0% found this document useful (0 votes)
47 views22 pages

Sunda Wiwitan Baduy:: Agama Penjaga Alam Lindung Di Desa Kanekes Banten

This document summarizes the Sunda Wiwitan Baduy religion practiced by the Baduy people in the village of Kanekes, South Banten. It discusses that Sunda Wiwitan Baduy is a syncretism of Islam and Hinduism, incorporating elements of both. The religion emphasizes living simply and preserving the natural environment by following traditional rules and taboos. Religious rituals include agricultural work seen as mating rituals between gods of rice and earth to ensure prosperous harvests. The goal is to maintain protected nature in Kanekes and allow prosperity and peace for all.

Uploaded by

fragmen666
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
47 views22 pages

Sunda Wiwitan Baduy:: Agama Penjaga Alam Lindung Di Desa Kanekes Banten

This document summarizes the Sunda Wiwitan Baduy religion practiced by the Baduy people in the village of Kanekes, South Banten. It discusses that Sunda Wiwitan Baduy is a syncretism of Islam and Hinduism, incorporating elements of both. The religion emphasizes living simply and preserving the natural environment by following traditional rules and taboos. Religious rituals include agricultural work seen as mating rituals between gods of rice and earth to ensure prosperous harvests. The goal is to maintain protected nature in Kanekes and allow prosperity and peace for all.

Uploaded by

fragmen666
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 22

Sunda Wiwitan Baduy:

Agama Penjaga Alam Lindung di Desa


Kanekes Banten

Masykur Wahid
Dosen pada IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten

Abstract :
‘Baduy’ is a call for a community of a village of Kanekes, South
Banten. Baduy people believe in God under the religion of Sunda
Wiwitan. Baduy’s religion is a syncretism of Islam and Hinduism.
Baduy’s style of Islam is pronounced with syahadat (the Islam
profession of faith) and practiced with tapa (the asceticism)
to maintain and preserve karuhun (the natural heritage) of
ancestors. The tapa of Baduy people is by working in the rice field
as a practice of religious teaching as a mean of mating the goddess
of rice and the earth. The acts of Baduy people are guided by the
pikukuh, customary rules, the great-grandfathers’ rules, and
taboo. Religious teachings, tapa, pikukuh and great-grandfathers
have constructed personalities of Baduy people who are simple
in maintaining the protected natural of Kanekes, therefore
prosperity and peace can be felt by the society.
What is believed by the people of Sunda Wiwitan? And how
are the practices of religious ritual worship of Sunda Wiwitan?
Through these two questions, this paper describes the system of
religion and religious rituals of Sunda Wiwitan. The faith and
obedience of Baduy people to God appear in their actions through
taking care forests, rivers and mountains for harmonious life.
Their faith is not in the form of memorization or interpretation
of scripture. Meanwhile, worship rituals are practiced by them
by working in the rice fields with the custom rules and the taboo
to get successful harvest and prosperous people. The aim of their

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 33


Masykur Wahid

worship is not to be respected or generous people. The people of


Sunda Wiwitan live with the perspective to maintain the protected
nature in Kanekes.

Keywords: Baduy, Sunda Wiwitan, sincretism, religious rituals

Abstrak:
Baduy adalah sebutan bagi masyarakat Desa Kanekes Banten
Selatan. Masyarakat Baduy beriman kepada Allah dalam naungan
agama Sunda Wiwitan. Agama Baduy merupakan sinkretisme
Islam dan Hindu. Islam ala Baduy diucapkan dengan syahadat
dan diamalkan dengan tapa untuk menjaga dan melestarikan
aam warisan karuhun, nenek moyang. Tapa Baduy adalah bekerja
di ladang dengan menanam padi sebagai amalan ajaran agama,
mengawinkan dewi padi dengan bumi. Tindakan masyarakat
Baduy itu berpedoman kepada pikukuh, aturan adat, dengan
mematuhi buyut, tabu. Ajaran agama, tapa, pikukuh dan buyut
telah mengkonstruksi pribadi-pribadi Baduy yang sederhana
dalam menjaga alam lindung Kanekes. Sehingga, kesejahteraan
dan kedamaian dapat dirasakan oleh umat manusia.
Apa yang diimani oleh umat agama Sunda Wiwitan? Dan,
bagaimana praktik ibadah ritual agama Sunda Wiwitan? Melalui
dua pertanyaan itu, tulisan ini dalam studi religi memaparkan
sistem religi dan ritual keagamaan Sunda Wiwitan. Keimanan
dan ketaatan umat Baduy kepada Allah tampak dalam tindakan
mereka menjaga hutan, sungai dan gunung hidup harmoni.
Keimanannya bukan dalam hafalan ataupun penafsiran kitab
suci. Sedangkan, ibadah ritualnya dipraktikkan lewat bekerja di
ladang dengan aturan adat dan patuh pada tabu supaya panen
berhasil dan umat sejahtera. Ibadahnya bukan ingin menjadi
manusia yang dihormati ataupun dermawan. Inilah umat
Sunda Wiwitan dengan pandangan hidup menjaga alam lindung
Kanekes.

