DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
Laporan Kasus : Diagnosis dan Tatalaksana Pasien dengan Suspek
Sindroma Sjögren
Penyaji : Novaqua Yandi
Pembimbing : Susi Heryati, dr., Sp.M(K)
Telah Diperiksa dan Disetujui oleh
Pembimbing
Susi Heryati, dr., Sp.M (K)
Kamis, 18 Agustus 2018
Pukul WIB
Diagnostic and Management of Dry Eye Patient with Suspicion of Sjögren Syndrome
Abstract
Introduction : International Dry Eye Workshop in 2017 stated the new definition of
dry eye as a multifactorial disease of the ocular surface characterized by a loss of
homeostasis of the tear film, and accompanied by ocular symptoms, in which tear
film instability and hyperosmolarity, ocular surface inflammation and damage, and
neurosensory abnormalities play a role. There are 2 mayor subtypes, the aqueous
deficient dry eye (ADDE) and the evaporative dry eye (EDE). Sjögren syndrome dry
eye (SSDE) is one kind of ADDE. It is a chronic autoimmune disease with dry eyes
and dry mouth are the primary characteristics. In Asia, specifically Taiwan, the
prevalence of Sjögren syndrome reaches 16 per 100.000. The management for dry
eye disease are chronic, complex and varies due to multifactorial etiologies.
Purpose : To report the diagnostic and management of dry eye patient with suspicion of
Sjögren Syndrome
Case Report : A 34 year old woman came to Cicendo Eye Hospital with a chief
complain of dryness feeling, soreness, photophobia, foreign body sensation, and had to
blink frequently to relieve the symptom in both eyes since one year ago. Patient also
complained about the dry mouth. Ophthalmologic examination revealed that visual
acuity for the right eye was 0,5 and for the left eye was 0,5 . Palpebral examination
revealed both eyes were blepharospasm. Schirmer I test were 2 mm in right eyes and 4
mm in left eyes eyes. Ocular Staining Score in both eyes were about 5. Tear break up
time showed less than 5 seconds. Ana panel test was negative. Patient was diagnosed
with Dry Eye Disease with suspicion of Sjögren Syndrome and treated with artificial
tears hourly, sodium hyaluronate eye drop 4 times a day, and autologous tear serum
hourly.
Conclusion : The diagnostic and management of dry eye patient with Sjögren
Syndrome need a multidiscipline approach. The treatment recommendations is not
rigid. Severity of the disease, patient characteristic, risk-benefit for each treatment and
cost should be taken into consideration.
Keyword : dry eye, Sjögren’s syndrome, aqueous deficiency dry eye
2
I. Pendahuluan
Mata kering merupakan penyakit permukaan okular yang bersifat multifaktorial
dan dikarakteristikan dengan hilangnya homeostasis film air mata disertai dengan
gejala okular. Etiologi yang berperan antara lain adanya ketidakstabilan dan
hiperosmolaritas film air mata, inflamasi dan kerusakaan permukaan okular, serta
abnormalitas neurosensoris. Pada beberapa studi yang dilakukan di Asia, didapatkan
prevalensi mata kering secara keseluruhan berkisar antara 14,4% sampai 24,4%.
Secara umum mata kering dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe,yaitu aqueous
deficiency dry eye (ADDE) dan evaporative dry eye (EDE). Kelompok ADDE terbagi
menjadi 2 kelompok besar, yaitu Sjögren syndrome dry eye (SSDE) dan non-Sjögren
syndrome dry eye (NSDE) 1–4
Sindroma Sjögren merupakan penyakit yang memiliki karakteristik adanya
kekeringan pada mata dan mulut. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun kronis
yang memicu inflamasi pada kelenjar lakrimal dan saliva. Pada suatu studi di Asia
didapatkan Sindroma Sjögren memiliki prevalensi 16 kasus per 100.000 penduduk.
