Sunda Wiwitan Baduy:: Agama Penjaga Alam Lindung Di Desa Kanekes Banten
Sunda Wiwitan Baduy:: Agama Penjaga Alam Lindung Di Desa Kanekes Banten
Masykur Wahid
Dosen pada IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten
Abstract :
‘Baduy’ is a call for a community of a village of Kanekes, South
Banten. Baduy people believe in God under the religion of Sunda
Wiwitan. Baduy’s religion is a syncretism of Islam and Hinduism.
Baduy’s style of Islam is pronounced with syahadat (the Islam
profession of faith) and practiced with tapa (the asceticism)
to maintain and preserve karuhun (the natural heritage) of
ancestors. The tapa of Baduy people is by working in the rice field
as a practice of religious teaching as a mean of mating the goddess
of rice and the earth. The acts of Baduy people are guided by the
pikukuh, customary rules, the great-grandfathers’ rules, and
taboo. Religious teachings, tapa, pikukuh and great-grandfathers
have constructed personalities of Baduy people who are simple
in maintaining the protected natural of Kanekes, therefore
prosperity and peace can be felt by the society.
What is believed by the people of Sunda Wiwitan? And how
are the practices of religious ritual worship of Sunda Wiwitan?
Through these two questions, this paper describes the system of
religion and religious rituals of Sunda Wiwitan. The faith and
obedience of Baduy people to God appear in their actions through
taking care forests, rivers and mountains for harmonious life.
Their faith is not in the form of memorization or interpretation
of scripture. Meanwhile, worship rituals are practiced by them
by working in the rice fields with the custom rules and the taboo
to get successful harvest and prosperous people. The aim of their
Abstrak:
Baduy adalah sebutan bagi masyarakat Desa Kanekes Banten
Selatan. Masyarakat Baduy beriman kepada Allah dalam naungan
agama Sunda Wiwitan. Agama Baduy merupakan sinkretisme
Islam dan Hindu. Islam ala Baduy diucapkan dengan syahadat
dan diamalkan dengan tapa untuk menjaga dan melestarikan
aam warisan karuhun, nenek moyang. Tapa Baduy adalah bekerja
di ladang dengan menanam padi sebagai amalan ajaran agama,
mengawinkan dewi padi dengan bumi. Tindakan masyarakat
Baduy itu berpedoman kepada pikukuh, aturan adat, dengan
mematuhi buyut, tabu. Ajaran agama, tapa, pikukuh dan buyut
telah mengkonstruksi pribadi-pribadi Baduy yang sederhana
dalam menjaga alam lindung Kanekes. Sehingga, kesejahteraan
dan kedamaian dapat dirasakan oleh umat manusia.
Apa yang diimani oleh umat agama Sunda Wiwitan? Dan,
bagaimana praktik ibadah ritual agama Sunda Wiwitan? Melalui
dua pertanyaan itu, tulisan ini dalam studi religi memaparkan
sistem religi dan ritual keagamaan Sunda Wiwitan. Keimanan
dan ketaatan umat Baduy kepada Allah tampak dalam tindakan
mereka menjaga hutan, sungai dan gunung hidup harmoni.
Keimanannya bukan dalam hafalan ataupun penafsiran kitab
suci. Sedangkan, ibadah ritualnya dipraktikkan lewat bekerja di
ladang dengan aturan adat dan patuh pada tabu supaya panen
berhasil dan umat sejahtera. Ibadahnya bukan ingin menjadi
manusia yang dihormati ataupun dermawan. Inilah umat
Sunda Wiwitan dengan pandangan hidup menjaga alam lindung
Kanekes.
A. PENDAHULUAN
D
i tengah-tengah umat agama-agama di dunia memamerkan
identitas Tuhannya hingga berebut mendirikan tempat
ibadah, agama Sunda Wiwitan tetap hidup lestari dan damai
di tengah-tengah hutan tua lebat, hulu sungai dan puncak gunung
Kendeng Banten Selatan. Sunda Wiwitan adalah agama masyarakat
Baduy dalam menghormati roh karuhun, nenek moyang1. Wiwitan
berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam
Carita Parahiyangan disebut kepercayaan Jati Sunda. Menurut
P.A.A. Djajadiningrat (1936), Naseni seorang kokolot Kampung
Cikeusik menjelaskan bahwa “kepercayaan Animisme masyarakat
Baduy telah dimasuki unsur-unsur agama Hindu dan agama Islam”.
