0% found this document useful (0 votes)
17 views13 pages

Jurnal Mangrove

mangrove

Uploaded by

MonAa
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
17 views13 pages

Jurnal Mangrove

mangrove

Uploaded by

MonAa
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 13

Analisis Kesesuaian Lahan Ekowisata Mangrove Tanjung Batu, Desa

Sekotong Tengah
Kornelia Webliana B1,*, Hairil Anwar1,c, Irwan Mahakam Lesmono Aji1,a, Diah Permata
Sari1,b, Ni Kadek Mayaning Sari1,d
1Progam Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Mataram

Jl. Majapahit No. 62, Kode Pos 83115, Kec. Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara
barat, Indonesia
aemail penulis kedua: [email protected], bemail penulis

[email protected], cemail penulis keempat [email protected], demail


penulis [email protected]
*corresponding author : [email protected]

Diterima: 29 Juli 2022; Disetujui: 2 April 2023; Diterbitkan: 5 April 2023

Abstract

Land Suitability Analysis For The Development Of Tanjung Batu Mangrove Ecotourism Of
Central Sekotong Village. This study aims to analyze the land suitability for the development
of the Tanjung Batu Mangrove ecotourism area, Central Sekotong Village, where the
parameters refer to the mangrove thickness, mangrove density, mangrove species, tides, and
biota objects. Ecotourism is a concept of sustainable tourism development that combines
conservation and tourism, thus supporting efforts to preserve the natural environment, and
culture and increase local community participation. In the context of mangrove ecotourism
activities, it is necessary to conduct a land suitability assessment which aims to evaluate the
area's suitability for the development of eco-based tourist attractions. Land suitability analysis
is essential considering that mangroves have a relatively high level of vulnerability; therefore,
tourism development in this area requires detailed planning. This study employs a
quantitative descriptive research method, whereas the determination of the location uses
purposive sampling, and measurements to determine the condition of the mangroves using
the Line Transect Plot Method. The results show that the condition of mangrove density,
species, tides, and types of biota in this area was in the good category with a score of 2-3, for
the parameter of mangrove thickness falls under the low category with a score of 1. The final
result of the land suitability assessment shows that Tanjung Batu is in the "suitable" category
to be developed as an ecotourism area in the Central Sekotong region, with the IKW (Tourism
Suitability Index) value at stations I, II, and II of 1.97. Ecotourism potential that can be
developed at the location of Tanjung Batu can be in the form of a diversity of flora and fauna
and coastal landscapes.
Key words : Land suitability, Tanjung Batu, Mangrove.
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian lahan dalam rangka
pengembangan kawasan ekowisata Mangrove Tanjung Batu, Desa Sekotong Tengah yang
mengacu pada parameter ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang
surut dan objek biota. Ekowisata merupakan sebuah konsep pengembangan pariwisata
berkelanjutan yang memadukan konservasi dan pariwisata, sehingga mendukung upaya-

