Constructivist History Learning
Constructivist History Learning
Sejarah.....(Y.R. Subakti)
Abstract
There are many problems emerge in learning history nowadays such as,
the weakness of theory usage, low imagination, textbook reference, and
state oriented curriculum. Besides, the tendency to not give attention to
the globalization fenomena and the historical background. Moreover,
learning history is low theory. The result is that learning is not
interesting and tedious, not to mention the convensional model of
learning history. In this case, learning history should alive and
insteresting.
In order to have the good result of learning history, the use of method
have to be able to construct the “historical memory” and supported by
the “emotional memory”. This kind of memory is formed by involving
the emotional aspect to construct the awareness of the student and
elucidate the significant of the historical events. Therefore, the change
of learning model is needed from the conventional to the constructive.
The theory of constructivism stated that students had to construct the
knowledge with their own skill. The basic concepts are scaffolding, top-
down process, Zone of Proximal Development (ZPD), and cooperative
learning. The aim is to construct their understanding since contributes
the meaning of what is learned.
There are some models in the use of constructivism learning approach
such as, learning model based on the problems, the characteristics of
Interactive learning model, and others. Thus, this learning style is not
only transfers the knowledge, but also stimulates student to think
rasionally and not depend on the memorization.
Drs. Y.R. Subakti, M.Pd., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah,
FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
SPPS,
SPPS, Vol. 24, No. 1, April 2010
A. Pendahuluan
Pembelajaran sejarah saat ini menghadapi banyak persoalan.
Persoalan itu mencakup lemahnya penggunaan teori, miskinnya
imajinasi, acuan buku teks dan kurikulum yang state oriented, serta
kecenderungan untuk tidak memperhatikan fenomena globalisasi
berikut latar belakang historisnya.
Lemahnya penggunaan teori dalam kajian sejarah memang ada benarnya,
karena sejarah memang tidak mempunyai teori. Sejarah meminta bantuan teori-
teori dari disiplin sosial lainnya dalam setiap kajiannya. Misalnya teori-teori
sosiologi, antropologi, psikologi, politik, dan sebagainya. Melalui teori-teori
tersebut kajian sejarah akan lebih kaya makna. Hanya kemampuan guru-guru
sejarah dalam meramu sajian sejarah dirasa kurang memadukan disiplin-disiplin
sosial lainnya dalam kajian sejarah. Guru dirasa kurang dalam menggunakan
pendekatan interdisipliner dalam kajian sejarah.
Miskin teori berakibat munculnya sejumlah contoh pernyataan dalam
buku teks yang terlalu umum dan sulit diverifikasi kebenarannya. Pembelajaran
sejarah juga juga tidak disertai percikan imajinasi yang membuat tinjauan akan
peristiwa masa lalu menjadi lebih hidup dan menarik.
Dalam proses pembelajaran sejarah, masih banyak guru menggunakan
pardigma konvensional, yaiu paradigma ‘guru menjelaskan - murid
mendengarkan’. Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan
pelajaran sejarah membosankan. Ia kemudian tidak memberikan sentuhan
emosional karena siswa merasa tidak terlibat aktif di dalam proses
pembelajarannya. Sementara paradigma ‘siswa aktif mengkonstruksi makna -
guru membantu’ merupakan dua paradigma dalam proses belajar-mengajar
sejarah yang sangat berbeda satu sama lain. Paradigma ini dianggap sulit
diterapkan dan membingungkan guru serta siswa. Di samping itu, metode
pembelajaran yang kaku, akan berakibat buruk untuk jangka waktu yang
panjang dan berpotensi memunculkan generasi yang mengalami “amnesia (lupa
atau melupakan sejarah” bangsa sendiri.
Agar pembelajaran sejarah berhasil baik, metode yang dipergunakan
harus bisa mengkostruk “ingatan historis”. Alhasil, siswa menjadikan sejarah
hanya sebagai fakta-fakta hapalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk
memaknainya, juga mampu menggali lebih jauh lagi. Ingatan historis semata
tidak akan bertahan lama. Supaya ingatan historis semata tidak akan bertahan
lama, perlu disertai “ingatan emosional”.
Ingatan jenis ini adalah ingatan yang terbentuk dengan melibatkan emosi
hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa untuk menggali lebih
jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran kemudian
tak hanya berhenti pada penghafalan saja, siswa bisa aktif dalam komunikasi dua
arah dengan guru untuk mengutarakan pendapatnya mengenai obyek sejarah
yang tengah dipelajari karena sedari awal ia telah merasa menjadi bagian dari
proses pembelajaran yang penuh dengan makna. Agar “ingatan emosional”
muncul dan bertahan lama, maka paradigma pembelajaran sejarah harus diubah.