Kata kunci: Baduy, Sunda Wiwitan, sinkretisme, ritual agama

34 ~ HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011


Sunda Wiwitan Baduy

A. PENDAHULUAN

D
i tengah-tengah umat agama-agama di dunia memamerkan
identitas Tuhannya hingga berebut mendirikan tempat
ibadah, agama Sunda Wiwitan tetap hidup lestari dan damai
di tengah-tengah hutan tua lebat, hulu sungai dan puncak gunung
Kendeng Banten Selatan. Sunda Wiwitan adalah agama masyarakat
Baduy dalam menghormati roh karuhun, nenek moyang1. Wiwitan
berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam
Carita Parahiyangan disebut kepercayaan Jati Sunda. Menurut
P.A.A. Djajadiningrat (1936), Naseni seorang kokolot Kampung
Cikeusik menjelaskan bahwa “kepercayaan Animisme masyarakat
Baduy telah dimasuki unsur-unsur agama Hindu dan agama Islam”.
Pada tahun 1907 laporan Controller Afdeeling di wilayah Lebak
memaparkan bahwa masih ada komunitas masyarakat beragama
Hindu sebanyak 40 keluarga.2 Sedangkan, Islam pertama dikenal
oleh masyarakat Baduy di kampung Cicakal Girang sejak kurang
lebih 300 tahun silam3. Hal ini diutarakan oleh Pak Daha, ketua
RT: “Orang Baduy belum mau memeluk agama Islam dan memilih
lembah-lembah sebagai tempat hidupnya, gunung Kendeng serta
daerah sekitar sungai Ciujung. Tapi orang Baduy memberi salah
satu wilayah pada orang-orang yang memeluk agama Islam,
wilayah Cikakal Girang yang ditunjuk”4. Sebab itu, Sunda Wiwitan
merupakan sinkretisme agama Islam dan Hindu yang dianut oleh
masyarakat Baduy saat ini.
Secara konseptual sinkretisme merupakan hasil dari
proses sinkretisasi. Sebagian antropolog menganggap bahawa
sinkretisisme sebagai salah satu dari tiga hasil proses akulturasi:
penerimaan, penyesuaian dan reaksi. Dalam Antropology Today:
1
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2006), h. 37
2
Edi Ekadjati, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), (Jakarta: Pustaka
Jaya 1995), h. 72
3
Kira-kira tahun 1680-an Islam dianut oleh masyarakat Baduy di kampung Cikakal
Girang.
4
Sri Unggul Azul, “Tatkala Adzan Bergema di Kenekes,” dalam Nurhadi Rangkuti
(peny.), Orang Baduy dari Inti Jagat, (Yogyakarta: Bentara Budaya, Harian Kompas, Etno-
data Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa, 1988), h. 31

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 35


Masykur Wahid

An Encyclopedia (1953) R. Beals menjelaskan bahwa “acculturation


is combining original and foreign traits either in harmonious whole or
with retention of conflicting attitudes which are reconciled in everyday
behavior according to specific occasions.” Jelasnya, sinkretisasi adalah
proses penggabungan dan pengombinasian unsur-unsur asli
dengan unsur-unsur asing yang dapat memunculkan sebuah pola
budaya baru.5
Dari beberapa agama sinkretis di Jawa yang menarik dan unik,
tulisan ini membahas studi religi umat Sunda Wiwitan di dalam
dua pertanyaan. Apa yang diimani oleh umat Sunda Wiwitan?
Dan, bagaimana praktik ibadah agama Sunda Wiwitan? Sebab
itu, tujuan tulisan ini untuk memperkaya khazanah pengetahuan
studi religi klasik mengenai agama Sunda Wiwitan yang dianut
oleh masyarakat Baduy Banten. Untuk menjelaskan keimanan dan
ketaatan umat Sunda Wiwitan serta praktik ritual ibadahnya. Dan,
untuk mengenalkan identitas agama Sunda Wiwitan pada seluruh
umat beragama di dunia.
Secara teoritis konsep agama dapat dipahami dengan
membedakannya dari konsep magi. Menurut James Frazer, secara
substansial agama menekankan dimensi ekspresif, sedangkan
magi menekankan dimensi instrumental dari kehidupan. Dimensi
ekspresif merupakan ruang untuk menyatakan dan menyimbolkan
relasi-relasi sosial dan kosmologis tertentu. Sedang, dimensi
instrumental merupakan ruang untuk mencapai tujuan-tujuan
khusus. Tidak hanya itu, menurut Martin Buber, agama juga
mengarahkan diri pada relasi aku-Engkau, dari pertemuan personal
dalam mengabdi dan memuji Tuhan atau dewa sejauh ia sendiri
akan dilayani oleh-Nya. Sedangkan, magi dalam bentuk murni
menetapkan relasi aku-Dia yang manifulatif dengan alam.6 Konsep
budaya yang digunakan mengikuti pemikiran Geertz7, bahwa
5
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra,
(Yogyakarta: KEPEL Press, 2006), Cet. Ke-1, h. 338
6
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (terj.), (Yogyakarta: Kanisius. 1995),
h. 51
7
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, Selected Essays, (London: Hutchin-
son & Co (publishers) Ltd, 1973), h. 89

36 ~ HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011


Sunda Wiwitan Baduy

budaya adalah “suatu pola makna-makna yang diteruskan secara


historis yang terwujud dalam simbol-simbol. Sistem konsep-konsep
yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis
menjadikan manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan
mengembangkan pengetahuannya tentang kehidupan dan sikap-
sikap terhadap kehidupan”. Konsep budaya ini berkaitan dengan
pandangan dunia (world view) masyarakat Baduy. Lebih lanjut,
Geertz8 menjelaskan bahwa pandangan dunia adalah “gambaran
mengenai kenyataan apa adanya, konsep mengenai alam, diri dan
masyarakat”.
Secara metodologis tulisan ini merupakan hasil field research
dalam studi religi di wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuidamar,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Fenomenologi agama digunakan
untuk menyelidiki sejarah agama dan budaya Baduy secara
sistematis melalui pengklasifikasian dan pengelompokan data-data
yang tersebar luas dengan cara tertentu agar ditemukan pandangan
komprehensif mengenai isi dan makna religius yang terkandung
di dalam agama dan budaya masyarakat Baduy9. Pada dasarnya
fenomenologi agama merupakan metode interdisiplin ilmu-
ilmu, antropologi, filologi, filsafat, arkeologi, etnologi, sosiologi,
psikologi, dan lain-lainnya10. Selain itu, penulis terlibat langsung
secara cermat untuk mengamati dan memahami fenomena sistem
religi dan ritual keagamaan Baduy yang terjadi baik di wilayah Desa
Kanekes maupun wilayah sekitarnya. Keterlibatan langsung dalam
ruang etnografi digunakan untuk menetapkan calon informan11.
Pada akhirnya wawancara mendalam terhadap informan dilakukan
untuk menguatkan data-data lama dan menemukan data-data
baru. Di samping itu, digunakan metode triangulasi untuk proses
pemeriksaan dan pengujian data-data yang diperoleh hingga tahap
analisis dilakukan.12
8
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, Selected Essays, h. 127
9
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, h. 25-26
10
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, h. 11
11
James P. Spradley, Metode Etnografi (terj.), Edisi Kedua. (Yogyakarta: Tiara Wa-
cana, 2006), h. 72
12
Matthew B. Miles dan A. Micheal Huberman, Analisis Data Kualitatif (terj.). (Ja-

