6450 14917 1 SM
6450 14917 1 SM
Abstract
Postdramatic: The Dramaturgy of Contemporary Indonesian Theater. The
research attempts to explain a new possibility in theatre practice in Indonesia,
which was initially formed through the power of words in the form of dialogue
depicted in drama scripts. Since then, there was another tendency which was
a matter of fact, in the early 1920s, for which Antonin Artaud initiated. Various
terms have been used to describe new trends in the dramaturgy of Indonesian
theatre since the 1970s up to now, such as cutting-edge theatre, avant-garde
theatre, experimental theatre, body theatre, visual/visual theatre, postmodern
theatre, contemporary theatre, and so on. Therefore, the appearing terms show
doubts in determining the identity of the currently developing Indonesian
theatre. This study aims to explain the potential for postdramatic theatre works
that have been performed by Indonesian theatre directors, such as WS Rendra,
Putu Wijaya, Boedi S. Otong, Dindon WS, Rahman Sabur, Yudi A Tajudin, including
Yusril with a Postdramatic theatre approach. This research method is dominated
by literature studies that take references such as books, journal-based articles,
and online and printed media. The results of the study indicate that postdramatic
dramaturgy in the practice of theatre in Indonesia is necessary from the spirit
of the times that formed it, including the possibility of creating a new form of
post-dramatic theatre developing in the current era of the Covid-19 pandemic.
Keywords: postdramatic; dramaturgy; theatre; Indonesia; contemporary
1
Alamat korespondensi: Rumah Petak (Parabola MNC Vision), Jalan M. Syekh Jamil, No. 59, RT VI, Kel. Koto
Panjang, Kec. Padangpanjang Timur, Kota Padangpanjang, Sumatera Barat, 27122. Email: afrizalharun@
gmail.com; HP.: 081363603004.
2
https://dkj.or.id/artikel/catatan-atas-diskusi-teater-postdramatik/, dilihat pada 27 Juli 2021.
57
Afrizal H, Kurniasih Zaitun, Susandro, Postdramatik: Dramaturgi Teater Indonesia Kontemporer
ruang demokratik dan heterogen di dalam seperti Robert Wilson, Peter Sellars,
melakukan eksplorasi, elaborasi terhadap ide Richard Foreman, Pina Bausch,
atau gagasan teater yang dibuat. Robert Lepage, dan Laurie Anderson,
Teori post-dramatik yang diungkapkan serta perusahaan-perusahaan seperti
oleh Lehman adalah bukti dari empasis baru Wooster Group, Mabou Mines, DV8
yang terjadi di wajah pertunjukan Eropa physical Theatre, Goat Island, dan
Forced entertainment. Para kritikus
dan Amerika khususnya seni teater dimulai
dan komentator awal dari Sydney
sejak dekade 1960-an, yang konsekuensinya
Front juga menggunakan kosakata
adalah berubahnya paradigma dalam pem- postmodernisme.]
bahasan ilmu teater dan memunculkan
studi pertunjukan sebagai disiplin ilmu. Sejalan dengan perspektif di atas, pada
Kemunculan bentuk pertunjukan seni neo- dekade 1960 dan 1970-an, kehidupan teater
avant-garde seperti happening, enviromental, modern Indonesia berada dalam dua fase
fluxus event dan performance art atau bisa penting yang membentuk wilayah estetiknya,
juga disebut live art semuanya menghasilkan yaitu (1) teater dramatik modern yang
perhatian baru dalam anggapan pentingnya berpijak pada spirit budaya lokal, dan (2)
performance di dalam cakupan teater dan teater modern yang mengacu pada dramaturgi
ini memperbaharui tantangan dari dominasi dramatik Barat. Spirit budaya lokal yang
teks, yakni tantangan yang sebelumnya pernah dimunculkan dalam teater dramatik era 1960-
ditaklukan oleh seorang avant-garde, yaitu an dan 1970-an, dituangkan dalam bentuk teks
Antonin Artaud (Cantini, 2018). drama ataupun dalam bentuk pertunjukan
Kehadiran kecenderungan teater post- teater. Misalnya, W.S. Rendra yang identik
dramatik di Eropa-Amerika tidak bisa di- memberikan stimulan budaya Jawa di dalam
lepaskan oleh keinginan untuk menggali karya teaternya, Putu Wijaya identik dengan
sebuah kemungkinan bentuk teater yang lebih kekuatan budaya lokal Bali, Arifin C. Noer
inovatif, di luar melulu bersentuhan dengan memiliki kekuatan di dalam mengedepankan
teks naskah drama. Spirit era postmodern budaya lokal Cirebon, Nano Riantiarno yang
menjadi momentum penting hadirnya bentuk- lekat dengan budaya urban Jakarta, dan Wisran
bentuk kesenian baru tersebut, khususnya Hadi berkutat pada wilayah demitefikasi
teater. budaya lokal Minangkabau.
Berkaitan dengan ini, Glenn D’Cruz Hal di atas dikuatkan oleh pernyataan
(2018) menegaskan sebagai berikut. Kasim Ahmad (Tommy F Awuy, 1999), sebagai
berikut.