Mengubah paradigma yang dianut oleh seorang guru dari paradigma
konvensional ke paradigma konstruktif, bukan sesuatu hal yang mudah. Hal ini
disebabkan karena kebanyakan guru sudah terbiasa dengan paradigma
konvensional, dan mereka sendiripun pada waktu masih menjadi siswa sudah
terbiasa dengan paradigma tersebut. Sungguh-sungguh diperlukan kemauan
dan tekad yang kuat untuk bisa mengubah paradigma tersebut secara nyata.
Schiffer dan Fosnot (1993) menguraikan proses jatuh bangun dari beberapa
guru yang berusaha sungguh-sungguh untuk menggunakan paradigma
konstruktivis, sekalipun mereka sendiri sebelumnya sudah sangat terbiasa
dengan paradigma konvensional. Dengan usaha yang keras, usaha para guru
tersebut akhirnya berhasil mengubah paradigma yang mereka gunakan, dan
perubahan paradigma tersebut memberikan manfaat yang positif bagi para siswa
mereka, karena dengan penggunaan paradigma yang kedua tersebut, para siswa
menjadi terbiasa mengeksplorasi secara aktif dan konstruktif konsep-konsep,
prinsip-prinsip, prosedur-prosedur, dan soal-soal sejarah (termasuk soal-soal
yang non rutin), sehingga mereka merasa bahwa sejarah adalah ‘milik’ mereka,
karena liku-likunya telah biasa mereka telusuri. Lebih jauh, hal tersebut
menambah rasa percaya diri mereka dalam menghadapi materi-materi sejarah
yang baru dan soal-soal yang sebelumnya belum pernah mereka jumpai. Hal ini
juga sangat membantu mereka pada waktu mereka menjumpai masalah-masalah
dalam kehidupan mereka sehari-sehari; sehingga secara umum, kemampuan
mereka dalam memecahkan masalah kesejarahan meningkat. Kemampuan
memecahkan masalah ini akan sangat berguna pula dalam bidang-bidang di
mana mereka nanti akan berkarya.
Belajar sejarah berarti peserta didik mampu berpikir kritis dan mampu
mengkaji setiap perubahan di lingkungannya, serta memiliki kesadaran akan
perubahan dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah.
Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang mampu
menumbuhkan kemampuan siswa melakukan konstruksi kondisi masa sekarang
dengan mengkaitkan atau melihat masa masa lalu yang menjadi basis topik
pembelajaran sejarah. Kemampuan melakukan konstruksi ini harus
dikemukakan secara kuat agar pembelajaran tidak terjerumus dalam
pembelajaran yang bersifat konservatif. Kontekstualitas sejarah harus kuat
mengemuka dan berbasis pada pengalaman pribadi para siswa. Apalagi sejarah
tidak akan terlepas dari konsep waktu, kontinyuitas dan perubahan.
Mengutip pendapat Fernand Braudel (Lechte, 2001) memahami sejarah
dari sudut waktu. Menurutnya dalam memahami sejarah ada tiga kerangka
waktu, event history (short term/jangka pendek), conjucture (mid term/jangka
menengah) dan longue duree (long term/jangka panjang). Sejarah pada satu
tempat dan komunitas terkait dengan ketiga konsep waktu tersebut. Selain itu
dari sudut ruang, Braudel menambahkan satu lagi, yaitu ekonomi dunia di mana
ini merupakan unit analisis makro terkait dengan perkembangan pertukaran
barang dan jasa. Jika dikaitkan dengan waktu kalender,event history
berlangsung antara beberapa minggu, musim sampai beberapa tahun.
Conjungture berlangsung sekitar 10 – 50 tahun sedangkan longue duree
berlangsung lebih lama, bisa sampai beberapa abad.
Perubahan yang mempengaruhi sejarah dalam jangka waktu yang lama,
dicontohkan oleh Braudel yaitu mengenai perubahan musim atau iklim.
Perubahan jangka menengah, misalnya yang terkait bidang ekonomi seperti
perubahan-perubahan harga, pertumbuhan populasi dan hasil-hasil produksi.