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 37


Masykur Wahid

B. PEMBAHASAN
1. Geografi dan Demografi Baduy
Masyarakat Baduy bertempat tinggal di tanah adat (ulayat) di
daerah pedesaan di antara perbukitan dan pegunungan Kendeng,
Banten Selatan. Yakni, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Letak Desa Kanekes sekitar
17 kilometer sebelah selatan kota Kecamatan Leuwidamar.
Sekitar 38 kilometer sebelah selatan kota Kabupaten Lebak.
Sekitar 65 kilometer sebelah selatan Ibukota Propinsi Banten.
Dan, sekitar 172 kilometer sebelah barat Ibukota Jakarta.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun
2001, luas desa ini kira-kira 5.101,85 hektar. Luasnya terdiri
dari pemukiman masyarakat seluas 2.101,85 hektar dan hutan
lindung mutlak (taneuh larangan) seluas 3.000 hektar. Luasnya
di antara desa-desa di wilayah Propinsi Banten, Desa Kanekes
adalah wilayah pedesaan yang terluas.
Penduduk masyarakat Baduy berjumlah 10.879 jiwa, laki-
laki 5.465 jiwa dan perempuan 5.414, berdasarkan Data Sensus
Penduduk Desa Kanekes tanggal 28 Pebruari 2008. Dilihat dari
tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk sangat pesat
sebesar 1.79 % per tahun. Seiring pertumbuhan warga yang
pesat, perubahan lahan tempat tinggal (teritorial) pun terus
menerus berkembang meluas. Dalam Peraturan Daerah No. 23
Tahun 2001 berdasarkan posisi, dalam dan luar, tempat tinggal
warga, secara administratif masyarakat Baduy dibagi menjadi
dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam
yang berjumlah 1.053 jiwa menempati tanah yang didiami tiga
kampung: Cikeusik, Cikertawa dan Cibeo. Masyarakat Baduy
Luar yang berjumlah 9.826 jiwa menempati tanah yang didiami
57 kampung dan 5 babakan (pemekaran kampung). Pada tahun
sebelumnya, 2003 diketahui bahwa masyarakat Baduy Luar
hanya memiliki 45 kampung dan 6 babakan.

karta: Penerbit Universitas Indonesia, 1992), h. 437

38 ~ HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011


Sunda Wiwitan Baduy

2. Asal Usul Baduy


Baduy merupakan sebutan populer orang lain terhadap
masyarakat Desa Kanekes Banten. Sebutan Baduy muncul
sesudah agama Islam masuk ke daerah Banten utara pada abad
ke-16, sekitar tahun 1522-152613. Akan tetapi, orang Baduy
dipaparkan oleh Judistira Garna14, sebagai berikut:
“Kesetiaan orang Baduy kepada agama yang diwarisi secara
turun temurun dari nenek moyangnya seperti keadaan
sebelum Hindu dan Islam berkembang di Jawa Barat serta
letak desanya yang tak mudah dicapai orang seolah-olah
memperkuat angggapan bahwa orang Baduy itu bukan
orang Sunda”.
Meskipun demikian, pada tahun 1822 C.L. Blume pernah
menulis bahwa masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Sunda
Kuno, yakni Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan
Pajajaran runtuh pada awal abad ke-17, dan sejalan pesatnya
kemajuan kerajaan Banten Islam.15 Terlepas dari perdebatan
para ahli sejarah tentang sebuatan Baduy, penelusurannya dapat
diteruskan dan ditemukan di banyak sumber.
Karena itu, menurut Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda,
Baduy adalah masyarakat setempat yang dijadikan mandala
(kawasan suci) secara resmi oleh raja, sebab masyarakatnya
berkewajiban memelihara kabuyutan, tempat pe-muja-an nenek
moyang, bukan Hindu atau Budha. Kabuyutan di Desa Kanekes
dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Dari
sinilah, masyarakat Baduy sendiri menyebut agamanya adalah
Sunda Wiwitan, Sunda Pertama.16 Hal itu menjelaskan juga
13
Judistira Garna, Orang Baduy, (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1987), h. 36
14
Judistira Garna, Orang Baduy…, h. 16-17
15
Judistira Garna, “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam Koetjaraningrat (ed.), Ma-
syarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Departemen Sosial RI, Dewan Nasional Indonesia
untuk Kesejahteraan Sosial dan Gramedia, 1993), b: h. 144. Lihat juga dalam R. Cecep Eka
Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy, h. 26
16
Sam, A. Suhandi dkk, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di Propinsi Jawa Barat,
(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumen-
tasi Kebudayaan Daerah, 1986), h. 4-5; lihat pula dalam Permana, Tata Ruang Masyarakat

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 39


Masykur Wahid

bahwa asal usul Baduy secara tepat bisa ditemukan di dalam


diri masyarakat Baduy sendiri yang kukuh melestarikan alam
lindung pegunungan Kendeng sebelum ekspedisi Islam datang
mengubah kepercayaan mereka.

3. Batara Tunggal, Ciptaan Tuhan


Tuhan yang diimani oleh umat Sunda Wiwitan adalah Allah,
sebagaimana terucapkan di dalam kalimat syahadat Baduy.17
Meskipun, mereka menyebut-Nya Batara Tunggal (Tuhan Yang
Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam) dan Batara Seda
Niskala (Yang Gaib). Mereka mempercayai Sang Hiyang Keresa
(Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki)
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tuhan Sunda Wiwitan
bersemayam di Buana Nyungcung (Dunia Atas). Bahkan, diyakini
bahwa semua dewa agama Hindu18 tunduk terhadap Batara
Seda Niskala.19 Mereka beriman kepada yang gaib, yang tidak
bisa dilihat dengan mata, tetapi dapat diraba dengan hati.
Nabi-nabi yang diimani secara eksplisit adalah Nabi Adam dan
Nabi Muhammad. Mereka beriman kepada hidup, sakit, mati
dan nasib adalah titipan. Umat Sunda Wiwitan menjalankan
juga ritual ibadah sunah Rasul, yakni sunat atau khitan.20 Ritus
sunat diyakini sebagai nyelamkeun, mengislamkan, bagi laki-laki
pada umur 4-7 tahun dan perempuan. Dan, mereka tak lupa
melaksanakan ritual ibadah puasa kawalu, lebaran. Puasa ini
dilakukan hanya sehari pada bulan pertama, kedua dan ketiga
dalam setahun sekali.21
Pengucapan nama Allah termaktub di dalam dua macam
kalimat syahadat Baduy: Syahadat Baduy Dalam dan syahadat
Baduy, h. 27
17
Sam dkk., Tata Kehidupan Masyarakat Baduy…, h. 62
18
Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Yama, dan lain-lainnya.
19
Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1995), h. 73
20
Djoewisno, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, (Banten: Cipta Pratama Adv.pt,
1987), h. 28
21
Sam dkk., Tata Kehidupan Masyarakat Baduy…, h. 64