Prevalensi sindroma Sjögren primer di Amerika Serikat berkisan antara 2- 10.000
penduduk. Sindroma Sjögren dapat merupakan suatu kondisi tersendiri (primer) atau
sekunder dari suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat seperti systemic lupus
erythematosis, polyarteritis nodosa, Wegener’s granulomatosis, systemic sclerosis,
primary biliary sclerosis. 4–7
II. Laporan Kasus
Seorang perempuan berusia 34 tahun datang pertama kali ke unit infeksi dan
imunologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo pada tanggal 7
September 2018. Pasien datang dengan keluhan utama kedua mata dirasakan perih
sejak 2 tahun yang lalu dan memberat dalam 1 tahun terakhir. Keluhan disertai
sensasi seperti ada benda asing, silau, dan sulit membuka mata. Tidak ada keluhan
mata merah, berair, dan belekan. Penglihatan tidak bertambah buram. Keluhan
bertambah berat jika terkena angin di luar ruangan ataupun air conditioner(AC) di
3
dalam ruangan. Pasien harus memakai kacamata hitam apabila berada dalam kondisi
tersebut. Pasien juga merasakan mulut kering dan jika menelan air liur dirasakan
sedikit. Tidak ada keluhan nyeri sendi ataupun kulit kering. Tidak terdapat riwayat
trauma ataupun riwayat alergi. Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan
serupa. Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala serupa. Tidak terdapat
riwayat konsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka waktu lama. Tidak terdapat
riwayat operasi sebelumnya pada mata. Pasien sebelumnya memiliki kacamata,
dikatakan memiliki ukuran minus 0,50 pada kedua mata. Riwayat pemakaian lensa
kontak tidak ada. Pasien sehari-hari merupakan ibu rumah tangga dan sudah memiliki
2 orang anak. Riwayat penyakit jantung dan diabetes mellitus tidak ada.
Pasien sudah berobat ke dokter spesialis mata di Rumah Sakit Ciereng 3 bulan yang
lalu dan didiagnosis dengan mata kering, diberikan tetes mata tetapi pasien
selanjutnya tidak pernah kontrol kembali. Pasien merasa terganggu dengan kondisi
matanya dan ingin tidak harus memakai kacamata gelap jika berada di luar ruangan
untuk mengurangi gejala.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal. Pada
pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus dasar mata kanan 0,5 dengan pinhole
0,63, mata kiri 0,32 dengan pinhole 0,4. Kedudukan bola mata kanan dan kiri
ortotropia. Gerakan bola mata pada kedua mata baik ke segala arah. Tekanan bola
mata dengan pengukuran non contact tonometer pada mata kanan 14 dan mata kiri
16. Palpebra kedua mata tampak blefarospasme. Konjungtiva bulbi tenang. Terdapat
keratitis pungtata superfisialis di kornea setelah dilakukan pemeriksaan dengan
pewarnaan fluorescein. Bilik mata depan Van Herick grade III flare/cell -/-. Pupil
bulat, refleks cahaya direk/indirek +/+, relative afferent pupillary defect -/-. Tidak ada
sinekia pada iris. Lensa tampak jernih. Pemeriksaan tear break up time didapatkan
hasil kurang dari 5 detik. Pasien kemudian didiagnosis dengan mata kering dengan
tingkat keparahan berat pada mata kanan dan kiri yang diduga disebabkan oleh
sindroma Sjögren.
4
Tatalaksana pada pasien ini berupa tetes mata serum autologous yang diberikan 1
tetes tiap jam pada kedua mata, air mata artifisial 6 kali 1 tetes per hari dan sodium
hyaluronate 4 kali 1 tetes per hari. Pasien kemudian dikonsulkan ke unit penyakit
dalam untuk mencari penyakit yang mendasarinya lalu pasien disarankan untuk
kontrol 2 minggu kemudian. Akan tetapi pasien baru kontrol kembali 1 bulan
kemudian pada tanggal 4 Oktober 2018.
