0% found this document useful (0 votes)
90 views10 pages

Aspek Hukum Golongan Putih Dalam Pemilihan

This document discusses the legal aspects of abstentions or "white group voters" known as "golput" in Indonesian general elections. It begins by providing background on golput as a phenomenon in Indonesian elections and the debates around its implications for democracy. It then analyzes the implications of golput for democratic development in Indonesia, finding that while it impacts electoral processes, abstaining is a political right that cannot be punished by law. The only behavior that can be legally punished is influencing others to abstain from voting. The document uses normative legal research and analyzes golput in the framework of Indonesian laws and democracy.

Uploaded by

Laras Ayu
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
90 views10 pages

Aspek Hukum Golongan Putih Dalam Pemilihan

This document discusses the legal aspects of abstentions or "white group voters" known as "golput" in Indonesian general elections. It begins by providing background on golput as a phenomenon in Indonesian elections and the debates around its implications for democracy. It then analyzes the implications of golput for democratic development in Indonesia, finding that while it impacts electoral processes, abstaining is a political right that cannot be punished by law. The only behavior that can be legally punished is influencing others to abstain from voting. The document uses normative legal research and analyzes golput in the framework of Indonesian laws and democracy.

Uploaded by

Laras Ayu
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 10

ISSN No.

2085-4544

Akses
Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Ngurah Rai

ASPEK HUKUM GOLONGAN PUTIH DALAM PEMILIHAN


UMUM

Ni Putu Noni Suharyanti


Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar;
e-mail : [email protected]

Abstract
In the implementation of elections in Indonesia, both legislative elections, presidential
elections or regional head elections, there is always a phenomenon of white group voters or often
known as "golput". The existence of these abstentions turned out to be pro-contra in society because
they were considered to have implications for the development of democracy in Indonesia. People
also often wonder whether the attitude of abstentions can be subject to sanctions or punishment.
Based on this background, problems can be formulated which are the implications of abstentions in
the development of democracy in Indonesia and how the legal aspects of abstentions in general
elections. This study uses normative legal research. In the framework of developing democracy in
Indonesia, the existence of abstentions certainly has implications especially for the electoral process
which is part of the implementation of democracy. However, the attitude of abstentions in general
elections based on the Act cannot be punished because the attitude of abstentions is a political right,
so that those who have the opportunity to be punished according to the Act are those who influence
or invite others not to exercise their right to vote (abstentions).

Keywords: Legal Aspects, White Group, General Elections.

Abstrak
Dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia baik pemilu legislatif, pemilu presiden ataupun
pemilu kepala daerah selalu muncul fenomena pemilih golongan putih atau yang sering dikenal
dengan “golput”. Keberadaan golput ini ternyata menuai pro kontra di masyarakat karena dianggap
berimplikasi terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia. Masyarakat juga sering bertanya-tanya
apakah sikap golput dapat dikenakan sanksi atau hukuman. Berdasarkan latar belakang tersebut
dapat dirumuskan permasalahan yakni bagaimana implikasi golput dalam pembangunan demokrasi
di Indonesia dan bagaimana aspek hukum golput dalam pemilihan umum. Penelitian ini
menggunakan penelitian hukum normatif. Dalam rangka pembangunan demokrasi di Indonesia
maka keberadaan golput tentu berimplikasi khususnya terhadap proses pemilihan umum yang
merupakan bagian dari implementasi demokrasi. Namun, sikap golput dalam pemilihan umum
berdasarkan Undang-Undang tidak dapat diancam pidana karena sikap golput merupakan hak
politik, sehingga yang berpeluang dapat dipidana menurut Undang-Undang adalah orang yang
mempengaruhi atau mengajak orang lain agar tidak menggunakan hak pilihnya (golput).

Kata Kunci : Aspek Hukum, Golongan Putih, Pemilihan Umum


.