Postmodernism provided a signifcant
scholarly frame of reference for the work Pementasan teater Arifin C Noer selalu
of artists such as robert Wilson, peter terasa akrab dengan gaya teater rakyat
Sellars, richard Foreman, pina Bausch, daerah Cirebon. Wisran Hadi dalam
robert Lepage and Laurie Anderson, and menggarap teaternya terasa dekat
companies such as the Wooster Group, dengan teater tradisional Minang,
Mabou Mines, DV8 physical Theatre, yaitu Randai. Ajim Ariyadi, dalam
Goat Island and Forced entertainment, pementasan teaternya tidak melupakan
among many others. The Sydney Front’s gaya teater rakyat Mamanda. Studiklub
earliest critics and commentators Teater Bandung dalam pementasan
also used the vocabulary of post- “Lingkaran Kapur Putih” karya
modernism. Bertold Brecht, menggunakan “dalang”
sebagai pengganti “narator.” Atau
[Postmodernisme memberikan kerang- dalam teater tradisional kita temukan
ka referensi ilmiah yang sangat penting teater tutur yang diperagakan, seperti
untuk karya dari seniman-seniman Topeng Dalang, teater rakyat Madura.
58
Dance & Theatre Review | volume 4 number 2, November 2021
Pementasan W.S Rendra, selalu diiringi (Romulus the Great), dan Kuda Perang
tetabuhan yang diberi nama “Nyi Pilis”, (War Horse) digarap dengan latar
dan terasa dekat dengan teater rakyat belakang kerajaan-kerajaan Indonesia
di Yogyakarta. lama.
Identitas teater Indonesia, menurut Kasim Hal di atas juga dilakukan oleh W.S
Ahmad adalah bentuk teater yang tumbuh dan Rendra melalui proses pengadaptasian teks
berkembang, terutama di kota-kota besar drama Oidipus Sang Raja, Antigone, dan
sebagai hasil kreativitas bangsa Indonesia Lysistrata dalam warna lokal budaya Jawa.
dalam persinggungan dengan kebudayan Barat Hal tersebut juga banyak dilakukan oleh
lewat “teaternya”. Hasil karyanya memperoleh para sutradara teater lainnya di Indonesia.
pengaruh budaya lain, terutama secara teknis Menguatnya dramaturgi dramatik Barat
mengacu pada teater Barat dengan tetap dalam teater modern Indonesia dipengaruhi
mengadaptasinya pada esensi kebudayaan oleh kecenderungan untuk menampilkan
kita, dan berakar pada teater tradisional kita teks drama Barat melalui kultur asli yang
(1999:263). Tradisi penerjemahan sekaligus mereka miliki. Mengikuti pola dan konvensi
pengadaptasian teks dramatik (teks drama) teater yang berkembang di Barat, seperti yang
Barat yang dikontekstualkan dengan kultur dikaji George R. Kernoddle dalam perspektif
lokal pengkarya, dilakukan oleh Suyatna “well made play” (Yudiaryani, 2019). Teks
Anirun melalui Studiklub Teater Bandung drama yang memiliki jalinan dramatik yang
(STB), seperti Pinangan, Orang Kasar (Anton sempurna, mampu memberikan kesan
P. Chekov), Mak Comblang (Nikolai Gogol), reflektif bagi pembaca ataupun penonton yang
Romeo dan Juliet (William Shakespeare), dan menyaksikannya. Wahyu Sihombing, bersama
lain-lain. eksponen Akademi Teater Nasional Indonesia
R.M. Soedarsono (2010) menyatakan (ATNI) hadir sebagai pelopor yang konsisten
sebagai berikut. di dalam mewujudkan dramaturgi teater Barat
STB memang sangat produktif. Drama- pada praktik teater di Indonesia.
drama penulis asing banyak yang Di antara dua fase di atas, yang dominan
diterjemahkan, antara lain karya-karya berkembang di Indonesia, terdapat satu
W.B Yeats, Anton Chekov, Nikolai Gogol, kecenderungan baru dari bentuk teater yang
Robert Anderson, Tennese Williams, tidak berpijak pada kecenderungan dramatika
Shakespeare, Eugene Ionesco, F. konvensional, seperti yang pernah dilakukan
Durenmatt, Goethe, David Storey, oleh W.S Rendra melalui kelompok Bengkel
Bertold Brecht, dan Albert Camus. Di Teater, dan Putu Wijaya melalui kelompok
samping menampilkan karya-karya Teater Mandiri. Perjalanan teater yang
penulis drama asing, STB juga sering menitikberatkan pada wilayah tubuh tidak
memanggungkan karya-karya putra bisa dilepaskan oleh istilah fenomenal yang
Indonesia seperti, Saini KM, Utuy Tatang pernah hadir pada dekade 1960-an akhir
Sontani, Ajip Rosidim Kirdjomulyo, setelah W.S Rendra pulang dari Amerika
Kadarisman Achil, dan Motinggo
mementaskan teater berjudul Bip-Bop yang
Busje. Walaupun dalam pengamatan
bertitik tolak pada tubuh. Istilah fenomenal
Jacob Sumardjo sebanyak 70 persen
naskah-teks drama yang digarap ketika itu adalah teater mini kata. Istilah teater
oleh STB berasal dari Barat, tetapi mini kata pada pementasan Bip-Bop karya
di dalam pemanggungannya selalu W.S Rendra mendapat ulasan dari beberapa
lebih mengarah kepada adaptasi yang pengamat, antara lain Fuad Hasan yang
disesuaikan dengan budaya Indonesia. berpendapat bahwa W.S. Rendra berupaya
Misalnya saja naskah Romeo dan Julia untuk mendramatisasikan penghayatan
(Romeo and Juliet), Romulus Agung konflik pada manusia di abad moderen ini.
