0% found this document useful (0 votes)
88 views15 pages

Hermeneutika Otentitas Hadis M.M Azami

This document summarizes an article from the Farabi journal that discusses M. Mustofa Azami's criticism of two Orientalists, Ignaz Gholziher and Joseph Schacht, regarding the authenticity of hadiths. The author analyzes Azami's position and arguments through a hermeneutic lens, focusing on the relationship between author (the Orientalists), text (their works and theories), and reader (Azami). The author concludes that Azami's criticism included both internal criticism focusing on historiography and use of hadith sciences, and external criticism targeting the Orientalists' views, particularly Joseph Schacht's perspective on sanad (chain of narration).

Uploaded by

Ahmad Hasan
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
88 views15 pages

Hermeneutika Otentitas Hadis M.M Azami

This document summarizes an article from the Farabi journal that discusses M. Mustofa Azami's criticism of two Orientalists, Ignaz Gholziher and Joseph Schacht, regarding the authenticity of hadiths. The author analyzes Azami's position and arguments through a hermeneutic lens, focusing on the relationship between author (the Orientalists), text (their works and theories), and reader (Azami). The author concludes that Azami's criticism included both internal criticism focusing on historiography and use of hadith sciences, and external criticism targeting the Orientalists' views, particularly Joseph Schacht's perspective on sanad (chain of narration).

Uploaded by

Ahmad Hasan
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 15

Accelerat ing t he world's research.

HERMENEUTIKA OTENTISITAS
HADIS M. MUSTOFA AZAMI
jurnal farabi

JURNAL FARABI

Cite this paper Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

PANDANGAN ORIENTALIS T ERHADAP HADIST


Rilla Anwary

ST UDI KRIT IK ORIENTALIS T ERHADAP HADIS NABI KOTA BANJAR PAT ROMAN 2018
Hilman Fit ri

KAJIAN ORIENTALIS T HD AL-QURAN HADIS


zein hadi ibnu aidi
Farabi
ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264
Volume 13 Nomor 2 Desember 2016
Halaman 227-240
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

HERMENEUTIKA OTENTISITAS HADIS M. MUSTOFA AZAMI

Oleh: Lilik Faiqoh


Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: [email protected]

Abstract
This article discusses Azami criticism to Ignaz Gholziher and Joseph
Schacht. The author tries to integrate the relations of hermeneutics as a
solution to solve the issues of Hadith authenticity, and its interconnected
to psychology, that Azami position when criticizing the Orientalists,
Joseph Schacht, based on the flow of his thought of isnaad. Then in
reviewing hermeneutics, in general there are three dominant element is
the relationship between (author), Text (text) and readers (reader). So
the results of this analysis, the author is orientalist, Joseph Schacht Ignaz
Goldziher. The Text is orientalist books, thoughts, opinions or their
theories, in this case Joseph Schacht. The reader is referred Azami. The
discovery of the authors that position Azami criticism included are the
internal and external criticism, namely external criticism Azami focus
lies in criticism of the Orientalists, he criticized Joseph from isnaad. And
internal criticism, plays on historiography, he criticized the use of
sciences related to hadith, such as ‘Ilm Tadwin al-Hadith, ‘Ilm Rijal al-
Hadith, ‘Ilm Jarh wa ta'dil, Ulum al-Hadith, ‘Ilm al-Fiqh.

Dalam tulisan ini dikaji Kritik Azami terhadap kedua orientalis yaitu
Ignaz Gholziher dan Joseph Schacht. Penulis mencoba mengintegrasikan
bagaimana hubungan hermeneutika sebagai solusi untuk memecahkan
isu-isu otentisitas Hadis, dan aplikasi interkoneksinya seperti ilmu
psikologi, bahwa posisi Azami ketika mengkritik terhadap orientalis yaitu
Joseph, ia melihat berdasarkan alur pemikiran isnadnya. Kemudian
dalam mengkaji hermeneutika, secara garis besar ada tiga unsur yang
dominan yaitu hubungan antara (author), teks (text) dan pembaca
(reader). Maka hasil dari analisis ini, author adalah orientalis yaitu
Joseph Schacht, Ignaz Goldziher yang mana textnya adalah buku-buku
orientalis, pemikiran, pendapat atau teori orientalis dalam hal ini Joseph

227
Lilik Faiqoh

Schacht, yang dimaksud reader adalah Azami. Penemuan penulis bahwa


posisi kritik Azami termasuk berada dalam kritik internal dan eksternal,
yaitu fokus kritik eksternal Azami terletak pada kritik terhadap orientalis,
ia mengkritik Joseph dari isnadnya. Dan kritik internal, berposisi pada
historiografi, ia mengkritik menggunakan ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan hadis, seperti ilmu tadwin al-hadis, ilmu rijalul hadis, ilmu jar
wata’dil, Ilmu Hadis, ilmu Fiqih.