Gambar 2.1 Pewarnaan Gambar 2.2 Pewarnaan
Okular Fluorescein Okular Fluorescein
Mata Kiri (saat
Gambar 2.3 Pewarnaan Gambar 2.4 Pewarnaan
Okular Fluorescein Okular Fluorescein
Mata Kanan (saat
Gambar 2.5 Tes Schirmer I
5
Pasien merasakan belum ada perubahan gejala. Pada pemeriksaan oftalmologis
tambahan dilakukan pemeriksaan Schirmer 1 dan didapatkan hasil area basah pada
kertas di mata kanan 2 mm dan di mata kiri 4 mm. Pemeriksaan TBUT didapatkan
hasil kurang dari 5 detik pada kedua mata. Pemeriksaan pewarnaan okular dengan
fluorescein didapatkan Ocular Staining Score (OSS) SICCA 5. Pemeriksaan
penunjang laboratorium didapatkan hasil hasil LED 17 mm/jam, tergolong dalam
batas normal Hasil tes ANA non reaktif. Hasil Pemeriksaan darah rutin, fungsi hati,
fungsi ginjal, dan gula darah sewaktu dalam batas normal. Pasien diberikan
tatalaksana yang serupa dengan kunjungan pertama dan direncanakan untuk
dikonsultasikan kembali ke unit penyakit dalam untuk melengkapi pemeriksaan
imunologi lainnya.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad functionam dubia,
dan quo ad sanationam dubia ad malam.
III. Diskusi
Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit mata kering.
Rasio terjadinya penyakit mata kering lebih tinggi pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki mencapai 9:1. Terdapat perbedaan dalam anatomi, fisiologi, dan
patofisiologi antara jenis kelamin laki-laki dengan perempuan pada kelenjar lakrimal,
kornea, konjungtiva, kelenjar meibom, duktus lakrimalis, dan lapisan air mata.
Perbedaan prevalensi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, geografi, ataupun
iklim. Berdasarkan pemetaan global yang dilakukan oleh International Dry Eye
Workshop, secara demografi, kawasan Asia memiliki prevalensi mata kering yang
lebih tinggi. Penyakit mata kering juga semakin meningkat prevalensinya seiring
dengan bertambahnya usia. Lebih spesifik, pada penyakit mata kering yang
disebabkan sindroma Sjögren juga didapatkan prevalensi meningkat pada perempuan
dan usia lanjut. Salah satu studi di Paris mendapatkan hasil prevalensi sindroma
Sjögren lebih tinggi pada ras/etnik non Eropa 2,1-2,3 kali dibandingkan dengan
6
ras/etnik Eropa.3,6,8–10 Karakteristik ini sesuai dengan karakteristik pasien, yaitu
seorang perempuan berdomisili di kawasan Asia dengan usia di dekade pertengahan.
Penyakit mata kering umumnya bersifat kronik, bilateral dengan gejala yang
berlangsung sepanjang hari. Keluhan subyektif seperti mata mudah lelah, seperti ada
pasir yang mengganjal, perih, silau, dan bertambah parah jika menatap tanpa berkedip
dalam waktu lama serta membaik setelah berkedip merupakan keluhan pada mata
kering. Terdapat beberapa pemeriksaan obyektif yang dapat dilakukan untuk menilai
mata kering. Tes Schirmer I merupakan suatu tes untuk memperkirakan produksi air
mata. Tes lainnya yaitu tear break up time dilakukan untuk menilai stabilitas film air
mata. Pewarnaan pada permukaan okular juga dilakukan untuk menilai kondisi
permukaan okular.2,11,12
Pasien ini memiliki keluhan yang merupakan keluhan umum pada mata kering.
Pada pemeriksaan okular spesifik dalam menilai mata kering didapatkan hasil yang
mendukung pada diagnosis mata kering. Hasil pemeriksaan Schirmer I pada mata
kanan 2mm dan pada mata kiri 4mm. Hasil dari pemeriksaan Schirmer yang kurang
dari 5mm menandakan pada pasien ini terjadi kekurangan produksi air mata.
Pemeriksaan TBUT pada pasien ini didapakan hasil kurang dari 5 detik pada mata
kanan dan kiri. TBUT kurang dari 10 detik menunjukan ketidakstabilan film air mata
dengan tingkat evaporasi yang tinggi. Pewarnaan dari permukaan okular dengan
menggunakan pewarna fluorescein memiliki skor 5 berdasarkan Ocular Staining
Score SICCA. Berdasarkan keluhan subyektif dan hasil pemeriksaan tersebut pasien
ini termasuk pada kategori mata kering dengan derajat keparahan tingkat 3
berdasarkan kategori International Dry Eye Workshop 2007 pada tabel 3.1.
Abnormalitas pada pemeriksaan Schirmer pasien ini menunjukan terjadinya
penurunan produksi air mata dari kelenjar lakrimal yang sejalan dengan tipe ADDE.