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 65


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
upaya pelestarian lingkungan alam, budaya serta meningkatkan partisipasi masyarakat lokal.
Dalam rangka kegiatan ekowisata mangrove, perlu dilakukan penilaian kesesuaian lahan
yang bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian kawasan untuk pengembangan atraksi
wisata yang berbasis ekologi. Analisis kesesusaian lahan penting dilakukan mengingat
mangrove memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi, oleh karena itu pembangunan
pariwisata pada kawasan ini memerlukan perencanaan yang detail . Metode yang digunakan
pada penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan penentuan lokasi secara Purposive
Sampling, dan pengukuran untuk mengetahui kondisi mangrove menggunakan metode
Transek Garis dan petak contoh (Line Transect Plot. Hasil penelitian menunjukkan kondisi
kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang surut dan jenis biota di kawasan ini berada
pada kategori baik dengan skor 2-3, untuk parameter ketebalan mangrove berada pada
kategori yang rendah dengan skor 1. Sedangkan hasil akhir penilaian kesesuaian lahan
menunjukkan Tanjung Batu berada pada kategori “sesuai” untuk dikembangkan sebagai
kawasan ekowisata mangrove di wilayah Sekotong Tengah, dengan IKW pada stasiun I, II
dan II adalah 1,97. Potensi ekowisata yang dapat dikembangkan di lokasi Tanjung Batu dapat
berupa keanekaragaman flora dan fauna dan landscape pantai.
Kata Kunci : Kesesuaian Lahan, Tanjung Batu, Mangrove
1. Pendahuluan
Wilayah pesisir Pulau Lombok memiliki potensi yang sangat besar dan dapat
dimanfaatkan untuk menunjang perekonomian masyarakat. Salah satu jenis ekosistem kunci
pada kawasan pesisir adalah hutan mangrove yang merupakan tipe hutan khas yang terdapat
di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Mangrove dapat tumbuh dan berkembang dengan maksimal pada kondisi kawasan yang
memiliki penggenangan dan sirkulasi air permukaan, sehingga dapat menyebabkan
pertukaran dan pergantian sedimen secara terus menerus (Fandeli, 2008). Ekosistem hutan
mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis, wisata, pendidikan, dan sosial yang penting
dalam pembangunan khususnya di wilayah pesisir (Webliana, et al., 2021). Ditinjau dari segi
ekologi, ekosistem magrove membantu konservasi pantai yakni mampu menahan abrasi dan
erosi pantai, dan juga menyediakan perlindungan dan makanan bagi biota perairan berupa
bahan-bahan organik yang penting dalam siklus hidup (tempat pemijahan/spawning ground,
asuhan/nursery ground dan mencari makan/feeding ground) berbagai jenis udang, ikan, dan
moluska (Davies dan Claridge, 1993 dalam (Rusila Noor et al., 2006); (Hamzah & Setiawan,
2010). Dari Segi sosial ekonomi, kawasan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai destinasi
wisata edukasi dengan atraksi wisata utama berupa flora dan fauna. Jenis wisata ini dapat
dikategorikan sebagai wisata minat khusus yaitu bentuk perjalanan wisata dengan tujuan
untuk mendapatkan pengalaman dan memberikan penghargaan atau rewarding yang tinggi
pada unsur alam. Fandeli (2002) menjelaskan terdapat 4 pedoman dalam menetapkan bentuk
pariwisata minat khusus, yaitu : (1) konsep wisata memiliki unsur belajar (Learning); (2)
memberikan pengahargaan pada unsur alam (Rewarding); (3) konsep wisata memiliki peluang
pengkayaan pengetahuan bagi masyarakat dan wisatawan (Enriching); dan (4) perjalanan
dirancang dalam bentuk petualang (Adventuring).
Dinas Pariwisata NTB menyatakan Sekotong Tengah adalah wilayah yang memiliki
potensi Mangrove yang saat ini sedang dikembangkan di Kabupaten Lombok Barat. Dalam
rangka pengembangan kawasan ini, Dinas pariwisata bersama dengan Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membangun komitmen untuk memperkuat tata kelola,
kelompok sadar wisata, dan pengelolaan aktivitas kelembagaan lainnya di wilayah ini
(Dispar Lombok Barat, 2020).
Mangrove Tanjung Batu secara administratif masuk dalam Kawasan Ekosistem
Esensial Koridor Mangrove Teluk Lembar, Kecamatan Sekotong. Menurut (Saraswati &
Saraswati, 2019) kawasan Sekotong Tengah pada periode tahun 2005-2015 mengalami

