Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT, PENGUKURAN
AKTIVITAS PENYAKIT dan PEMBERIAN KONSELING
PASIEN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
M.Caecilia N.Setiawati1, Kertia Nyoman2, Ikawati. Z3, Melani F1, Meika WN1
1
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Yayasan Farmasi, Semarang
2
Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
3
Falkutas Farmasi UGM, Yogyakarta
ABSTRACT
Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic autoimmune disease
characterized by the deposit of immune complexes in a variety of clinical manifestation
and damage to tissues. The SLE disease characterized by exacerbation and remission will
require strict monitoring of disease activity . Evaluation of diasease activity is useful as a
guide for therapy. Disease activity was assessed according to the Systemic Lupus
Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI)
Drug use evaluation and assessesment of disease activity patients with SLE is a
descriptive non experimental research and the data is taken concurrently. While research
on the impact of counselling on the level of knowledge and attitudes of patients with SLE
is a quasi-experimental research.
SLE patients who agree to be respondent were all women, mostly in the age group
21-40 years, disease activity very severe as much as 33,33%. Drug use on patients with
SLE is 88,89% right patients and 55,56% right dose. Giving counseling can increase
level of knowledge and attitudes of patients about SLE and its therapy and can improve
outcome therapy such as increase quality of life and decrease level of depression and
level of pain (VAS) patients with SLE
Key words: SLE, drug use evaluation, SLEDAI, counselling
ABSTRACT
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah gangguan autoimun multisistem
kronis ditandai dengan berkembangnya autoantibodi dan kompleks imun dalam berbagai
manifestasi klinis dan kerusakan jaringan. Perjalanan penyakit SLE yang ditandai
dengan eksaserbasi dan remisi memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas
penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian
terapi. Pengukuran aktivitas penyakit dilakukan dengan Systemic Lupus Erythematosus
Disease Activity Index (SLEDAI)
Evaluasi penggunaan obat dan pengukuran aktivitas penyakit pada pasien SLE
merupakan penelitian non eksperimental dengan jenis penelitian bersifat deskriptif,
pengambilan data secara concurrent. Sedangkan penelitian pengaruh konseling terhadap
tingkat pengetahuan dan sikap pasien SLE merupakan penelitian eksperimental semu.
Pasien SLE yang bersedia menjadi responden seluruhnya perempuan paling
710
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
banyak pada kelompok usia 21-40 tahun, aktivitas penyakit sangat berat sebanyak
33,33%. Penggunaan obat pada pasien SLE diketahui bahwa tepat pasien sebesar
88,89%, tepat dosis sebesar 55,56%. penggunaan obat pada pasien SLE diketahui bahwa
tepat pasien sebesar 88,89% , tepat indikasi sebesar 88,89%, tepat dosis sebesar 55,56%.
Pemberian konseling dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap pasien tentang SLE
serta terapinya, dan dapat meningkatkan outcome terapi berupa peningkatan kualitas
hidup dan penurunan tingkat depresi dan tingkat nyeri (VAS) pasien SLE.
Kata kunci: SLE,Evaluasi penggunaan obat, SLEDAI, konseling
PENDAHULUAN
Systemic Lupus Erythematosus terhadap penyakit kronis di negara
(SLE) adalah gangguan autoimun berkembang sangat rendah. Salah
multisistem kronis yang ditandai satu upaya untuk meningkatkan
dengan berkembangnya autoantibodi kepatuhan pasien terhadap
dan kompleks imun dalam berbagai pengobatannya adalah dengan
manifestasi klinis dan kerusakan konseling (Ramadona, 2011).
jaringan (Krishnamurthy and Sehingga perlu dilakukan upaya
Mahadevan, 2011: 1). Menurut peningkatan peran farmasis untuk
Yayasan Lupus Indonesia (YLI) meningkatkan hasil terapi dan
dalam satu dasawarsa terakhir ini kualitas hidup pasien. Pemberian
jumlah penderita SLE terus konseling kepada pasien SLE
meningkat setiap tahunnya. Oleh diharapkan dapat meningkatkan
karena itu diperlukan pengobatan pengetahuan pasien mengenai
yang tepat agar akibat yang penyakit dan terapi SLE serta dapat
ditimbulkan dari penyakit SLE tidak meningkatkan sikap pasien dalam
sampai berakibat fatal bagi menjalankan terapi sehingga akan
penderitanya dan perlu dilakukan diperoleh outcome terapi yang
evaluasi penggunaan obat-obat pada optimal.
pasien SLE.