59
Afrizal H, Kurniasih Zaitun, Susandro, Postdramatik: Dramaturgi Teater Indonesia Kontemporer
Tanpa elaborasi intelektual yang sadar (yang arah pada kekuatan visual (pencahayaan,
memang tidak mutlak perlu), ia telah berhasil kostum, properti), musik, multimedia yang
mengkonstantir suatu pola konflik yang khas antimainstream, dan menolak kemapanan
dalam abad moderen ini, yaitu individuasi bentuk teater realisme, dengan cara melakukan
versus massifikasi, atau lebih mendesak lagi, teror estetik kepada penonton. Hal ini, senada
humanisasi versus dehumanisasi (Birowo, dengan apa yang disampaikan oleh Saini KM,
2014). dalam salah satu tulisannya sebagai berikut.
Selanjutnya, Arifin C. Noer, seperti yang Putu Wijaya dengan vitalitasnya yang
juga dikutip Pandu Birowo, menegaskan luar biasa dan gaya artaudian yang kuat
tentang konsep dan bentuk pementasan Bip- memberondong penonton dengan citra-
Bop karya W.S Rendra, yaitu upaya untuk citra (image) dan lambang-lambang
mengembalikan teater pada kemurniannya (symbols) tentang proses dan dampak
dan membebaskannya dari tirani dehumanisasi terhadap masyarakat
kesusasteraan dan amanat-amanat. Begitu sebagai akibat perkembangan masya-
juga Goenawan Muhammad mensejajarkan rakat yang terbuka terhadap pergaulan
konsep mini kata dalam pementasan Bip- politik dan ekonomi dunia sejak
Bop karya W.S Rendra dengan karya Eugène era Orde Baru. Kalau pada Rendra,
Ionèsco dengan menyebutkan bahwa karya keprihatinan diungkapkan terutama
tersebut berisi ungkapan suasana hati, tidak melalui dialog (Perjuangan Suku Naga,
bertendensi ideologis, serta lebih merupakan Panembahan Reso), pada Arifin dengan
impuls ketimbang program (Yudiaryani, citra-citra teatrikal yang distilisasi
secara halus (Tengul, Interogasi), pada
2015).
Putu Wijaya visi diungkapkan melalui
Adapun R.M. Soedarsono (2010)
citra dan lambang teatrikal yang sering
menyatakan bahwa di antara karya-karya
mengerikan, dibarengi dialog yang
yang disutradarai Rendra adalah Perjuangan menggebu, dan jeritan serta raungan
Suku Naga, serta adaptasi drama-drama (Sugiyati S.A; Mohamad Sunjaya;
Yunani Klasik Oedipus Rex, Antigone, dan Suyatna Anirun, 1993).
Lysistrata, Rendra mulai memperkenalkan
gaya yang dijiwai oleh gaya Bertold Brecht Sementara itu, Benny Yohanes (2013)
yang agak absurd. Salah satu karya Rendra menjelaskan sebagai berikut.
yang mengangkat isu-isu politik dan sosial Pertunjukan Putu Wijaya pada periode
tanah air ialah Bip-Bop. Lewat Bib-Bop yang layar menjadi semacam transisi dari
dipanggungkan pertama di Cirebon ini, Renda pergeseran penting dalam praktek
mulai memperkenalkan konsep teaternya tekstualisasi dalam teater modern
yang kita kenal dengan istilah ‘mini kata’. di Indonesia. Pergeseran itu terlihat
Goenawan Muhammad memberikan dalam cara membangun teks dalam
semacam kredo estetik terhadap eksperimen teater; dari yang bersifat teks piramidal
menjadi teks lateral. Tradisi “teks
teater yang berpusat pada ekspresi gerak
piramidal” adalah teks dramatik
tubuh aktor di dalam karya Bib-Bop W.S Rendra
berbentuk teks lakon; seringkali di-
dengan istilah Teater Mini Kata. Ekspresi susun dengan struktur dramatik
estetik teater W.S Rendra ini juga direspons Aristotelian; menyajikan pentahapan
oleh Arifin C. Noer sebagai bentuk “Teater konflik antar karakter; berbentuk
Primitif” dan Dami N. Toda menyebutnya alur cerita lengkap dan akhir lakon
sebagai “Teater Puisi.” mengerucut pada sebuah klimaks
Putu Wijaya bersama teater mandiri, dramatik sebagai konklusi akhir.
muncul dengan warna berbeda pada Sedangkan “teks lateral” cenderung
pertunjukan teaternya. Ia cenderung meng- meniadakan pesan yang mengerucut.
60
Dance & Theatre Review | volume 4 number 2, November 2021
61
Afrizal H, Kurniasih Zaitun, Susandro, Postdramatik: Dramaturgi Teater Indonesia Kontemporer
pengetahuan antara kecenderungan praktik dan artistik dalam setiap praktik penciptaan
teater yang tidak lagi berpusat pada teks teater saling bergumul, kait berkelindan,
drama dan konstruksi plot pertunjukan baik itu dalam ranah eksplorasi, aspek
yang tidak mengacu pada plot Aristotelian. dramaturgikal, maupun di dalam metode
Praktik ‘ketubuhan’ yang dilakukan oleh penciptaan yang dilakukan.