40 ~ HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011


Sunda Wiwitan Baduy

Baduy Luar. Pertama, kalimat syahadat Baduy Dalam, sebagai


berikut:
“asyhadu syahadat Sunda (asyhadu syahadat Sunda
jaman Allah ngan sorangan Allah hanya satu
kaduanana Gusti Rosul kedua para Rasul
ka tilu Nabi Muhammad ketiga Nabi Muhammad
ka opat umat Muhammad keempat umat Muhammad
nu cicing di bumi angaricing yang tinggal di dunia ramai
nu calik di alam keueung”. yang duduk di alam takut
ngacacang di alam mokaha menjelajah di alam nafsu
salamet umat Muhammad” selamat umat Muhammad
Kedua, kalimat syahadat Baduy Luar, berikut ini:
“asyhadu Alla ilaha illalah (Asyhadu Alla ilaha illalah
wa asyhadu anna Muhammad da wa asyhadu anna Muhammad da
Rasulullah Rasulullah
isun netepkeun ku ati aku menetapkan dalam hati
yen taya deui Allah di dunya ieu bahwa tiada lagi Tuhan di dunia ini
iwal ti Pangeran Gusti Allah selain Pangeran Gusti Allah
jeung taya deui iwal ti Nabi dan tiada lagi selain Nabi
Muhammad utusan Allah”. Muhammad utusan Allah)
Syahadat Baduy Dalam adalah syahadat Sunda Wiwitan
yang disampaikan kepada puun, sebagaimana masa Islam
awal syahadat Islam disampaikan kepada Nabi Muhammad.
Sedangkan, syahadat Baduy Luar adalah syahadat Islam yang
diucapkan ketika melangsungkan pernikahan secara Islami.
Dikatakan oleh umat Sunda Wiwitan bahwa “kami mah ngan
kabagean syahadatna wungkul, hente kabagean sholat”. Bahwa
mereka hanya memperoleh syahadatnya saja, sedangkan rukun-
rukun Islam lainnya tidak pernah diperoleh.22
Kekuasaan Tuhan dipahami oleh umat Sunda Wiwitan
sebagai pencipta alam semesta. Dalam mitos penciptaan Baduy
dijelaskan bahwa “dunia pada waktu diciptakan masih kosong,
kemudian Tuhan mengambil segenggam tanah dari bumi dan
diciptakanlah Adam. Dari tulang rusuk Adam terciptalah Hawa.
Tuhan juga menciptakan Batara Tujuh, yaitu: (1) Batara Tunggal,
22
Sam et al, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy…, h. 62-63

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 41


Masykur Wahid

(2) Batara Ratu, (3) puun yang dititipkan di Kanekes (Cikeusik,


Cikertawana, Cibeo), (4) Dalem, (5) Menak, (6) Putri Galuh
dan (7) Nabi Muhammad yang diturunkan di Mekah. Batara
Tujuh merupakan Sanghyang Tujuh yang bersemayam di Sasaka
Domasi” (1986: 64). Dari mitos penciptaan ini, masyarakat Baduy
menyakini bahwa manusia yang pertama kali diciptakan di bumi
ini berada di Kanekes sebagai inti jagat, pancer bumi. Karena itu,
mereka melaksanakan ritual ibadah pe-muja-an di Sasaka Domas
sebagai penghormatan kepada roh karuhun, nenek moyang.
Mereka menyakini juga agamanya adalah Sunda Wiwitan, bukan
Hindu ataupun Islam.
Nabi Adam diyakini oleh umat Sunda Wiwitan sebagai simbol
penciptaan manusia pertama yang berada di Sasaka Domas.
Keyakinan seperti ini terdapat juga di dalam agama masyarakat
Jawa yang masih menghormati raja-raja, nenek moyang,
mereka. Ahimsa-Putra23 menjelaskan bahwa antara Nabi Islam,
Batara Hindu dan raja Jawa terdapat relasi genealogis, seperti
termaktub di dalam pembukaan kitab Babad Tanah Jawi, berikut
ini:
“Sejarah raja-raja Jawa berawal dari Nabi Adam sebagai
sumbernya. Nabi Adam menurut asal-usul menurunkan
Nabi Sis. Nabi Sis sendiri kemudian berputra Nurcahya.
Nurcahya menurunkan Nurasa. Dari Nurasa lahir putranya
yang bernama Sang Hyang Wening kemudian menurunkan
Sang Hyang Tunggal. Kemudian Sang Hyang Tunggal
berputrakan sang Batara Guru. Batara Guru berputra lima,
diberi nama: Batara Sambo, Batara Brama, Batara Maha
Dhewa, Batara Wisnu, dan Dewi Sri. Batara Wisnu, putra
keempat dari Batara Guru, bertakhta di suatu kerajaan di
pulau Jawa, bergelar prabu Set. Istana Batara Guru itu yang
disebut Suralaya24.”25
23
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Ce-
takan Pertama, (Yogyakarta: KEPEL Press, 2006), h. 345
24
Suralaya adalah tempat tinggal para dewa.
25
ZH Sudibjo, Babad Tanah Jawi, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Keduday-
aan, t.t), h. 7