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 141


ISSN : 2085-4544

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, dimana
kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat adalah sumber lahirnya
demokrasi, bagi negara yang menganut paham demokrasi pemilihan umum
merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan
negara dan pembentukan pemerintahan (Jenedjri M. Gaffer, 2012:36). Pemilihan
umum merupakan suatu proses dimana para pemilih memilih orang-orang untuk
mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan politik dimaksud beraneka
ragam mulai dari presiden dan wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan.
Namun, dalam setiap pesta demokrasi digelar, pasti ada saja banyak orang yang
tidak ikut memilih atau memberikan suara dalam pemilihan umum.
Dalam pemilihan umum, potensi warga negara yang tidak menggunakan
hak pilih tetap ada. Bisa juga jumlahnya meningkat. Mereka, yang biasa disebut
golongan putih (golput), selalu ada di setiap pemilihan umum di negara manapun.
Golput alias orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum,
telah menjadi pemenang sejak Pemilu 2009 lalu. Saat itu, golput meraih hampir 50
juta suara. Pada Pemilu 2014 ini, golput meraih suara sebanyak 46 juta
(http://www.watchindonesia.org,diakses pada tanggal 17 Mei 2019). Pro kontra
keberadaan golput memang selalu menjadi perbincangan hangat setiap kali
menjelang pemilihan umum karena pemilihan umum secara demokratis
diwujudkan dengan adanya kesempatan bagi seluruh warga yang memenuhi syarat
untuk memilih wakil-wakilnya di badan legislatif maupun memilih presiden dan
wakil presiden hingga kepala daerah.
Sebagian masyarakat menyetujui keberadaan golput dengan berbagai alasan
namun sebagian masyarakat menolak golput karena dianggap tidak berpartisipasi
dalam pesta demokrasi. Sikap ekstrim terhadap penolakan golput ditandai dengan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan golput haram. Situs MUI
menerangkan bahwa fatwa dikeluarkan setelah melalui perbincangan hampir sehari
penuh dalam rapat Komisi Masail Asasiyah Wathaniyah (Masalah Strategis
Kebangsaan). Lalu dikerucutkan dalam Tim Perumus dan diajukan ke sidang pleno

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 142


ISSN : 2085-4544

Ijtima Ulama. Hasilnya, MUI menyatakan memilih pemimpin yang tidak


memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak
memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah
haram. Fatwa tersebut mendapatkan tantangan dari berbagai elemen masyarakat.
Hal ini disebabkan karena adanya pandangan masyarakat bahwa tidak memilih
adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dilindungi dan dihormati oleh
siapapun, sehingga penolakan terhadap golput dipandang sebagai pelanggaran
HAM (Ni Made Bakti, 2015:82). Terlepas dari pro kontra masyarakat terhadap
keberadaan golput tersebut, maka dalam hal ini perlu dikaji mengenai aspek hukum
golput dalam pemilihan umum karena disamping pro kontra terkait persoalan
HAM, dalam masyarakat terdapat pula wacana bahwa golput dapat dipidanakan

II. PEMBAHASAN
2.1 Implikasi Golongan Putih dalam Pembangunan Demokrasi di Indonesia
Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai
tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa Negara. Seperti diakui
oleh Moh. Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem
bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara didunia ini telah
menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamamental. Kedua, demokrasi
sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan
masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya. Oleh
karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga
masyarakat tentang demokrasi (http://eprints.uad.ac.id, diakses pada tanggal 17
Mei 2019).
Pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (epistemologis) dan
istilah (terminologis). Secara epistemologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang
berasal dari bahasa Yunani yaitu ”demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu
tempat dan “cretein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi
secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos adalah keadaan Negara di mana
dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan
tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 143


