Management of Low Vision in Severe Visual Impairment Patients with Aphakia
and Deprivation Amblyopia
Abstract
Introduction : The prevalence of amblyopia is estimated at 2% in the general
population, and is the leading cause of low vision in children in developing
countries. Aphakia is someone who doesn't have a lens. This can be caused by
congenital abnormalities and acquisition due to surgical removal of the lens or
trauma. Visual impairment in teenegers affects the learning process and
development significantly. The evaluation and management of low vision aims to
improve the patient's function and independence by maximizing his remaining
visual abilities.
Purpose : To describe the management of low vision for patients with severe visual
impairment with Aphakia and Amblyopia Deprivation.
Case Report : A 21 year old male was referred for visual rehabilitation after he
had cataract surgery 2 years ago while the complaints got worse since he age of 7
year old. The patient had blurry vision, frequent dizziness, short viewing distance.
There is a similar complaint in the family, the patient's sibling who had surgery for
cataracts. Visual acuity was obtained in the right eye (VOD) 1/60 and the left eye
(VOS) 1/25. Ophthalmological status obtained there was nystagmus, the eyeball
position of the right eye exotropia 45º. Examination of the anterior segment of both
eyes revealed a corneal cicatrix in the superior region measuring ± 10 mm, and the
lens was Aphakia. Patient diagnosed with severe visual impairment ec Congenital
Cataract + Aphakia ODS + Amblyopia Deprivation + Sensory Nystagmus +
Sensory XT. Treatment for this patient is glasses, lighting settings, advice on using
thick black ink pen when writing, and advice on the use of reading stand while
studying and reciting the Qur'an with the large size, educational and working
guidance, and education about disease and its prognosis.
Conclusion : Amblyopia is a cortical developmental disorder, resulting from
abnormal visual input in each eye that appears early in life. The most common
cause of amblyopia deprivation is congenital or acquired cataract. Aphakia is also
called the absence of a lens, which can be caused by congenital and acquired
disorders. A visual rehabilitation program is needed for every patient with low
vision with the aim of providing information and helping patients with visual
impairments to have an understanding regarding their visual abilities limitation.
Keywords : Amblyopia, Aphakia, Low vision, Management
I. Pendahuluan
Ambliopia merupakan reduksi dari ketajaman penglihatan yang telah dikoreksi
maksimal yang tidak disebabkan secara langsung oleh kelainan struktural mata
maupun aksis visual, baik bersifat bilateral maupun unilateral. Prevalensi ambliopia
1
2
diperkirakan mencapai 2% pada populasi umum, serta merupakan penyebab utama
low vision pada anak-anak di negara berkembang. Prevalensi ambliopia terutama
meningkat pada anak dengan riwayat prematuritas, keterlambatan perkembangan,
dan riwayat ambliopia pada keluarga. Apakia merupakan seseorang yang tidak
memiliki lensa. Hal ini bisa disebabkan oleh kelainan kongenital akibat anomali
intrauterin, dan akuisita akibat operasi pengangkatan lensa ataupun trauma.1-5
Menurut World Health Organization (WHO), seseorang dengan low vision
merupakan seseorang dengan gangguan fungsi penglihatan setelah terapi dan/atau
koreksi refraksi standar, dan memiliki tajam penglihatan kurang dari 6/18 sampai
dengan persepsi cahaya di mata terbaik, atau lapang pandang kurang dari 10 o dari
titik fiksasi, namun masih bisa menggunakan penglihatannya untuk merencanakan
dan/atau melakukan tugas. Berdasarkan data WHO tahun 2010, terdapat kurang
lebih 285 juta orang dengan gangguan penglihatan. Dari 285 juta orang dengan
gangguan penglihatan, sebanyak 19 juta diantaranya adalah anak-anak. Seseorang
dengan low vision memiliki dampak terhadap kemampuan fisik dan emosional,
serta kualitas hidup. Gangguan penglihatan pada anak mempengaruhi proses belajar