Keywords:
The Authenticity of Hadith; Integration-Interconnection; Hermeneutics;
Azami

Pendahuluan
Dalam hirarki sumber ajaran Islam, hadis menempati posisi ke dua setelah
al-Qur’an. Hadis tidak saja menguatkan dan memperjelas al-Qur’an, tapi
juga menjadi dasar hukum atas sesuatu yang belum dijelaskan oleh al-
Qur’an. Bahkan, bagi beberapa golongan, ia bisa menasakh al-Qur’an.
Oleh karena itu studi hadis dalam ajaran Islam merupakan hal yang sangat
penting.1 Akan tetapi keberadaan hadis itu sendiri banyak aspek yang
berbeda dengan al-Qur’an. Sebab al-Qur’an pengkodifikasianya relatif
dekat dengan masa hidup Nabi, periwayatanya secara mutawatir, qath’iy
al-wurud, yang dijaga otentitasnya oleh Allah dan secara kuantitas lebih
sedikit dibandingkan dengan hadis.2
Tidak heran jika suatu saat, hadis menjadi objek serangan orang-orang
yang tidak senang Islam atau para non-Muslim orientalis misalnya seperti,
Ignaz Golziher (1850-1921 M). Ia meragukan keyataan bahwa hadis
berasal dari Rasulullah saw. Selain dia juga terdapat Joseph Schacht
(1902-1969 M), yang menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis yang
otentik dari Nabi saw, khususnya hadis-hadis tentang hukum .3
Berbagai usaha yang dilakukan untuk menjaga otentisitas hadis telah lama
dilakukan. Terbukti dari banyaknya rawi-rawi hadis yang tinggal di
berbagai daerah, ditambah dengan usaha para ulama yang terus menerus
untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan yang mungkin terjadi dalam
periwayatan hadis, bahkan hampir tidak ada sama sekali, kekhawatiran

1 M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,


2012), h. 59.
2 Suryadi, “Rekontruksi Metodologi Pemahaman Hadis Nabi,” Jurnal Esensia, Vol. 2,

No. 1, 2001, h. 91
3 Zein, Ilmu Memahami… , h. 60.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

228
Hermeneutika Otentisitas Hadis M. Mustofa Azami

dengan terjadinya pemalsuan sanad. Maka, hadis-hadis yang terdapat


berbagai sumber yang berlainan masa dan tempat dengan membandingkan
satu dengan yang lain menghsilkan bukti-bukti yang kuat untuk meyakini
adanya hadis-hadis sekaligus untuk menerimanya.
Sebagaimana ulama’ ahli hadis-hadis dulu yang telah melakukan kegiatan
ilmiah. Seperti murid telah melakukan diskusi dengan gurunya
menggunakan kitab-kitab dari guru-gurunya atau tulisan-tulisan yang
berasal dari riwayat para gurunya. Dengan demikian kegiatan koreksi dan
kritik terhadap hadis memang sudah dilakukan di kalangan para ulama’
dahulu.4
Termasuk ulama’ masa kontemporer kini muncul adalah M. Mustofa
Azami, yang mana ia mencoba mengembalikan asumsi dan melakukan
kritik terhadap kedua orientalis di atas, ia banyak memberikan penjelasan
tentang persoalan hadis mulai dari sistem transmisi sanad hingga menuju
kualitas dan kuantitas hadis. Dalam pembahasan di sini penulis mencoba
mengaplikasikan Integrasi-Interkoneksi sebagai teropong ilmu
pengetahuan agar lebih valid adanya dengan ilmu-ilmu yang berkaitan.
Dan penulis mencoba menghadirkan hermeneutika dengan
mengintegrasikan bagaimana hubungan hermeneutika sebagai solusi
untuk memecahkan isu-isu otentisitas Hadis. Kemudian penulis akan
mengkaji hermeneutika otentisitas hadis menurut M. Mustofa Azami,
secara garis besar hermeneutika mempunyai tiga unsur yang dominan
yaitu hubungan antara pengarang (author), teks (text) atau nas, dan
pembaca (reader).

Biografi M. Mustofa Azami


Nama lengkapnya adalah Muhammad Mustofa Azami,5 ia dilahirkan di
kota Mano, India Utara pada tahun 1932. Ayahnya adalah seorang pecinta
ilmu dan sangat membenci penjajahan. Maka dari itu ayahnya tidak suka
terhadap bahasa Inggris. Watak ayahnya turut mempengaruhi perjalanan
studi Azami, ketika masih duduk di bangku SLTA ia diperintahkan untuk
pindah oleh ayahnya ke sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab.

4 M. Mustofa Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya,terj Ali Mustofa Ya’qub

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). h. 584


5 Seorang yang kerap disebut sebagai Nashir as-Sunnah era kontemporer, nama asli

beliau M. Mustofa al-A’dhamiy (jika ditulis dalam ejaan latin menjadi Musthofa Azami), kemudian
biasa disebut Azami. Di artikel ini digunakan nama Azami. Lihat Abdul Mustaqim, dkk, Kajian al-
Qur’an dan Hadis dalam Dialektika Kontemporer (Yogyakarta: Idea Press, 2014), h. 141.