42 ~ HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011


Sunda Wiwitan Baduy

Dapat dipahami bahwa Batara Tunggal yang dipercayai oleh


umat Sunda Wiwitan adalah manusia biasa yang tidak pernah
mati, akan tetapi jasad dan rohnya ngahiyang, sirna, dari dunia
ini. Mereka menyakini juga bahwa Batara Tunggal-lah yang
mengatur nasib dan kehidupan manusia di muka bumi ini.
Begitu pun, Dalem dan Menak adalah karuhun, nenek moyang
yang jasad dan rohnya ngahiyang, sirna. Sebab itu, diyakini bahwa
Kanekes tidak akan hilang hingga saat ini, seiring terpeliharanya
keturunan puun.26 Secara formal-normatif, puun adalah
pimpinan adat istiadat masyarakat Baduy. Untuk memimpin
adat istiadat aspek spiritual puun dibantu oleh perangkat puun.
Yaitu, baresan (dewan penasehat), tangkesan (peramal) dan
girang seurat (pembantu pelaksana ritual). Selain puun diyakini
sebagai pemimpin tertinggi adat, juga merupakan keturunan
karuhun27, nenek moyang, yang langsung mempresentasikannya
di dunia. Para puun adalah orang-orang yang bertanggung jawab
dan bertugas melestarikan kepercayaan warisan nenek moyang,
pikukuh, supaya tidak terkena pengaruh proses perubahan sosial
budaya dari luar.28

4. Sasaka Domas, Kiblat Suci Baduy


Kiblat ibadah pe-muja-an umat Sunda Wiwitan disebut Sasaka
Domas, atau Sasaka Pusaka Buana atau Sasaka Pada Ageung. Sasaka
Domas adalah bangunan punden berunduk atau berteras-teras
sebanyak tujuh tingkatan. Setiap teras diberi hambaro, benteng,
yang terdiri atas susunan “menhir” (batu tegak) dari batu kali.
Pada teras tingkat keempat terdapat menhir yang besar dan
berukuran tinggi sekitar 2 m. Pada tingkat teratas terdapat “batu
lumpang” dengan lubang bergaris tengah sekitar 90 cm, menhir
26
A. Suhandi Sam et al, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy …, h. 62-63
27
Selain menyakini adanya karuhun, masyarakat Baduy juga menyakini adanya guri-
ang, sanghyang dan wangatua. Guriang dan sanghyang adalah penjelmaan para karuhun un-
tuk melindungi keturunannya dari segala bahaya, baik dari gangguan orang jahat maupun
makhluk-makhluk halus yang jahat. Dan, wangatua adalah penjemaan roh ibu dan bapak
yang telah meninggal dunia.
28
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 40

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 43


Masykur Wahid

dan “arca batu”. Arca batu ini disebut Arca Domas. Domas berarti
keramat, suci. Tingkatan teras, makin ke selatan undak-undakan
makin tinggi dan suci. Digambarkan oleh Koorders (1869), Jacob
dan Meijcr (1891) dan Pleyte (1909), sebagaimana dikutip oleh
Permana, bahwa letaknya di tengah hutan tua yang sangat lebat,
hulu sungai Ciujung dan puncak gunung Pamuntuan. Bangunan
tua ini merupakan sisa peninggalan megalitik. Sebagai kiblat
ibadah, Sasaka Domas diyakini sebagai tanah atau tempat suci,
keramat (sacral), para nenek moyang berkumpul.29
Di tanah suci ini umat Sunda Wiwitan melaksanakan ritual
pe-muja-an. Ritus muja adalah ziarah memanjatkan do’a dan
membersihkan obyek utama pemujaan Baduy. Ibadah ritual pe-
muja-an di Sasaka Domas dipimpin oleh puun Cikeusik. Tujuan
ritus muja adalah untuk me-muja para karuhun, nenek moyang,
dan menyucikan pusat dunia. Dalam ritual ini hanya orang-orang
tertentu yang melaksanakan muja atas nama masyarakat Baduy
secara keseluruhan. Yakni, para puun dan orang-orang yang
ditunjuk. Orang-orang ditunjuk melaksanakan ritus muja bukan
didasarkan kriteria tertentu. Ritual ini dilaksanakan selama tiga
hari: tanggal 16, 17 dan 18 pada bulan Kalima. Waktu tiga hari
ritual terbagi terdiri dari, dua hari untuk pergi dan pulang dan
sehari untuk ibadah ritual muja.30
Prosesi ziarah menuju ke Sasaka Domas harus melalui sisi
sebelah utara, tidak boleh dari sisi selatan. Ritual muja dimulai
oleh puun pada teras tingkat pertama, dengan menghadap ke
selatan, arah puncak. Selesai ritual muja biasanya pada tengah
hari, sekitar pukul 11.00-13.00. Setelah ritual muja, dilanjutkan
dengan membersihkan dan membenahi pelataran teras. Sampai
pada teras teratas (ketujuh), para pe-muja menyucikan muka,
tangan dan kaki pada batu lumpang yang disebut Sanghyang
Pangumbaran. Keadaan air di dalam “batu lumpang” adalah
simbol keadaan alam Baduy. Jika airnya penuh dan jernih,
menandakan akan turun hujan banyak, cuaca baik dan panen

29
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 38 dan 89-90.
30
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 88

