak stigma sosial yang dibangun melainkan “Maknye” yang berarti sang ibu.
antara penyandang disabilitas dengan non- Sehingga fungsi sintaksis ini memperhalus konotasi
disabilitas. Dengan kata lain, penyandang disabilitas negatif mengenai ketidakberdayaan penyandang
yang dijuluki sebagai “Idiot” tidak seharusnya disabilitas yang tidak mungkin mampu melakukan
memesan makanan di restoran mewah. Bentuk kegiatan sendiri tanpa bantuan siapa pun. Bentuk
proses dari kalimat ini merupakan bentuk peristiwa. proses dari kalimat ini adalah bentuk keadaan,
Sehingga secara implisit kalimat ini menunjukkan sebuah bentuk yang merujuk pada sesuatu yang
peristiwa yang terjadi apabila penyandang disabilitas telah terjadi. Sehingga kosakata “Paling dia” yang
memesan makanan di restoran mewah, yakni merupakan ungkapan menerka-nerka bahwa tokoh
mendapatkan cemooh dan direndahkan. Masih penyandang disabilitas itu telah atau telah
berusaha mengabaikan ujaran dari lelaki itu, Radin melakukan “Disuapin” oleh “Maknye” yang tidak
membuka buku menu sambil melirik Banyu sekilas lain adalah sang ibu apabila di rumah.
“Banyu mau pesen apa?” tanyanya. Radin yang terusik dengan ungkapan tersebut
Dengan nada bicara santai, Banyu menjawab pun menutup buku menu, hingga dengan sigap
“Mmmm… mau sate” yang detik berikutnya Kinara meraih buku itu dan meletakkannya sambil
mendapat cibir lelaki itu yang tak kunjung berhenti menarik tangan Radin agar tidak mengamuk “Udah,
“Bisa emang ngelepasin sate?” dan disahut “Alah… udah, kan aku udah bilang, mending kita keluar dari
paling juga dibantu ngelepasnya” oleh temannya sini!” kemudian menarik tangan Banyu “Ayok,
yang lain sambil terbahak-bahak. Kalimat tanya udah… ayok Banyu!” sementara salah satu dari tiga
“Bisa emang ngelepasin sate?” merupakan lelaki itu berteriak dengan nada keras “Orang
rangkaian kalimat yang bersifat merendahkan. Hal kampuuungggg”. Ungkapan “Orang kampung”
ini dibuktikan dengan fungsi sintaksis yang mucul merupakan metafora, dalam hal ini penyandang
dan diartikulasikan “Bisa emang” yang kemudian disabilitas bukan orang kampung yang merujuk pada
pada dialog selanjutnya terdapat kalimat “Alah… suatu wilayah, melainkan “Orang Kampung” yang
90
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
merujuk pada istilah terbelakang atau belum yang dibangun antara pembuat teks, khalayak, dan
modern. Tidak sampai di situ, adegan ini masih aktor/aktris mengenai persoalan penyandang
berlanjut ketika Radin, Kinara, dan Banyu melintasi disabilitas yang muncul dan diartikulasikan dalam
tiga lelaki itu hendak meninggalkan restoran. Banyu teks tersebut menunjukkan diskriminasi, stigma dan
terjatuh karena langkahnya dihalangi oleh salah satu ketidakadilan sosial terhadap penyandang
lelaki kemudian mereka bersama-sama disabilitas. Tidak hanya itu, seringkali dialog yang
menertawakannya. muncul dalam cuplikan adegan ini seringkali
Dengan cemas, Radin mendekat “Banyu…. hei, merendahkan penyandang disabilitas, baik secara
nggak papa?” sambil membantu Banyu berdiri. verbal maupun nonverbal.