Perubahan-perubahan ini bisa dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sepuluh,
duapuluh, lima puluh tahun yang lalu. Event history atau jangka pendek
digambarkan oleh Braudel seperti pada awal tulisan ini. Seperti cahaya kunang-
kunang, bersinar singkat dan lemah, tetapi cukup melepaskan cahaya untuk
menyinari dataran kecil di bawahnya. Pada event history ini Braudel memberi
tekanan pada perang, politik dan diplomasi.
Pembedaan ketiga konsep waktu ini, evant history, conjucture dan longue
duree tidak merupakan pembedaan yang hirarkis, satu lebih penting dari yang
lain. Masing-masing berperan dan mempunyai fungsi sendiri-sendiri, dan ketika
tiga konsep waktu itu ditambah dengan unit analisis makro, ekonomi dunia,
menurut Braudel keempatnya tersebut akan memberikan sudut pandang kita
mengenai total history.
Apabila pemikiran Fernand Braudel tersebut diterapkan dalam
pembelajaran sejarah, maka perlu adanya perubahan paradigma pembelajaran
agar aktualitas akibat adanya perubahan dalam konsep waktu dapat dipahami
dan disadari oleh para siswa.
Beberapa faktor di atas diangkat dalam makalah singkat ini, yaitu
perubahan pembelajaran sejarah dari pola lama menjadi pembelajaran sejarah
dengan paradigma baru. Paradigma ini adalah pendekatan pembelajaran sejarah
yang kontekstual berbasis konstruktivisme dengan memperhatikan
perkembangan kekinian yang semakin global.
B. Perubahan Paradigma Pembelajaran
Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yang ditunjang oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong terjadinya
pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah model
belajar. Asumsi pergeseran tersebut bertolak dari peserta didik yang diharapkan
dapat meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan
ketrampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan,
akan tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar
yang ada, bermuara pada tiga model utama, yaitu: 1) Behaviorisme, 2)
Kognitivisme, dan 3) Konstruktivisme.
1. Pembelajaran Behaviorisme
Good et. al.(1973) menganggap behaviorisme atau tingkah laku dapat
diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah faktor rangsangan
(stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement). Teori ini
menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan respon peserta didik
terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini sejalan dengan
pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan di antara
stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan
reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (hukuman).
Sebagai contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran positif
setelah dia menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon
tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan
diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran
terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) akan memberi
rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi. Peserta
didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan
dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat response positif.
2. Pembelajaran Kognitif
Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku
yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa
para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya
mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini
menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang
mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga
peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel
menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh
utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan
untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar.
Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep
sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi
dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan
intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar
tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (2) iconic, dimana belajar
terjadi melalui penggunaan model dan gambar; dan (3) symbolic yang
mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak
Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu
rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif: pengkodean (cooding),
penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), dan pemindahan
informasi (transferring information). Menurut Bruner (1963) perkembangan
kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya
melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap pertama adalah
tahap enaktif, dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya
memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat
dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.Tahap ketiga adalah
tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak
dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan
pertolongan sistem simbol.
Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak
diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan
kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1) Peserta didik akan
lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut
disusun berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi
pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan
tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat
lebih sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada
menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa
yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah
menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya; dan (4)
Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini
sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi
kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan sukses dan lain-lain.
(dalam Toeti Soekamto 1992:36)
3. Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan
bagaimana pengetahuan disusun dalam diri manusia. Unsur-unsur
konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam proses belajar dan
pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun universitas,
meskipun belum jelas terlihat.
Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar,
guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik
dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus
membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-
masing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola
pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu
aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah
bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan
menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan
sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina
sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan
pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan
mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau
pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada
pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk
dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru
tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.
John Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan
mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran
dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman
secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan
keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan
pembelajaran.
Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam
konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku
dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara
melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah
kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan
peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru,
kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada
kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan
berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan
penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada
pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata peserta didik.
C. Penerapan Cara Belajar Sejarah Secara Aktif dan Konstruktif
Agar pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah dapat sungguh-sungguh
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, kiranya cara belajar
sejarah yang aktif dan konstruktif perlu diterapkan oleh para siswa. Proses
penggunaan cara tersebut memang membutuhkan kemauan yang kuat,
mengingat para siswa dan para guru di Indonesia, seperti yang juga terjadi di
banyak tempat lain di dunia, telah terbiasa dengan paradigma yang lama, yaitu
guru menjelaskan – siswa mendengarkan dan mengikuti petunjuk guru,
ditambah lagi dengan adanya faktor-faktor sosial-budaya yang memberi warna
tertentu pada proses pembelajaran. Akan tetapi, jika memang betul-betul ingin
mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada dalam pendidikan sejarah,
perubahan tersebut harus dilakukan.