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

229
Lilik Faiqoh

Dari sinilah Azami mulai belajar hadis hingga ia menjadi pakar hadis
ternama.6
Azami meraih sarjana mudanya di College of Science di Deoband, India
(1952). Kemudian Masternya diselesaikan di Universitas al-Azhar, Cairo
(1955), Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, dengan memperoleh ijazah
al-‘Alimiyah. Tahun 1956, Azami diangkat sebagai Dosen bahasa Arab
untuk orang-orang non Arab di Qatar. Kemudian Tahun 1957 beliau
diangkat sebagai sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar. Tahun 1964
Azami melanjutkan studi doktornya yang diraih dengan pradikat summa
cumloude di Universitas Cambridge, Inggris (1966), dengan desertasinya
yang berjudul Studies in Early Hadits Literature.7 Lalu beliau kembali lagi
ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968 beliau
mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Makkah untuk
mengajar di Fakultas Pascasarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam, di
Universitas King Abd al-‘Aziz (Umm al-Qura’) dan masuk sebagai
Associate Profesor. Beliau bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri,
termasuk yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.8
Tahun 1973 beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi
Islam, Fakultas Tarbiyah, di Universitas King Saud dan sekaligus baliau
menjadi guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di Universitas tersebut.9 Pada
tahun 1980, beliau pernah menerima award dari Yayasan Internasional
King Faisal dalam bidang islamic studies. Di antara muridnya beliau di
Indonesia adalah Prof Dr KH. Ali Mustofa Ya’qub, MA (1952 -2016 M).10
Muridnya sendiri memberikan gagasan bahwa Syafi’i pernah dijuluki
"pembela sunnah" oleh penduduk Makkah karena berhasil mematahkan
argumen pengingkar sunnah, sebutan lain hadis. Pada masa kini, Azami
pantas dijuluki “pembela eksistensi hadis” karena berhasil meruntuhkan

6 M.Mustofa Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya,terj Ali Mustofa Ya’qub

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). h. 700


7 Kemudian karya ini dibukukan, dari versi bahasa Inggris berjudul Studies in hadith

Methodology and Literarure, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002. Versi bahasa Arab berjudul
Dirasat fi al-Hadis an-Nabawiy wa Tarikh Tadwinih, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980. Dan versi
bahasa Indonesia yang diterjemahkan muridnya sendiri oleh Ali Mustofa Ya’qub, yang berjudul,
Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
8 Azami, Hadis Nabi…, h. 700
9 Azami, Hadis Nabi…, h. 700
10 Tim Mahasiswa jurusan TH-Khusus ’07 UIN-SuKa, Yang Membela dan yang

Menggugat: Seri Pemikiran Tokoh Hadis Kontemporer (ccs-SuKa Press: Yogyakarta, 2012), h. 217

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

230
Hermeneutika Otentisitas Hadis M. Mustofa Azami

argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal dari Nabi.11 Maka bisa
dipetakan intelektualitas Azami menjadi dua fase, yakni fase awal (1952-
1954), Azami mengalami transformasi pemikiran dari Collage of Science
di Deoband dan Universitas al-Azhar Kairo. Fase kedua, (1964-1966) ia
bersentuhan langsung dengan pemikiran para orientalis di Cambridge
Inggris.12
Di antara Karya-karyanya yang terkenal adalah: Sstudies in Early Hadith
Literature, Hadith Methodology dan Literature, On Schacht’s Origin of
Muhammadan Jurisprudence, Dirasat fi al-Hadith an-Nabawi, Kuttab al-
Nabi, Manhaj al-Naqd ‘ind al-‘Ilal Muhaddithin, dan al-Muhaddithin min
al-Yamamah. Beberapa buku yang dieditnya antara lain, al-‘Ilah of lbn al-
Madini, Kitab al- Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasulullah of ‘Urwah
bin Zubayr, Muwatta Imam Malik, Sahih ibn Khuzaimah, dan Sunan ibn
Majah. Beberapa karya Azami telah diterjemahkan ke dalam beberapa
bahasa lain. Karya yang akan segera terbit antara lain, The Qur’anic
Challenge: A Promise Fulfilled (Tantangan al-Qur’an: Suatu Janji yang
Telah Terpenuhi), dan The Isnad System: Its Origins and Authenticity
(Sistem Isnad: Keaslian dan Kesahihannya).13

Sejarah dan Kodifikasi Hadis

Masa penulisan yang dilakukan ahli-ahli hadis sampai kira-kira


pertangahan abad kedua Hijriyah. Sebab sejak pertengahan abad kedua
sudah muncul buku-buku hadis dengan bentuk ensiklopedia seperti buku-
buku tulisan Ibnu Juraij, Sa’id bin Abu A’rubah, Ibnu Abi Dzi’b, al-
Auza’i, Syu’bah, Sufyan al-Tsauri, Malik, dan lain-lain. Kebanyakan ahli-
ahli hadis wafat kira-kira antara tahun 150-160 H.
Selanjutnya, khusus abad ke tiga merupakan masa produktif dalam
penulisan kitab-kitab hadis. Sistem penyusunannya lebih baik dari masa
sebelumnya. Sehingga praktis buku-buku yang ditulis pada masa
sebelumnya tidak lagi tersisa kecuali sedikit saja. Fakta ini dijadikan
alasan oleh orang untuk membantah adanya pembukuan hadis pada masa

11 Testimoni bagian belakang buku M. M. Al-A’zamī, The History of The Quranic Text

From Revelation to The Compilation: A Comparative Studi with The Old and New Testaments, terj.
Anis Malik Thaha dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
12 Ahmad Isnaini, “Historisitas Hadis Menurut M. Mustafa Azami”, dalam Journal of

Qur’an and Hadith Studies, Vol. 3, No. 1, 2014. h.122.