Kinara yang khawatir pun juga ikut membantu Khalayak dihubungkan dengan konflik sosial
Banyu “Sakit ya?” tanyanya. Radin menatap Kinara yang datang dari lingkungan luar terhadap tokoh
sambil mengatakan “Jagain Banyu ya..” membuat penyandang disabilitas. Pembuat teks dalam hal ini
Kinara yang cemas pun menahannya agar tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari
terjadi pertikaian “Radin, udah nggak usah di reaksi sosial terhadap penyandang disabilitas. Ketika
ladenin, udah..” sambil menahan lengan Radin. orang-orang nondisabilitas memandang orang
Namun Radin bersikeras “Udah… jagain bentarrrr penyandang disabilitas di tempat umum. Penolakan-
ajaaa” lantas mendekati kumpulan lelaki itu “Sorry, penolakan dan tindak pengucilan ini terus
lu ngomong apa tadi?” tanyanya. Salah satu dari digambarkan bahkan ketika tokoh Banyu sudah
tiga lelaki itu berdiri “Gue bilang, temen lu idiot, dewasa. Kondisi fisik Banyu sebagai tokoh
nggak pantes kan duduk sini?” dan langsung penyandang disabilitas menjadi bahan olok-olok dan
dijawab oleh teman-temannya yang lain “Iyalah lelucon bagi tokoh antagonis yang muncul dalam
nggak pantes aduuhhh… temen lu kayak begitu, teks. Wacana penyandang disabilitas yang
setelannya norak banget sih!”. mengandung stigma sosial semakin kuat ketika
Masih menggunakan kosakata “Idiot” dialog ini muncul dialog yang mengungkapkan bahwa “idiot
juga disusul dengan penggunaan kosakata “Norak”. nggak pantes makan di sini”.
Tidak hanya itu, tampak juga fungsi sintaksis
“Nggak pantes” muncul dan diartikulasikan oleh Penyandang Disabilitas Sebagai Stereotip
tokoh tiga lelaki pengganggu tersebut. Rangkaian Stereotip merupakan penilaian terhadap
kalimat tanya-jawab “Temen lu idiot, nggak pantes seseorang atau kelompok hanya berdasarkan
kan duduk sini?” dan “Iyalah nggak pantes” persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut
merepresentasikan bahwa penyandang disabilitas dapat dikategorikan. Sederhananya, stereotip ini
yang dalam konteks ini dijuluki dengan “Idiot” mengandung generalisasi atau menyamaratakan
tidak seharusnya atau yang diartikulasikan dalam karakteristik tertentu yang diberikan kepada
dialog disebut sebagai “Nggak pantes” untuk seseorang atau kelompok masyarakat. Stereotip yang
“Duduk sini” yang mana kosakata “Sini” merujuk berbahahaya adalah stereotip negatif. Penyandang
pada tempat mereka berada yakni restoran mewah. disabilitas sebagai stereotip dalam film ini adalah
“Nggak pantes” sendiri terdiri dari dua suku kata dianggap sebagai penyakit, dianggap aib yang
yakni “Tidak” dan “Pantas”. “Pantas” memiliki memalukan, serta tidak berdaya dan beban bagi
arti patut atau layak, sementara kosakata “Tidak” orang normal. Salah satu teks yang memuat unsur
menunjukkan kebalikan dari arti tersebut. Sehingga perlakuan diskriminasi dalam film ini muncul dan
munculnya fungsi sintaksis “Nggak pantes” diartikulasikan melalui dialog dalam scene 16.
merujuk pada sebuah ketidak-layakan, tidak patut,
tidak seharusnya. Eyang Putri : “Apa cucu saya bisa sembuh,
Dengan demikian maka pemilihan kosakata Ibu?”
dalam dialog tersebut secara implisit menunjukkan Psikolog Anak : “Kami akan berusaha
stigma sosial terhadap penyandang disabilitas. melakukan terapi dan pelatihan yang tepat agar
Dialog pada adegan ini diakhiri dengan Radin yang ia bisa mandiri, paling tidak untuk kegiatan
tersulut emosi, sementara Kinara berusaha keras sehari-hari.”
menahan Radin “Udah… nggak usah diladeni!”