44 ~ HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011


Sunda Wiwitan Baduy

berhasil. Sebaliknya, jika air dangkal dan keruh menandakan


kekeringan dan kegagalan panen. Pada keadaan “menhir” di
puncak, jika dipenuhi lumut menandakan akan mendapatkan
kesentosaan dan kesejahteraan dalam tahun bersangkutam,
tetapi sebaliknya dapat memperoleh kesengsaraan dan
kesulitan.31
Umat Sunda Wiwitan yang berniat, tidak diwajibkan,
meminta berkah datang pada sore tanggal 18 Kalima dan
menanti para pe-muja di alun-alun depan rumah jaro Cikeusik
atas nama dan restu puun Cikeusik. Mereka membentuk
kelompok berdasarkan asal kampungnya. Setiap kelompok
beranggota 5-10 orang dan memiliki juru bahasa dari kokolot
kampung. Juru bahasa berfungsi mengantar, mengenalkan dan
mengutarakan niat kedatangannya. Mereka wajib berpuasa
dan mengenakan pakaian yang baik dan bersih. Masing-masing
orang membawa sesaji dan uang kertas (semampunya) yang
akan diserahkan kepada jaro sebagai imbalan berkah. Berbuka
puasanya tergantung pada kedatangan para pe-muja dan setelah
selesai mandi serta isyarat dari puun Cikeusik. Waktu berbuka
puasa biasanya antara pukul 15.00-19.00, waktu lingsir dan
burit. Berbuka puasanya dengan luluy yang disediakan oleh
palawari. Luluy adalah sejenis lemang atau lontong dari beras
yang dibungkus daun patat dan dimasukkan dan dimasak di
dalam bambu. Palawari adalah 5-7 orang laki-laki yang bertugas
dan bertanggung jawab membuat luluy. Tujuan meminta berkah
adalah memohon keselamatan dan kemurahan rejeki.32
Prosesi meminta berkah di rumah jaro Cikeusik. Seluruh
kelompok duduk bersila di ruang tepas, sedangkan jaro duduk
bersila di ruang imah. Juru bahasa lebih dahulu masuk ke ruang
imah menghadap jaro untuk mengenalkan diri dan kelompoknya
serta menyampaikan niat dan tujuan mereka. Jaro duduk
bersila di sisi selatan ruang imah menghadap utara, sedangkan
juru bahasa berada di sisi utara menghadap ke selatan (jaro).

31
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 90-91
32
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 91-92

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 45


Masykur Wahid

Juru bahasa langsung menyerahkan sesajinya kepada jaro.


Setelah menerima sesaji, jaro mengambil sepotong luluy yang
di dalamnya dimasukkan jukut komala dan lemah bodas. Jukut
komala, rumput permata adalah lumut yang menempel di teras
tingkat kedua Sasaka Domas, sedang lemah bodas, tanah putih.
Keduanya diambil pada teras tingkat kedua dari sebelah utara.
Lalu, luluy diberi jampi-jampi, ditiup tiga kali dan disuapkan
kepada seorang peminta berkah. Akhirnya, juru bahasa memohon
diri dan keluar meninggalkan ruang imah, lalu mempersilakan
anggota kelompoknya masuk ke ruang imah secara bergiliran
menghadap jaro. Mereka yang sudah mendapatkan berkah segera
ke luar rumah jaro. Prosesi ini berlangsung hingga larut malam,
bahkan pernah terjai hingga fajar.33
Prosesi meminta berkah berkiblat kepada prosesi ziarah ke
Sasaka Domas. Yakni, berkiblat menghadap ke arah selatan,
tempat suci, Sasaka Domas. Karena itu, kiblat ibadah pe-muja-
an umat Sunda Wiwitan ke arah selatan. Hal ini berbeda dengan
ibadah shalat umat Islam Indonesia yang berkiblat menghadap
ke arah barat, Ka’bah. Meski demikian, pada dasarnya prosesi
ibadah pe-muja-an di tanah suci, Sasaka Domas mirip dengan
prosesi ibadah haji di tanah suci, Ka’bah. Ibadah haji dilaksanakan
pada tanggal 8, 9 dan 10 Dzulhijah. Pada tanggal 9 Dzulhijah
umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji disunatkan
berpuasa ‘Arafah. Dan, sebagian umat Islam Indonesia berbuka
puasa biasanya dengan nasi lontong atau ketupat. Setelah
jama’ah haji datang di rumah masing-masing, tidak sedikit
masyarakat Islam yang datang dan meminta berkah kepada
orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Karena itu, yang
jelas membedakan dengan Islam, keimanan dan ketaatan Sunda
Wiwitan kepada Tuhan terkandung di dalam makna simboliknya
supaya senantiasa menjaga dan melestarikan hutan, sungai dan
puncak gunung berada dalam ekosistemnya supaya memberikan
kedamaian dan kesejahteraan pada umat manusia.

33
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 92

46 ~ HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011


Sunda Wiwitan Baduy

5. Pikukuh, Aturan Adat Mutlak


Pandangan hidup (world view) umat Sunda Wiwitan
berpedoman pada pikukuh, aturan adat mutlak. Pikukuh adalah
aturan dan cara bagaimana seharusnya (wajibnya) melakukan
perjalanan hidup sesuai amanat karuhun, nenek moyang. Pikukuh
ini merupakan orientasi, konsep-konsep dan aktifitas-aktifitas
religi masyarakat Baduy. Hingga kini pikukuh Baduy tidak
mengalami perubahan apa pun, sebagaimana yang termaktub
di dalam buyut (pantangan, tabu) titipan nenek moyang.
Buyut adalah segala sesuatu yang melanggar pikukuh. Buyut
tidak terkodifikasi dalam bentuk teks, tetapi menjelma dalam
tindakan sehari-hari masyarakat Baduy dalam berinteraksi
dengan sesamanya, alam lingkungannya dan Tuhannya. Buyut
tentang tindakan masyarakat Baduy, sebagai berikut34:
“buyut nu dititipkeun ka puun (buyut yang dititipkan kepada puun
nagara satelung puluh telu negara tiga puluh tiga
bangsawan sawidak lima sungai enam puluh lima
pancer salawe nagara pusat dua puluh lima Negara
gugung teu meunang dilebur gunung tak boleh dihancur
lebak teu meunang diruksak lembah tak boleh dirusak
larangan teu meunang ditempak larangan tak boleh dilanggar
buyut teu meunang dirobah buyut tak boleh diubah
lojor teu meunang dipotong panjang tak boleh dipotong
pondok teu meunang disambung pendek tak boleh disambung
nu lain kudu dilainkeun yang bukan harus ditiadakan
nu ulah kudu diulahken yang lain harus dipandang lain
nu enya kudu dienyakeun yang benar harus dibenarkan
mipit kudu amit mengambil harus pamit
ngala kudu menta mengambil harus minta

34
Judistira Garna, “Perubahan Sosial Budaya Baduy”, dalam Nuhhadi Rangkuti
(peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat, (Yogyakarta: Bentara Budaya, Kompas, Etnodata
Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Praseda, 1988), h. 53-54; lihat pula dalam tulisannya
yang lain “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam Koetjaraningrat (ed.), Masyarakat Teras-
ing di Indonesia, (Jakarta: Departemen Sosial RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kes-
ejahteraan Sosial dan Gramedia, 1993), h. 139; R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Ma-
syarakat Baduy…, h. 38-39; Sam dkk., A. Suhandi Sam et al, Tata Kehidupan Masyarakat
Baduy …, h. 47-48.