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 66


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
peningkatan luasan kawasan mangrove yang cukup tinggi yaitu sekitar 7,03 Ha, namun
luasan ini mengalami penurunan pada periode 2015-2019 sebesar 4,15 ha atau 17,08%,
penurunan jumlah luasan ini diduga akibat adanya pembagunan dan perluasan kawasan
pelabuhan di sekitar peisisir Teluk Lembar. Penurunan jumlah luasan ini tentu saja sangat
mengkawatirkan mengingat kawasan Teluk Lembar merupakan kawasan peisisir yang
rentan terhadap perubahan garis pantai, abrasi dan intrusi air laut.
Ekowisata pada dekade ini diharapkan menjadi salah satu solusi dalam mengatasi
degradasi lingkungan. Ekowisata merupakan kontraksi istilah “ecological tourism” yang
berfokus pada aspek pariwisata, makhluk hidup dan lingkungannya (Nurkhalis, 2019).
Penerapan ekowisata dianggap perlu karena memadukan antara konservasi dan pariwisata
secara bersamaan sehingga dapat mendorong usaha pelestarian dan pembangunan yang
berkelanjutan.
Dalam konteks hutan mangrove, pengembangan ekowisata bertujuan untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat dalam
pengelolaan kawasan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pembangunan ekowisata
mangrove yang berwawasan lingkungan diharapkan dapat menyelamatkan kondisi
lingkungan mangrove sebab konsep ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi
menggunakan jasa-jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik
dan psikologi wisatawan.
Pengembangan kawasan ekowisata mangrove membutuhkan perencanaan dan
pengelolaan yang matang, karena meskipun secara umum mangrove tahan terhadap tekanan
lingkungan, namun ekosistem mangrove sangat peka terhadap pengendapan, dan
sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan minyak yang
dimungkinkan akan muncul akibat terjadinya lonjakan jumlah wisatawan (Fandeli, 2008).
Selain itu kawasan mangrove juga rentan terhadap perubahan atau kemerosotan lingkungan
yang terjadi di perairan dan daratan, oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam
penetapan aktivitas wisata pada wilayah tersebut.
Permasalahan yang terjadi di kawasan Mangrove Tanjung Batu adalah belum
dilakukan penilaian kesesuaian lahan untuk aktivitas ekowisata, sementara penilaian
kesesuaian lahan penting untuk dilakukan sebagai langkah awal dalam pengelolaan kawasan
wisata yang berbasis ekologi. Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud adalah tingkat
kecocokan suatu kawasan yang ditujukan untuk penggunaan tertentu. Klasifikasi kesesuaian
lahan adalah perbandingan (matching) antara kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan
lahan yang diinginkan (FAO, 1976 dalam Notohadiprawiro et al., 2006). Pada penelitian ini
kesesuaian lahan mangrove digunakan sebagai pertimbangan apakah kawasan mangrove
yang digunakan sudah sesuai atau cocok untuk dikembangkan sebagai area ekowisata
dengan mengacu pada parameter vegetasi yang terdiri dari ketebalan, kerapatan, dan jenis
mangrove, serta parameter lainnya seperti pasang surut dan objek biota (Yulianda, 2019).
2. Metode Penelitian
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2021 berlokasi di kawasan Mangrove
Tanjung Batu, Desa Sekotong Tengah Kabupaten Lombok Barat.
2.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunkan pendekatan deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif
adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan atau menggambarkan/melukiskan
fenomena atau hubungan antar fenomena yang diteliti dengan sistematis, faktual dan akurat
(Kusmayadi & Sugiarto, 2000).
Penentuan Lokasi Mangrove menggunakan metode Purposive Sampling dengan
pertimbangan pemilihan lokasi yaitu sebagai berikut :

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 67


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
a. Ekosistem Mangrove Tanjung Batu secara ekologis merupakan salah satu kawasan
Mangrove yang masih terjaga kelestariannya di Desa Sekotong Tengah yang memiliki
fungsi menjaga garis pantai, abrasi pantai, dan menjaga intrusi air laut.
b. Ekosistem Mangrove Tanjung Batu merupakan daya tarik wisata baru yang membutuhkan
konsep perencanaan dan pengelolaan kawasan wisata yang berbasis konservasi.
Penentuan stasiun penelitian dilakukan dengan metode Purposive Sampling dengan
pertimbangan (1) stasiun mewakili setiap zone mangrove yang terdapat di wilayah kajian (2)
keterjangkauan lokasi oleh pengunjung dalam rangka pengembangan kawasan ekowisata.
Metode pengukuran untuk mengetahui kondisi mangrove menggunakan Transek Garis dan
petak contoh (Line Transect Plot) yang berpedoman pada Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup N0. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Kerusakan
Mangrove. Petak contoh berukuran 10 m x 10 m dengan jarak antar petak 10 m dan ditarik
tegak lurus kontur garis dari arah pantai ke arah daratan. Selanjutnya pengukuran tingkat
semai dilakukan pada plot berukuran 2 m x 2 m, tingkat pancang pada plot berukuran 5 m x
5 m dan tingkat pohon pada plot berukuran 10 m x 10 m (Supardjo, 2008). Stasiun penelitian
dapat dijelaskan pada gambar 1.