Di atas telah disinggung bahwa pembelajaran sejarah masih bersifat
pendekatan konvensional, yakni ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas atau
mendasarkan pada “behaviorist” atau “strukturalist”. Pengajaran sejarah secara
tradisional mengakibatkan siswa hanya bekerja secara prosedural dan
memahami sejarah tanpa penalaran, berorientasi pada psikologi perilaku dan
strukturalis, lebih menekankan hafalan dan drill merupakan penyiapan yang
kurang baik untuk kerja profesional para siswa nantinya. Kebanyakan guru
mengajar dengan menggunakan buku paket sebagai “resep”, mereka
mengajarkan sejarah berdasarkan buku dari halaman per halaman, serta strategi
pembelajaran lebih didominasi oleh upaya untuk menyelesaikan materi
pembelajaran dalam waktu yang tersedia, dan kurang adanya upaya agar terjadi
proses dalam diri siswa untuk mencerna materi secara aktif dan konstruktif.
Ungkapan di atas tidak dimaksudkan sebagai “vonis” bahwa pembelajaran
sejarah dengan paradigma lama tidak memberikan kontribusi apapun dalam
pendidikan sejarah, atau bahkan justru menenggelamkan potensi-potensi yang
dimiliki siswa. Tetapi secara wajar dan proporsional dapatlah dicermati bahwa
ada bagian-bagian tertentu dari paradigma lama tersebut yang perlu perubahan.
Bagian tertentu yang dapat dikatakan sangat penting dan perlu upaya yang
seksama agar terjadi perubahan adalah cara sajian dan suasana pembelajaran.
Diperlukan suatu usaha sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan.
Beberapa aspek berikut dapat dijadikan wacana diskusi bahwa inovasi
pembelajaran sejarah dapat dilakukan dengan melakukan perubahan dari
paradigma konvensional ke paradigma konstruktivistik.
Paradima Konvensional Paradigma Konstruktivisme
Terpusat Guru Terpusat Siswa
Transmisi pengetahuan Pengembangan kognisi
Otoriter Demokratis
Inisiatif Guru Inisiatif Siswa
Siswa Pasif Siswa Aktif
Tabu melakukan kesalahan Kesalahan bernilai paedagogis
Kewajiban Kesadaran, kebutuhan
Orientasi hasil Orientasi proses dan hasil
Cepat dan tergesa-gesa Sabar dan menunggu
Layanan kelas Layanan kelas dan individu
Penyeragaman Pengakuan adanya perbedaan
Ekspositori,ceramah Diskusi, variasi metode
Abstrak; Ingatan Konkrit;Pemahaman;Aplikasi
Sejarah Murni Sejarah sekolah
Motivasi eksternal Motivasi internal
Sangat formal Sedikit Informal
Sentralistik Otonomi
Sangat Terstruktur Fleksibel
Pengajar Pendidik; Fasilitator; Pendamping
Kontak guru siswa berjarak Kontak lebih dekat
Terikat kelas Tidak hanya terikat kelas
Deduktif Induktif; deduktif
Guru pelaksana kurikulum Guru pengembang kurikulum
Evaluasi kurang bervariasi Assesmen, Evaluasi bervariasi
Peran guru mendominasi Peran melayani
Problem tidak “membumi” Problem kontekstual-realistik
D. Pembelajaran Sejarah Berdasarkan Pendekatan Konstruktivisme
1. Pandangan Tentang Belajar Menurut Teori Konstruktivisme
Teori belajar kontruktivisme menyatakan bahwa siswa harus
membangun pengetahuan di dalam benak mereka sendiri. Setiap
pengetahuan atau kemampuan hanya bisa diperoleh atau dikuasai oleh
seseorang apabila orang itu secara aktif mengkontruksi pengetahuan atau
kemampuan itu di dalam pikirannya.
Matthews dalam Suparno (1997) membagi konstruktivisme dalam dua
bagian, yaitu konstruktivisme psikologis dan konstruktivisme sosiologis.