Lebih lanjut lagi tipe ADDE dikelompokan berdasarkan etiologinya, yaitu sindroma
Sjögren (SSDE) ataupun non sindroma Sjögren (NSSDE). Pada SSDE, kelenjar
lakrimal merupakan target utama dari serangan imun.
7
Tabel 3.1 Skema Derajat Keparahan Mata Kering
Derajat 1 2 3 4*
Keparahan
Ketidaknyamanan, Ringan dan/atau Episodik sedang Sangat sering atau Berat dan/atau
keparahan, episodik; terjadi atau kronis, konstan tanpa menyulitkan dan
frekuensi karena stres dengan atau tanpa stres konstan
lingkungan stres
Gejala visual Tidak ada atau Mengganggu Mengganggu, Konstan dan/atau
ringan dan/atau aktifitas kronis dan/atau mungkin
terbatas, episodik konstan, aktivitas menyulitkan
terbatas
Injeksi Tidak ada hingga Tidak ada hingga +/- +/++
konjungtiva ringan ringan
Pewarnaan Tidak ada hingga bervariasi Sedang hingga Terwarna
konjungtiva ringan terwarna
Pewarnaan kornea Tidak ada hingga bervariasi Terwarna di Erosi pungtata
(keparahan/lokasi) ringan sentral berat
Tanda pada Tidak ada hingga Debris sedikit, Keratitis filamen, Keratitis filamen,
kornea/air mata ringan meniskus ↓ mukus mukus
menggumpal, ↑ menggumpal, ↑
debris air mata debris air mata,
ulkus
Kelopak/kelenjar DKM bervariasi DKM bervariasi sering Trikiasis, DKM,
meibum keratinisasi,
simblefaron
TBUT (detik) bervariasi ≤8 ≤5 segera
Nilai Schirmer bervariasi ≤ 10 ≤5 ≤2
(mm/5 menit)
* Harus memiliki gejala dan tanda.
TBUT: fluorescein tear break up time ; DKM : defisiensi kelenjar meibom
Sumber : The Internasional Dry Eye Workshop 200713
Berdasarkan kriteria klasifikasi sindroma Sjögren dari American College of
Rheumatology and the European League against Rheumatism, pasien diduga
memiliki sindroma Sjögren jika memiliki setidaknya 1 gejala dari daftar keluhan.
Keluhan tersebut antara lain keluhan mata kering dirasakan setiap hari selama 3
bulan, keluhan sensasi seperti terdapat pasir pada mata, pemakaian air mata buatan
lebih dari 3x dalam sehari, keluhan mulut kering lebih dari 3 bulan, perlu minuman
untuk membantu dalam menelan makanan.7,14 Pasien ini memenuhi kriteria gejala
tersebut sehingga dapat melanjutkan ke kriteria diagnosis sindroma Sjögren primer
selanjutnya.
8
Tabel 3.2 Kriteria klasifikasi sindroma Sjögren primer
Item Skor
fokal limfositik sialadenitis pada kelenjar labial saliva dengan skor fokal ≥ 1
fokal/4mm 3
nilai positif dari anti-Ro/SSA 3
nilai Ocular Staining Score ≥ 5 (atau nilai van Bijsterveld ≥4) pada ≥1 mata 1
tes Schirmer ≥ 5mm/5 menit 1
kecepatan aliran saliva pada keadaan tidak terstimulasi ≤ 0.1 mL/min 1
Sumber: American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism14
Pasien ini sudah dikonsultasikan ke bagian penyakit dalam Pusat Mata Nasional
Rumah Sakit Mata Cicendo yang kemudian dirujuk ke divisi Reumatologi RSHS
dalam mencari penyakit dasar pada pasien ini. Pada pasien ini didapatkan hasil ANA
yang negatif tetapi belum dilakukan tes lain untuk mencari adanya penyakit autoimun
pada jaringan ikat sehingga kemungkinan sindroma Sjögren sekunder belum dapat
disingkirkan. Perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut dan peran multidisiplin yang tidak
hanya melibatkan pemeriksaan okular tetapi juga pemeriksaan fisik generalis,
pemeriksaan mulut, pemeriksaan anti SSA (Ro) dan anti-SSB (La), RF, ANA, biosi
kelenjar labial, dan pemeriksaan pencitraan untuk menegakan diagnosis Sindroma
Sjögren baik primer, seperti pada tabel 3.2 ataupun sekunder.7,11,12,14
Penatalaksanaan dari penyakit mata kering cukup kompleks dan bervariasi.