Perjalanan penyakit SLE yang
METODE PENELITIAN
ditandai dengan eksaserbasi dan
remisi memerlukan pemantauan yang Evaluasi penggunaan obat dan
ketat akan aktivitas penyakitnya. pengukuran aktivitas penyakit pada
Evaluasi aktivitas penyakit ini pasien SLE merupakan penelitian
berguna sebagai panduan dalam non eksperimental dengan jenis
pemberian terapi. Pengukuran penelitian bersifat deskriptif,
aktivitas penyakit dilakukan dengan pengambilan data secara concurrent
Systemic Lupus Erythematosus Sedangkan penelitian pengaruh
Disease Activity Index (SLEDAI) konseling terhadap tingkat
karena lebih tepat dan mudah pengetahuan dan sikap pasien SLE
diterapkan (Kasjmir dkk. 2011: 10). merupakan penelitian eksperimental
Menurut laporan WHO pada semu, teknik sampling yang
tahun 2003, kepatuhan rata-rata digunakan yaitu teknik purposive
pasien pada terapi jangka panjang sampling.
711
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
Alat yang digunakan untuk
penelusuran data adalah (1) HASIL DAN PEMBAHASAN
kuestioner SLEDAI (2) kuesioner
Karakteristik Pasien
alat ukur pengetahuan dan sikap
yang telah divalidasi, (3) alat ukur Penelitian ini telah dilakukan
kualitas hidup yaitu dengan pada pasien SLE yang menjalani
menggunakan kuesioner SF-36. rawat jalan di berbagai rumah sakit.
Subyek penelitian adalah pasien Adapun hasil penelitian, didapatkan
yang didiagnosa menderita Systemic 18 pasien wanita yang memenuhi
Lupus Erythematosus (SLE) oleh kriteria inklusi, dengan profil tertera
dokter, mendapatkan terapi obat-obat pada tabel 1.
SLE dan bersedia untuk
diwawancara serta diberi konseling.
Tabel 1. Profil Subyektif Responden
Profil Sebaran Jumlah %
< 20 tahun 3 16,67%
21– 30 tahun 7 38,89%
Usia 31 - 40 tahun 7 38,89%
41 – 50 tahun 0 0%
> 50 tahun 1 5,56%
Pemberian Konseling Pernah 11 61,11%
SLE Belum Pernah 7 38,89%
< 1 tahun 2 11,11%
Lamanya didiagnosa 1 – 5 tahun 11 61,11%
SLE 6 – 10 tahun 2 11,11%
> 10 tahun 3 16,67%
Hormon yang berpengaruh menyebabkan atropi pada kelenjar
dalam patogenesis SLE adalah thymus (Wallace, 2007: 173).
estrogen. Hormon estrogen pada
wanita dapat meningkatkan Berdasarkan kategori usia
autoimunitas, sedangkan hormon diketahui bahwa pasien SLE paling
testosteron dan androgen pada pria banyak terdapat pada kelompok usia
dapat menekan autoimunitas. 21-40 tahun. Kelompok usia tersebut
Estrogen meningkatkan autoimunitas merupakan usia produktif wanita
dengan cara meningkatkan produksi dimana hormon estrogen banyak
autoantibodi, menghambat fungsi sel diproduksi. Jumlah penderita SLE
NK (Natural Killer), dan berkurang pada kelompok usia
menopouse (YLI, 2011).
712
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
Karakteristik Penyakit
1. Aktivitas Penyakit
Tabel 2. Aktivitas Penyakit pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus
No. Aktivitas Penyakit Jumlah (orang) Persentase (%)
1. SLE tidak aktif 1 5,56
2. SLE ringan 3 16,67
3. SLE sedang 3 16,67
4. SLE berat (aktivitas tinggi) 5 27,78
SLE sangat berat (aktivitas
5. 6 33,33
sangat tinggi)
Total 18 100
obat juga mempengaruhi aktivitas
Tabel 2 menunjukkan aktivitas
penyakit SLE.