Konstruktivisme psikologis bertolak dari perkembangan psikologis anak
dalam membangun pengetahuannya, sedangkan konstruktivisme sosiologis
lebih bertolak dari pandangan bahwa masyarakat yang membangun
pengetahuan. Konstruktivisme psikologis berkembang dalam dua arah, yang
lebih personal, individual, dan subyektif seperti Piaget dan pengikut-
pengikutnya; dan yang lebih sosial seperti Vygotsky (socioculturalism).
Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan,
sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat (lingkungan
secara kultural).
Dalam proses pembentukan pengetahuan, baik dalam sudut pandang
personal maupun sosiokultural sebenarnya sama-sama menekankan
pentingnya keaktifan siswa dalam belajar, hanya yang satu lebih
menekankan keaktifan individu, sedangkan yang lainnya lebih menekankan
pentingnya lingkungan sosial-kultural.
Dalam pembelajaran sejarah di sekolah, kedua pandangan tersebut
saling melengkapi. Belajar sejarah memerlukan proses pembentukan
individual yang aktif tapi juga proses inkulturasi dalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal ini, Cobb dalam Suparno (1997) menyarankan agar
konstruktivisme personal dikombinasikan dengan sosiokultural.
Suparno (1997:47) menyatakan “bahwa seseorang dilahirkan dalam
suatu ingkungan sosial kultural di mana obyek dan kejadian ditemukan dan
diartikan secara khusus yang juga dikonstruksikan”. Melalui interaksi
dengan unsur-unsur yang mengelilinginya, maka individu akan belajar
untuk mengenal lingkungan sosialnya. Sementara lingkungan sosial tersebut
akan mengalami perubahan secara gradual maupun kontinyu. Di sinilah
letaknya bahwa sejarah harus berdasarkan perubahan dan kontinyitas.
Dalam sudut pandang/perspektif konstruktivis personal disoroti
bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk skema berupa jalinan
konsep yang ada dalam pikiran, mengembangkan skema, dan mengubah
skema. Ia lebih menekankan bagaimana individu sendiri mengkonstruksi
pengetahuan hasil dari berinteraksi dengan pengalaman dan obyek yang
dihadapi, dan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara
sederhana maupun secara refleksi, dalam membentuk pengetahuan
sejarahnya.
Implementasi perspektif di atas dalam pembelajaran sebagaimana
diungkapkan Slavin (1994) adalah sebagai berikut.
a. Pemusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, bukan
sekedar hasil yang diperoleh; guru harus memahami proses yang
dilakukan siswa secara mendalam sampai pada jawaban suatu masalah
yang ditanyakan.
b. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan
aktif dalam kegiatan pembelajaran; guru dituntut untuk mempersiapkan
beraneka ragam kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan
secara langsung.
c. Memahami dan mengakui adanya perbedaan individual. Oleh karena itu
guru harus melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas
dalam bentuk individual dan kelompok kecil siswa.
Dalam proses belajar harus ada perubahan, terutama perubahan
konsep yang disebut dengan asimilasi untuk perubahan tahap pertama dan
perubahan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi, siswa
menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan
dengan fenomena baru. Sementara dengan akomodasi siswa mengubah
konsepnya yang sudah tidak cocok dengan fenomena baru yang muncul
(Suparno, 1997: 50). Dengan demikian diharapkan bahwa proses
pembelajaran bukan hanya sekedar transfer knowledge, tetapi sudah
membangun konsep pemahaman dalam diri siswa.
Dalam pembelajaran, Piaget menekankan pembelajaran melalui
penemuan (inkuiri), pengalaman nyata dan memanipulasi langsung alat,
bahan atau media belajar yang lain (eksperimen). Guru mempersiapkan
lingkungan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman
belajar yang luas. Menurut Piaget, perkembangan kognitif bukan merupakan
akumulasi dari kepingan informasi yang terpisah, namun lebih merupakan
pengkonstruksian suatu kerangka mental oleh siswa untuk memahami
lingkungan mereka, sehingga siswa bebas membangun pemahaman mereka
sendiri.
2. Beberapa Konsep Mendasar dalam Kontruktivisme
a. Scaffolding
Dalam lingkungan pembelajaran, proses pembentukan makna
dalam diri siswa membutuhkan dukungan guru berupa topangan
(scaffolding). Topangan adalah bantuan yang diberikan dalam wilayah
perkembangan terdekat (zone of proximal development) siswa (Wood et al.,
dalam Confrey, 1995). Topangan diberikan berdasarkan apa yang sudah
bermakna bagi siswa, sehingga apa yang sebelumnya belum dapat
dimaknai sendiri oleh siswa sekarang dapat bermakna berkat topangan
itu. Dengan demikian, topangan diberikan kepada siswa dalam situasi
yang interaktif, dalam arti guru memberikan topangan berdasarkan
interpretasi akan apa yang sudah bermakna bagi siswa, dan siswa
mengalami perkembangan dalam proses pembentukan makna berkat
topangan itu.