Etiologi dan tingkat keparahan menentukan rencana penatalaksanaan selanjutnya
pada pasien. Terdapat beberapa algoritma panduan dalam manajemen mata kering
seperti dari International Dry Eye Workshop 2017 dan The British Society for
Rheumatology untuk SSDE. Akan tetapi panduan manajemen tersebut tidaklah kaku.
Tingkat keparahan, karakteristik pasien, keuntungan dan kerugian serta harga dari
tiap terapi harus dipertimbangkan. Secara umum, penatalaksanaan dimulai dengan
terapi konvensional, risiko rendah dan mudah didapatkan. Dry Eye Society di Asia
merekomendasikan pendekatan penatalaksanaan dengan strategi tear film oriented
9
therapy (TFOT) . Konsepnya adalah lapisan pada film airmata yang terganggu akan
menjadi target terapi.11,15,16
Pasien ini mengalami ADDE sehingga tatalaksana yang dipilih lebih mengarah
pada pendekatan tatalaksana insufisiensi air mata. Sasaran tatalaksana dapat berupa
menambahkan lapisan film air mata yang tidak cukup, baik dengan airmata artifisial
maupun airmata biologis, mempertahankan/konservasi airmata, dan menstimulasi
peningkatan produksi airmata.2,11,15,16 Tatalaksana pada pasien ini antara lain tetes
mata serum autologous yang diberikan 1 tetes tiap jam pada kedua mata, artificial
tears 6 kali 1 tetes per hari dan sodium hyaluronate 4 kali 1 tetes per hari. Semua
tatalaksana tersebut termasuk dalam tatalaksana dengan tujuan menambahkan lapisan
akuos yang kurang.
Keuntungan dari serum autologous adalah banyaknya karaketristik biokimia yang
menyerupai komposisi dari air mata manusia seperti pH, kandungan nutrisi, vitamin,
fibronektin, faktor pertumbuhan. Dengan follow up 1-3 bulan, 60-80% subyek
memperlihatkan respon positif dengan perbaikan dari gejala. Akan tetapi gejala dapat
kembali terjadi jika pemakaian serum autologous dihentikan.2,11,15,16 Pasien ini pada
kunjungan pertama diberikan serum autologous yang habis dalam 2 minggu akan
tetapi pasien tidak kontrol sehingga dalam 2 minggu selanjutnya tidak menggunakan
serum autologous. Gejala yang dikeluhkan pasien saat kontrol dirasakan belum
mengalami perubahan.
Sodium hyaluronat yang diberikan pada pasien memiliki kandungan asam
hyaluronat. Kandungan ini dapat meningkatkan ketebalan film air mata,
meningkatkan lubrikasi, memperpanjang waktu retensi air mata di permukaan okular,
dan meningkatkan densitas sel goblet. Asam hyaluronat juga merupakan salah satu
viscosity-enhancing agents.11,15,16
Suplementasi ataupun penggantian air mata dengan air mata artifisial merupakan
terapi seterusnya pada semua tipe mata kering. Air mata artifisial yang digunakan
disarankan tanpa preservatif. Paparan preservatif pada permukaan okular dalam
jangka waktu lama dapat memicu toksisitas pada permukaan okular.2,11,15,16 Sediaan
10
dalam bentuk mini dose yang dipakai pasien ini umumnya tidak mengandung
preservatif.
