Peranan Herman Sarens Soediro Dalam Kemerdekaan Republik Indonesia
Peranan Herman Sarens Soediro Dalam Kemerdekaan Republik Indonesia
124-135
e-ISSN 2722-6069
ABSTRACT
This study aims to determine the biography of Herman Sarens Soediro, and to determine the role of Herman Sarens
Soediro in the independence of the Republic of Indonesia (1942-1950). The method used is the historical method
which includes the stages of heuristics, criticism, interpretation and historiography. The results showed that Herman
Sarens in his life journey had devoted himself to his alma mater, namely the Indonesian National Army (TNI) and the
Army (AD). Herman was born in the city of Pandeglang, Banten, West Java on May 24, 1930. Herman's military
career began in 1945 as the Garut Siliwangi Student Army (TPS). At that time he was relatively young because he
was 15 years old. Entering 1950 Herman entered the ranks of TNI officers in the Siliwangi Division. The success of
Herman Sarens Soediro as the first officer of the Siliwangi Student Army (TPS) in the city of Banjar to contact and
ask for logistical assistance to the MBTD (Javanese Army Headquarters) in Yogyakarta. Herman had become a
guerrilla who carried weapons and repelled the enemy. Such as crushing the invaders and acts of rebellion against
the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). Among them were guerr illas in the Banjar-Ciamis area,
crushing the PKI Madiun, and expulsion of the Dutch in the Subang area under orders from the Java Command
Headquarters (MBKD).
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui biografi Herman Sarens Soediro, dan untuk mengetahui peranan
Herman Sarens Soediro dalam kemerdekaan Republik Indonesia (1942-1950). Metode yang digunakan adalah
metode historis meliputi tahapan heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukan, Herman
Sarens dalam perjalanan hidupnya telah mengabdikan diri bagi almamaternya yaitu Tentara Nasional Indonesia
(TNI) Angkatan darat (AD). Herman lahir di kota Pandeglang, Banten, Jawa Barat pada 24 Mei 1930. Karier militer
Herman dimu lai pada tahun 1945 sebagai Tentara Pelajar Siliwangi (TPS) Garut. Saat itu usianya tergolong muda
karena masih 15 tahun. Memasuki tahun 1950 Herman masuk ke dalam jajaran perwira TNI di Divisi Siliwangi.
Keberhasilan Herman Sarens Soediro sebagai perwira pertama Tentara Pelajar Siliwangi (TPS) di kota Banjar untuk
menghubungi serta meminta bantuan logistik kepada MBTD (Markas Besar Tentara Djawa) di Yogyakarta. Herman
telah menjadi gerilyawan yang memanggul senjata dan menghalau musuh. Seperti menumpas penjajah dan aksi-
aksi pemberontakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya bergerilya di daerah
Banjar-Ciamis, menumpasan PKI Madiun, dan pengusiran Belanda di daerah Subang dibawah perintah Markas
Besar Komando Djawa (MBKD).
Cara sitasi: Nursanti, T., Soedarmo, U.R., & Sondarika, W. (2022). Peranan Herman Sarens Soediro dalam
Kemerdekan Republik Indonesia (1942-1950). J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan), 4 (1), 124-
135.
124
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
PENDAHULUAN
Bagi negara yang pernah dijajah, kemerdekaan adalah sebuah impian. Menjadi impian
yang istimewa karena untuk meraihnya membutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan
suatu bangsa harus rela mengorbankan segalanya. Sebagai bangsa yang telah mengalami masa
kolonialisme dan imperalisme perbedaan latar belakang seperti asal -usul, suku bangsa dan
agama tidak menyurutkan perjuangan rakyat dalam menumbangkan penjajahan bangsa asing.
Karena untuk membangun dunia yang bebas dari kekangan penjajah, maka kemerdekaanlah
menjadi prasyarat yang harus dipenuhi (Kusmayadi, 2018: 19).
Nain (dalam Susilo and Sarkowi, 2020: 49) menjelaskan begitupun dengan perjuangan
dan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonial yang merupakan deretan sejarah dari
generasi ke generasi berikutnya yang tidak pernah dapat dipadamkan, meskipun mengalami
pasang surut dengan kadar yang berbeda-beda. Untuk menolak kekuasaan dan dominasi asing
di Nusantara dilakukan berbagai perjuangan bersenjata oleh bangsa Indonesia. Tiga abad lebih
peristiwa berdarah antara penguasa lokal Nusantara dengan pihak asing. Hal tersebut mereka
lakukan sebagai bentuk penolakan terhadap hadirnya bangsa asing mendominasi wilayah
Nusantara. Alasan lainnya adalah pihak asing yang mencoba memaksakan keinginanya untuk
mendapatkan komoditi alam Indonesia dan tenaga kerja pribumi. Konflik tersebut dimulai sejak
datangnya bangsa Barat di wilayah Nusantara. Orang Eropa seperti Portugis waktu itu telah
mencapai kemajuan teknologi dalam bidang pelayaran kapal dan persenjataan di awal abad ke-
16. Selain Portugis orang Eropa yang memiliki pengaruh besar terhadap Indonesia adalah
Belanda. Keberadaan B elanda di Indonesia dibagi kedalam tiga periode. i) Era VOC (1600-
1799); (ii) Era Kolonial Belanda (1800-1942); (iii) Era Perang Kemerdekaan Nasional Pasca-PD II
(1945-1949). Masing-masing kurun waktu tersebut merupakan lapisan sejarah (historical layers)
tersendiri (Zed, 2017: 91).