penyakit pada pasien dengan
Pola hidup dapat berpengaruh
menggunakan SLEDAI. Hasil
terhadap aktivitas penyakit, sebagai
penelitian menunjukkan bahwa
contoh pasien SLE yang merokok
paling besar pasien masuk dalam
atau perokok pasif mempunyai
kategori SLE sangat berat sebanyak
aktivitas penyakit yang lebih tinggi
6 orang atau 33,33%. Perbedaan
karena adanya hidrazin dalam asap
tingkat aktivitas penyakit ini dapat
rokok dapat memperparah SLE
disebabkan oleh pola hidup pasien,
(Sandra, 2011) juga pasien yang
organ tubuh yang diserang,
menggunakan pewarna rambut.
lingkungan tempat tinggal pasien
Pasien yang lebih cepat didiagnosa
serta terlambatnya diagnosa atau
SLE maka akan mendapatkan terapi
penanganan SLE. Menurut Fatoni
lebih dini sehingga perkembangan
(2007), usia dan rutinitas minum
penyakit dapat ditekan.
713
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
2. Karakteristik Penyakit Penyerta
Tabel 3. Karakteristik Penyakit Penyerta pada Pasien Systemic Lupus
Erythematosus
No. Jenis Penyakit Penyerta Jumlah (orang) Persentase (%)
1. SLE 5 17,86
2. SLE + Alergi 5 17,86
3. SLE + Asma 1 3,57
4. SLE + Diabetes Mellitus 2 7,14
5. SLE + Ginjal 4 14,29
6. SLE + Hiperlipidemia 3 10,71
7. SLE + Hipertensi 5 17,86
8. SLE + Jantung 1 3,57
9. SLE + Thypus 2 7,14
Total 28 100
pankreas dan mengganggu produksi
Pasien SLE memiliki
insulin. Beberapa studi melaporkan
konsentrasi serum IgE yang tinggi.
bahwa antibodi fosfolipid pada
Tingginya kadar IgE dapat membuat
pasien SLE dapat mempercepat
seseorang lebih mudah terjadi alergi
arteriosklerosis (McMahon et al,
(Liphaus et al, 2012: 1277). Adanya
2011: 6) yang bisa menimbulkan
Diabetes Mellitus dapat terjadi
masalah hipertensi dan jantung.
karena aktivitas autoimun pada SLE
sehingga menyerang sel beta-
Karakteristik Obat
Tabel 4. Karakteristik Obat Berdasarkan Kelas Terapi
Jumlah Persentase
No. Golongan Obat
(orang) (%)
1. Analgetik antipiretik 5 27,78
2. Antibiotik 1 5,56
3. Antidepresan 1 5,56
4. Antidiabetik 2 11,11
5. Antiemetik 1 5,56
6. Antihiperlipidemia 3 16,67
7. Antihipertensi 5 27,78
8. Antihistamin 1 5,56
9. Antikoagulan 3 16,67
10. Imunosupressan 8 44,44
11. Kortikosteroid 18 100
12. Mukolitikum 1 5,56
13. NSAID 3 16,67
14. Obat-obat lambung 5 27,78
15. Obat hiperurisemia 1 5,56
16. Suplemen 11 61,11
17. Vitamin 6 33,33
714
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
terjadi pada pasien no. 2 dan 9.
Tabel 4 menunjukkan bahwa
Pasien 2 mendapatkan pravastatin,
100% pasien mendapat
menurut Soubrier et al (2012: 5)
kortikosteroid yang merupakan
pravastatin termasuk obat yang
pengobatan utama pada pasien SLE.
menginduksi Systemic Lupus
Kortikosteroid tetap merupakan obat
Erythematosus. Pasien 9
yang paling banyak dipakai sebagai
mendapatkan simvastatin dan
antiinflamasi dan imunosupresan
lisinopril yang merupakan Drug-
walaupun banyak laporan tentang
induced Lupus (Dipiro et al, 2008:
munculnya efek samping
1439).
penggunaan kortikosteroid dalam
2. Tepat Indikasi
waktu lama (Kasjmir dkk, 2011: 14).
Sebanyak 16 pasien atau
Tetapi kortikosteroid lebih baik dari
88,89% sudah tepat indikasi.