13 Umaiyatus Syarifah, “Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam Pemikiran Hadis

(Counter atas Kritik Orientalis)”, Jurnal Ulul Albab, Vol 15, No.2, 2014, h. 225

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

231
Lilik Faiqoh

dini, bahkan untuk membantah adanya hadis itu sendiri.14 Azami telah
menyusun periodesasi sejarah dan perkembangan hadis sebagai
berikut:

a. Masa sebelum Hadis dibukukan


Mulai zaman Nabi saw sampai abad pertama Hijriyah. Fase pertama, fase
aktifnya para sahabat menerima dan menyampaikan hadis.15 Pada abad
pertama seluruhnya mencakup yang ditulis masa Sahabat. Sebab Anas bin
Malik yang banyak meriwayatkan Hadis, wafat tahun 93 H. Ada juga
sahabat yang wafat sesudah itu. Tetapi melihat pada masa itu terdapat juga
tulisan tokoh-tokoh Tabi’in. Oleh karena itu perlu dipisahkan antara hadis-
hadis yang ditulis oleh para sahabat, dan hadis-hadis yang ditulis oleh para
tabi’in.16
Fase kedua, fase para tabi’in menerima dan meriwayatkan hadis dari para
sahabat.17 Tulisan para tabi’in abad pertama, di antaranya yang berasal dari
sahabat, adalah Aban bin Ustman bin Affan (w 20-105 H), beliau termasuk
orang pertama kali menulis buku. Beliau menulis buku tentang Maghazi
(kisah peperangan Nabi). Yahya bin al-Mughirah bin Abd al-Rahman
meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya (al-Mughirah) tidak
mempunyai kitab tulisan tangan yang berisi hadis-hadis Nabi saw selain
maghazi Nabi yang diambilnya dari Abban bin Usman. Ayahnya itu sering
membacakan kitab tersebut, serta menyuruh Yahya agar
mempelajarinya.18
Fase ketiga, fase tabi’ al-tabi’in menerima dan meriwayatkan dari tabi’in.19
Tulisan para tabi’in muda dan yang berasal dari tabi’in, terdapat Ibrahim
bin Abd al-A’la al-Ju’fi (w 125 H). Beliau meriwayatkan hadis dari Sa’id
bin Ghaflah (w. 80 H) dan lain-lain, sedangkan hadis-hadis beliau
driwayatkan oleh Isra’il, al-Tsauri, dan lain-lain. Syu’bah pernah menulis
surat kepada Isra’il, minta dituliskan hadis-hadis yang berasal dari Ibrahim
Abd al-A’la. Kemudian Isra’il membalasnya. 20

14 M. Al-A’zamī, Dirasat fi al-Hadis an-Nabawiy wa Tarikh Tadwinih (Beirut: al-Maktab

al-Islami, 1980), h.84


15 M. M. Al-A’zamī, Studies in hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur:

Islamic Book Trust, 2002), h. 31


16 A’zamī, Dirasat fi al-Hadis..., h. 58
17 A’zamī, Studies in hadith…, h. 60
18 Azami, Hadis Nabi…., h. 201
19 A’zamī, Studies in hadith….,h. 74
20 Azami, Hadis Nabi…, h. 235

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

232
Hermeneutika Otentisitas Hadis M. Mustofa Azami

Dan Fase keempat, fase para guru dan ulama’ hadis mengajar dan
menyampaikan hadis.21 Seperti Aban bin Yazid al-Attar (w. 160 H). Beliau
meriwayatkan hadis dari Amr bin Dinar, Qatadah dan lain-lain. Sedangkan
hadis-hadis beliau diriwayatkan oleh Musa bin Isma’il dan lain-lain.
Pernah pada suatu saat orang-orang berkumpul di rumah Musa bin Isma’il
sampai mereka berdesakan. Mereka masing-masing membawa catatan
hadis yang berasal dari Aban bin Yazid al-Attar.22
b. Masa setelah Hadis dibukukan
Perkembangan hadis mulai sejak abad II Hijriyyah, yakni sejak
dikeluarkannya perintahan resmi dari khilafah Umar bin Abdul Aziz dalam
membukukan hadis. Pertama, fase ahli hadis, para ahli dalam menyusun
kitab-kitab hadis juga mengunakan ayat-ayat al-Qur’an, atsar-atsar sahabat
dan tabi’in, di semua kota besar yang masuk dalam daerah Islam ada ahli-
ahli hadisnya yang terkenal. Kedua, fase sampai awal abad III Hijriyah.
Dalam fase ini kitab-kitab hadis, khusus hanya memuat hadis Nabi saja,
mulai ada. Susunan Hadis yang termaktub dalam beberapa kitab hadis ada
yang berdasarkan nama sahabat periwayat. Ketiga, fase pada abad II
Hijriyah dan seterusnya. Dalam fase ini, merupakan perkembangan hadis
lebih kepada penulisannya, pengkajian dan pembahasan, telah mencapai
puncaknya yang tertinggi. Ilmu-ilmu hadis pada masa ini telah mengalami
perkembangan yang pesat.23