Hubungan Indonesia-Belanda pasca-PD II berlangsung dalam suasana perang
kemerdekaan nasional. Periode ini merupakan tonggak sejarah yang penting. Selain penderitaan
fisik, perang yang penuh kekerasaan juga meninggalkan beban secara psikologis bagi rakyat.
Warisan zaman pendudukan Jepang yang singkat (1942-1945) juga menyisakan pengalaman
buruk tentang kekejaman dan kelaparan yang merajalela, tetapi Jepang juga mewariskan sisi
positif di bidang pelatihan militer bagi pemuda Indonesia, sesuatu yang tidak pernah diterima di
zaman kolonial Belanda, kecuali untuk kalangan terbatas lewat rekrutmen serdadu kolonial
bernama KNIL (Zed, 2017). Pada abad 20 sejarah mencatat pemerintahan Belanda telah
memasuki tahap paling menindas. Sehinga pada saat itu peran pemimpin sangatlah penting.
Mereka menjadi generasi pertama yang ditakdirkan untuk membawa bumi Nusantara terlepas
dari belenggu penjajah.
Berbeda dengan Belanda, saat Jepang mendarat di Indonesia (1942-1945) pribumi
menyambut gembira karena dianggap membantu membebaskan rakyat Indonesia dari
penjajahan. Tetapi hal tersebut tidaklah tepat. Kehadiran Jepang di Indonesia tak lain adalah
untuk menggantikan kedudukan Belanda di Indonesia. Sehingga penderitaan bangsa Indonesia
terus berlanjut. Menurut Kumalasari F (2019: 191) pada saat Jepang sudah menaklukan kolonial
Belanda, Jepang mengambil alih pemerintahan Indonesia melalui sikap-sikap mereka yang
manis agar rakyat Indonesia bersimpati. Kemudian Jepang membuat kebijakan tentang
pemerintahan Jepang di Indonesia. Kekuatan militer Jepang tersebar luas di seluruh Jawa. Satu
keuntungan yang diperoleh Indonesia bahwa pasukan cadangan perang Jepang dari rakyat
pribumi ini justru menjadi kekuatan militer sebuah negara baru disaat status pemerintahan militer
Jepang demisioner sedangkan pemerintah Hindia Belanda telah tidak berfungsi ketika Jepang
menguasai Hindia Belanda. Suasana stagnan tersebut dimanfaatkan oleh rakyat pribumi untuk
mendirikan sebuah negara yang diberi nama Republik Indonesia. Sejak itu peta kekuatan
penjajahan di Indonesia menjadi tidak jelas dan telah terbentuk sebuah negara yang memiliki
perangkat pemerintahan serta pasukan perang di tanah air sendiri (Dahlan, 2017: 62-63).
125
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
Perjuangan paling nampak dan banyak direkam adalah dalam aspek politik. Jalur militer
dan sipil juga tidak kalah penting. Semua aspek tersebut saling menentukan. Saat akhir
menjelang perang dunia ke-II bentuk pertikaian apapun diselesaikan dengan mengangkat senjata
maupun diplomasi (Wahid, 2019: 2). Tanpa pahlawan ataupun seorang tokoh pejuang maka
Indonesia belum tentu bisa terbebas dari kendali bangsa asing. Pejuang kemerdekaan adalah
seseorang yang memberikan sumbangsih dan peranannya dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Mereka menempati peran yang penting sehingga menjadi tulang
punggung atau tokoh utama dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Memahami dan memaknai
kisah hidup seorang atau kelompok termasuk hal penting. Orang yang ikut berjuang demi meraih
kemerdekaan salah satunya adalah Herman Sarens Soediro. Sosok jenderal yang masuk dalam
kategori saksi hidup yang melihat dan menyaksikan langsung perjalanan penting sejarah bangsa
Indonesia. Mengawali karier dengan berjuang bersama para pelajar lainnya, di masa Revolusi
Kemerdekaan Indonesia Herman telah bergabung dengan para pelajar dalam satu wadah yang
sama yaitu Tentara Pelajar. Semangat juang Herman Sarens Soediro tak pernah padam bagai
prajurit sejati yang tak pernah “mati”. Hal t ersebut digambarkan dalam semboyan di Akademi
Militer yang berbunyi “Old soldiers never die, they just fade away ” yang artinya “Prajurit tua takan
pernah mati, mereka hanya undur diri” (Majalah INDOTOP, 2010: 9).