NSAID dalam mengatasi peradangan
Sedangkan 2 pasien dinyatakan tidak
dan mengembalikan fungsi saat
tepat indikasi, yaitu pada pasien no.
penyakitnya aktif, sehingga
1 dan 11. Pasien 1 mendapatkan
kortikosteroid masih menjadi pilihan
omeprazol, padahal pasien tidak
utama untuk terapi SLE (Helmi,
mengeluh mual. Pasien 11
2008:68).
mendapatkan Simarc-2 yang
merupakan obat antikoagulan, pasien
Evaluasi Penggunaan Obat
tidak membutuhkan antikoagulan
Evaluasi yang dilakukan pada
karena nilai LED pasien normal
penelitian ini meliputi: tepat pasien,
(Lacy et al, 2008).
tepat indikasi, tepat dosis, potensi
3. Tepat Dosis
interaksi obat, dan monitoring efek
Sebanyak 10 pasien atau
samping obat.
55,56% sudah tepat dosis.
1. Tepat Pasien
Sedangkan 8 pasien dinyatakan tidak
Sebanyak 16 pasien atau
tepat dosis karena mendapat obat
88,89% sudah tepat pasien.
dengan dosis yang kurang atau
Sedangkan 2 pasien dinyatakan tidak
melebihi rentang dosis dalam
tepat pasien karena mendapat obat
literatur acuan.
yang tidak sesuai dengan kondisi
pasien. Kasus yang tidak tepat pasien
Tabel 5. Data Evaluasi Ketepatan Dosis
Jumlah Persentase
Kategori Nomor Pasien
(orang) (%)
3, 7, 8, 9, 10, 11,
Tepat dosis 10 55,56
12, 15, 17, 18
Tidak tepat Dosis kurang 2, 4, 13, 16
8 44,44
dosis Dosis berlebih 1, 4, 5, 6, 14, 16
Total 18 100
mikofenolat mofetil. Sedangkan
Pemberian dosis kurang terdiri
untuk pemberian dosis berlebih
dari pasien yang mendapatkan obat
terdiri dari pasien yang mendapatkan
paracetamol, CTM, vitamin B12, dan
715
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
asam folat, levofloxacin, kortikosteroid adalah moonface. Hal
metilprednisolon, dan omeprazol. ini disebabkan terjadi redistribusi
sentral lemak di daerah muka (Aziz,
2001). Pada penggunaan mikofenolat
Potensi Interaksi Obat
mofetil yang paling banyak muncul
gejala efek samping berupa mual dan
Sebanyak 12 pasien atau
muntah. Sedangkan pada
66,67% berpotensi terjadi interaksi
penggunaan hidroksiklorokuin
obat. Interaksi obat yang paling
menyebabkan gangguan penglihatan
banyak berpotensi terjadi adalah
interaksi antara metilprednisolon pada pasien.
dengan kalsium karbonat yang dapat Pemberian Konseling
menurunkan kadar kalsium karbonat
dalam plasma
Gambar 1 menunjukkan bahwa
(http://reference.medscape.com/drug
responden yang pernah mendapatkan
-interactionchecker). Pemberian
informasi tentang SLE memiliki nilai
Calcium ditujukan untuk mengurangi
pretest dan posttest yang lebih tinggi
resiko efek samping penggunaan
baik dalam alat ukur pengetahuan
methylprednisolon jangka panjang,
maupun sikap dibandingkan dengan
yaitu kemungkinan terjadinya
responden yang belum pernah
osteoporosis.
mendapatkan informasi tentang SLE,
karena dengan bekal informasi yang
Monitoring Efek Samping Obat telah diterima sebelumnya responden
Efek samping yang paling menjadi lebih tahu dan memiliki
banyak muncul karena penggunaan sikap yang lebih baik.