Otentisitas Hadis Menurut Orientalis

Kajian tentang otentisitas hadis dimaksudkan untuk melihat hadis yang


otentik maupun tidak otentik. Penekanan para peneliti di Barat adalah
melakukan sebuah penanggalan (dating) atas sebuah hadis untuk menilai
asal-usul atau sumbernya. Sebagian besar sarjana Barat percaya, atau kalau
ada juga sangat sedikit sekali, hadis yang dapat diatributkan secara historis
kepada Nabi.24 Ada beberapa teori yang berkembang dalam kesarjanaan
Barat, antara lain:
a. Teori Projection Back

21 A’zamī, Studies in hadith…., h. 106


22 Azami, Hadis Nabi…, h. 302
23 Tim Mahasiswa TH-Khusus, Yang Membela….,h. 221-222 Lihat juga, M. Syuhudi

Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Penerbit Angkasa), h. 69-71


24 Komarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Bandung:

Mizan, 2009), h. 155

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

233
Lilik Faiqoh

Teori projection back adalah teori yang di cetuskan oleh Joseph Schacht,
yang mengatakan bahwa masa belakangan adalah sumber dari masa lalu,
dalam arti sanad masa lalu, pencerita masa lalu, rawi masa lalu, itu berasal
dari masa sesudahnya. Ia menggunakan cara pandang terbalik dari umat
Islam, yang memandang bahwa hadis umat Islam, baik matan maupun
sanad, selalu membuat garis lurus dalam gambarannya, meletakkan masa
lalu sebagai sumber dari masa sesudahnya. Teori ini memandang di mana
semua zaman mundur ke zaman sebelumnya untuk melegetimasi
kebenarannya. Bukan masa sesudahnya berasal dari masa sebelumnya,
tapi masa lalu merupakan hasil dari pembangunan kembali dari masa
sesudahnya.25
Schacht memandang tidak dari sudut pandang teologis, namun dari sudut
pandang sosiologis dalam sejarah, sehingga ia memandang Islam bukan
dibentuk hanya pada masa Nabi saja, namun Islam dibentuk terus dan terus
berlanjut sampai masa kekhalifahan. Berbeda dengan umat Islam yang
mengatakan bahwa Islam memang sudah final pada masa kenabian, dan
sudah produk jadi dari Nabi. Masa setelah itu tinggal mencontoh dan
mengikuti yang telah dajarkan dan dipraktekkan oleh Nabi.26
b. Teori Common Link
Teori Common Link adalah teori yang diperkenalkan oleh sarjana Barat,
yakni perawi tertua atau perawi yang paling dekat dengan Nabi dalam
jaringan isnad, yang berasal darinya sejumlah atau banyaknya jalur
periwayatan mulai menyebar. Schacht menyatakan bahwa sebuah hadis
yang memiliki seorang common link dalam isnadnya diedarkan atau
disebarkan oleh common link itu sendiri, dengan syarat common link
tersebut bukan seorang figur abad pertama, dalam kasus seperti itu riwayat
dari common link tersebut tidak historis.27
Kesimpulan Schacht tentang hadis, bahwa tidak ada hadis yang dapat
ditelusuri secara historis sampai kepada Nabi. Hal ini berdasarkan pada
hipotesis bahwa isnad cenderung tumbuh ke belakang (tend to grrow
backwards). Artinya semakin ke belakang semakin sempurna dan panjang
jalur isnad-nya. Jadi antara guru dan murid terus menyebar dan mempunyai
banyak murid. Bahwa munculnya sebuah common link dalam semua atau

25 Al-Makin, Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi,

(Yogyakarta: Serambi, 2015), h. 98


26 Amin, Menguji kembali…, h.142. Lihat juga Al-Makin, Antara Barat…., h. 99
27 Amin, Menguji kembali…, h. 142

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

234
Hermeneutika Otentisitas Hadis M. Mustofa Azami

hampir semua isnad hadis adalah indikator yang sangat kuat bahwa hadis
muncul memang pada masa common link. 28