Pertengahan tahun 1946 Indonesia memiliki sepuluh Divisi yang tersebar di Jawa dan
Sumatera. Jawa Barat menggunakan nama bersejarah untuk divisi mereka yaitu Siliwangi. Disaat
perang kemerdekaan, Divisi I/Banten, Divisi II/Cirebon dan Divisi III/Purwakarta yang sekarang
bergabung dalam kesatuan Divisi Siliwangi berjuang secara gerilya di Jawa Barat melawan
tentara kolonial yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Selain bertanggung jawab atas
wilayah Jawa Barat, sebagai bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) Divisi Siliwangi juga
bertanggung jawab atas keamanan wilayah Republik Indonesia. Kiprah Herman Sarens Soediro
selama hidup dan dalam aksi heroiknya menumpas penjajahan merupakan sejarah dengan skala
Nasional (Soedarmo and Ginanjar, 2014: 129-130), sehingga perjalanan hidupnya cukup menarik
dan penting untuk diteliti. Alasannya adalah kisah hidup Herman belum ada yang meneliti secara
khusus, terutama dalam kurun waktu 1942-1950. Dari uraian yang telah dikemukakan diatas
penulis tertarik untuk membuat suatu tulisan yang mengangkat tentang tokoh Herman Sarens
Soediro terutama perannya pada masa kemerdekaan tahun 1942-1950 dan memberikan
gambaran yang lebih fokus kepada suatu peristiwa penting tokoh tersebut. Dengan demikaian
maka generasi muda dapat melihat secara keseluruhan tentang sejarah yang menjadi latar
belakang kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini (Sudarto & Purwanto, 2022). Upaya ini
merupakan bentuk dari pelestarian sejarah lokal dan merekonstruksi sejarah yang selama ini
terlupakan dari masyarakat terutama peran tokoh lokal, selama ini hanya tokoh-tokoh atau
pahlawan nasional yang menjadi bahan pembelajaran dan tokoh daerah banyak yang tidak
dikenal oleh masyarakat disekitarnya (Herdianti et al., 2021; Toni et al., 2021).
METODE PENELITIAN
Menurut Ismail Suardi Wekke (2019: 310) mengatakan bahwa dalam sebuah penulisan
laporan penelitian tentunya memiliki sebuah cara atau aturan agar tersusun sempurna, dan tidak
jauh dari metode penelitian. Metode penelitian digunakan sebagai suatu cara untuk mencapai
tujuan dan mencari kebenaran. Penelitian ini menggunakan metode historis, yaitu instrumen
untuk menggambarkan kembali peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah
sebagai kisah (history as written) (Soedarmo and Ginanjar, 2014: 130). Dari metode ini akan
menghasilkan suatu jawaban-jawaban dari permasalahan yang diteliti. Ada empat tahap metode
sejarah, yaitu (a) heuristik, pada tahapan ini penulis mengumpulkan sumber-sumber relevan
dengan masalah yang diteliti, menggunakan studi literatur berasal dari buku, laporan penelitian,
jurnal dan majalah. Sumber tersebut diperoleh dari beberapa tempat seperti Museum pribadi
Herman Sarens Soediro, dan Perpustakaan Universitas Galuh. Studi lapangan dilakukan dengan
observasi langsung ke tempat penelitian yang berlokasi di Dusun Tembung Kerta, Desa
126
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
Sukamukti, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, Jawa Barat. Disini diperoleh data tambahan dari
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) kota Banjar. Wawancara dilakukan bersama
Tatang Heryanto W, S.Pd.,MM, Aip Saripudin, S.Pd,I, Aan Setiawan, Aep Saepudin dan Wiwi.
Selain itu, penulis menggunakan dokumen terekam berupa foto-foto yang didapatkan dari
museum. Sumber internet seperti google cendekia, berita harian Kompas, dan Data Tempo. (b)
kritik sumber/verifikasi, dilakukan dengan cara membandingkan antara data satu dengan data
yang lainnya. Dalam ilmu sejarah tahap kritik ditekankan pada penilaian data serta fakta. (c)
penafsiran/Interpretasi, pada bagian ini penulis menafsirkannya melalui berbagai fakta yang telah
dikemukakan antara satu dengan yang lainnya. Fakta yang telah tersusun diharapkan
menemukan suatu hubungan antara satu dengan yang lainnya. (d) penulisan hasil
penelitian/historiografi, menurut Kuntowijoyo (2013: 80) dalam penulisan sejarah, kronologi
merupakan aspek yang sangat penting.