dan perkembangan dengan signifikan. Sehingga, evaluasi dan tatalaksana low
vision bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kemandirian pasien dengan
memaksimalkan kemampuan penglihatannya yang tersisa. 4-7
II. Laporan Kasus
Seorang laki-laki berusia 21 tahun datang ke poliklinik Low Vision Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, pasien dirujuk dali poliklinik Pediatrik
Opthalmology dan Strabismus untuk melakukan rehabilitasi visual. Awal mula
pasien melakukan pengobatan di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo
pada tahun 2019 saat pasien berusia 17 tahun dirujuk dari RS Slamet Garut dengan
keluhan adanya bintik putih di mata sejak kecil, dan keluhan yang bertambah parah
sejak usia 7 tahun pasien merasakan penglihatan buram, sering pusing, jarak
pandang sedikit dan saat pasien tidur pun keluhan nyeri pada mata dirasakan. Pasien
pernah berobat ke dokter mata di garut dan hanya diberikan obat tetes dan tidak
pernah melakukan pengobatan hingga tahun 2018 keluhan bertambah saat kesulitan
3
membaca dan melihat matahari terasa nyeri, mata terasa pegal, adanya mata merah
berulang, dan mata sering berair. Pasien mendapatkan perawatan di PMN RS Mata
Cicendo dengan diagnosa Katarak Kongenital ODS + Iridokornea ODS +
Nystagmus Sensorik + XT Sensorik + Amblyopia Deprivatif dan mendapatkan
tatalaksana AI + PPC + VA + Membranectomy pada mata kiri bulan agustus 2019
dan mata kanan pada November 2019.
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara, riwayat lahir spontan di
rumah dengan usia gestasi cukup bulan dengan berat badan lahir 3500 gram. Pasien
memiliki riwayat imunisasi dasar lengkap sesuai dengan usia. Pasien memiliki
riwayat tumbuh kembang baik, namun saat kelas 3 SD pasien disarankan untuk
pindah ke sekolah khusus karena kesulitan mengikuti pelajaran meskipun sudah
duduk di kursi paling depan. Saat kelas 6 SD pasien diajarkan untuk menggunakan
Braille namun tidak dilanjutkan. Pasien masuk SMP dan SMA khusus di Garut dan
telah lulus pada tahun 2021. Pasien memiliki harapan untuk melanjutkan kuliah ke
UIN jurusan IPA namun gagal karena kendala ekonomi. Saat ini pasien sedang
melamar kerja di pabrik sebagai pengankut barang. Pasien memiliki riwayat alergi
terhadap makanan laut. Terdapat keluhan serupa pada keluarga, yaitu kakak pasien
yang pernah dioperasi karena katarak.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis,
tanda vital dalam batas normal. Status generalis tampak dalam batas normal dengan
berat badan 56 kg. Pada pemeriksaan tanda vital dalam batas normal. Pada
pemeriksaan tajam penglihatan dengan menggunakan kacamata sendiri, didapatkan
tajam penglihatan pada mata kanan (VOD) 1/60 dan mata kiri (VOS) 1/25. Visus
dasar penglihatan pada mata kanan 1/60 dan mata kiri 1/60. Koreksi penglihatan
pada mata kanan adalah S+10.00 dengan visus 1/40 dan pada mata kiri adalah
S+13.00 dengan visus 1/25. Status oftalmologis didapatkan tajam penglihatan
kedua mata fix and follow the object (+) dan terdapat nistagmus. Posisi bola mata
eksotropia mata kanan. Gerakan bola mata kesan baik ke segala arah. Tekanan
intraokular palpasi kedua mata normal, mata kanan 18mmHg dan mata kiri
17mmHg dengan menggunakan Non-Contact Tonometry. Pemeriksaan segmen
anterior pada mata kanan didapatkan palpebra superior dan inferior serta
4
konjungtiva bulbi tenang, kornea terdapat sikatrik di regio superior berukuran ±
10mm, bilik mata depan kesan sedang, van herrick grade III, tidak ditemukan flare
dan sel, pupil bulat, rangsang cahaya (+), pada iris tidak ditemukan adanya sinekia,
dan lensa afakia. Pemeriksaan segmen anterior mata kiri didapatkan didapatkan
palpebra superior dan inferior serta konjungtiva bulbi tenang, kornea terdapat
sikatrik di regio superior berukuran ± 10mm, bilik mata depan kesan sedang, van
herrick grade III, tidak ditemukan flare dan sel, pupil bulat, rangsang cahaya (+),
iris tidak terdapat sinekia, dan lensa afakia.