tetapi Radin bergumam “Idiot ya? Ohh” sebelum Dialog pada scene ini menunjukkan bahwa
menghajar salah satu dari tiga lelaki itu dan Radin penyandang disabilitas sebagai stereotip dianggap
dikeroyok sampai babak belur. Analisis hubungan
91
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
sebagai penyakit yang bisa disembuhkan. Dialog Pembuat teks dalam hal ini mengidentifikasikan
dalam adegan tersebut merupakan percakapan antara dirinya sebagai bagian dari aktor/aktris yang
Eyang Putri dengan Psikolog Anak yang memeriksa ditampilkan dalam teks. Dialog yang mengandung
keadaan Banyu. Setelah mendengar hasil tes yang stereotip diungkapkan oleh Eyang Putri. Penyandang
telah dilakukan oleh pihak Psikolog Anak, Eyang disabilitas dianggap sebagai penyakit yang bisa
Putri merasa sedih karena ternyata sang cucu disembuhkan. Sehingga penyandang disabilitas
mengidap spectrum autis. Tampak dialog yang distereotipkan sebagai penyakit, bukan sebagai
terucap dari Eyang Putri setelah menangis adalah manusia yang dimanusiakan.
“Apa cucu saya bisa sembuh, Ibu?” kalimat tanya
tersebut secara implisit memberikan konotasi negatif Discourse Practice
terhadap penyandang disabilitas. Fungsi sintaksis Discourse Practice merupakan dimensi yang
‘bisa sembuh’ menunjukkan bahwa penyandang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi
disabilitas dianggap sebagai sebuah penyakit yang teks. Proses produksi teks lebih mengarah pada
bisa disembuhkan. pembuat teks, sementara untuk konsumsi teks
Bentuk proses dari dialog yang diartikulasikan bergantung pada pengalaman, pengetahuan, konteks
oleh tokoh Eyang Putri sendiri masuk dalam bentuk sosial yang bergantung pada diri pembaca/penikmat.
peristiwa. Peristiwa Eyang Putri yang baru saja Mengkritisi munculnya wacana mengandung
mengetahui fakta bahwa cucunya didiagnosa sebagai ketidakadilan sosial terhadap penyandang
penyandang disabilitas mental spectrum autis. disabilitas, perlakuan diskriminasi, stigma sosial
Menanggapi pertanyaan dari Eyang Putri, tokoh penyandang disabilitas, dan penyandang disabilitas
Psikolog Anak mengungkapkan kalimat “Kami akan sebagai stereotip. Pada dasarnya, tim produksi
berusaha melakukan terapi dan pelatihan yang tepat berusaha menyampaikan bahwa penyandang
agar ia bisa mandiri, paling tidak untuk kegiatan disabilitas itu berbeda namun bukan berarti rendah.
sehari-hari” kalimat tersebut merupakan koherensi Penyandang disabilitas adalah orang yang
antara anak kalimat. Dapat dilihat dari kata istimewa karena mampu mengajarkan kehidupan.
penghubung ‘dan’ dalam kata tersebut membuktikan Meski membutuhkan kesabaran yang lebih dalam
bahwa kalimat tersebut merupakan bentuk menghadapinya, penyandang disabilitas bukan tidak
perpanjangan. Dalam kalimat ini, fungsi dari anak layak untuk dicintai dan mencintai. Penyandang
kalimat kedua adalah penjelas dari anak kalimat disabilitas memiliki cara sendiri untuk
pertama. Yang mana dalam konteks ini kalimat mengungkapkan cinta karena berbeda dan istimewa.