Scafollding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk
belajar dan untuk memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa
petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam
langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan
lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
b. Proses Top Down
Pendekatan konstruktivitis dalam pengajaran lebih menekankan
proses pengajaran secara top-down dari pada bottom-up. Konteks Top-
down adalah siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan
dan kemudian siswa memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan
guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan (Slavin, 1994).
c. Zone of Proximal Development (ZPD)
Zone of proximal development (ZPD) dimaknai sebagai “jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya dalam bentuk kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri, dengan tingkat perkembangan
potensial dalam bentuk kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan guru atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih
mampu)” (Slavin, 1994). Siswa yang bekerja dalam ZPD mereka, berarti
siswa tersebut tidak dapat menyelesaikan tugas-tugasnya, dan dapat
terselesaikan jika mendapat bantuan dari teman sebaya atau guru.
Kemampuan siswa
Sekarang
Kemampuan ZPD
awal siswa
d. Pembelajaran Kooperatif
Vygotsky dalam Slavin (1997) menyarankan agar dalam
pembelajaran digunakan pendekatan pembelajaran kooperatif,
pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan.
Salah satu implikasi penting teori Vygotsky dalam pendidikan
adalah perlunya kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa,
sehingga siswa dapat berinteraksi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan
dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif di
dalam masing-masing ZPD mereka. Pendekatan konstruktivitis dalam
pengajaran kelas yang menerapkan pembelajaran kooperatif secara
ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan
dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling
mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan temannya.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai
tiga tujuan pembelajaran yang penting, yaitu prestasi akademik,
penerimaan akan penghargaan dan pengembangan keterampilan sosial.
Meskipun pembelajaran kooperatif mencakup berbagai tujuan sosial,
namun pembelajaran kooperatif dapat juga digunakan untuk
meningkatkan prestasi akademik.
E. Pembelajaran Sejarah dalam Perspektif Konstruktivisme
1. Prinsip-prinsip Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme
Prinsip-prinsip dalam pembelajaran yang berpaham konstruktivitis
diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun
sosial;
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dan guru ke siswa, kecuali hanya
dengan keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar;
c. Siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga selalu terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta
sesuai dengan konsep ilmiah;
d. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses
konstruksi siswa berjalan mulus.
e. Evaluasi dalam pembelajaran, dalam pandangan konstruktivis, evaluasi
menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan
keterampilan yang terintegrasi dengan menggunakan masalah dalam
konteks nyata; menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan
ganda, bukan hanya satu jawaban benar; evaluasi harus diintegrasikan ke
dalam tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta
menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, bukan sebagai
kegiatan yang terpisah.
Tujuan pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah
membangun pemahaman. Pemahaman memberi makna tentang apa yang
dipelajari. Belajar menurut pandangan konstruktivis tidak ditekankan untuk
memperoleh pengetahuan yang banyak tanpa pemahaman. Pembelajaran
sejarah menurut pandangan konstruktivis adalah membantu siswa untuk
membangun konsep/prinsip sejarah dengan kemampuannya sendiri melalui
proses internalisasi, sehingga konsep/prinsip tersebut terbangun kembali,
transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru.
Ciri pembelajaran sejarah secara konstruktivis adalah:
a. Siswa terlibat secara aktif dalam belajarnya. Keterlibatan ini tidak sekedar
perintah atau petunjuk dari guru, tetapi siswa diberi kesempatan untuk
berkreativitas mengusulkan suatu topik, masalah, atau berargumentasi.
Keterlibatan dapat dalam forum klasikal maupun kelompok.
b. Siswa belajar materi sejarah secara bermakna dalam bekerja dan berfikir.