Gambar 1. Diagram Persentase Skor Responden Berdasarkan Informasi
yang Diterima Sebelum Dilakukan Konseling
716
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
Tabel 7. Rata-rata Persentase Skor Responden Berdasarkan Usia
Tingkatan Usia Rata-rata Persentase Skor Alat Ukur Rata-rata Persentase Skor Alat Ukur
(tahun) Pengetahuan (%) Sikap (%)
Pretest Posttest Pretest Posttest
≤ 20 54,76 92,86 75 91,18
21 – 30 86,61 100 79,96 89,71
31 – 40 72,62 95,24 80,39 93,88
≥ 51 50 92,86 89,71 95,59
Tabel 7 menunjukkan bahwa memperhatikan sikap dan pola
responden dengan kelompok usia 21- hidupnya. Namun, apabila dilihat
30 tahun memiliki tingkat dari peningkatan skornya, responden
pengetahuan yang paling besar baik dengan usia ≤ 20 tahun memiliki
pretest maupun posttest peningkatan skor terbesar untuk alat
dibandingkan kelompok usia lainnya, ukur sikap dan responden dengan
karena pada usia tersebut responden usia ≥ 51 tahun memiliki
telah mampu memilah informasi peningkatan skor terendah. Hal ini
yang diterimanya. Untuk alat ukur disebabkan karena responden yang
sikap, kelompok usia ≥ 51 tahun berusia ≥ 51 tahun dimungkinkan
memiliki sikap paling baik, dan lebih sulit dilakukan modifikasi
kelompok usia ≤20 tahun memiliki sikap dibandingkan dengan
sikap yang paling rendah, yang responden berusia belasan karena
berarti seiring dengan bertambahnya berhubungan dengan fleksibilitas
usia responden akan lebih kepribadiannya (Luddin, 2010: 168 )
.
717
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
Gambar 2. Diagram Persentase Skor Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan
Gambar 2 menunjukkan tingkat pendidikan hanya
persentase skor responden berpengaruh terhadap tingkat
berdasarkan tingkat pendidikan. pengetahuan dan tidak terlalu
Responden lulusan D3/Sarjana berpengaruh terhadap tingkat sikap.
memiliki tingkat pengetahuan pretest Namun, hal ini tidak dapat dijadikan
yang paling tinggi, namun tidak acuan karena responden lulusan SD
untuk tingkat sikap. Hal ini dan SMP masing-masing hanya
menunjukkan dalam penelitian ini berjumlah 1 orang.
Tabel 8. Rata-rata Persentase Skor Responden Berdasarkan Lamanya
Didiagnosa SLE
Lamanya Rata-rata Persentase Skor Alat Rata-rata Persentase Skor Alat
Didiagnosa SLE Ukur Pengetahuan Ukur Sikap
Pretest Posttest Peningkatan Pretest Posttest Peningkatan
< 1 tahun 100 100 0 84,56 86,76 2,2
1 – 5 tahun 70,78 96,03 25,25 77,81 92,16 14,35
6 – 10 tahun 67,86 92,86 25 83,09 93,38 10,29
> 10 tahun 76,19 97,62 21,43 81,86 92,65 10,79
Tabel 8 menunjukkan bahwa sikap yang paling baik dibandingkan
kelompok responden yang telah kelompok lainnya. Namun, hasil ini
didiagnosa SLE selama < 1 tahun tidak dapat menjadi patokan karena
memiliki tingkat pengetahuan dan jumlah responden untuk kelompok <
718
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
1 tahun dan kelompok 6-10 tahun pengetahuan dan 62,56 atau sebesar
masing-masing hanya berjumlah 2 91,99% untuk alat ukur sikap. Hasil
orang. Idealnya, pasien yang telah ini menunjukkan terdapat
lebih lama didiagnosa SLE akan peningkatan persentase skor rata-rata
lebih tahu dan memahami untuk pengetahuan dan sikap
penyakitnya, serta telah berturut-turut adalah 22,22% dan
membiasakan diri dengan 12,17% (tabel 5).
penyakitnya sehingga memiliki Skor pretest dan posttest
pengetahuan dan sikap yang lebih kemudian dianalisa menggunakan uji
baik. non parametrik berpasangan
Hasil pretest alat ukur Wilcoxon untuk mengetahui
pengetahuan dan sikap menunjukkan perbedaan skor responden antara
responden memiliki rata-rata skor sebelum dan setelah dilakukan
10,44 dari total skor 14 atau sebesar konseling. Hasil uji menunjukkan
74,6% untuk alat ukur pengetahuan, nilai P (probability) perbedaan antara
dan skor 54,28 dari total skor 68 atau nilai pretest dan posttest [sig.(2-
sebesar 79,82% untuk alat ukur tailed)] < taraf signifikasi (α) 0,05.
sikap. Hasil posttest pengetahuan dan Hasil ini membuktikan bahwa
sikap menunjukkan responden terdapat perbedaan skor responden
memiliki rata-rata skor 13,56 atau yang signifikan antara sebelum dan
sebesar 96,82% untuk alat ukur sesudah dilakukan konseling.