ISSN : 2085-4544

rakyat dan oleh rakyat (http://eprints.uad.ac.id, diakses pada tanggal 17 Mei 2019).
Dalam konteks Indonesia, yang diperlukan adalah kesungguhan para
elite/aktor dan partai politik berperan sebagai pilar utama demokrasi. Pola relasi
antara legislatif dan eksekutif seharusnya bersifat institusional, professional dan
proporsional. Dalam sistem presidensial, eksekutif dan legislatif harus
mengedepankan mekanisme checks and balances, karena masing-masing lembaga
tinggi negara ini memiliki tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing, maka
sinergi atau komunikasi yang dilakukan bersifat institusional, setara dan tidak
boleh saling menyubordinasi. Disamping para elite/aktor dan partai politik yang
berperan dalam demokrasi, keberadaan masyarakat sipil juga berperan penting
dalam proses demokrasi.
Peran penting masyarakat sipil dalam proses demokrasi yang pertama
adalah advokasi. Advokasi dimaksud digambarkan sebagai suatu usaha sistematis
dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan
dalam kebijakan publik secara bertahap maju. Dalam hal ini, peran masyarakat sipil
dalam hal advokasi yakni ikut mempengaruhi apa yang seharusnya menjadi
kebijakan publik. Masyarakat sipil harus ikut menyampaikan aspirasi kepada
elemen-elemen yang bisa membuat keputusan langsung. Elemen yang dimaksud
salah satunya melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peran kedua yaitu
empowerment dalam proses demokrasi yakni secara aktif bergerak
memberdayakan masyarakat. Peran ketiga adalah fungsi kontrol sosial, dimana
masyarakat sipil bersama-sama media menjadi pengawas dan pengontrol jalannya
proses demokrasi agar tidak menyimpang dari jalurnya.
Pemilihan Umum sebagai wujud nyata dari implementasi demokrasi dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum didefinisikan sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan Umum bukan hanya sekedar

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 144


ISSN : 2085-4544

prosedur rutin yang wajib dijalankan oleh negara-negara demokratis, namun


hakikat sebuah penyelenggaraan Pemilihan Umum adalah untuk memastikan
bahwa rakyat berdaulat.
Pada kenyataannya, dalam setiap berlangsungnya kegiatan Pemilihan
Umum beberapa warga atau masyarakat ada yang tidak menggunakan hak pilihnya
atau golput. Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator
implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat
(kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka Pemilihan Umum.
Tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa
rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan
kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap
golput dalam pemilihan umum. Dalam perspektif berdemokrasi, tentunya sikap
golput akan berimplikasi pada pembangunan kualitas demokrasi
(http://www.digilib.ui.ac.id, diakses pada tanggal 17 Mei 2019). Seiring dengan
sikap partisipatif pemilih yang menggunakan hak pilihnya, sikap golput yang tidak
partisipatif dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemungutan suara, juga
menjadi indikator tingkat keberhasilan Pemilu yang demokratis.
Golput bisa saja terjadi baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Golput
yang terjadi secara sengaja terjadi ketika pemilih dengan sengaja tidak memilih
dengan berbagai alasan seperti misalnya kurangnya sosialisasi atau penyuluhan
tentang pemilihan umum, ketidakpercayaan masyarakat terhadap wakil-wakil
rakyat, masyarakat sering menganggap tidak ada perubahan meskipun
pemimpinnya sudah diganti dan lain-lain. Golput yang terjadi secara tidak
disengaja terjadi ketika pemilih yang berhak memilih tidak terdaftar dalam daftar
pemilih tetap, misalnya disebabkan karena kacaunya administrasi kependudukan.
Diskursus tentang HAM merupakan bagian penting dari negara hukum dengan
sistem pemerintahan yang demokratis. Kartasaputra mengemukakan bahwa hak-
hak asasi/hak-hak dasar adalah hak yang pokok atau dasar yang dimiliki manusia
sebagai pembawaan sejak kelahirannya yang sangat berkaitan dengan martabat
manusia tersebut (Kartasaputra, 1987:246). Apabila dikaitkan dengan pendapat
tersebut, maka pilihan sebagai golput merupakan hak asasi politik yang muncul