Pada tahun 1907 laporan Controller Afdeeling di wilayah Lebak
memaparkan bahwa masih ada komunitas masyarakat beragama
Hindu sebanyak 40 keluarga.2 Sedangkan, Islam pertama dikenal
oleh masyarakat Baduy di kampung Cicakal Girang sejak kurang
lebih 300 tahun silam3. Hal ini diutarakan oleh Pak Daha, ketua
RT: “Orang Baduy belum mau memeluk agama Islam dan memilih
lembah-lembah sebagai tempat hidupnya, gunung Kendeng serta
daerah sekitar sungai Ciujung. Tapi orang Baduy memberi salah
satu wilayah pada orang-orang yang memeluk agama Islam,
wilayah Cikakal Girang yang ditunjuk”4. Sebab itu, Sunda Wiwitan
merupakan sinkretisme agama Islam dan Hindu yang dianut oleh
masyarakat Baduy saat ini.
Secara konseptual sinkretisme merupakan hasil dari
proses sinkretisasi. Sebagian antropolog menganggap bahawa
sinkretisisme sebagai salah satu dari tiga hasil proses akulturasi:
penerimaan, penyesuaian dan reaksi. Dalam Antropology Today:
1
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2006), h. 37
2
Edi Ekadjati, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), (Jakarta: Pustaka
Jaya 1995), h. 72
3
Kira-kira tahun 1680-an Islam dianut oleh masyarakat Baduy di kampung Cikakal
Girang.
4
Sri Unggul Azul, “Tatkala Adzan Bergema di Kenekes,” dalam Nurhadi Rangkuti
(peny.), Orang Baduy dari Inti Jagat, (Yogyakarta: Bentara Budaya, Harian Kompas, Etno-
data Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa, 1988), h. 31
B. PEMBAHASAN
1. Geografi dan Demografi Baduy
Masyarakat Baduy bertempat tinggal di tanah adat (ulayat) di
daerah pedesaan di antara perbukitan dan pegunungan Kendeng,
Banten Selatan. Yakni, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Letak Desa Kanekes sekitar
17 kilometer sebelah selatan kota Kecamatan Leuwidamar.
Sekitar 38 kilometer sebelah selatan kota Kabupaten Lebak.
Sekitar 65 kilometer sebelah selatan Ibukota Propinsi Banten.
Dan, sekitar 172 kilometer sebelah barat Ibukota Jakarta.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun
2001, luas desa ini kira-kira 5.101,85 hektar. Luasnya terdiri
dari pemukiman masyarakat seluas 2.101,85 hektar dan hutan
lindung mutlak (taneuh larangan) seluas 3.000 hektar. Luasnya
di antara desa-desa di wilayah Propinsi Banten, Desa Kanekes
adalah wilayah pedesaan yang terluas.
Penduduk masyarakat Baduy berjumlah 10.879 jiwa, laki-
laki 5.465 jiwa dan perempuan 5.414, berdasarkan Data Sensus
Penduduk Desa Kanekes tanggal 28 Pebruari 2008. Dilihat dari
tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk sangat pesat
sebesar 1.79 % per tahun. Seiring pertumbuhan warga yang
pesat, perubahan lahan tempat tinggal (teritorial) pun terus
menerus berkembang meluas. Dalam Peraturan Daerah No. 23
Tahun 2001 berdasarkan posisi, dalam dan luar, tempat tinggal
warga, secara administratif masyarakat Baduy dibagi menjadi
dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam
yang berjumlah 1.053 jiwa menempati tanah yang didiami tiga
kampung: Cikeusik, Cikertawa dan Cibeo. Masyarakat Baduy
Luar yang berjumlah 9.826 jiwa menempati tanah yang didiami
57 kampung dan 5 babakan (pemekaran kampung). Pada tahun
sebelumnya, 2003 diketahui bahwa masyarakat Baduy Luar
hanya memiliki 45 kampung dan 6 babakan.