Vsevelod Meyerhold, Antonin Artaud, dan Perkembangan waktu, tentu saja meng-
Jerzy Grotowsky, menginspirasi W.S Rendra, ubah perspektif dan pola dramaturgi di setiap
Putu Wijaya, Boedi S. Otong, Dindon WS, praktik penciptaan teater di Indonesia. Hal itu
Rachman Sabur, Yudi A. Tajudin, bahkan Yusril mengubah bentuk dramaturgi yang dibangun
untuk melakukan kecenderungan yang persis dalam karya teater tersebut. Pertemuan teater
sama di dalam memperlakukan tubuh dan dalam bentuk Drama Empat Kota tahun 1971
benda-benda sebagai teks utama di dalam (Jakarta), Pekan Teater Empat Kota tahun
pertunjukan teaternya. Pada kenyataannya, 1976 (Jakarta), Pekan Teater Enam Kota ta-
masing-masing seniman teater di Indonesia hun 1978 (Jakarta), Pertemuan Teater Indo-
tentu saja memiliki pembenaran bahwa nesia tahun 1980 (Jakarta), Pertemuan Teater
proses kreatif yang dilakukannya adalah Indonesia tahun 1985 (Jakarta), Pertemuan
orisinil, tidak terpengaruh dengan praktik- Teater Indonesia tahun 1993 (Solo), dan Temu
praktik teater seniman besar sebelumnya. Teater Indonesia tahun 1997 (Pekanbaru),
Akan tetapi, persinggungan secara wacana, merupakan peristiwa penting di dalam meli-
jelas menjadi poin penting bahwa bentuk- hat dramaturgi teater Indonesia era 1970-an
bentuk teater dalam persepektif postmodern sampai dengan tahun 1990-an akhir. Tentu
telah meruntuhkan konvensi teater modern saja hal itu dengan berbagai persoalan yang
yang berpijak pada teks drama (realisme, dialami para seniman teater saat itu, semisal
surealisme, dan absurd). keterbatasan infrastruktur, teknis pertunjuk-
Banyak sekali apropriasi ketubuhan yang an, finansial, termasuk kurang berperannya
dikaitkan dengan negosiasi isoterik dalam pemerintah dalam menumbuhkembangkan
berbagai local genius di Indonesia. Tradisi aktivitas teater, dan mempertanyakan kembali
kreatif para empu seni di berbagai wilayah di identitas teater Indonesia itu seperti apa.
Indonesia masih meninggalkan jejak- jejaknya Pertemuan Teater Indonesia tahun 1980
dalam berbagai mitos, artifak, dan tradisi yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki
lisan yang sayangnya terus tergerus oleh (TIM) Jakarta, pada tanggal 28 Februari
perubahan biosphere dan cybersphere yang sampai dengan 7 Maret 1980, menjadi momen
membuat tercerabutnya nilai-nilai etika tubuh penting di dalam membaca kecenderungan
yang membenturkan energi tubuh dengan estetik terhadap praktik penciptaan teater
energi bumi, dalam berbagai manifestasinya di kala itu. Para praktisi teater dari berbagai
(Widaryanto, 2019). wilayah di Indonesia, seperti W.S. Rendra,
Putu Wijaya, Wahyu Sihombing, Pramana
Pembahasan Padmadamaya, Nano Riantiarno, Danarto,
Ikranegara, Wisran Hadi, Aspar, dan A.A. Linde
Menimang Budaya Lokal sebagai Ranah hadir berkontribusi dalam mempresentasikan
Praktik Penciptaan Teater Postdramatik kertas kerja penciptaan teaternya.
W.S. Rendra menyoroti tentang ke-
Membicarakan dramaturgi teater Indo- bertahanan seniman teater dalam mencipta
nesia, tentu saja tidak sesederhana seperti karya yang tidak tergantung dengan fasilitas
yang dibayangkan. Hal tersebut membutuhkan pertunjukan yang ideal, tentang penonton,
waktu panjang dan barangkali saja tidak akan tentang keterbatasan kritik seni, termasuk
pernah usai, mengingat segala elemen estetik juga tentang kerja keaktoran. Putu Wijaya
62
Dance & Theatre Review | volume 4 number 2, November 2021
63
Afrizal H, Kurniasih Zaitun, Susandro, Postdramatik: Dramaturgi Teater Indonesia Kontemporer
gung”, begitu Mbah Roejito menyebutnya. Be- oleh Elinor Fuch sebagai Total Theatre, alter-
gitu juga A.A Linde, membahas tentang catatan native theatre, theatre of image, landscape the-
kerja penyutradaraannya yang berpijak pada atre, neo avantgarde, dan semua yang terkait
dramaturgi lokal Minangkabau, yaitu (1) pan- dengan ‘post’ seperti postnarrative, posthu-
tun atau gurindam yang didendangkan, dan manist, dan postmodern. Lehmann (Afrizal et
(2) gerak yang berpijak pada kesenian randai, al., 2019) menjelaskan sebagai berikut.
silat dan uluambek, termasuk juga unsur lain, Research on the post theatre has
seperti indang, basijobang, dan lain-lain. clearly answered important needs for
Kata kunci yang dapat dipetik dari a comprehensive and accessible theory
penjelasan mengenai kertas kerja teater yang to articulate the relations between
dilakukan oleh masing-masing sutradara di drama and the forms of theatre that is
atas adalah pentingnya untuk melihat dra- ‘no longer dramatic’ compared to its
maturgi budaya lokal sebagai identitas dan appearance in the 1970s. Hans-Thies
entitas kebudayan Indonesia yang dijadikan Lehmann has systematized his reading
sebagai gagasan utama dalam praktik pencip- of the new theatre form into several
taan teater, baik itu bertolak pada naskah dra- aspects which are actually different from
ma maupun non naskah drama. Begitu juga, dramatic theatre readings. The aspect
Pertemuan Teater 1985 dengan tema “Meng- can be seen from the sub-title written
by Lehman in his book Panorama of
gali Nilai Tradisional dalam Teater Modern”
Postdramatic Theatre, including text,
pada tanggal 5 sampai dengan 9 Maret 1985
space, time, body and media as an
di Taman Ismail Marzuki-Jakarta, semakin analysis category in reading new theatre
menegaskan bahwa penting kembali untuk forms/dramatic theatre.