Gambar 1. Stasiun Penelitian


(Figur 1. Research Station)
2.3 Parameter Penilaian
A. Kerapatan Mangrove
Kerapatan menunjukkan jumlah individu sejenis pada suatu luasan wilayah tertentu.
Menurut Ghufran H & K (2012) kerapatan atau densitas adalah jumlah individu per unit luas,
atau dapat diartikan sebagai jumlah individu organisme persatuan ruang. Selain itu,
dominansi menggambarkan penutupan wilayah berdasarkan luas bidang dasar atau luas
penutupan tajuk dari setiap individu (Sari et al., 2019).
B. Ketebalan Mangrove
Pengukuran tebal mangrove dilakukan menggunakan alat roll meter, dengan titik
terluar dari arah laut, kemudian diukur tegak lurus ke arah daratan (Hutabarat et al., 2009).
Pengukuran ketebalan mangrove juga dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan
pengukuran langsung di lapangan menggunakan roll meter dan analisis citra satelit (Tari et
al., 2020).

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 68


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
C. Jenis Mangrove
Identifikasi jenis mangrove dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung pada
bagian-bagian tumbuhan, mencatat nama daerah, ciri-ciri, tempat tumbuhnya vegetasi
mangrove, kemudian akan diidentifikasi dengan menggunakan buku petunjuk mangrove.
D. Pasang Surut
Pengambilan data pasang surut menggunakan data sekunder dari website http://ina-
sealevelmonitoring.big.go.id/ipasut yang terhitung mulai tanggal 1 Juli sampai dengan
tanggal 14 Juli 2021, hasil pasang tertinggi kemudian dikurangi nilai pasang terendah untuk
memperoleh nilai pasang surut real (Tari et al., 2020).
E. Objek Biota
Identifikasi objek biota di kawasan mangrove Tanjung Batu dilakukan dengan
menggunakan alat serokan, dimana objek biota ditangkap secara langsung di setiap stasiun,
kemudian proses identifikasi menggunakan buku pedoman dan hasil studi literatur.
F. Indeks Kesesuaian Wisata
Penentuan kesesuaian lahan untuk kawasan wisata menggunakan panduan Yulianda
(2019) dengan parameter ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang
surut, dan objek biota seperti pada tabel 1. Pemilihan parameter ini merujuk pada kondisi
ekologi mangrove yang dalam pengembangannya akan menjadi atraksi utama wisata pada
wilayah Tanjung Batu.
Tabel 1. Parameter Kesesuaian sumber daya untuk wisata pantai kategori wisata mangrove
(Table 1. Land Suitability Parameters for Coastal Tourism in the Category of Mangrove)
No. Parameter Bobot Kategori Skor
1. Ketebalan Mangrove (m) 0,380 >500 3
>200-500 2
50-200 1
<50 0
2. Kerapatan Mangrove 0,250 >15-20 3
(Ind/100 m²) >10-15; >20 2
5-10 1
<5 0
3. Jenis Mangrove 0,150 >5 3
3-5 2
2-1 1
0 0
4. Pasang Surut (m) 0,120 0-1 3
>1-2 2
>2-5 1
>5 0
5. Objek Biota 0,100 Ikan, udang, kepiting, 3
moluska,reptile,burung
Ikan, udang, kepiting, moluska 2

Ikan, moluska 1
Salah satu biota air 0
Kategori IKW : IKW ≥ 2,5 : Sangat Sesuai
: 2,0 ≤ IKW <2,5 : Sesuai
: 1 ≤ IKW < 2,0 : Tidak Sesuai
: IKW < 1 : Sangat Tidak Sesuai

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 69


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
3. Hasil Dan Pembahasan
3.1 Komposisi Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut
pantai, tergenang air laut, tanah berlumpur atau liat, tidak memiliki strata tajuk. Hasil
penelitian menunjukan vegetasi mangrove yang ada di kawasan wisata Mangrove Tanjung
Batu Desa Sekotong Tengah terdiri dari 3 jenis, yaitu Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata
dan Avicennia lanata. Informasi terkait komposisi mangrove Tanjung Batu dapat dijelaskan
pada Tabel 2 .
Tabel 2. Komposisi Jenis Mangrove Tanjung Batu
(Table. 2 Mangrove Species Composition)
No. Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1 Rhizophora stylosa √ √ √
2 Rhizophora mucronata √ √ √
3 Avicennia lanata √ √ √
Sumber: Data primer 2021