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 145


ISSN : 2085-4544

sebagai HAM. Namun, implikasinya pun terhadap proses pemilihan umum akan
terlihat dari sudut pandang yakni dengan tidak memilih maka partisipasi rakyat
dalam pemerintahan sebagaimana esensi dasar dari demokrasi tidak terlaksana
secara optimal.
2.2 Aspek Hukum Golongan Putih dalam Pemilihan Umum
Masyarakat secara awam memandang bahwa dengan golput artinya tidak
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dan tidak menjunjung nilai-nilai
demokrasi. Terkadang masyarakat juga perlu memandang bahwa golput merupakan
suatu pilihan yang wajib dihormati dalam kehidupan berdemokrasi. Selain itu
muncul wacana terkait dengan ancaman pidana bagi sikap golput, sehingga muncul
kesimpangsiuran bahwa siapa sebenarnya yang dapat dikenakan ancaman pidana,
apakah individu yang memilih untuk golput atau ada unsur lain yang mesti ada
dalam sikap golput untuk dapat dikenakan sanksi pidana.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pernah mengungkapkan bahwa tidak ada
sanksi pidana bagi individu yang golput dalam pemilihan umum dan hal tersebut
memang tidak diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum. Selanjutnya, beliau menegaskan kembali bahwa
“memilih itu adalah hak” (Republica.co.id, diakses pada tanggal 18 Mei 2019).
Logika publik beranggapan bahwa golput jika dilakukan untuk dirinya sendiri tidak
bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum atau pidana pemilu, karena
golput merupakan hak politik warga negara. Jika berusaha mempengaruhi atau
mengajak orang lain agar tidak memberikan hak pilihnya bisa dikategorikan
sebagai pelanggaran hukum atau pidana pemilu. Dengan demikian maka golput
yang seperti apa yang masuk kategori pelanggaran hukum atau pidana pemilihan
umum.
Pada dasarnya hak turut serta dalam pemerintahan telah diatur dalam Pasal
43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang berbunyi sebagai berikut :
1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 146


ISSN : 2085-4544

bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung
atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas menurut cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Undang-Undang Pemilihan Umum tidak mengenal istilah golput, yang
dikenal adalah istilah mempengaruhi atau mengajak memilih atau tidak memilih
peserta pemilu tertentu. Dalam hal ini golput yang tidak memberikan suara dalam
pemilihan umum pada Undang-Undang Pemilu tidak dinyatakan secara eksplisit
sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Namun, yang dapat dipidana adalah orang
yang mempengaruhi atau mengajak orang lain agar tidak menggunakan hak
pilihnya (golput). Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 284, Pasal 515, dan Pasal
523 ayat (3) Undang-Undang Pemilihan Umum. Adapun Pasal 284 menyatakan
sebagai berikut :
Dalam hal terbukti pelaksana dan tim Kampanye Pemilu menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye
Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
c. memilih Pasangan Calon tertentu;
d. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau
e. memilih calon anggota DPD tertentu,
dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pada pasal di atas dapat dilihat bahwa kata “menjanjikan” bermakna
menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu kepada orang lain
sedangkan “memberikan” mengandung arti menyerahkan sesuatu kepada
(https://kbbi.kata.web.id/, diakses pada tanggal 18 Mei 2019). Dalam point a yakni
berkaitan dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai
imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidal langsung

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 147


ISSN : 2085-4544

untuk tidak menggunakan hak pilihnya jelas mengandung perbuatan mengajak atau
mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Pasal 515
menyatakan sebagai berikut :
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak
menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau
menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak
sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 523 ayat (3) menyatakan :


Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Berdasarkan atas ketiga pasal di atas, bahwa orang yang melakukan


perbuatan “menjanjikan” atau “memberikan” uang atau materi lainnya kepada
pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya sajalah yang dapat dikenakan sanksi
pidana. Bagi yang golput (tidak menggunakan hak pilihnya) tidak dinyatakan secara
eksplisit dalam Undang-Undang Pemilu sebagai perbuatan yang dapat dipidana
karena golput juga merupakan bagian dari hak politik. Hak politik telah diatur
dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya”. Atas dasar itulah, maka tidak memilih merupakan pilihan dari bentuk
aspirasi politik.
Terkait dengan partisipasi politik, Budiardjo memaknai partisipasi politik
sebagai berikut (H. Soebagio, 2008:45) :
Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public
policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau
kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat
Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 148


ISSN : 2085-4544

Berdasarkan definisi partisipasi politik tersebut diatas, maka secara eksplisit


partisipasi politik bersubstansi core political activity (aktivitas politik inti) yang
bersifat personal dari setiap warganegara secara sukarela untuk berperanserta dalam
proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik. Dengan
demikian karena sifatnya yang personal, maka setiap warga negara memiliki hak
untuk memilih tanpa unsur paksaan dari pihak manapun.Fenomena tingginya angka
golput dan kecenderungan yang terus meningkat pada era reformasi saat ini lebih
menunjukan meluasnya apatisme rakyat terhadap proses rekrutmen pemilihan
pemimpin di daerah-daerah di seluruh Indonesia, apatisme ini muncul karena sudah
berkali-kali di kecewakan pada pemilihan umum pilgub atau pilkada.
Pergantian person pemimpin ternyata sama sekali tidak membawa
perubahan perbaikan. Bagi rakyat kemudian muncul kesimpulan yang merata
bahwa siapa saja yang memimpin tidak ada bedanya (Nyoman Subanda, 2009:89).
Hal ini merupakan sesuatu yang umum diutarakan oleh masyarakat ketika ditanya
mengapa memilih untuk golput. Meskipun demikian, pemerintah harus senantiasa
mensosialisasikan pentingnya menggunakan hak suara dalam pemilihan umum
sebagai bentuk implementasi menjadi warga negara yang ikut bertanggungjawab
atau andil dalam menciptakan kesejahteraan hidup masyarakat.

V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan pembahasan yang telah
dipaparkan diatas adalah sebagai berikut :
1. Dalam rangka pembangunan demokrasi di Indonesia maka keberadaan golput
tentu berimplikasi khususnya terhadap proses pemilihan umum yang
merupakan bagian dari implementasi demokrasi. Hal tersebut akan terlihat dari
sudut pandang yakni dengan tidak memilih maka partisipasi rakyat dalam
pemerintahan sebagaimana esensi dasar dari demokrasi tidak terlaksana secara
optimal.

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 149


ISSN : 2085-4544

2. Sikap golput dalam pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang tidak dapat


diancam pidana karena sikap golput merupakan hak politik sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1) bahwa “setiap orang bebas
untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Atas dasar itu, maka
tidak memilih merupakan pilihan dari bentuk aspirasi politik. Dalam Undang-
Undang Pemilihan Umum golput juga tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai
perbuatan yang dapat dipidana. Namun, yang dapat dipidana adalah orang
yang mempengaruhi atau mengajak orang lain agar tidak menggunakan hak
pilihnya (golput).

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Janedjri M. Gaffer, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta.

Kartasaputra, 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama, Bina


Aksara, Jakarta.

Jurnal

H. Soebagio, 2008, Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan


Demokrasi di Indonesia, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 12, No. 2.

Nyoman Subanda, 2009, Analisis Kritis Terhadap Fenomena Golput Dalam


Pemilu, Jurnal Konstitusi , Vol 11, No 1, Juni 2009.

Ni Made Bakti, 2015, Perlindungan Golput Dalam Perspektif HAM, Jurnal


Magister Hukum Udayana Vol. 4, No. 1.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan


Umum.

Jurnal Akses. Vol.12, No.2 Desember 2020 150

You might also like