menengok tradisi sebagai sebuah alternatif
dalam praktik penciptaan teater. Tentu saja, [Penelitian tentang pasca teater dengan
masing-masing sutradara memiliki kebebasan jelas menjawab kebutuhan penting
kreatif di dalam menafsir hal tesebut, apakah akan teori yang komprehensif dan
tetap berbasis pada teks naskah drama atau dapat diakses untuk mengartikulasikan
hubungan antara drama dan bentuk-
tidak. Namun demikian, spiritnya adalah pen-
bentuk teater yang ‘tidak lagi dramatis’
tingnya menggali potensi kesenian tradisi se-
dibandingkan dengan kemunculan-
bagai identitas artistik (Istilah: Leon Agusta) nya di tahun 1970-an. Hans-Thies
di dalam penciptaan teater. Forum diskusi Lehmann telah mensistematisasikan
teater ini dihadiri oleh Tuti Indra Malaon, pembacaannya terhadap bentuk
Leon Agusta, Asrul Sani, Chairul Harun, Saini teater baru ke dalam beberapa aspek
KM, Aspar, Arifin C. Noer, Umar Kayam, Putu yang sebenarnya berbeda dengan
Wijaya, Sardono W. Kusumo, Mursal Esten, pembacaan teater dramatik. Aspek
Hamid Jabbar, A. Kasim Achmad, Arswendo tersebut terlihat dari sub judul yang
Atmowiloto, Roedjito, dan sebagainya. ditulis oleh Lehman dalam bukunya
Pada konteks ini, penulis melihat bahwa Panorama of Postdramatic Theatre,
pelahiran bentuk-bentuk karya teater yang termasuk teks, ruang, waktu, badan
berpusat potensi budaya lokal yang ditrans- dan media sebagai kategori analisis
formasikan melalui aspek tubuh, kata, benda, dalam membaca bentuk teater baru/
musik, pencahayaan, sebagai teks utama mem- teater dramatik].
berikan daya gugah terhadap perkembangan Hal ini kemudian menjadi dasar lahirnya
teater Indonesia yang memiliki benang merah satu istilah baru yang spesifik dengan nama
dengan era postmodern yang berkembang Teater Postdramatik. Istilah tersebut diteori-
pesat di Eropa-Amerika era tahun 1970-an sasi oleh Hans-Thies Lehmann melalui bukun-
dengan berbagai istilah teater yang disebut ya berjudul Postdramatic Theatre, diterbitkan
64
Dance & Theatre Review | volume 4 number 2, November 2021
pertama kali pada tahun 1999, sebagai bentuk Wijaya melalui karya Lho, Entah, Nol yang
spirit kehidupan teater di era postmodern. Ke- lebih mengedepankan aksi daripada relasi,
hadiran teks, ruang, waktu, tubuh, dan media jelas telah memberikan kontribusi besar
menjadi prinsip utama di dalam menganalisis terhadap praktik teater postdramatik era
karya-karya teater tersebut. 1990-an melalui eksponen Ray Sahetapy
(Studio Oncor), Boedi S. Otong (Teater SAE),
Teater Postdramatik Indonesia dengan Dindon WS (Teater Kubur), Rachman Sabur
Dramaturgi Budaya Lokal (Teater Payung Hitam), Asia Ramli Prapanca
(Teater Kita Makassar), Joko Bibit Santosa
Kehidupan teater Indonesia, baik itu (Teater Ruang), Harris Priadie Bah (Teater
bertolak pada teks dramatik maupun dalam Kami), Yudi A. Tajudin (Teater Garasi), Luhur
persepektif postdramatik semenjak era 1970- Kayungga (Teater API), Yusril Katil (komunitas
an sampai hari ini, tidak bisa dilepaskan seni Hitam-Putih), dan sebagainya. Masing-
dengan eksplorasi terhadap potensi budaya masing sutradara ini mengekplorasi idiom-
lokal. Hal ini dapat diamati dalam konteks idiom tradisinya untuk dijadikan sebagai
penulisan naskah drama, ataupun gaya konsep penciptaan teater.
pertunjukannya. Era postmodern yang tumbuh Proses FTJ dengan menggunakan naskah
dan berkembang di Eropa-Amerika, apakah pemenang lomba terpaksa diubah, yakni
itu disadari atau tidak, telah mempengaruhi dengan meniadakan keharusan mementaskan
kecenderungan seniman teater kala itu untuk naskah pemenang lomba pada tahun 1987. Hal
melahirkan karya berupa naskah drama tersebut tentu mendatangkan keuntungan bagi
ataupun pertunjukan yang tidak mainstream. sejumlah kelompok seniman yang menjunjung
Bukan pergulatan dialog antartokoh yang tinggi idealisme pementasan yang diyakininya.
utama, melainkan konstruksi suasana/ Kemunculan ini ditandai dengan pementasan-
peristiwa yang lebih penting. Tokoh tidak lagi pementasan eksperimen teater, seperti Teater
menjadi subjek di dalam pertunjukan teater. SAE, Teater Kubur, Bandar Teater Jakarta,
Terkadang tokoh bisa saja menjadi objek Teater Gelanggang Jakarta Timur, Teater
yang berperan sebagai siapa dan apa saja. Aquilla, dan masih banyak lainnya (Haerudin,
Hal ini dapat dilihat dalam karya W.S. Rendra, 2021).
Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Akhudiat, Aspar, Penulis belum pernah melihat
termasuk juga Wisran Hadi di Sumatera Barat. pertunjukan Boedi S. otong (Teater SAE)
Tahun 1990-an merupakan era penting secara langsung, tetapi tahu dari buku, artikel
dalam melihat karya teater yang tidak melulu di koran, dan internet, tentang beberapa
dipahami berada dalam “kepemimpinan kata” nomor karya teater yang berpijak pada
(mengutip istilah Afrizal Malna). Teater semula kata, tubuh, dan benda sebagai teks utama,
hanya dilihat sebagai reproduksi tokoh-tokoh seperti Konstruksi Keterasingan (1983), Teater
arus Shakespearian dan Chekovian. Teater Pengantar Ekstase Kematian Orang-Orang,
didominasi oleh kesusastraan (naskah drama), Happening Channel OO (1986), Pertumbuhan di
sehingga membiarkan tubuhnya terbelenggu Atas Meja Makan (1991), Biografi Yanti Setelah
oleh bahasa dialog antartokoh tersebut di atas 12 Menit (1992), dan Migrasi dari Ruang
panggung. Oleh karena itu, pada tahun 1990- Tamu (1993). Hampir secara keseluruhan,
an lahir satu kecenderungan bentuk teater karya-karya Boedi S. otong menempatkan
yang bertolak pada kesusastraan tubuh dan tubuh, kata, dan benda sebagai kendaraan
benda-benda sebagai teks utama dalam proses praktik dalam mempersoalkan fenomena
penciptaan teater. urban, dehumanisasi, keterasingan, di dalam
Era Teater “Mini Kata” melalui Bip-Bop karya teaternya. Tentu saja, Afrizal Malna
W.S. Rendra, dan “Teater Bodoh” ala Putu sebagai dramaturgi sangat berkontribusi
65
Afrizal H, Kurniasih Zaitun, Susandro, Postdramatik: Dramaturgi Teater Indonesia Kontemporer
besar terhadap proses kreatif teater yang melibatkan Pak Ram sebagai sutradara,
dilakukan Boedi S. otong. Termasuk juga karya berkolaborasi dengan Ellin Krinsly Sydne
Ray Sahetapi (Studio Oncor) dengan judul (Australia) dan Arie Van Dujin (Belanda).
Gokil = Kau + Dia – Aku, sebuah karya teater Seniman teater lain, misalnya Yudi A.
yang ditampilkan di dalam rumah dengan Tajudin akhir tahun 2020 menghadirkan
manusia yang dibaluti perban, sehingga terjadi pertunjukan di ruang virtual dengan
pendistorsian terhadap tubuh sehari-hari. judul UrFear: Huhu & Multitude of Peer
Sandiwara Dol karya Dindon W.S. produksi Gynt, berkolaborasi dengan ahli IT untuk
Teater Kubur Jakarta, pernah penulis tonton di pembuatan situs web, aktor dan penari
Taman Budaya Jambi pada tahun 1998. Pada berasal dari Indonesia, Sri Lanka, dan Jepang.
saat itu penulis juga terlibat sebagai aktor Di Sumatera Barat, Yusril Katil juga pernah
dalam pertunjukan Menunggu, sutradara Yusril melakukan hal yang sama, berkolaborasi
Katil produksi komunitas seni Hitam-Putih. dengan Rhoda Gauer, Restu Imansari
Menurut penulis, hanya Yusril Katil saja ketika Kusumaningrum dalam penggarapan teater
itu yang menjadikan tubuh, kata, dan benda berjudul Under The Volcano, yang ditampilkan
sebagai teks utama teaternya. Ternyata, Teater dalam Olimpide Teater ke-6 di Beijing, Cina,
Kubur juga memperlihatkan potensi yang luar tahun 2014. Tentu saja, masih banyak seniman
biasa di benak penulis yang baru tamat SMA teater lain yang melakukannya. Periode abad
ketika itu. Hal ini, ternyata bersinergi dengan kedua puluh merupakan momen penting di
pemanfaatan kata, tubuh, dan benda dalam dalam mencermati bentuk teater yang lebih
karya teater Rachman Sabur (Teater Payung mengedepankan aspek visual, dibandingkan
Hitam), seperti Kaspar, Merah Bolong Putih dengan dialog-dialog, seperti halnya karya
Doblong Hitam, termasuk beberapa nomor Robert Wilson hanya berisi ucapan-ucapan
lain yang pernah penulis tonton, seperti Ritual spontan tanpa ada naskah dalam pengertian
Bumi (2006), Perahu Noah (2007), Puisi Tubuh tradisi oral (Yudiaryani, 2002; Yudiaryani,
yang Runtuh (2009), Segera (2013), dan Post 2015). Tahun 2000, semasa penulis menjadi
Haste (2016). Hampir secara keseluruhan, Ketua Hima di Jurusan Seni Teater STSI
tema yang diusung oleh Rachman Sabur Padangpanjang (sekarang ISI Padangpanjang),
bertolak pada kritik sosial, ekologi, urban, diri, pernah melihat pertunjukan dengan judul
dan lain sebagainya. Tetapi, satu hal yang tidak Caligula karya Albert Camus yang dibawakan
bisa dipungkiri bahwa Rachman Sabur sebagai oleh Teater API Surabaya di Taman Budaya
sutradara tetap meletakkan dramaturgi lokal Padang. Naskah drama yang begitu panjang,
di dalam karya-karyanya, baik itu gestur, didekonstruksi habis sehingga hanya
properti, pola narasi, maupun nyanyian yang menyisakan dua orang aktor saja di atas
dihadirkan. panggung dengan menghadirkan kekuatan
Sejatinya, proses penggarapan teater kata, tubuh, dan benda-benda. Akhirnya,
terjadi dengan adanya spirit kolaboratif antara karena tertarik dengan pertunjukan tersebut,
dramaturg, sutradara, para penata artistik, penulis mengajak Mas Luhur dan tim untuk
termasuk juga penata musik di dalam satu tampil di Padangpanjang. Hal ini menjadi
produksi. Akan tetapi, beberapa sutradara perbandingan bagi teman-teman mahasiswa
teater juga melakukan kolaborasi dengan saat itu dalam melihat perkembangan
beberapa seniman dalam negeri ataupun dramaturgi teater yang terus bergerak maju
luar negeri. Misalnya, Asia Ramli Prapanca dan dialektis.