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 47


Masykur Wahid

ngeduk cikur kudu mihatur mengambil kencur harus


memberitahukan yang punya
nyokel jahe kudu micarek mencungkil jahe harus memberi
tahu
ngagedag kudu beware mengguncang pohon supaya
buahnya berjatuhan harus
memberitahu terlebih dulu
nyaur kudu diukur bertutur harus diukur
nyabda kudu diunggang berkata harus dipikirkan supaya
tidak menyakitkan
ulah ngomong sageto-geto jangan bicara sembarangan
ulah lemek sadaek-daek jangan bicara seenaknya
ulah maling papanjingan jangan mencuri walaupun
kekurangan
ulah jinah papacangan jangan berjinah dan berpacaran
kudu ngadek sacekna harus menetak setepatnya
nilas saplasna menebas setebasnya
akibatna akibatnya
matak burung jadi ratu bisa gagal menjadi pemimpin
matak edan jadi menak bisa gila menjadi menak
matak pupul pengaruh bisa hilang pengaruh
matak hambar komara bisa hilang kewibawaan
matak teu mahi juritan bisa kalah berkelahi
matak teu jaya perang bisa kalah berperang
matak eleh jajaten bisa hilang keberanian
matak eleh kasakten” bisa hilang kesaktian)1
Selain itu, terdapat buyut mengenai tanah Baduy supaya
tetap terjaga kesuciannya, sebagai berikut35:
“teu meunang digaru atawa (tidak boleh dibajak dan
diwuluku diweluku
teu meunang digarap dikipar tidak boleh digarap dengan
cangkul
teu meunang katincak kebo tidak boleh dterinjak kerbau

35
Sam dkk., A. Suhandi Sam et al, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy …, h. 46

48 ~ HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011


Sunda Wiwitan Baduy

keuna ku buyut nahun, buyut terkena pantangan nenek


karuhun, buyut karang, buyut moyang, yaitu pantangan yang
nabi, buyut para wali” sudah sejak lama berurat berakat
dari nenek mpoyang, sehingga
merupakan pantangan yang
tidak bisa dilanggar bagaikan
karang, terkena pantangan dari
Nabi dan para wali)2
Pemegang mandat pelaksana buyut di atas adalah puun.
Sebab itu, terdapat buyut mengenai tindakan puun juga yang
terkodifikasi secara internal dalam diri puun, sebagai berikut:
“tidak boleh beristeri lebih dari seorang
tidak boleh makan daging
tidak boleh bertemu dengan orang luar sebelum mencapai
umur 25 tahun, kalau menjadi puun dalam usia muda
makan harus menggunakan piring kayu, cangkir bambu
atau batok kelapa
tidak boleh merokok
tidak boleh bepergian ke luar kecuali dipanggil Pemerintah,
itu pun tidak boleh menaiki kendaraan”36
Buyut bagi puun tersebut diorientasikan supaya puun tetap
terjaga kesuciannya dalam bertugas dan bertanggung
jawab melaksanakan buyut bagi umat Sunda Wiwitan.
Dalam praktiknya buyut Sunda Wiwitan tersebut terbagi
menjadi dua jenis: buyut adam tunggal dan buyut nahun. Buyut
adam tunggal adalah tabu pokok dengan tabu-tabu kecil lainnya
yang hanya berlaku bagi masyarakat Baduy Dalam tangtu. Buyut
nahun adalah tabu yang didasarkan hal-hal pokok saja yang
berlaku bagi masyarakat Baduy Luar penamping dan dangka.
Misalnya, pikukuh buyut mengolah tanah pertanian menjadi
sawah dan menanam pohon kopi dan cengkeh hanya berlaku
bagi masyarakarat Baduy Dalam tangtu, tetapi bagi masyarakat

36
Sam dkk., A. Suhandi Sam et al, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy …, h. 48

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 49


Masykur Wahid

Baduy Luar penamping dan dangka dibolehkan menanam pohon


kopi dan cengkeh.37 Pelaksanaan buyut tersebut dikokohkan
dengan ritual penyapuan, pembersihan, atau sanksi. Tujuan
ritual penyapuan adalah membersihkan sumber kotoran dari
batin pelanggar dan lingkungannya. Ada dua sanksi yang harus
dijalani. Pertama, disisihkan dari lingkungan hidup sehari-
harinya. Kedua, diturunkan status kewargaannya. Selain itu,
ada sanksi lain yang sangat berat, sebagai berikut:
“(1) pelanggar buyut langsung ditindak, sedang yang
sukarela harus mengajukan permohonan undur rahayu
kepada puun. (2) pelanggar buyut ditetapkan masa
pembuangannya, biasanya 40 hari, sedangkan yang suka-
rela tidak. (3) pelanggar buyut jika dinilai baik dan ingin
kembali ke tempat asalnya akan ‘diala’ setelah habis masa
hukumannya, sedangkan yang suka-rela jika ingin kembali
ke tempat semula harus mengajukan permohonan ijin
kepada puuni”.38
Orientasi pikukuh dilaksanakan oleh umat Sunda Wiwitan
untuk tiga amalan. Pertama, ngabara-tapa-keun, amalan tapa
terhadap inti jagat dan dunia. Tapa bukan melakukan samadi atau
tirakat berdiam diri di tempat sunyi, tetapi melakukan “banyak
kerja dan sedikit bicara”. Sebab itu, tapa Baduy adalah bekerja
di ladang. Berladang diamalkan bukan hanya sekadar menanam
padi, melainkan juga sebagai amalan ajaran agama. Kedua, ngare-
remo-keun, amalan menghormati dengan mengawinkan Nyi
Pohaci Sanghyang Asri (Dewi Padi) dengan bumi. Amalan kedua
ini merupakan ajaran agama Sunda Wiwitan. Ketiga, amalan
mengekalkan pikukuh dengan melaksanakan semua aturan yang
ada.39
Pikukuh Sunda Wiwitan di atas dikukuhkan dengan kearifan
atau filsafat hidup sehari-hari. Filsafat hidup yang diajarkan di
37
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 39
38
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Pene-
litian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), 1984), 101.
39
R. Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarakat Baduy…, h. 40-41