Tabel 10. Persentase Rata-rata Peningkatan Skor Responden untuk Alat
Ukur Pengetahuan dan Alat Ukur Sikap
Rata-rata
Alat ukur Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata
peningkatan
penelitian skor pretest skor posttest pretest (%) posttest (%)
skor (%)
Pengetahuan 10,44 13,56 74,6% 96,82% 22,22%
Sikap 54,28 62,56 79,82% 91,99% 12,17
Untuk mengukur kualitas menunjukkan bahwa pasien SLE
hidup responden, digunakan yang memperoleh dukungan
kuesioner SF-36 yang penilaiannya memiliki fungsi sosial yang baik dan
dapat dibagi ke dalam 8 komponen. gejala keparahan SLE yang rendah,
Peningkatan skor kualitas hidup yang yang dalam hal ini akan berefek pada
terbesar terletak pada komponen peningkatan kualitas hidup. Dari
fungsi sosial dan keterbatasan kedelapan komponen kualitas hidup,
emosional. Hal ini dapat diasumsikan masing-masing mengalami
dengan adanya konseling responden peningkatan setelah diberikan
menjadi lebih percaya diri karena konseling. Hasil ini dibuktikan
merasa dipedulikan dan dengan uji beda antara kualitas hidup
mendapatkan dukungan sehingga pretest dan posttest yang
fungsi sosialnya meningkat, serta membuktikan bahwa terdapat
responden menjadi lebih mudah perbedaan antara pretest dan posttest
mengendalikan emosionalnya. Hasil karena memiliki [sig.(2-tailed)]
penelitian Montes (2002) juga 0,010 atau < taraf signifikasi 0,05.
719
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
Hasil ini membuktikan bahwa yang menunjukkan [sig.(2-tailed)]
dengan adanya peningkatan 0,038 atau < taraf signifikasi 0,05
pengetahuan dan sikap, outcome sehingga dapat dikatakan terdapat
terapi berupa kualitas hidup menjadi perbedaan tingkat depresi pretest dan
meningkat. posttest.
Pada gambar 3 dapat dilihat Pada skala nyeri, rata-rata
skor rata-rata kualitas hidup, dan responden menyatakan rasa nyeri
diperoleh rata-rata peningkatan skor yang dideritanya pada skala 4,17
sebesar 4,44, penurunan tingkat atau agak mengganggu, dan tidak
depresi sebesar 3,46, dan penurunan mengalami perbedaan yang banyak
nyeri sebesar 0,5. setelah dilakukan konseling, yaitu
Sebelum dilakukan konseling, hanya mengalami penurunan sebesar
responden rata-rata memiliki tingkat 0,5 menjadi 3,67. Setelah dilakukan
depresi sedang dengan skor 19,22 uji beda antara pretest dan posttest
dan setelah dilakukan konseling hasil menunjukkan bahwa tidak
terjadi penurunan tingkat depresi terdapat perbedaan tingkat nyeri
menjadi rendah dengan skor 15,76. sebelum dilakukan konseling dan
Hal ini berarti dengan adanya setelah dilakukan konseling, karena
pemahaman tentang penyakitnya dan memiliki [sig.(2-tailed)] 0,389 atau >
perbaikan sikap pola hidup tingkat taraf signifikasi 0,05. Hal ini berarti
depresi responden menjadi konseling yang diberikan tidak
berkurang. Hasil ini juga didukung berpengaruh pada rasa nyeri yang
oleh hasil uji beda yang dilakukan diderita oleh responden.
Gambar 3. Diagram Skor Rata-rata Kualitas Hidup, Depresi, dan Nyeri
SIMPULAN berat sebanyak 33,33% (6
pasien), dengan penyakit
1. Pasien SLE yang bersedia
penyerta yang paling banyak
menjadi responden seluruhnya
adalah alergi dan hipertensi
perempuan lebih banyak pada
masing-masing sebanyak
kelompok usia 21-40 tahun,
17,86% (5 pasien).
penyakit dengan aktivitas sangat
720
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
2. Golongan obat yang paling Malang: Fakultas Kedokteran
banyak digunakan pasien SLE Universitas Brawijaya
adalah kortikosteroid yaitu
sebanyak 100%. Helmi, Luthfi. 2008. Manifestasi
3. Evaluasi ketepatan penggunaan Systematic Lupus
obat pada pasien SLE diketahui Erythematosus pada Paru,
bahwa tepat pasien sebesar Majalah Kedokteran
88,89% (16 pasien), tepat Nusantara. 41 (1): 65-70.
indikasi sebesar 88,89% (16
pasien), tepat dosis sebesar Kasjmir, Yoga I. dkk. 2011.