Koreksi penglihatan jauh dengan menggunakan Early Treatment Diabetic
Retinopathy Study (ETDRS) didapatkan hasil mata kanan S+10.00 dan mata kiri
S+12.00 dengan best corrected visual acuity mata kanan 1/60 dan mata kiri 3/40.
Pasien merasa nyaman dengan koreksi pada kacamata yang sudah diberikan.
Pemeriksaan refraktometer didapatkan hasil mata kanan S+10.0 C-0.50 x 153 dan
mata kiri S + 13.75 C-0.75 x 131. Pemeriksaan penglihatan dekat dilakukan dengan
menggunakan kartu baca dekat Bailey-lovie dengan menggunakan best corrected
visual acuity dan penambahan addisi +3.00 pada kedua mata didapatkan
3.2M/30cm. Pada kebutuhan membaca dekat dengan huruf 1.0 M diperlukan
pembasaran +20D dalam jarak 5cm.
Pemeriksaan sensitivitas kontras menggunakan Lea Numbers Low Contrast
Flip Chart, didapatkan mata kanan dan mata kiri dapat mengidentifikasi angka
hingga nilai kontras 1.25%. Pemeriksaan warna dengan Ishihara pada mata kanan
didapatkan hasil 24/24 dan pada mata kiri didapatkan hasil 24/24. Pemeriksaan
lapang pandang dengan Bernel pada mata kanan ditemukan lapang pandang
Superior 20 derajat kemudian untuk lapang pandang inferior 20 derajat, lapang
pandang nasal 35 derajat, dan lapang pandang temporal 15 derajat. Pemeriksaan
lapang pandang dengan Bernel pada mata kiri ditemukan lapang pandang superior
15 derajat kemudian untuk lapang pandang inferior 35 derajat, lapang pandang
nasal 25 derajat, dan lapang pandang temporal 45 derajat. Pasien didiagnosa dengan
Severe visual impairment + Afakia ODS + Amblyopia Deprivatif + Nistagmus
Sensorik ODS + XT Sensorik.
5
Tatalaksana pada pasien ini adalah kacamata untuk melihat dekat, pengaturan
pencahayaan, saran penggunaan pulpen bertinta hitam tebal saat menulis, dan saran
penggunaan reading stand saat belajar dan mengaji Al-Qur’an dengan ukuran Al-
qur’an yang lebih besar, aplikasi perangkat lunak untuk membantu membesarkan
tulisan pada layar, serta bimbingan pendidikan maupun pekerjaan dan edukasi
mengenai penyakit dan prognosisnya. Prognosis quo ad vitam ad bonam dan quo
ad functionam dubia ad malam.