“Pelatihan yang tepat agar ia bisa mandiri, paling Respon dari penonton menunjukkan bahwa kisah
tidak untuk kegiatan sehari-hari” merupakan dalam film ini sangat menyedihkan, sehingga
penjelas dari kalimat “Kami akan berusaha khalayak menaruh rasa iba dan empati terhadap
melakukan terapi”. karakter tokoh penyandang disabilitas dan kisah
Maka berdasarkan kalimat yang diartikulasikan persahabatannya. Maka penonton berhasil menerima
melalui dialog Psikolog Anak kalimat tersebut kepedihan dan kepiluan yang diinginkan penulis
secara implisit mengandung konotasi positif. Hal ini terhadap film Dancing In The Rain.
tampak dari kalimat yang berusaha Namun jika tujuan dari penulis dan tim produksi
merepresentasikan sebuah harapan terhadap anak film berusaha memberikan edukasi dan pemahaman
penyandang disabilitas dalam bentuk terapi dan terhadap penyandang disabilitas, maka melalui
pelatihan. Sehingga tokoh penyandang disabilitas respon penonton tersebut film ini masih belum
dapat hidup mandiri minimal dalam kehidupan terlalu berperan. Meski terdapat komentar-komentar
sehari-hari. Konstruksi hubungan yang berusaha yang mengaku mampu mendapatkan pesan moral,
dibangun antara pembuat teks, khalayak, dan namun tidak banyak yang menyampaikan review
aktor/aktris yang ditampilkan mengenai persoalan demikian. Penonton film Dancing In The Rain lebih
penyandang disabilitas lebih dilihat dalam banyak menyoroti keahlian akting aktor dan aktris.
hubungannya dengan aktor/aktris yang muncul Sebagian besar di antara review film tersebut lebih
dalam film tersebut. fokus pada kisah mengharu biru yang menyebabkan
Media sebagai ruang sosial berusaha tangis. Dalam hal ini, penulis berhasil menyentuh
membangun relasi dengan khalayak terhadap sisi emosional dan empati dari penonton melalui
kondisi dan keadaan aktor/aktris yang dihadapkan dramatisasi yang dibangun dalam film ini.
oleh kehadiran anak penyandang disabilitas.
92
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
Namun tingkat edukasi dan pemahaman sakit dan perlu disembuhkan. Pemahaman
masyarakat yang berusaha disampaikan dalam film masyarakat yang minim mengenai penyandang
Dancing In The Rain tentang penyandang disabilitas disabilitas mengakibatkan munculnya paradigma
kurang dieksplorasi lebih dalam. Unsur dramatisasi keliru terhadap cara pandang masyarakat pada
guna memancing emosional dan rasa empati penyandang disabilitas. Yang terakhir adalah
penonton untuk mengedukasi masih menempatkan penyandang disabilitas sering dijadikan individu
penyandang disabilitas dalam film ini sebagai objek yang berbeda dalam hal sosial model.
belas kasihan. Berdasarkan hasil konsumsi teks Wacana penyandang disabilitas dalam film
dapat diketahui bahwa penonton merasa ‘tidak tega’ sendiri merupakan salah satu upaya promotif dan
dengan karakter tokoh Banyu yang bahkan rela preventif untuk mengubah cara pandang dan
meninggal untuk mendonorkan jantung kepada meningkatkan pemahaman masyarakat.
sahabatnya. Rasa iba tersebut menempatkan posisi Menghapuskan stigma, diskriminasi, stereotip dan
penyandang disabilitas sebagai kelompok minoritas ketidakadilan sosial yang melekat di masyarakat
yang kasihan, dan tidak setara dengan orang yang terhadap penyandang disabilitas dapat menjadi salah
dianggap ‘normal’ lainnya. satu cara menyiapkan masyarakat agar lebih
kondusif dalam penerimaan dan perlakuannya bagi
Sociocultural Practice penyandang disabilitas. Sehingga dapat menciptakan
Sociocultural Practice adalah dimensi yang kehidupan sosial budaya yang inklusif dan ramah
berhubungan dengan konteks di luar teks, terhadap penyandang disabilitas di Indonesia.
didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang
ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana KESIMPULAN
yang muncul dalam media. Film merupakan sebuah 1. Dimensi teks, penelitian ini menemukan
teks sosial yang merekam dan sekaligus berbicara wacana penyandang disabilitas yang dibangun
tentang dinamika kehidupan masyarakat pada saat dalam film Dancing In The Rain memuat
film tersebut diproduksi (Noviani, 2011). Dalam ketidakadilan sosial terhadap penyandang
praktik sosial budaya pada kehidupan sosial disabilitas berupa pembatasan kemerdekaan
masyarakat Indonesia, disabilitas fisik masih individu, tidak setara, dan identitas diri
dimaknai sebagai suatu ketidaksempurnaan, sesuatu penyandang disabilitas dibuat ambigu.