Agar siswa dapat memberi makna tentang materi sejarah yang sedang
dibahas, maka perlu sebuah materi yang bersifat analisis yang berdasar
pada hukum kausalitas. Materi tidak bisa diberikan yang bersifat
hapalan, tetapi harus diangkat dari kehidupan seharihari dan kemudian
dihubungkan dengan fakta sejarah yang pernah terjadi.
c. Siswa belajar bagaimana belajar itu. Melalui pemberian masalah yang
berbobot masalah, maka diharapkan siswa mampu belajar memahami,
menerapkan dan kemudian mampu bersikap terhadap hasil analisis
permasalahan. Dengan demikian siswa tidak hanya menghapal, tetapi
sungguh dihadapkan tuntutan kemampuan analisis.
d. Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu
dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi
(materi) kompleks terjadi. Informasi yang diberikan jangan hanya
tunggal, tetapi harus terkait dengan informasi lain dan dengan disiplin
lain. Dengan demikian siswa akan mendapatkan informasi yang utuh dan
komprehensif.
e. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan (inkuiri).
Permasalahan yang diajukan seharusnya mampu menimbulkan
rangsangan pada siswa untuk melakukan penelitian, pengamatan atau
menuntut suatu analisis. Dengan demikian siswa selalu dirangsang untu
dapat menghubungkan berbagai informasi yang diterimanya dan
kemudian mampu mengendapkan dalam pemikirannya. Muaranya
adalah siswa akan terbiasa untuk berpikir secara mendalam.
f. Berorientasi pada pemecahan masalah. Sejarah bukan hanya deretan
fakta, namun berdasarkan waktu, kontinyitas dan perubahan. Masalah
yang muncul di dalam masyarakat pada masa global ini sebenarnya
memiliki hubungan dengan fakta sejarah yang lalu. Oleh sebab itu,
permasalahan yang dimunculkan untuk dikaji oleh siswa adalah
permasalahan kekinian yang harus dicari logika kausalitasnya dengan
masa lalu.
Selain bahan ajar yang disiapkan harus bermakna bagi kognitif siswa
agar siswa terlibat secara emosional maupun sosial, dalam pembelajaran
konstruktivis guru perlu menciptakan lingkungan pembelajaran yang
kondusif.
Lingkungan pembelajaran sejarah yang perlu diupayakan oleh guru
dalam pembelajaran secara konstruktivis adalah sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang
telah siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses
pembentukan pengetahuan;
b. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua
mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat
diselesaikan dengan berbagai cara;
c. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan
dengan melibatkan pengalaman kongkret, misalnya untuk memahami
suatu konsep sejarah melalui kenyataan dalam kehidupan sehari-hari;
d. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya
transmisi sosial, yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang
dengan orang lain atau lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama
antara siswa, guru, siswa-siswa;
e. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis
sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif;
f. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga sejarah menjadi
menarik dan siswa mau belajar.
2. Model-model Pembelajaran Sejarah Berbasis Konstruktivisme
Banyak model dalam pembelajaran sejarah yang mendasarkan diri
pada pembelajaran konstruktivisme. Dalam makalah singkat ini hanya akan
dipaparkan dua model, yaitu model pembelajaran sejarah berbasis masalah
dan pembelajaran interaktif.
a. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
1) Pengertian
Model pembelajaran berdasarkan masalah adalah model
pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah
aktual dan otentik. Siswa diharapkan dapat menyusun
pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan ketrampilan yang
lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan
kepercayaan diri sendiri (Arends, 1997).
Menurut Jonassen (1999) mengusulkan sebuah model untuk
mendesain lingkungan pembelajaran konstruktivis (Gambar 1). Model
ini menggunakan masalah, pertanyaan, atau proyek sebagai fokus
lingkungan pembelajaran. Sasarannya adalah siswa
menginterpretasikan dan memecahkan masalah, menjawab
pertanyaan, atau menyelesaikan proyek. Kegiatan ini didukung
dengan sistem pendukung yang meliputi kasus-kasus terkait, sumber
informasi, sarana kognitif, komunikasi atau kolaborasi, dan dukungan
sosial atau kontekstual. Kasus-kasus terkait dan sumber informasi
mendukung pemahaman masalah dan memberikan gagasan akan
solusi yang mungkin. Sarana kognitif membantu siswa
menginterpretasi dan menangani aspek-aspek masalah. Komunikasi
dan kolaborasi memungkinkan komunitas siswa bernegosiasi dan
mengkonstruksi bersama makna-makna yang terkait dengan masalah.
Dukungan sosial dan kontekstual membantu siswa dan guru dalam
mengimplementasikan lingkungan pembelajaran.
3. Sarana Kognitif
4. Sumber Informasi
5. Kasus-kasus terkait
C. Bimbingan