Tatalaksana lainnya yang tidak kalah penting adalah pendekatan terhadap
perubahan lingkungan sekitar. Paparan terhadap angin, kelembapan yang rendah,
suhu ekstrim, radiasi UV, polusi udara, dan asap rokok dapat menyebabkan
ketidakstabilan film air mata dan tingginya evaporasi. Pada pasien ini, pasien
merasakan gejala mata menjadi lebih perih saat berada di luar ruangan sehinigga ia
harus menggunakan kacamata bila keluar ruangan. Suami pasien diketahui sering
merokok, edukasi diberikan agar tidak merokok di lingkungan rumah ataupun di
dekat pasien karena asap rokok dapat memperparah kondisi mata kering
pasien.2,11,15,16
IV. Simpulan
Diagnosis penyakit mata kering membutuhkan pendekatan multidisiplin
mempertimbangkan penyakit ini bersifat multifaktorial. Penatalaksanaan ditargetkan
sesuai dengan diagnosis. Algoritma manajemen penyakit mata kering yang ada
tidaklah kaku. Tingkat keparahan, karakteristik pasien, keuntungan dan kerugian serta
harga dari tiap terapi harus dipertimbangkan. Secara umum, penatalaksanaan dimulai
dengan terapi konvensional, risiko rendah dan mudah didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Craig JP, Nichols KK, Akpek EK, Caffery B, Dua HS, Joo C, et al. TFOS
DEWS II Definition and Classification. 2017;15:hlm: 276–83
2. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course
Section 8: External Disease and Cornea. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology; 2016. hlm: 16-19-48
3. Stapleton F, Alves M, Bunya VY, Jalbert I, Lekhanont K, Malet F, et al. TFOS
DEWS II Epidemiology Report. Ocular Surf. 2017;hlm: 334-368
4. Bron AJ, Paiva CS De, Chauhan SK, Bonini S, Gabison E, Jain S, et al. TFOS
DEWS II - Pathophysiology. Ocul Surf. 2017;hlm: 441–515
5. Maciel G, Crowson CS, Matteson EL, Cornec D. Prevalence of Primary
Sjögren’s Syndrome in a Population-Based Cohort in the United States.
Arthritis Care Res. 2016;hlm: 1–14
6. Yu K, See L, Kuo C, Chou I, Chou M. Prevalence and Incidence in Patients
With Autoimmune Rheumatic Diseases : A Nationwide Population-Based
Study in Taiwan. Arthirits Care Res. 2013;65(2):hlm: 244–50
7. Baer AN, Walitt B, Sjo H. Update on Sjögren Syndrome and Other Causes of
Sicca in Older Adults. Rheum Dis Clin NA. 2018;44(3):hlm: 419–36
8. Sullivan DA, Rocha EM, Aragona P, Clayton JA, Ding J, Golebiowski B, et al.
TFOS DEWS II Sex , Gender , and Hormones. Ocul Surf. 2017;15(3):hlm:
284–333.
9. Sharma A, Hindman HB. Aging : A Predisposition to Dry Eyes. J Ophthalmol.
2014;hlm: 1–8.
10. Fain O, Dhote R, Amoura Z, Ic LO, Meyer O, Ramanoelina J, et al.
Epidemiology of Primary Sjögren ’ s Syndrome in a French Multiracial /
Multiethnic Area. Arthritis Care Res. 2014;66(3): hlm: 454–63.
11. Amada MAY, Inoshita SHK. New Perspectives on Dry Eye Definition and
Diagnosis : A Consensus Report by the Asia Dry Eye Society.2017;15(1): hlm:
65-76
12. Wolffsohn JS, Arita R, Chalmers R, Djalilian A, Dogru M, Dumbleton K, et al.
TFOS DEWS II Diagnostic Methodology. Ocul Surf. 2017;544–79
13. Foulks GN. 2007 Report of the International Dry Eye WorkShop
(DEWS).2007;15(2): hlm: 67-202
14. Criswell LA, Shiboski CH, Shiboski SC, Labetoulle M, Lietman TM,
Rasmussen A, et al. 2016 American College of Rheumatology / European
League Against Rheumatism Classification Criteria for Primary Sjögren ’ s
Syndrome. Arthritis Rheumatol. 2017;69(1):hlm: 35–45.
15. Price EJ, Rauz S, Tappuni AR, Sutcliffe N, Hackett L, Barone F, et al. The
British Society for Rheumatology guideline for the management of adults with
primary Sjo¨gren’s Syndrome. 2017;hlm: 1–25.
16. Jones L, Downie LE, Korb D, Benitez-del-castillo JM, Dana R, Deng SX, et al.
TFOS DEWS II Management and Therapy. Ocul Surf. 2017;hlm: 582–617
11
12