yang abnormal, bahkan terkadang dipandang sebagai Perlakuan diskriminatif berupa perlakuan tidak
aib yang memalukan (Masduqi, 2010; Thohari, pantas mendapatkan bantuan, dan disabilitas
2012; Lusli, 2010; dalam Skripsi Nastiti, 2012). mental dianggap membahayakan. Stigma sosial
Menurut DR. Munawar Yusuf, M.Pd. dosen penyandang disabilitas berupa pengucilan diri,
FKIP dan Psikologi Universitas Sebelas Maret serta bahan lelucon dan olok-olok. Sementara
mengungkapkan bahwa ada 5 paradigma keliru penyandang disabilitas sebagai stereotip dalam
terhadap penyandang disabilitas yang melekat di film ini adalah dianggap sebagai penyakit,
masyarakat Indonesia (Riyandi, 2019). Yang dianggap aib yang memalukan, serta tidak
pertama adalah dianggap sebagai objek belas berdaya dan beban bagi orang normal. Wacana
kasihan. Selaras dengan teks-teks yang muncul dan tersebut muncul dan diartikulasikan secara
diartikulasikan melalui dialog antar tokoh dalam implisit melalui dialog antar tokoh yang
film Dancing In The Rain, ternyata dalam tingkat merujuk pada penyandang disabilitas dalam
sosial budaya penyandang disabilitas masih film Dancing In The Rain.
dianggap sebagai objek belas kasihan. Yang kedua 2. Munculnya teks mengandung wacana
adalah dianggap sebagai bahan lelucon. Konteks ini penyandang disabilitas tersebut merupakan
juga seirama dengan munculnya wacana usaha kru film untuk menciptakan dramatisasi,
penyandang disabilitas pada dimensi teks dalam memantik emosi penonton, dan mengedukasi
penelitian. pemahaman masyarakat terhadap penyandang
Yang ketiga yaitu penyandang disabilitas sering disabilitas. Dilihat dari proses konsumsi teks,
dipekerjakan atau dikomersilkan. Hal tersebut tidak tujuan dari film Dancing In The Rain yang
muncul dalam film Dancing In The Rain karena film ingin mendramatisasi dan memainkan emosi
tersebut mengangkat isu humanis dan persahabatan. penonton dapat tersampaikan dengan baik.
Yang empat yakni dianggap sebagai individu yang Hanya saja, tujuan untuk mengedukasi dan
93
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
memberi pemahaman kepada masyarakat dalam Film Dokumenter The Unseen Words. Jurnal
film ini kurang tereksplorasi. Cara Interaksi. Vol. 3, No. 2 Halaman 180-199
penyampaian pesan edukasi berupa dramatisasi DOI:https://doi.org/10.30596/interaksi.v3i2.3
untuk memancing emosi dan empati penonton 355
dalam film ini masih memuat stereotip berupa Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar
rasa iba dan belas kasihan terhadap penyandang Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
disabilitas. Goziyah, G. 2018. Film Sebagai Media
3. Dalam lingkup praktik sosial budaya di Pembelajaran Wacana Bahasa Indonesia
Indonesia, disimpulkan bahwa penyandang (Penelitian Analisis Wacana Kritis pada Film
disabilitas masih menjadi kelompok minoritas Rudy Habibie). Prosiding Semnas KBSP V.