Kritik Azami Terhadap Orientalis

Ada banyak kritik yang dilakukan Azami terhadap pemikiran Joseph


Schacht tentang teori projection back. Pertama, dalam dunia ilmu
pengetahuan, citra para guru tidaklah sama. Setiap pelajar selalu
cenderung untuk berguru kepada guru yang paling baik dan populer. Pada
abad ke dua Hijriyah, sudah terdapat kaidah-kaidah kritik (al-jarh wa al-
ta’dil) baik secara lisan maupun tulisan. Dari kaidah-kaidah itu dapat
diketahui bahwa sebagian guru memang ada yang mempunyai reputasi
ilmiah yang tinggi, sedangkan yang lain tidak demikian. Azami
berpendapat bahwa kalau demikian maka apakah rahasianya sampai para
pelajar itu tidak membuat sanad dengan memasukkan nama guru-guru
yang mempunyai reputasi ilmiah yang tinggi dan citra yang baik, dan
kenapa mereka dalam memalsukan hadis tidak memakai nama tokoh-
tokoh yang sudah menjadi andalan. Tapi mereka malah justru memilih
orang-orang yang tidak dipercaya hadisnya.29
Kedua, Azami berargumen bahwa materi-materi hadis kebanyakan
mempunyai persamaan di kalangan kelompok-kelompok Islam, seperti
Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah dan Imamiyah, di mana mereka
memisahkan diri dari Ahlussunnah kurang lebih 25 tahun sesudah Nabi
saw wafat. Apabila hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah fiqih itu
pemalsuannya terjadi pada abad kedua dan ketiga hijriyah sebagaimana
tuduhan Schacht, maka tentunya tidak ada satu hadis pun yang secara
bersamaan terdapat dalam kitab-kitab kelompok-kelompok Islam tersebut.
Pada hal kenyataannya dalam kitab-kitab tersebut banyak terdapat hadis-
hadis yang materinya berkaitan dengan mereka. Adapun alasan Schacht
tentang gejala adanya hadis-hadis itu dalam kitab-kitab mereka, maka hal
itu tidak dapat diterima jika ditinjau dari kacamata sejarah. 30
Azami berkesimpulan bahwa yang selama ini dalam mengkaji
pertumbuhan dan perkembangan sanad sangat bertentangan dengan
pendapat Schacht. Sebab tidak diragukan lagi penggunaan sanad sudah
dimulai pada masa Nabi saw, hanya saja metode ahli-ahli hadis dalam
menggunakan sanad tidak sama khususnya pada masa sahabat. Dan dapat
28 Ibid., h. 143
29 Azami, Hadis Nabi…, h. 575
30 Ibid, h. 575

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

235
Lilik Faiqoh

dikatakan bahwa perhatian terhadap pentingnya sanad mencapai


puncaknya pada akhir abad pertama. Azami berpandangan adanya rawi-
rawi hadis dan tempat-tempat tinggal mereka yang saling berjauhan.
Apabila hal tersebut ditambah umur serta tradisi mereka. Oleh karena itu
teori Schacht yang disebut “projecting back” (proyeksi belakang) sangat
sulit dibayangkan, bahkan prakteknya juga mustahil.31
Jadi, kalau dalam hadis umat Islam selalu membuat garis lurus dalam
gambarannya, meletakkan masa lalu sebagai sumber dari masa
sesudahnya. Akan tetapi, Schacht membuat pandangan yang berbeda
dengan garis terbalik, yaitu masa belakangan adalah sumber dari masa
lalu. Sanad masa lalu, pencerita masa lalu, rawi masa lalu, itu berasal dari
masa sesudahnya. Itu yang disebut teori “projecting back”, dimana semua
mundur ke zaman sebelumnya, untuk melegitimasi kebenarannya. Bukan
masa sesudahnya berasal dari masa lalu, tetapi masa lalu hasil dari
rekontruksi masa sesudahnya.32
Menurut keyakinan Muslim, Islam itu sudah sempurna ketika sang Nabi
wafat. Islam merupakan produk jadi, karena wahyu sudah terputus dan
pesan Tuhan berakhir ketika Nabi wafat. Tidak ada lagi pertambahan atau
pengurangan Islam. Namun dalam hal ini Schacht memandang bukan dari
sudut pandang teologis, melainkan dari sudut pandang manusiawi dan
sosiologis dan sejarah. Maka hasilnya adalah menurutnya Islam bukan
hanya dibentuk hanya pada masa Nabi Muhammad. Akan tetapi, proses
pembentukan Islam itu terus berlanjut di masa empat khalifah utama di
Madinah, kemudian berlanjut di masa Umayyah di Damaskus, dan
Abbasiyyah di Baghdad. Proses historis itulah yang menjadi dasar
pembentukan dan perkembangan Islam awal, terutama fiqih atau hukum
Islam yang lebih umum. Semua keilmuan Islam dibentuk, dan matang,
setelah dua atau satu abad era Muhammad. 33
Azami juga mengkritik pernyataan Joseph Schacht tentang isnad keluarga
dan common link. Schacht berpendapat tentang isnad, bahwa isnad
bukanlah jalur periwayatan hadis seperti yang berlaku di kalangan umat
Islam. Akan tetapi isnad adalah buatan umat Islam sesudah masa
kehidupan Nabi.34 Menurut Azami ada beberapa alasan yang dikemukakan
Schacht ketika berbicara tentang isnad, yakni kemunculan isnad di abad

31 Ibid., h. 564
32 Al-Makin, Antara Barat…, h. 98
33 Ibid., h. 99
34 Azami, On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, Clarendon,