127
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
128
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
berlangsung pada 1974 sampai 1978. Sisi lain yang menarik dari seorang Herman Sarens
Soediro adalah Ia tidak hanya dikenal sebagai prajurit yang tangguh, tetapi juga memiliki hobi
berburu. Hobinya tersebut kemudian menjadi bakat yang terasah setelah menjadi Duta Besar di
Madagaskar.
Almamater Herman adalah TNI-AD. Setelah menjadi veteran beliau tetap memperdulikan
nasib kawan seperjuangannya. Bersama para veteran berdiri sebuah Yayasan yang menaungi
nasib veteran Indonesia yang bernama Yayasan 19 Desember. Yayasan tersebut selain
diperuntukan bagi tokoh sempat yang berjuang di medan perang, juga dipergunakan sebagai
tempat menaungi segala kegiatan yang berhubungan dengan 19 Desember 1948 (Yudhiarma
Mk, 2015: 200-201).
Semasa hidupnya beliau menikahi tiga istri, yaitu Rieke Rihana namun berpisah tahun
1957. Pada 1958 menikah dengan Tinawati Soediro, dan di tahun 1967 menikah kembali dengan
Khadijah Soediro. Herman dikaruniai empat anak. Yaitu Ferry Soediro, Teddy Soediro, dan Yuni
Heryani Soediro dari pernikahannya yang pertama, serta Renny Soediro dari pernikahannya
bersama Tinawati (Wawancara Wiwi, 6 April 2022). Herman Sarens Soediro wafat pada Minggu
11 Juli 2010. Sebelumnya diketahui Herman sempat mengidap komplikasi penyakit jantung,
gagal ginjal dan gangguan pernapasan yang membuatnya harus cuci darah tiga kali seminggu.
Sempat dirawat di rumah sakit Singapura dan Jakarta, seperti RS Abdi Waluyo dan RS Mitra
Kemayoran. Sebelum dimakamkan, di rumah duka Jl. Daksa nomor 9, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, dilaksanakan gelar pasukan dan upacara militer untuk melepas jenazah yang akan
dikebumikan di Banjar Patroman, Jawa Barat. Upacara pelepasan dipimpin oleh TNI Edi
Susanto, Kepala Staf Garnisun Tetap I Jakarta (Yudhiarma Mk, 2015: 12).
Menurut Tatang Heryanto yang diwawancari di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Banjar mengemukakan bahwa, Herman adalah pahlawan besar di kota Banjar. Bahkan Herman
telah banyak berjasa dengan mengembangkan kota Banjar. Selain itu dikenal sebagai Pejabat
militer dan sosoknya sangat disegani warga Banjar. Maka sangat layak jika harus dikebumikan di
Makam Pahlawan. Tetapi atas permintaan keluarga, Herman ditempatkan di pemakaman
keluarga besar Hargayasa yang berada di Dusun Tembung Kerta, Desa Sukamukti, Kecamatan
Pataruman, Kota Banjar (Wawancara, 25 Mei 2022). Di Banjar prosesi pemakaman berlansung
secara militer dipimpin oleh Marsekal Wahyudin, yaitu Komandan Garnisun, Bandung, Jawa
Barat (Yudhiarma Mk, 2015: 13).
Kempeiho. Pada Agustus 1945 kembali ke Pandeglang. Saat kembali ke kampung halamannya
nasib baik tak berpihak padanya. Setibanya disana munculah pergolakan di Banten. Orang yang
bertanggung jawab dalam situasi yang sedang memanas tersebut adalah para kiyai dan jawara-
jawara. Antara 1945-1946 kelompok jawara yang berasal dari Banten menganggap bahwa arti
kemerdekaan adalah suatu proses pembersihan Banten secara permanen terhadap sisa-sisa
dan unsur kolonial (Yudhiarma Mk, 2015: 44-45). Termasuk yang masih memiliki hubungan
ataupun pernah bekerja dengan kolonial mestilah dihapuskan (Syadeli, 2021: 5).
Di Banten para jawara menempati posisi penting dalam masyarakat. Mereka
menganggap diri mereka sebagai kelompok masyarakat yang membangkang terhadap kaum
kolonial. Hanya saja tindakan yang diambil para jawara dirasa cukup meresahkan di kalangan
masyarakat maupun pemerintah. Hal tersebut dikarenakan aksi yang mereka lakukan meliputi
penculikan, pendaulatan, provokasi, intimidasi, perampokan bahkan bisa sampai membunuh.
Meskipun Herman adalah pribumi sejati, namun beliau sempat menjadi Kempeiho yang
merupakan bagian Jepang. Sebelumnya ayahnya R. Soediro turut menjadi bagian Belanda
dengan bekerja sebagai pengawas pajak dan pasar kemudian menjadi Seinenden Jepang
(Suwirta, 2006: 98; Yudhiarma Mk, 2015: 46). Herman dan keluarganya tidak diterima disana.