sering melakukan itu, melibatkan Julie Janson Tentu saja, pergulatan dramaturgi teater
(penulis teks), Sally Sussman dengan judul Indonesia terus bergerak secara dialektis
The Eye of Marege. Termasuk juga karya yang sampai saat ini, baik secara bentuk, maupun
lain seperti Sawah yang Mengetuk Jendelaku, secara pewacanaan teater yang selalu tumbuh
66
Dance & Theatre Review | volume 4 number 2, November 2021
di bilik-bilik diskusi proses kreatif. Termasuk mencipta satu atau beberapa peristiwa. Di
juga, pandemi Covid-19 yang berdampak beberapa peristiwa tersebut baru diselipkan
kepada proses kreatif, strategi pertunjukan kata, beberapa kata, bahkan kalimat panjang
apakah tetap memilih pertunjukan secara yang dinilai relevan untuk diucapkan oleh
langsung, atau mencoba beralih ke ranah aktor. Interne lahir sebagai bentuk karya
virtual, termasuk bagaimana menyikapi teater yang memperlihatkan potret manusia-
kebertahanan sumber ekonomi seniman manusia yang sakit, tubuh-tubuh dan pikiran
teater untuk terus berkarya, sekaligus juga diamputasi oleh rezim kekuasaan. Sementara
menghasilkan. Polemik itu terus bergumul di itu, Menunggu lahir sebagai bentuk karya teater
beberapa kesempatan diskusi, webinar yang yang menyoroti tentang rezim Orde Baru yang
diselenggarakan oleh beberapa komunitas berwatak militeristik sehingga membungkam
ataupun lembaga, seperti Yayasan Pelaku suara-suara kritis di masyarakat, demokrasi
Teater Indonesia (YPTI), Pelaku Nasional Seni hanya jargon, koran, buku dan majalah yang
Teater Indoensia (Penastri), dan Suara Teater tidak sejalan dengan alur kekuasaan pasti
Nusantara (Suasana). dibredel. Interne pernah ditampilkan di
Padang (1996), Pekanbaru (1997), Kayutanam
Yusril Katil: Eksponen Teater (1997), Jambi (1997), dan Bengkulu (1998).
Postdramatik di Sumatera Barat Adapun Menunggu pernah ditampilkan di
Kayutanam (1997), Padang (1997), Pekanbaru
Pertama kali mengenal teater dan Yusril (1997), Jambi (1998), dan Jakarta (2000).
Katil pada tahun 1995, saat sekolah di SMA Periode selanjutnya, penulis sering
Plus INS Kayutanam. Saat itu juga mengetahui diajak oleh Yusril Katil sebagai aktor, stage
bahwa ada kelompok teater pelajar dengan manager, bahkan sebagai asisten sutradara
nama Teater Plus INS Kayutanam. Terdapat pada proses teater di komunitas seni Hitam-
dua karya yang sedang produksi saat itu, yakni Putih. Hampir secara keseluruhan, karya-
(1) Interne, dan (2) Menunggu. Penulis belum karyanya bertolak pada kata, tubuh, dan benda
terlibat sebagai aktor, hanya menjadi kru sebagai teks utama penciptaan teaternya.
artistik. Tentu saja, penulis sering hadir di sesi Ada beberapa lakon Wisran Hadi, Zak Sorga,
latihan, termasuk juga mendatangi beberapa dan Iwan Simatupang, yang digarap, tetapi
tempat, seperti rumah sakit jiwa, panti jompo, tetap saja didekonstruksi berdasarkan
kantor media massa cetak, pasar, termasuk kecenderungan Yusril Katil yang tidak setia
juga beberapa plaza di kota Padang. Penulis dalam mentrasformasi naskah drama apa
tidak tahu, apa maksud dan tujuan Yusril Katil adanya ke atas panggung. Pergulatan teks,
membawa kami ke sana. Ternyata itu adalah tubuh, ruang, waktu, dan media sebagai bentuk
semacam riset. cerminan teater postdramatik, tergambar
Masing-masing aktor, diminta untuk dalam karya-karya teater Yusril Katil, seperti
mencatat apa saja yang ia temukan di saat Kado, Pledoi, Pintu, Tangga, Pagar, Under The
berada di lapangan. Tentu saja, catatan itu Volcano, Kamar Mandi Kita, Bangku Kayu dan
tidak bisa dilihat (akses) lagi hari ini karena Kamu yang Tubuh di Situ, dan Tubuh Padang
lemahnya pengarsipan terhadap segala (Theatre et al., 2007).