III. Diskusi
Ambliopia merupakan kelainan perkembangan kortikal, akibat input visual
yang abnormal pada masing-masing mata yang muncul pada awal kehidupan, yaitu
pada saat stadium plastisitas kortikal, dimana terdapat perbedaan aksi potensial
yang dibentuk di retina yang mencapai korteks visual. Perubahan kortikal tersebut
menyebabkan visual korteks lebih menggunakan satu mata daripada yang lain,
sehingga menyebabkan beberapa defisiensi fungsional pada mata. Ambliopia dapat
terjadi bilateral maupun unilateral.1-4
Klasifikasi ambliopia berdasarkan etiologi terdiri dari ambliopia strabismik,
ambliopia refraktif, dan ambliopia deprivatif. Ambliopia strabismik merupakan
ambliopia yang disebabkan oleh kondisi strabismus, yaitu kondisi dimana titik
penglihatan pada salah satu mata tidak sejalan dengan arah objek. Hal tersebut
menyebabkan interaksi kompetitif atau inhibisi antara kedua neuron yang
membawa input dari kedua mata. Korteks visual didominasi oleh input yang berasal
dari mata yang terfiksir, dan respons terhadap input dari mata yang tidak terfiksir
berkurang. Ambliopia refraktif merupakan ambliopia yang disebabkan oleh
kelainan refraksi, yaitu ketidakfokusan retina yang konsisten pada salah satu atau
kedua mata. Anisometropia menyebabkan ambliopia unilateral, sedangkan
isoametropia menyebabkan ambliopia bilateral.1-4
Pada pasien diketahui terdapat beberapa kelainan pada hasil pemeriksaan mata,
meliputi adanya penurunan tajam penglihatan jauh pada mata kanan visus dasar
1/60 dan visus dasar mata kiri 1/25. Koreksi penglihatan pada mata kanan adalah
S+10.0 dengan visus 1/60 dan pada mata kiri adalah S+12.00 dengan visus 3/40 dan
6
terdapat adanya nystagmus pada kedua mata. Pemeriksaan segmen anterior pada
mata kanan ditemukan kelainan pada kornea yang terdapat sikatrik di regio superior
berukuran ± 10mm. Pemeriksaan segmen anterior mata kiri juga didapatkan kornea
dengan sikatrik di regio superior berukuran ± 10mm. Hasil pemeriksaan dan
riwayat yang ditemukan pada kasus ini menguatkan diagnosis pasien yaitu adanya
ambliopia.
Ambliopia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat akibat prevalensi
pada kalangan anak-anak dan karena adanya gangguan penglihatan akibat
ambliopia berlangsung seumur hidup dan bersifat progresif. Baik ambliopia dan
pengobatannya dapat berdampak besar pada kualitas hidup. Perkiraan prevalensi
dari studi berbasis populasi pada anak usia 6 hingga 71 bulan berkisar antara 0,7%
hingga 1,9%, sedangkan studi berbasis sekolah pada anak yang lebih tua biasanya
melaporkan angka yang lebih tinggi (kisaran: 1,0% hingga 5,5%) tergantung pada
populasi yang diteliti dan definisi yang digunakan. Ambliopia bilateral lebih jarang
daripada ambliopia unilateral, tetapi proporsi yang dilaporkan sangat bervariasi,
mulai dari 5% hingga 41% dari semua kasus ambliopia. 1-4
Ambliopia deprivatif disebabkan oleh abnormalitas mata yang mengobstruksi
aksis visual sehingga mengganggu penglihatan. Penyebab paling umum dari
ambliopia deprivatif adalah katarak kongenital atau katarak akuisita. Penyebab
lainnya terdiri dari blefaroptosis, lesi periocular yang mengobstruksi aksis visual,
opasitas kornea, dan pendarahan vitreous. Ambliopia deprivasi akibat kekeruhan
media yang signifikan selama 3 bulan pertama pascakelahiran menghasilkan
penurunan penglihatan yang berat dan permanen pada ketajaman kontras tinggi,
biasanya hingga 20/200 atau lebih buruk pada mata yang terkena. Deprivasi dini
sangat terkait dengan perkembangan nistagmus sensorik pada kasus bilateral dan
strabismus pada kasus unilateral dan bilateral. 1-4
Nistagmus merupakan pergerakan involunter dan ritmik pada mata. Congenital
sensory nystagmus disebabkan oleh abnormalitas bilateral dari pregeniculate
afferent visual pathway. Pembentukan gambaran di retina yang inadekuat