Pada 1945 Ia beserta keluarga pindah ke Banjar yang merupakan kota kelahiran ibunya
sekaligus nenek moyangnya berasal dari Banjar. Saat itu usianya 15 tahun (Wawancara Aep
Saepudin, Rabu 6 April 2022).
Di usia 15 tahun Herman masuk militer Angkatan Laut yang bermarkas di Yogyakarta.
Pangkatnya adalah letnan satu. Dalam jangka satu tahun saat bertugas di front Ambarawa, Dan
sempat mengikuti pertempuran skala kecil dalam pertempuran melawan kolonial (Getar, 2010:
11-12). Sejatinya Ia merupakan tentara lapangan. Tahun berikutnya di 1946 memutuskan
kembali ke Banjar di Jawa Barat. Dan bergabung dengan Tentara Pelajar Siliwangi (TPS) di
Garut yang dipimpin oleh komandan Erwimo (Getar, 2010: 11).
Masih di tahun 1946 Herman mendirikan markas pertahanan di desa Cublug (Yudhiarma
Mk, 2015: 49). Bersama pasukannya berupaya menyerang Rumah Sakit Ciamis yang telah
dikuasi Belanda. Selanjutnya menyusup ke markas Belanda dan merampas senjata mereka.
Operasi penyerangan dilakukan malam hari. Pasukannya menyerbu kembali kantor pegadaian
dan menangkap orang-orang Cina yang tergabung dalam organisasi Po An Tu I (Yudhiarma Mk,
2015: 50). Laskar Po An Tu I merupakan gabungan orang-orang Cina bersenjata yang loyal
terhadap Belanda. Sepak terjang laskar tersebut adalah meneror pejuang pribumi dan selalu
mengamati kegiatan pejuang membuat gerak-gerik serta markas mereka selalu diketahui oleh
Belanda. Bersama pasukannya menyerang markas mereka yang telah bekerja sebagai kaki
tangan Belanda.
Tahun 1947 Herman telah berusia 17 tahun. Keadaan Jawa Barat jauh dari ketentraman
pada waktu itu. Belanda terus berusaha memperluas kedudukannya dengan mendesak pasukan
republik. Hampir setiap hari banyak tempat di Jawa Barat yang jatuh ke tangan Belanda. Dalam
130
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
keadaan ini, hubungan satu daerah dengan daerah lain sangat sukar dan seringkali terputus.
Tidak sedikit daerah menjadi terisolir dari pusat pemerintahan sipil dan militer yang saat itu
berkedudukan di Tasikmalaya (Ahmad, 2019: 17). Tasikmalaya merupakan salah satu daerah
yang diincar oleh tentara Belanda saat melancarkan serangan militer ke Jawa Barat, hal tersebut
karena kota Tasikmalaya saat itu memengang peranan sebagai pusat pemerintahan dan terdapat
beberapa objek vital yaitu adanya pusat komando Divisi Siliwangi (Ahmad, 2019: 17). Pada bulan
Agustus 1947 Belanda berhasil menduduki Garut. Melihat situasi tersebut para prajurit Siliwangi
yang semula hendak melakukan perlawanan dan penghadangan, terpaksa mundur ke daerahnya
masing-masing.
Setelah daerah Tasikmalaya, Garut dan Ciamis diduduki Belanda, sebagai Tentara
Pelajar Herman memiliki tugas untuk menghadang laju Belanda agar tidak sepenuhnya
menguasai daerah Banjar Ciamis. Taktik yang dilakukan diantaranya merusak jalan yang akan
dipakai Belanda, merobohkan jembatan, melucuti rel kereta api yang menghubungkan ke daerah
Banjar, Banjarsari, dan Pamarican. Sampai situasi sudah semakin memanas bersama
pasukannya terpaksa memutus satelit telpon (Yudhiarma Mk, 2015: 53-54). Herman berkali-kali
memindahkan pos pertahanan. Setelah desa Cublug, kemudian berpindah ke Pasirhampok
sekarang dikenal kelurahan Mekarsari di kota Banjar (Muhafidz, 2020). Kurang dari satu bulan
memindahkannya kembali basis pertahanan ke daerah Panyusupan di Pamarican. Menurut Aan
daerah Panyusupan tepat berada di puncak gunung. Di Panyusupan itu dipimpin langsung oleh
ayahnya Raden Soediro (Wawancara 6 April 2022).
Sejak kedatangan Sekutu dan Belanda ke Indonesia, Divisi Siliwangi aktif berjuang
secara gerilya di wilayah Jawa Barat. Pada 1947 saat Belanda melancarkan agresi militer sistem
pertahanan linier diganti menjadi sistem kantong (wehrkreise) (Nugraha and Winarti, 2018: 218).
Saat agresi militer Belanda pertama, hampir seluruh daerah di Jawa Barat telah dikuasi Belanda.