yang terabaikan. Tampak dari kurangnya E-ISSN:2621-1661. Retrieved from
pemahaman masyarakat hingga menimbulkan https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/1161
paradigma keliru. Sikap intoleransi juga masih 7/9881?show=full
ditunjukkan oleh tingginya angka manipulasi Hamad, Ibnu. 2007. Lebih Dekat dengan Analisis
isu-isu identitas, stigmasi dan diskriminasi, Wacana. MediaTor, Vol. 8 No.2
kekerasan kepada kelompok yang dianggap DOI: https://doi.org/10.29313/mediator.v8i2
‘berbeda’ sepanjang lima tahun terakhir. .1252
Kondisi tersebut diperkuat oleh wacana Munfarida, Elya. (2014, Januari-Juni). Analisis
penyandang disabilitas di media khususnya film Wacana Kritis Dalam Perspektif Norman
yang masih menggambarkan penyandang Fairclough. Jurnal Komunika Vol.8 No.1
disabilitas sebagai orang yang tidak berdaya ISSN 1978-1261 DOI:
dan patut dikasihani, objek kekerasan, objek 10.24090/kom.v8i1.2014.pp1-19
lelucon dan kekonyolan, serta orang terasing di Nastiti, Aulia Dwi. (2013, April). Identitas
masyarakat. Kelompok Disabilitas dalam Media
Komunitas Online: Studi Mengenai
SARAN Pembentukan Pesan Identitas Disabilitas
dalam Kartunet.com. Jurnal Komunikasi
1. Film yang berperan kuat dalam menyampaikan
Indonesia Vol. II No.1 ISSN 2301-9816 DOI:
ideologi kepada masyarakat seharusnya dapat
https://doi/org/10.7454/jki.v2i1.7828
memberikan penggambaran-penggambaran
Niyu. (2017, Januari-Juni). Representasi Disabilitas
lebih realistis mengenai penyandang disabilitas.
Dalam Iklan “We’re The Superhumans”.
Hal ini bisa saja seperti merombak stereotip
INKLUSI: Journal Of Disability Studies Vol.
dan stigma sosial yang memang sudah melekat
4, No.1 h. 49-70 DOI: 10.14421/ijds.04003
di masyarakat Indonesia, agar penyandang
Noviani, Ratna. 2011. Konsep Diri Remaja Dalam
disabilitas tidak lagi mengalami diskriminasi
Film Indonesia: Analisis Wacana Atas Film
dan ketidakadilan sosial.
Remaja Indonesia Tahun 1970-2000-an.
2. Tampilan penyandang disabilitas yang dibuat
Kawistra. Vol 01 No 01 Hal 1-102 DOI:
menyedihkan guna mencuri empati penonton
https://doi.org/10.22146/kawistara.3905
seharusnya tidak lagi muncul dalam perfilman
Pengarusutamaan Gender Kementrian Pekerjaan
Indonesia. Konstruk tersebut sudah terlalu lama
Umum dan Perumahaan Rakyat (PUG-
mendominasi kancah industri film Indonesia
PUR). 2016. http://pug-pupr.pu.go.id akses
terhadap penyandang disabilitas. Akan lebih
9:30 tanggal 14/10/2019.
baik jika perfilman Indonesia mulai
Riyandi. Dipublikasikan pada 14/04/2019.
memunculkan karakter-karakter tokoh
Paradigma Keliru Tentang Penyandang
penyandang disabilitas yang kuat, tanpa harus
Disabilitas.https://www.kajianpustaka.com/
menjadi tokoh yang rela berkorban atau bahkan
2018/07/pengertian-jenis-dan-hak-
mati hanya untuk memunculkan upaya edukasi
penyandang-disabilitas.html diakses pada
kepada masyarakat.
17/10/2019 pukul 10:13.
Sayekti, Devi N M. 2018. Menjadi Bintang atau
DAFTAR PUSTAKA Binatang Analisis Wacana “Othering”
Dinda dan Filosa. (2019, Juli). Representasi dalam Film “The Greatest Showman”.
Kelompok Minoritas Disabilitas Netra Dalam Sabda. Vol 13 No 2 Desember 2018/ ISSN
94
Jurnal Komunika
Analisis Wacana Kritis Penyandang Disabilitas Dalam Film Dancing In The Rain
95