bentuk catatan-catatan yang berkaitan
dengan proses saat itu. Adapun yang tersisa Penutup
hanya ulasan di media massa dan beberapa
foto pertunjukan. Bertolak dari catatan- Pergulatan teater Indonesia semenjak
catatan tersebut, Yusril Katil meminta para tahun 1970-an sampai dengan hari ini,
aktor untuk melatih tubuh, mengeksplorasi pada dasarnya tetap bergerak secara
benda-benda (properti) sampai pada tahap dialektis, dengan pancarian bentuk-bentuk
67
Afrizal H, Kurniasih Zaitun, Susandro, Postdramatik: Dramaturgi Teater Indonesia Kontemporer
dramaturgi yang dinamis di berbagai wilayah warna terhadap potret dramaturgi teater
di Indonesia. Pergulatan ini dapat dilihat Indonesia hari ini.
dari penulisan naskah, penggarapan teater
yang bertolak pada teks dramatik, termasuk Kepustakaan
penggarapan teater yang justru keluar dari
kecenderungan teks dramatik tersebut. Tahun Afrizal, H., Sarwanto, Soetarno, & Murtana,
1990-an, dipandang sebagai puncak lahirnya I. N. (2019). The Aesthetic Forms of
seniman teater bersama karya-karyanya Postdramatic Theatre Work “Under the
yang menjadikan kata, tubuh, dan benda Volcano” Directed By Yusril. American
(material artistik) sebagai teks utama di dalam Journal of Humanities and Social Sciences
penggarapan teater. Begitu banyak istilah Research (AJHSSR), 3(5), 22–30.
yang disematkan terhadap kecenderungan Benny Yohanes. (2013). Teater Piktografik:
praktik teater ini. Ada yang menyebut teater Migrasi Estetik Putu Wijaya dan
eksperimental, teater kontemporer, teater Metabahasa Layar (N. N. S.S (Ed.);
total, teater tubuh, teater tari, dan sebagainya. Pertama). Dewan Kesenian Jakarta.
Sementara itu, di tahun 1999 muncul istilah Benny Yohanes. (2017). Metode Kritik Teater
baru untuk memahami teater ini, yaitu teater Teori, Konsep dan Aplikasi (I. S. Yuga (Ed.);
postdramatik yang dicetuskan oleh Hans- Pertama). Kalabuku, Yogyakarta.
Thies Lehmann. Saaduddin menjelaskan Birowo, P. (2014). Teater ‘Tanpa-Kata’ dan
bahwa bentuk penyajian seni pertunjukan, ‘Minim-Kata’ di Kota Padang Dekade 90-
apa lagi pertunjukan seni teater, dipengaruhi An dalam Tinjauan Sosiologi Seni. Ekpresi
oleh perkembangan teknologi dan selera Seni. Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Karya
masyarakat penonton yang senantiasa Seni, 16(2), 314–335.
berubah. Perubahan tersebut dapat dirasakan Cantini, C. (2018). Wacana Pos-Dramatik dalam
ketika kita menonton sebuah pertunjukan Teater Pooh-Pooh Somatic: on Crowd
(Saaduddin dan Novalinda, 2017). Kehadiran of Biographies Karya Kalanari Theater
teater yang berbasis pada tubuh, melalui Movement Yogyakarta. TAMUMATRA:
gerak-gerak terstruktur ataupun improvisasi, Jurnal Seni Pertunjukkan, 1(1).
menghadirkan motif-motif tersendiri di dalam D’Cruz, G. (2018). Teaching Postdramatic
mencipta peristiwa. Afrizal mengutip Vera & Theatre: Anxieties, Aporias and Disclosures
Crossan, menjelaskan bahwa konsep teater (G. D’Cruz (Ed.); Pertama). School of
improvisasi sering dikaitkan dengan sebuah Communication & Creative Art Deakin
kerja bersama aktor untuk menerima saran University Burwood, VIC, Australia ISBN.
dari penonton dan menciptakan sebuah Dra. Yudiaryani, M. (2002). Panggung Teater
pristiwa dan adegan di atas panggung tanpa Dunia (Lephen Purwaharja (Ed.);
naskah apapun (H et al., 2020). Pertama). Pustaka Gondho Suli.
Kehadiran teater mini kata W.S. Rendra, H, A., YUSRIL, Y., & SUSANDRO, S. (2020). Ota
dan teater visual Putu Wijaya, jelas memberi Lapau sebagai Alternatif Ide Penciptaan
pengaruh terhadap perkembangan teater Teater Kontemporer Minangkabau.
Indonesia, baik dalam konteks penulisan Ekspresi Seni: Jurnal Ilmu Pengetahuan
naskah drama maupun dalam konteks dan Karya Seni, 22(2), 93–112.
penciptaan teater yang dilakukan. Hadirnya, Haerudin, D. (2021). Pengelolaan Pertunjukan
tokoh-tokoh teater yang bersinergi dengan Teater di Jakarta tahun 1972 hingga tahun
kecenderungan teater postdramatik, seperti 2017. Dance and Theatre Review, 4(1),
Boedi S. Otong, Dindon W.S., Rachman Sabur, 36–43. https://doi.org/10.24821/dtr.
Asia Ramli Prapanca, Yudi A. Tajudin, Yusril v4i1.4396
Katil, dan sebagainya, tentu saja telah memberi Prof. Dr. R. M. Soedarsono. (2010). Seni
68
Dance & Theatre Review | volume 4 number 2, November 2021
69