Persenjataan yang terbatas, serta minimnya ketersediaan logistik militer, R. Soediro mengutus
Letnan Herman untuk melaporkan keadaan kepada Jendral Soedirman di Yogyakarta. Tujuannya
adalah Markas Besar Tentara (MBT). Disana beliau menghadap langsung kepada Let. Jend. Urip
Soemaharjo dan Panglima Besar Jendral Soedirman (Yudhiarma Mk, 2015: 55; Muhafidz, 2020).
Selama Herman melakukan perjalanan ke Yogyakarta, daerah Pamarican telah diserang
Belanda. R. Soediro yang saat itu berpangkat Letnan membawahi 200 pasukan diantaranya
Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan Tentara Pelajar Siliwangi (TPS). Sebelum Belanda
menyerang melalui jalur belakang (Sidamulih), pasukan R. Soediro sedang berpencar. Sebagian
regu disebar menahan laju Belanda di kota-kota terdekat, merusak jalan guna menghambat
kedatangan Belanda, dan menghadapi perang gerilya. Sehingga pasukan di basis utama R.
Soediro tidak memiliki cukup pasukan menghadapi Belanda yang menyerang tiba-tiba. Akhirnya
dalam pertempuran yang tidak seimbang pada 19 Desember 1947, tentara Belanda dan pasukan
TNI dari Batalyon IV Resimen XI Divisi III Siliwangi R. Seodiro Wirjo gugur (Suwirta, 2006: 102).
Perjuangan R. Soediro Wirdjo Soehardjo kemudian diabadikan dalam patung Letnan (Anumerta)
131
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
yang berlokasi di pertigaan Jl. Raya Pangandaran - Jl. Tentara Pelajar Kota Banjar (Yudhiarma
Mk, 2015: 69). Herman membuat patung tersebut pada 13 Mei 1998. Tugu tersebut Ia
dedikasikan untuk mengenang perjuangan ayahnya yang gugur pada Agresi Militer Belanda I
(Wawancara, Aan Setiawan 6 April 2022).
Herman bersama pasukannya menetap selama 5 bulan di Panyusupan terhitung sejak
Agustus 1947 sampai Januari 1948. Menurut Aan di markas tersebut didirikan sebuah rumah
sebagai tempat beristirahatnya para tentara sekaligus pertahanan merah putih (Wawancara 12
April 2022). Pada 17 Januari 1948 di umumkan gencatan senjata Indonesia dengan Belanda.
Disusul dengan perjanjian Renville, kemudian pasukan Herman yang berada di Panyusupan
Cikupa melakukan hijrah ke ke Jawa Tengah sesuai instruksi langsung dari Jenderal Soedirman
(Wawancara, Aip Saripudin 1 Juni 2022). Perjanjian Renville nyatanya tidak mampu memberikan
keuntungan di pihak Indonesia, justru malah memberikan keuntungan di pihak Belanda.
Akibatnya wilayah kedaulatan Republik Indonesia semakin sempit, pasukan-pasukan gerilya
Indonesia yang masih berada di "kantong-kantong" gerilyanya harus segera pindah ke daerah
Republik yang semakin sempit (Suparjan and Khaldun, 2021: 123). Penghijrahan dimulai 1
Februari 1948 dengan pemindahan seluruh pasukan Siliwangi dari benteng pertahanannya di
Jawa Barat ke sisa daerah kekuasaan RI di Jawa Tengah.
Saat gencatan senjata Kapten Lily Kusumah selaku komandan Batalyon TNI di
Banjarsari memerintahkan Herman untuk menghubungi pos Belanda terdekat. Setelah
melakukan perundingan dengan perwira Belanda di Banjar, maka mereka sepakat untuk
menyiapkan puluhan truk untuk mengangkut para tentara dan rakyat ke Jawa Tengah
(Yudhiarma Mk, 2015: 74-75). Titik jemput rombongan Herman di jembatan Ciseel. Jembatan
Ciseel menghubungkan antara Pamarican dan Banjar. Herman bersama keluarganya
ditempatkan di kota Solo. Selama di kota Solo Herman sempat melanjutkan pendidikannya.
Kegiatananya saat berada di Solo adalah mengikuti pelajaran yang diselenggarakan di Sekolah
Menengah Tinggi Peralihan Kanisius. Selain itu, bersama Korps Pelajar Siliwangi beliau selalu
menceritakan kepada pelajar lainnya mengenai pengalaman mereka dalam perang dan
bergerilya melawan tentara Belanda. Tentu cerita tersebut menjadi hal yang menarik di
sekolahnya, mengingat beliau bersama pasukan lainnya termasuk dalam pejuang garis depan
(Yudhiarma Mk, 2015: 75-76). Aip mengatakan selama bertugas di Divisi Siliwangi Herman
diharuskan menjaga daerah teritorial di Indonesia khususnya Jawa Barat (Wawancara, 1 Juni
2022).