55,56% (10 pasien). Rekomendasi Perhimpunan
4. Pada penelitian ini ditemukan 12 Reumatologi Indonesia untuk
pasien (66,67%) yang berpotensi Diagnosis dan Pengelolaan
mengalami interaksi obat dan Lupus Eritematosus Sistemik.
100% pasien mengalami http://reumatologi.or.id/reure
kejadian efek samping obat. k/download/5, (25 Agustus
5. Pemberian konseling dapat 2013)
meningkatkan pengetahuan dan
sikap pasien tentang SLE serta Krishnamurthy, M dan Mahadevan,
terapinya, dan dapat S. 2011. Systemic Lupus
meningkatkan outcome terapi Erythematosus: Recent
berupa peningkatan kualitas Concepts in Genomics,
hidup dan penurunan tingkat Pathogenetic Mechanisms,
depresi dan tingkat nyeri (VAS) and Therapies. ISRN
pasien SLE. Immunology Vol 2011: 1-7
Daftar Pustaka Lacy, Charles F., Lora L. Amstrong,
Aziz, A.L. 2001. Penggunaan P. Goldman, Leonardo L.
Kortikosteroid di Klinik. Lance. 2008. Drug
Surabaya: FK Unair RSUD Information Handbook 17th
dr. Soetomo Edition. Ohio: Lexi-Comp
Inc.
Dipiro, Joseph T et al. 2005.
Pharmacotheraphy Liphaus, B.L., Jesus A.A., Silva,
Handbook. 7th edition. New C.A., Coutinho, A., and
York: Mc Graw Hill Carneiro-Sampaio, M. 2012.
Companies,Inc. Increased IgE Serum Levels
Fatoni, A.Z. 2007. Pengaruh usia are Unrelated to Allergic and
onset, rutinitas minum obat, Parasitic Disease in Patients
jenis kelamin, tingkat with Juvenille Systemic
penghasilan, tingkat Lupus Erythematosus.
pendidikan dan durasi CLINICS 2012; 67 (11):
penyakit terhadap tingkat 1275-1280
aktifitas penyakit pada
Luddin, Abu Bakar M. 2010. Dasar-
penderita SLE. Tugas Akhir.
dasar Konseling Tinjauan
721
Media Farmasi Indonesia Vol 9 No 2
Teori dan Praktik. Bandung: (http://id.scribd.com/doc/190
Citapustaka Media Perintis 643066/Kelainan-Imun-
Sistemik-Lupus-
McMahon, M, Hahn, B.H dan Eritematosus-Anemia-
Skaggs, B.J. 2011. Systemic Hemolitik), diakses 24
Lupus Erythematosus and Januari 2014
Cardiovascular Disease:
Prediction and Potential for Soubrier, M., Mathieu, S., Hermet,
Therapeutic Intervention. M., Makarawiez, C., and
Expert Rev Clin Immunol. Bruckert, E. 2012. Do all
2011 March; 7 (2): 227-241 lupus patients need statins?.
Joint Bone Spine (2012): 1-6
Montes, N. 2002. Social Network
and Self-Reported Wallace, Daniel J. 2007. The Lupus
Symptomatology of Women Book. Diterjemahkan oleh
with Systemic Lupus Wiratama, C. Yogyakarta: B-
Erythematosus. Thesis. first
Galveston: The University of
Texas Medical Branch Yayasan Lupus Indonesia. 2011.
Systemic Lupus
Sandra, Monica. 2011. Kelainan Erythematosus. Jakarta: YLI
Imun Lupus Eritematosus (http://yayasanlupusindonesia
Sistemik Anemia Hemolitik. .org/category/buku-lupus/),
Jakarta: Fakultas Kedokteran diakses tanggal 3 September
UKRIDA 2013
722