1959). h. 163

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

236
Hermeneutika Otentisitas Hadis M. Mustofa Azami

kedua atau paling awal akhir abad kedua hijriyyah, merupakan hasil
rekayasa untuk mendukung pendapat kepada sumber klasik, dan semakin
ke belakang bentuk isnad semakin lengkap.35 Bahwasanya pandangan
Schacht tentang susunan isnad semakin belakang semakin lengkap dan
mengalami perbaikan, merupakan asumsi yang tidak beralasan. Sementara
isnad keluarga diklaim oleh Schacht adalah palsu, menurut Azami tidak
semuanya benar. Sebab isnad keluarga ada yang shahih dan ada yang
tidak.36
Common link adalah perawi tertua dalam jaringan isnad, yang darinya
sejumlah jalur periwayatan mulai menyebar. Schacht menyatakan bahwa
sebuah hadis yang memiliki seorang common link dalam isnad-nya
diedarkan atau disebarkan oleh common link itu sendiri, dengan syarat
common link tersebut bukan seorang figur abad pertama, dalam kasus
seperti itu riwayat dari common link tersebut tidak historis. Di sini Azami
menunjukkan bahwa contoh yang disebutkan oleh Schacht sebagai
common link keyataannya bukanlah seorang common link. Menurut
Schacht orang Madinah membolehkan penjualan hamba makatab, hal ini
dapat ditemukan sebuah hadis dengan isnad Malik-Hisyam-Urwah (bapak
Hisyam)- A’isyah (bibi Urwah) - Nabi. Hisyam adalah common link dalam
versi isnad keluarga ini. Isnad keluarga, menurut Schacht palsu. 37
Aplikasi teori Schacht mengenai common link membawa kepada asumsi
bahwa hadis tersebut dipalsukan pada masa Hisyam, apakah yang
memalsukan dia sendiri atau oleh seseorang yang menggunakan namanya.
Azami dengan pendapatnya yang sangat tajam dari Schacht berargumen
bahwa Mustahil perawi-perawi Hisyam, yang telah belajar hadis darinya
tidak mengetahui nama guru mereka. Tidak mungkin bahwa perawi-
perawi Hisyam bersekongkol menggunakan nama Hisyam. Juga tidak
dapat dibayangkan bahwa ulama’-ulama’ yang tidak diketahui namanya
meyakinkan sejumlah murid yang berbeda yang mereka harus dengan
palsu menyandarkan hadis tersebut kepada Hisyam. Setelah menguji
secara rinci klaim Schacht tentang isnad, Azami menyimpulkan bahwa
sistem isnad sepenuhnya dapat dipercaya. 38
Terkait hubunganya dengan otentisitas hadis, Azami secara umum
menuduh Schacht memiliki “inkonsistensi” baik dalam teorinya sendiri
maupun penggunaan sumber, asumsi yang tidak berdasar dan metode
35 Ibid., h. 165
36 Ibid., h. 196-197
37 Amin, Menguji Kembali…, h.142
38 Amin, Menguji Kembali…, h.143

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

237
Lilik Faiqoh

penelitian yang tidak ilmiah, kekeliruan fakta, kelalaian terhadap realitas


geografis dan politik pada masa itu, misinterpretasi terhadap makna teks
yang dikutip, dan kesalahpahaman terhadap metode pengutipan ulama-
ulama awal. 39 Azami berpendapat bahwa pemalsuan hadis yang
disampaikan oleh Schacht dari waktu ke waktu dan mengalami perbaikan
di masa yang akan datang. Azami melihat kenyataan ini sebenarnya tidak
dapat dipungkiri jika dilihat dari model periwayatan hadis yang berlaku.
Asumsi Schacht bahwa sanad dibuat-buat sesuai kebutuhan mendasar,
adakalanya seorang sahabat memiliki sejumlah murid, dan pada saat
tertentu sang murid juga memiliki murid kembali di masanya dengan
jumlah yang sama misalnya, tentu keberadaan sanad akan terus bertambah
seiring periwayatan yang disampaikan setiap generasi. 40
Analisis Kritik Azami Terhadap Otentisitas Hadis Menurut Schacht:

Teks Otentisitas Hadis

Integrasi-
Interkoneksi

Author Reader

Orientalis Azami
Menurut Suryadi dalam rekonstruksi metodologi pemahaman hadis terdapat
pembagian kritik eksternal dan internal. Yang dimaksud dengan kritik eksternal
adalah aksi-gugat yang datang dari kalangan non-Muslim maupun orang Muslim
sendiri, yang mempersoalkan keberadaan hadis dan sunnah. Meskipun para
ulama’ hadis, khususnya generasi mutaakhirin, tidak mempersoalkan perbedaan
antara hadis dan sunnah, namun Ignaz Goldziher dan Yoseph Schacht
menyatakan, pada dasarnya sunnah merupakan kesinambungan dari adat istiadat
pra Islam ditambah dengan aktivitas pemikiran bebas para pakar hukum Islam
masa awal. Sedangkan hadis merupakan produk kreasi kaum Muslimin
belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi beberapa abad setelah masa
Rasulullah saw.41 Fokus kritik eksternal Azami terletak pada kritik terhadap
orientalis, ketika Azmi mengkritik Josep Schacht dari isnadnya.