Corak dari Revolusi Indonesia bisa dilihat dari sisi para nasionalis yang berpendidikan
tinggi dengan pola perjuangan diplomasi dalam mencapai kemerdekaan Indonesia, sementara
pihak militer dan tentara rakyat memilih perjuangan bersenjata dengan melakukan gerilya untuk
mencapai kemerdekaan. Pada tahap inilah revolusi Indonesia mengalami ujian yang sangat
berat. Indonesia menghadapi Agresi Militer Belanda, pada kesempatan yang sama pula anak
bangsa yang tidak menyukai gaya kepemimpinan Soekarno-Hatta dari belakang melakukan
pemberontakan dan sabotase. Seperti yang terjadi di daerah Jawa Barat di bawah komando
Kartosuwiryo dan Pemberontakan di Madiun oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah
komando Muso dan Amir Syarfuddin (Suparjan and Khaldun, 2021: 123).
Pada 1948 Herman masih berada di Solo. Dalam waktu yang sama terdapat tentara
komunis dalam jajaran militer Angkatan Laut. Kelompok mereka dikenal dengan kelompok
Yadow. Pada September 1948 beliau sempat ditangkap dan digiring ke tepi Bengawan Solo.
Sempat hampir dieksekusi namun berhasil melarikan diri (Yudhiarma Mk, 2015: 79). Siangnya
pada 13 September kompi Oking yang merupakan Pengawal Brigade II/Siliwangi diserang di
asrama Srambatan oleh pasukan Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS) dengan
kekuatan lebih dari satu batalyon. Setelah Markas Oking diserbu Herman menggabungkan diri
dengan Kompi Oking dan bertugas memburu PKI yang melarikan diri kearah Madiun (Yudhiarma
Mk, 2015: 80). Melalui perintah Gatot Soebroto, Pasukan Divisi Siliwangi yang tergabung dalam
132
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
KESIMPULAN
Herman Sarens Soediro merupakan satu diantara banyaknya pejuang dan pahlawan
yang lahir dan dibesarkan di tengah panasnya api perjuangan. Lahir di kota Pandeglang, Banten,
Jawa Barat pada 24 Mei 1930. Dan mengawali pendidikannya pada 1938 saat menginjak usia 8
tahun di Tweede Hollands Inlandse (HIS). Tahun 1948 Ia berhasil menamatkan sekolahnya di
Sekolah Menengah Tinggi Peralihan Kanisius. Sejak 1950 Ia masuk ke dalam jajaran perwira TNI
di Divisi Siliwangi. Kemudian ditahun 1965 telah menjabat sebagai Perwira Tinggi Infantri Tentara
Nasional Republik Indonesia. Herman menjadi tonggak sejarah atas dibangunnya Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) dan Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur. Diluar karier militernya
Herman Sarens sempat menjabat sebagai Duta Besar pertama Indonesia di Madagaskar.
Setelah menjadi veteran beliau tetap memperdulikan nasib kawan seperjuangannya. Bersama
para veteran berdiri sebuah Yayasan yang menaungi nasib veteran Indonesia bernama Yayasan
19 Desember.
Menjadi anak perang, keluar masuk hutan, memanggul senjata, merdeka atau mati
hanya itulah yang ada dalam benak Herman setiap harinya. Bergabung dalam Divisi Siliwangi
133
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
sejak tahun 1946, Dan ikut andil dalam berbagai operasi militer. Seperti menumpas penjajah dan
aksi-aksi pemberontakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya
bergerilya di daerah Banjar-Ciamis, menumpasan PKI Madiun (1948), dan pengusiran Belanda di
daerah Subang dibawah perintah Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Sebagai seorang
pejuang kemerdekaan tentu Herman Sarens Soediro memiliki karier militer yang panjang. Dalam
perjalanan hidupnya, beliau telah membaktikan seluruh jiwa raganya bagi almamaternya yaitu
Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD).
REKOMENDASI
Tokoh Herman Sarens Soediro telah mengabdikan diri sebagai prajurit sejati kepada
negara. Pahlawan seperti Herman Sarens Soediro patut dijadikan panutan. Dalam perjalanan
hidupnya, Herman Sarens telah membaktikan seluruh jiwa raganya bagi almamaternya yaitu
Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD). Penulis berharap dengan adanya karya
tulis ilmiah ini dapat menjadi rekomendasi sumber bacaan maupun referensi penelitian ilmiah,
serta tumbuhnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat khususnya bagi generasi muda
terhadap perjuangan para pahlawan khususnya tokoh Herman Sarens Soediro.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis persembahkan kepada narasumber yang telah meluangkan
waktunya untuk penulis wawancarai, pembimbing dan dosen Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Galuh, serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian sehingga karya tulis
ilmiah ini dapat selesai tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. A. (2019). ‘Pembentukan Wilayah Pertahanan Priangan Timur Dan Perpindahan
Ibukota Propinsi Jawa Barat Ke Lebaksiuh Tahun 1947-1948’, Jasmerah: Journal of
Education and Historical Studies, 1(2), p. 14.