menganggu perkembangan normal dari refleks fiksasi. Kondisi yang menyebabkan
7
congenital sensory nystagmus adalah katarak kongenital, glaucoma kongenital,
retinoblastoma, dan sebagainya.1-4
Afakia disebut juga keadaan tidak terdapat lensa, yang dapat disebabkan oleh
kelainan kogenital yang didapat. Afakia kongenital dapat dibagi menjadi apakia
kongenital primer dan sekunder. Afakia kongenital primer disebabkan oleh
kegagalan induksi placode lensa sehingga lensa menjadi tidak berbentuk. Pada
afakia kongenital sekunder, placode lensa telah terbentuk namun menglami resorpsi
sebelum kelahiran. Sehingga pada afakia kongenital sekunder, sisa dari lensa yang
telah terbentuk seperti halnya kapsul lensa masih ada. Afakia akuisita didapatkan
setelah operasi ekstraksi lensa ataupun trauma. Salah satu operasi ekstraksi lensa
yang menyebabkan afakia akuisita adalah ekstraksi katarak.5-8
Menurut International Classification of Disease (ICD) 11 tahun 2018,
gangguan penglihatan terbagi dalam dua grup besar, yaitu gangguan penglihatan
jarak jauh dan gangguan penglihatan jarak dekat. Gangguan penglihatan jarak jauh
terbagi menjadi mild, moderate, severe visual impairment, dan blindness. Mild
visual impairment adalah tajam penglihatan <6/12 dan ≥ 6/18. Moderate visual
impairment didefinisikan sebagai tajam penglihatan <6/18 dan ≥ 6/60. Severe visual
impairment merupakan tajam penglihatan < 6/60 dan ≥3/60. Blindness adalah tajam
penglihatan <3/60. Derajat gangguan penglihatan jarak dekat didefinisikan sebagai
tajam penglihatan dekat < N 6 dalam jarak 40 cm dalam koreksi terbaik.5,6,8-10
Low vision dengan derajat apapun memiliki dampak negatif terhadap kualitas
hidup seseorang, yaitu meningkatkan ketergantungan terhadap orang lain dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, meningkatkan angka depresi, resiko terjatuh, dan
menghambat interaksi sosial. Sehingga rehabilitasi low vision bertujuan agar pasien
dapat melanjutkan aktivitas sehari-hari dengan dengan menyediakan alat bantu
optik, non-optik, maupun modifikasi lingkungan. Pemilihan rehabilitasi low vision
juga perlu disesuaikan dengan pilihan atau ekspektasi pasien.6-9
Alat bantu low vision dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu alat bantu optik, non-
optik, dan alat-alat bantu lainnya. Alat bantu optik dipreskripsikan untuk
memaksimalkan pasien dalam menggunakan kemampuan penglihatannya yang
tersisa agar menjadi lebih efektif dan efisien. Preskipsi alat optik tidak dapat
8
memperbaiki patologi yang telah ada, namun dapat mengurangi dampak disabilitas
yang didapatkan akibat patologi tersebut. Alat optik low vision memiliki bentuk
yang bermacam-macam, namun pada prinsipnya adalah mambantu
memaksimalkan sisa fungsi penglihatan yang ada. Alat optik untuk penglihatan
jarak jauh terdiri dari teleskop, hand-held monocular, dan bioptic design. Alat
bantu optic jarak dekat terdiri atas magnifying spectacles, hand magnifier, dan stand
magnifier.7-10
Penggunaan spectacle magnifier (kacamata baca) dan stand magnifier
disarankan pada pasien ini dengan ukuran +20D pada jarak baca menjadi 5cm
dengan huruf target pada 1.0 M. Pengukuran magnifikasi jarak dekat dimana
kemampuan M unit pembesaran terbaik dengan koreksi tajam penglihatan jauh.
Penggunaan spectacle magnifier menguntungkan bagi pasien karena memiliki
lapang pandang yang lebih luas dan tangan pasien tidak perlu memegang alatnya,
sehingga pasien dapat bekerja sebagai pengangkut barang di pabrik serta working
distance yang lebih efektif. Alat bantu Low Vision berupa spectacle magnifiers
digunakan pada pasien anak-anak dan dewasa muda dengan akomodasi mata yang
masih aktif dengan cara mendekatkan objek lebih dekat dan akomodasi akan
dilakukan sehingga didapatkan perbesaran jarak dekat (near enlargement).