dan “arca batu”. Arca batu ini disebut Arca Domas. Domas berarti
keramat, suci. Tingkatan teras, makin ke selatan undak-undakan
makin tinggi dan suci. Digambarkan oleh Koorders (1869), Jacob
dan Meijcr (1891) dan Pleyte (1909), sebagaimana dikutip oleh
Permana, bahwa letaknya di tengah hutan tua yang sangat lebat,
hulu sungai Ciujung dan puncak gunung Pamuntuan. Bangunan
tua ini merupakan sisa peninggalan megalitik. Sebagai kiblat
ibadah, Sasaka Domas diyakini sebagai tanah atau tempat suci,
keramat (sacral), para nenek moyang berkumpul.29
Di tanah suci ini umat Sunda Wiwitan melaksanakan ritual
pe-muja-an. Ritus muja adalah ziarah memanjatkan do’a dan
membersihkan obyek utama pemujaan Baduy. Ibadah ritual pe-
muja-an di Sasaka Domas dipimpin oleh puun Cikeusik. Tujuan
ritus muja adalah untuk me-muja para karuhun, nenek moyang,
dan menyucikan pusat dunia. Dalam ritual ini hanya orang-orang
tertentu yang melaksanakan muja atas nama masyarakat Baduy
secara keseluruhan. Yakni, para puun dan orang-orang yang
ditunjuk. Orang-orang ditunjuk melaksanakan ritus muja bukan
didasarkan kriteria tertentu. Ritual ini dilaksanakan selama tiga
hari: tanggal 16, 17 dan 18 pada bulan Kalima. Waktu tiga hari
ritual terbagi terdiri dari, dua hari untuk pergi dan pulang dan
sehari untuk ibadah ritual muja.30
Prosesi ziarah menuju ke Sasaka Domas harus melalui sisi
sebelah utara, tidak boleh dari sisi selatan. Ritual muja dimulai
oleh puun pada teras tingkat pertama, dengan menghadap ke
selatan, arah puncak. Selesai ritual muja biasanya pada tengah
hari, sekitar pukul 11.00-13.00. Setelah ritual muja, dilanjutkan
dengan membersihkan dan membenahi pelataran teras. Sampai
pada teras teratas (ketujuh), para pe-muja menyucikan muka,
tangan dan kaki pada batu lumpang yang disebut Sanghyang
Pangumbaran. Keadaan air di dalam “batu lumpang” adalah
simbol keadaan alam Baduy. Jika airnya penuh dan jernih,
menandakan akan turun hujan banyak, cuaca baik dan panen
29
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 38 dan 89-90.
30
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 88
31
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 90-91
32
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 91-92
33
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 92
34
Judistira Garna, “Perubahan Sosial Budaya Baduy”, dalam Nuhhadi Rangkuti
(peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat, (Yogyakarta: Bentara Budaya, Kompas, Etnodata
Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Praseda, 1988), h. 53-54; lihat pula dalam tulisannya
yang lain “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam Koetjaraningrat (ed.), Masyarakat Teras-
ing di Indonesia, (Jakarta: Departemen Sosial RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kes-
ejahteraan Sosial dan Gramedia, 1993), h. 139; R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Ma-
syarakat Baduy…, h. 38-39; Sam dkk., A. Suhandi Sam et al, Tata Kehidupan Masyarakat
Baduy …, h. 47-48.
35
Sam dkk., A. Suhandi Sam et al, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy …, h. 46
36
Sam dkk., A. Suhandi Sam et al, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy …, h. 48
C. KESIMPULAN
Sunda Wiwitan merupakan agama sinkretisme Islam dan Hindu
yang dianut oleh masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Banten
Selatan. Meskipun umat Sunda Wiwitan tidak memiliki kitab suci,
akan tetapi ajaran-ajarannya terjelma dalam tapa, bekerja sehari-
hari di ladang. Pemahaman ajaran-ajaran agama itu langsung
dipraktikkan di dalam interaksi umat dengan alamnya. Hal ini
yang dikatakan oleh James Frezer bahwa agama Sunda Wiwitan
mengekspresikan makna-makna simbolik di dalam relasi-relasi
sosial-budaya dan kosmologi alam Baduy. Keimanannya kepada
40
Tjetjep Rosmana, dkk, Kompilasi Eksistensi Lembaga Adat di Jawa Barat, (Band-
ung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan dan Balai Kajian Seja-
rah dan Nilai Tradisional, 1993), h. 88-90
DAFTAR PUSTAKA