Basir, U. P. (2019). ‘Fenomena Bahasa Nama Dalam Budaya Jawa: Kajian As pek Filosofis Dan
Fakta Sosial’, Lokabasa, 8(1), p. 112.
Dahlan, M. H. (2017). ‘Konfrontasi Republik Indonesia Dengan Militer Jepang Menjelang
Masuknya Sekutu 1945-1946’, Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya,
9(1), p. 61.
Getar. (2010). ‘Pejuang Pancasila, Pejuang Gerilya, Veteran, Superstar, 80 Tahun Herman
Sarens Sudiro Masih Terus Berjuang’, Getar, pp. 1–47.
Herdianti, D., Wijayanti, Y., & Sondarika, W. (2021). Pembelajaran Sejarah Contextual Teaching
And Learning Situs Jambansari Dengan Metode Ekskursi Di Sma Informatika Ciamis.
J-KIP (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan), 2(2), 55–62.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.25157/j-kip.v2i2.5320
Indotop. (2010). ‘Pahlawan Gerilya” KPH, Drs, H Herman Sarens Soediro, Dimata Kawan Kawan
Pejuang Siliwangi.’, Indotop, p. 9.
Irvan Tasnur, M. R. F. (2019). ‘Republik Indonesia Serikat: Tinjauan Historis Hubungan
Kausalitas Peristiwa-Peristiwa Pasca Kemerdekaan Terhadap Pembentukan Negara
Ris (1945-1949)’, Candrasangkala, 5(2).
Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kusmayadi, Y. (2018). ‘Pengaruh Konferensi Asia Afrika (KAA) Tahun 1955 Terhadap
Kemerdekaan Negara-Negara Di Benua Afrika’, Agastya: Jurnal Sejarah Dan
Pembelajarannya, 8(01), p. 15.
Muhafidz. (2020). Mengenal Mayor R. Hamara Effendi, Pahlawan Pejuang dari Kota Banjar.
Dalam https://www.harapanrakyat.com/2020/08/mengenal-mayor-r-hamara-effendi/.
Diunduh tanggal 17 Mei, pukul 11.14 WIB.
Nugraha, R. C. and Winarti, M. (2018). ‘Kiprah Divisi Siliwangi Dalam Menghadapi
134
J-KIP (Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Vol. 4, No. 1, Februari 2023, pp. 124-135
e-ISSN 2722-6069
Pemberontakan Pki Madiun Tahun 1948’, FACTUM: Jurnal Sejarah dan Pendidikan
Sejarah, 7(2), pp. 215– 226.
Soedarmo, R. and Ginanjar. (2014). ‘Perkembangan Politik Partai Komunis Indonesia (1948-
1965)’, 2, pp. 129–138.
Sudarto, S., & Purwanto, D. (2022). Chinese Ethnicity In Indonesian History Textbook.
International Journal of Education and Social Science Research (IJESSR), 5(5), 327–
343. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.37500/IJESSR.2022.5518
Suparjan, E. and Khaldun, I. (2021). ‘Politik Diplomasi Masa Revolusi Menuju Pengakuan
Kemerdekaan Indonesia (1946-1949)’, SOSIOHUMANIORA: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial
Dan Humaniora, 7(1), pp. 122–131.
Susilo, A. (2018). ‘Sejarah Perjuangan Jenderal Soedirman Dalam Mempertahankan Indonesia
(1945-1950)’, HISTORIA : Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 6(1), p. 57.
Suwirta, A. (2006). ‘Memahami dan Menghargai Perjuangan R. Soediro Wirjo Soehardjo
dalam Historiografi Indoensia’, Sejarah dan Pendidikan Sejarah: Perspektif Malaysia
dan Indonesia, (April), pp. 97–105.
Syadeli. (2021). ‘Pemberontakan Jawara Banten pada Masa Awal Kemerdekaan’, HISTORIA:
Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 4(2), pp. 173–182.
Toni, T., Brata, Y. R., & Wijayanti, Y. (2021). Peranan Bupati Cilacap Pertama Raden
Tumenggung Tjakrawerdana II Dalam Pembangunan Kota Cilacap 1856-1873. J-KIP
(Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan), 2(3), 11–20.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.25157/j-kip.v2i3.5846
Wahid, M. H. (2019). Perjuangan Tokoh Sejarah Letnan Kolonel Moh. Moeffreni Moe’mien dalam
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945-1949. Skripsi.
Yudhiarma Mk, A. S. (2015). Pahlawan yang Dilupakan.
Zed, M. (2017). ‘Warisan Penjajahan Belanda Di Indonesia Pasca-Kolonial (Perspektif
Perubahan Dan Kesinambungan)’, Diakronika, 17(1), p. 88.
135