Spectable magnifiers akan memiliki tambahan plus yang lebih tinggi sesuai dengan
tambahan yang diberikan terhadap koreksi jarak.3,11,12
Selain spectacle magnifiers yang lebih cocok diberikan pada pasien ini,
terdapat beberapa alat bantu optik Low Vision lain, seperti hand magnifier dan stand
magnifier. Hand magnifiers merupakan lensa plus dan bisa digunakan dengan
kacamata maupun tidak. Hand magnifiers digunakan untuk membaca buku dan
melihat benda dengan jarak dekat. Namun, hand magnifiers tidak cocok apabila
digunakan saat menulis atau pekerjaan yang membutuhkan tangan, memiliki lapang
pandang yang terbatas serta sulit untuk mempertahankan fokus gambar Stand
magnifiers lebih menguntungkan dan disarankan dibandingkan dengan hand
magnifiers. Stand magnifiers lebih diperuntukkan bagi pasien dengan fungsi
fungsional pasien dengan memiliki jarak fokus yang sudah diatur dan dengan syarat
pengguna harus menggukanan daya akomodasinya. Sama seperti hand magnifiers,
9
stand magnifiers juga memiliki lapang pandang yang terbatas dan kurang nyaman
untuk posisi tubuh apabila dipakai dalam waktu yang lama dan dalam kondisi
pengguna yang memiliki mobilitas atau pekerjaan yang memerlukan tangan. 3,7,11,12
Alat bantu non optik pada pasien low vision bervariasi dengan tujuan agar
pasien dapat berfungsi dengan lebih baik, dan membantu pasien dengan
memaksimalkan potensi visualnya yang telah berkurang atau menggunakan sinyal
output yang berbeda untuk menstimulasi salah satu sensori yang lain contohnya
sensori raba maupun dengar. Alat-alat non-optik yang dapat mengoptimalkan
fungsi tersebut antara lain alat-alat dengan karakter huruf yang lebih besar, warna
danyang lebih mencolok, menstimulasi sensori lainnya, dan dimodifikasi agar lebih
aman digunakan oleh pasien untuk melakukan tugas-tugas yang dapat berpotensi
berbahaya. Contoh alat-alat non-optik tersebut adalah buku dengan ukuran besar
dan huruf ukuran besar, felt-tipped black ink pen, pencahayaan yang baik pada
objek tulisan atau buku, typoscopes, reading stands, dan sebagainya.5,6,7,11
Program rehabilitasi visual diperlukan untuk setiap pasien dengan low vision
dengan tujuan untuk menyediakan informasi dan membantu pasien dengan
gangguan visual agar memiliki pengertian terkait dengan kemampuan
penglihatannya, limitasi yang dialami akibat gangguan tersebut, dan potensi
kemampuan penglihatan yang masih dimiliki. Rehabilitasi terdiri atas program
pelatihan okupasional, bimbingan individual maupun kelompok, serta konseling.
Contoh-contoh kegiatan rehabilitasi yang dapat dilakukan berupa pelatihan
mobilisasi, pelatihan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, konseling oleh
psikolog, dan edukasi mengenai penyakit.5-7,12
Pada pasien ini, setelah dilakukan pemeriksaan dan diberikan alat bantu optik
tidak terdapat kemajuan yang signifikan. Program rehabilitasi visual diperlukan
kepada pasien ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah memiliki postur tubuh
yang baik dan pencahayaan yang cukup. Konseling dapat diberikan kepada pasien
dengan cara menjelaskan keadaan pasien dan membantu pasien dalam menentukan
keputusan yang diambil secara objektif, selain itu diperlukan juga dukungan dari
keluarga pasien. 3,11,12
10
Edukasi kepada pasien dengan penurunan pada penglihatan perlu dilakukan.
Pada pasien ini beberapa cara yang dapat dilakukan adalah pemahaman mengenai
tajam penglihatan pasien yang sudah maskimal dengan menggunakan kaca mata
sehingga edukasi mengarah kepada harapan dan cita-cita pasien. Saran penggunaan
Stand Magnifier dan disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Percaya diri pasien
perlu ditingkatkan agar pasien dapat memliki produktifitas yang maksimal dalam
kesehariannya. Pemilihan warna yang kontras saat membaca dan menulis, misalnya
menggunakan tinta hitam yang tebal saat menulis serta menjaga agar pencahayaan
selalu cukup saat berada di tempat kerja, serta menjelaskan penggunaan dan
perawatan kacamata dengan baik dan benar. 3,7,11,12
IV. Simpulan
Ambliopia merupakan kelainan perkembangan kortikal, akibat input visual
yang abnormal pada masing-masing mata yang muncul pada awal kehidupan.