39 Ibid., h.144
40 Azamī, Dirasat…, h. 405

41 Suryadi, “Rekontruksi…,h. 90-91

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

238
Hermeneutika Otentisitas Hadis M. Mustofa Azami

Adapun kritik internal, yakni persoalan-persoalan yang berangkat dari


penilaian terhadap figur Muhammad sebagai figur sentral. Sebagai Nabi
akhir zaman, otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku bagi umat Islam di
berbagai tempat dan masa hingga akhir zaman, sementara hadis itu sendiri
turun dalam ruang lingkup yang dijelajahi Rasulullah dan terlingkup dalam
ruang sosio-kultural masa Rasulullah. Di samping itu tidak semua Hadis
Nabi secara eksplisit memiliki asbabul wurud, yang menjadikan status
hadis bersifat umum atau khusus. Dengan melihat kondisi yang melatar
belakangi munculnya suatu hadis, menjadikan sebuah hadis terkadang
dipahami secara tekstual dan kadang secara kontekstual.42 Kritik internal
menurut Azami berposisi pada historiografi, ketika Azami mengkritik
menggunakan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis, seperti ilmu tadwin
al-hadis, ilmu rijalul hadis, ilmu jar wata’dil, Ilmu Hadis, ilmu Fiqih.
Penulis memposisikan kritik Josep Schacht terhadap Azami adalah middle
ground dengan melihat baik literatur maupun fakta sejarah. Dan ketika
Schacht mengkritisi kepada Azami dari sisi isnad maupun otentisitas
hadis. Dari sisi isnad, Schacht mengkritik mengenai periwayatan sanad
hadis dengan menggunakan teori projection back dan common link.
Menurut penulis Azami melakukan kritik terhadap Schacht merupakan hal
yang sudah pernah dilakukan ulama’-ulama’ terdahulu. Karena Azami
menggunakan kritik dengan ilmu-ilmu hadis klasik.

Kesimpulan

M. Mustofa Azami dalam keilmuanya tidak diragukan lagi sebagai ahli


hadis sekaligus pengkritis hadis terutama terhadap para orientalis yang
meragukan keotentikan hadis seperti Ignaz Gholziher dan Joseph Schacht.
Ali Mustofa Ya’qub, yang merupakan salah satu murid beliau di
Indonesia, menjuluki Azami sebagai “pembela eksistensi hadis”, karena ia
berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal
dari Nabi.
Penerapan integrasi-interkoneksi dalam kajian ini bertujuan untuk
mempertajam teropong dalam menganalisis suatu tema dalam
menghadirkan kajian hermeneutika. Dan terkait dengan interkoneksinya
terhadap ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu psikologi, jadi posisi Azami
ketika mengkritik terhadap orientalis, ia melihat berdasarkan alur
pemikiran isnadnya. Dalam penelitian ini, Azami mengkritik pendapat

42 Suryadi, “Rekontruksi…,h. 93

Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 2 Desember 2016  ISSN  1907‐0993  E ISSN  2442‐8264 

239
Lilik Faiqoh

Teori Joseph Schacht tentang projection back dan Common link. Adapun
hasil analisisnya yang dimaksud author adalah orientalis yaitu Joseph
Schacht, Ignaz Goldziher yang mana textnya adalah buku-buku orientalis,
pemikiran, pendapat atau teori orientalis dalam hal ini Joseph Schacht,
yang dimaksud reader adalah M. Mustofa Azami.

Daftar Pustaka

Al-Makin. Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan


Globalisasi. Yogyakarta: Serambi, 2015.
Azami, M Mustofa. Dirasat fi al-Hadis an-Nabawiy wa Tarikh Tadwinih,
Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980.
Azami, M Mustofa. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Terj Ali
Mustofa Ya’qub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Azami, M Mustofa. On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence,
Oxford, Clarendon, 1959.
Azami, M Mustofa. Studies in hadith Methodology and Literarure. Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2002.
Azami, M Mustofa. The History of The Quranic Text From Revelation to
The Compilation: A Comparative Studi with The Old and New
Testaments. terj. Dr. Anis Malik Thaha dkk. Jakarta: Gema
Insani Press, 2005.
Amin, Komarudin. Menguji kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis.
Bandung: Mizan, 2009.
Mustaqim, Abdul dkk. Kajian al-Qur’an dan Hadis dalam Dialektika
Kontemporer. Yogyakarta: Idea Press, 2014.
Suryadi. “Rekontruksi Metodologi Pemahaman Hadis Nabi.” Esensia.
Vol. 2, No. 1, 2001.
Syarifah, Umaiyatus. “Kontribusi Muhammad Musthafa Azami dalam
Pemikiran Hadis (Counter atas Kritik Orientalis)”. Jurnal Ulul
Albab. Vol 15, No.2, 2014.
UIN-SuKa, Tim Mahasiswa jurusan TH-Khusus ’07. Yang Membela dan
yang Menggugat: Seri Pemikiran Tokoh Hadis Kontemporer.
Yogyakarta: CCS SUKA Press, 2012.
Zein, M. Ma’shum. Ilmu Memahami Hadits Nab., Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2012.

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

240

You might also like