50 ~ HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011


Sunda Wiwitan Baduy

dalam agama Sunda Wiwitan adalah bahwa “kehidupan manusia


itu telah ditentukan kedudukannya dan tempatnya masing-
masing.” Filsafat hidup ini dapat menjelaskan bahwa manusia
harus menerima kodratnya masing-masing dan menempati
tempat yang sudah ditentukan. Manusia hidup di dunia ini tidak
boleh berlebihan dalam mencari kesenangan, cukup menerima
yang sudah ada saja. Sebab itu, tujuan hidup bagi umat Sunda
Wiwitan adalah kebajikan (goodness) yang dapat dicapai dengan
jalan mentaati pikukuh yang sudah dikodratkan dan yang
diberikan kepada kita masing-masing. Jika tidak, berarti hidup
itu tidak baik yang akan dirasakan sebagai siksaan atau neraka.
Demikian itu menekan bahwa hidup berarti narimakeun
kana kadar (menerima yang sudah ditentukan dan jauh dari
hawa nafsu). Dengan kata lain, hirup narimakeun berarti
hidup menerima apa yang sudah menjadi bagiannya, sehingga
membuatnya tidak berani untuk berbuat atau hidup di luar yang
ditentukan.40 Sebab itu, pandangan hidup umat Sunda Wiwitan
ini yang dipraktikkan dalam ibadah ritual keagamaan yang
diatur dengan pikukuh dan ketaatan pada buyut, menentukan
keberhasilan panen padi yang melimpah dan kesejahteraan
umat manusia.

C. KESIMPULAN
Sunda Wiwitan merupakan agama sinkretisme Islam dan Hindu
yang dianut oleh masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Banten
Selatan. Meskipun umat Sunda Wiwitan tidak memiliki kitab suci,
akan tetapi ajaran-ajarannya terjelma dalam tapa, bekerja sehari-
hari di ladang. Pemahaman ajaran-ajaran agama itu langsung
dipraktikkan di dalam interaksi umat dengan alamnya. Hal ini
yang dikatakan oleh James Frezer bahwa agama Sunda Wiwitan
mengekspresikan makna-makna simbolik di dalam relasi-relasi
sosial-budaya dan kosmologi alam Baduy. Keimanannya kepada
40
Tjetjep Rosmana, dkk, Kompilasi Eksistensi Lembaga Adat di Jawa Barat, (Band-
ung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan dan Balai Kajian Seja-
rah dan Nilai Tradisional, 1993), h. 88-90

HIKMAH, Vol. VII, No. 1, 2011 ~ 51


Masykur Wahid

Allah hanya terlihat di dalam pengucapan kalimat syahadat, namun


mereka melakukan praktik ritual keagamaan dengan berpedoman
pada pikukuh, aturan adat, dan ketaatan kepada buyut, pantangan.
Keimanan seperti itu merupakan semangat untuk menjaga hutan,
sungai dan gunung hidup harmoni. Seperti, tindakan mereka
melaksanakan ritual ibadah pe-muja-an di Sasaka Domas, tanah
suci Baduy.
Dengan demikian, identitas Sunda Wiwitan adalah agama
sinkretis. Religi ini memberikan pandangan hidup kepada umatnya
supaya hidup sederhana dan menerima apa adanya, hanya untuk
dapat bekerja di ladang, menanam padi, dengan damai dan
sejahtera. Pandangan hidup ini mengkonstruksi pribadi-pribadi
Baduy yang taat menjaga alam lindung Kanekes. Di samping itu,
menciptakan agama ini tetap lestari secara turun temurun dengan
penganut yang semakin bertambah.[]
Sunda Wiwitan Baduy

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan


Karya Sastra. Cetakan Pertama, Yogyakarta: KEPEL Press,
2006.
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat
Kanekes. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), 1984.
Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama (terj.), Yogyakarta:
Kanisius, 1995
Djoewisno, MS, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, Banten: Cipta
Pratama Adv.pt, 1987
Ekadjati, Edi S, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah),
Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
Garna, Judistira, Orang Baduy, Bangi: Universiti Kebangsaan
Malaysia, 1987
_____________, “Perubahan Sosial Budaya Baduy”, dalam Nuhhadi
Rangkuti (peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Yogyakarta:
Bentara Budaya, Kompas, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi
Dharma Praseda, 1988.
______________, “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam
Koetjaraningrat (ed.), Masyarakat Terasing di Indonesia.
Jakarta: Departemen Sosial RI, Dewan Nasional Indonesia
untuk Kesejahteraan Sosial dan Gramedia, . 1993.
______________, “Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus
mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap Pembangunan”,
dalam Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (peny.), Suku Asli
dan Pembangunan di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1993.
Geertz, Clifford, The Interpretation of Cultures, Selected Essays.
London: Hutchinson & Co (publishers) Ltd, 1973
Masykur Wahid

Miles, Matthew B. dan A. Micheal Huberman, Analisis Data Kualitatif


(terj.), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1992
Permana, R. Cecep Eka, Tata Ruang Masyarakat Baduy, Jakarta:
Wedatama Widya Sastra, . 2006
Rosmana, Tjetjep dkk, Kompilasi Eksistensi Lembaga Adat di Jawa
Barat. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Dirjen kebudayaan dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1993.
Sam, A. Suhandi dkk, Tata Kehidupan Masyarakat Baduy di
Propinsi Jawa Barat. Bandung: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1986.
Spradley, James P, Metode Etnografi (terj.), Edisi Kedua, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006.
Sudibjo Z.H, Babad Tanah Jawi. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kedudayaan, TT.
Suhada, Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah. Ed. I, Cet. Ke-1,
Banten: Dinas Pendidikan Propinsi Banten, 2003
Sursa (Suria Saputra), “Naskah 11, Agama”, Baduy, Bogor, 1950.
Unggul Azul, Sri, “Tatkala Adzan Bergema di Kenekes”, Dalam
Nurhadi Rangkuti (peny.), Orang Baduy dari Inti Jagat,
Yogyakarta: Bentara Budaya, Harian Kompas, Etnodata
Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa, 1988.

You might also like