Penyebab yang paling umum dari ambliopia deprivasi adalah katarak kongenital
atau didapat. Afakia merupakan keadaan tidak adanya lensa pada mata yang
disebabkan oleh kelainan bawaan dan didapat. Tatalaksana severe visual
impairment pada pasien ini bertujuan untuk memaksimalkan penglihatan yang
masih ada dengan menggunakan kaca mata untuk tajam penglihatan jauh, dan
program rehabilitasi visual. Tatalaksana pada pasien ini adalah merujuk pada
kemampuan fungsi fungsional pasien yaitu dengan kacamata untuk melihat jauh,
pengaturan pencahayaan, saran penggunaan stand magnifier, saran penggunaan
pulpen bertinta hitam tebal saat menulis, dan saran penggunaan reading stand saat
belajar dan mengaji Al-Qur’an dengan ukuran Al-qur’an yang lebih besar, aplikasi
perangkat lunak untuk membantu membesarkan tulisan, serta bimbingan
pendidikan maupun pekerjaan dan edukasi mengenai penyakit dan prognosisnya.
Daftar Pustaka
1. Hered RW, Archer SM, Braverman RS, et al. Pediatric Ophthalmology and
Strabismus. (Hered RW, Archer SM, Braverman RS, et al., eds.). American
Academy of Ophthalmology; 2020.
2. Tailor V, Bossi M, Greenwood JA, Dahlmann-Noor A. Childhood
amblyopia: current management and new trends. British Medical Bulletin.
2016;119(1):75-86.
3. London R, Wick B. Patients with Amblyopia and Strabismus. In: Benjamin
WJ, ed. Borish’s Clinical Refraction. 2nd ed. Elsevier; 2006:1460-1478.
4. Gopal SS, Kelkar J, Kelkar A, Pandit A. Simplified updates on the
pathophysiology and recent developments in the treatment of amblyopia: A
review. Indian Journal of Ophthalmology. 2019;67(9):1392.
5. Ionescu C, Dascalescu D, Cristea M, et al. Secondary congenital Aphakia.
Rom J Ophthalmol. 60(1):37-39.
6. Şahlı E, İdil A. Common Approach to Low Vision: Examination and
Rehabilitation of the Patient with Low Vision. Turkish Journal of
Ophthalmology. 2019;49(2):89-98.
7. Dewang A, Rebika D, Sneha A, Rohit S, Radhika T. Current Perspectives in
Low Vision and its Management. Open Access Journal of Ophthalmology.
2017;2(3).
8. Lundström M, Brege KG, Florén I, Lundh B, Stenevi U, Thorburn W.
Postoperative Aphakia in modern cataract surgery. Journal of Cataract and
Refractive Surgery. 2004;30(10):2111-2115.
9. Steinmetz JD, Bourne RRA, Briant PS, et al. Causes of blindness and vision
impairment in 2020 and trends over 30 years, and prevalence of avoidable
blindness in relation to VISION 2020: the Right to Sight: an analysis for the
Global Burden of Disease Study. The Lancet Global Health. 2021;9(2):e144-
e160.
10. DeCarlo DK, Woo S, Woo GC. Patient with Low Vision. In: Benjamin
william J, ed. Borish’s Clinical Refraction. 2nd ed. Elsevier; 2006:1591-
1618.
11. Wolffsohn JS. Non-optical and sensorial aids. In: Jackson AJ, James S.
Wolffsohn, eds. Low Vision Manual. 1st ed. Elsevier; 2007:273-290.
12. Adams OF. Rehabilitation services. In: Jackson AJ, Wolffsohn JS, eds. Low
Vision Manual. 1st ed. Elsevier; 2007:291-307.
11