Ketiga jenis mangrove pada kawasan Tanjung Batu terbagi menjadi dua zona, yaitu
Zona Protaksimal (garis pantai) didominasi oleh Rhizopora Mucronata dan Zona Middle
(tengah) terdiri dari Rhizopora stylosa dan Avicenia lanata. Hasil penelitian memiliki perbedaan
dengan pernyataan dari (Tuheteru & Mahfudz, 2012) yang menyebutkan Avicennia spp
umumnya berada di zona depan, lalu diikuti oleh beberapa jenis campuran terutama
Rhizophora spp, Ceriops spp., dizona tengah. Di zona belakang, terdiri dari Xylocarpus spp., dan
Hiriteria littoralis. Perbedaan komposisi hutan mangrove dengan batas-batas yang khas dapat
disebabkan karena variasi kemampuan adaptasi dari setiap jenis terhadap keadaan
lingkungan. Salah satu penyebab kondisi zonasi vegetasi mangrove yang tidak optimal
adalah adanya pengaruh dari lamanya penggenangan dan arus pasang surut (Mughofar et
al., 2018), hal ini kemudian dapat mempengaruhi tinggi rendahnya keanekaragaman
mangrove dalam suatu kawasan.
3.2 Ketebalan Mangrove
Dari hasil analisis yang dilakukan melalui citra satelit google earth, diperoleh ketebalan
mangrove Tanjung Batu pada gambar 2.

Ketebalan Vegetasi Mangrove


197,37

197,12
194,96

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Gambar 2. Ketebalan Vegetasi Mangrove


Figur 2 . Mangroves cross-shore thickness

Secara umum tingkat ketebalan mangrove di wilayah Tanjung Batu tidak berbeda
secara signifikan. Di kawasan Tanjung Batu, ketebalan mangrove tertinggi ada pada stasiun
3 yaitu sejumlah 197,37 m, sedangkan ketebalan terendah pada stasiun 2 yaitu 194,96 m.
Rendahnya ketebalan Mangrove pada suatu wilayah dapat disebabkan oleh tingkat
gangguan masyarakat dan aktivitas wisata yang tidak bertanggung jawab. Gangguan
masyarakat dapat berupa aktivitas pembukaan tambak untuk budidaya perairan dan

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 70


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu sehingga terjadinya eksploitasi pada
kawasan hutan mangrove. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan
pengetahuan serta pendapatan masyarakat yang rendah (Alimuna, 2009). Berdasarkan
parameter kesesuaian lahan untuk kategori ketebalan, wilayah mangrove ini memiliki nilai
ketebalan yang rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi kawasan yang berbatasan
langsung dengan pemukiman masyarakat dan penebangan vegetasi mangrove untuk
pembangunan jalur trekking wisata.
Menurut (Sadik et al., 2017), ketebalan mangrove dapat menjadi indikator suatu
kawasan terjaga dengan baik dan tidak tersentuh oleh aktivitas masyarakat, hal ini juga dapat
mempengaruhi tingginya keanekaragaman biota di kawasan tersebut. Semakin tinggi
ketebalan ekosistem mangrove maka biota yang berasosiasi akan semakin beranekaragam
sehingga pengunjung dapat mengetahui jenis-jenis biota yang berasosiasi dengan hutan
mangrove (Sari et al., 2015). Kegiatan wisata yang memiliki hubungan dengan ketebalan
mangrove adalah bird watching dan kegiatan konservasi (Susetyo et al., 2015). Kegiatan bird
watching merupakan atraksi yang dapat meningkatkan pengalaman dan pengetahuan
keanekaragaman hayati wisatwan di suatu tempat (Lakiu et al., 2016 dalam Webliana et al.,
2022). Pendekatan avitourism khususnya birdwatching diharapkan dapat menurunkan
perburuan satwa liar di masyarakat, karena masyarakat memperoleh pendapatan secara
langsung dari paket wisata yang ditawarkan kepada wisatawan.
3.3 Kerapatan Mangrove
Hasil pengamatan vegetasi menunjukan tingkat kerapatan mangrove untuk tingkat
pohon pada stasiun I, II dan III di kawasan Tanjung Batu dapat dijelaskan pada tabel 3.
Tabel 3. Kerapatan Vegetasi Mangrove
(Table 3. Mangrove vegetation density)
Kerapatan Frekuensi
Kerapatan Frekuensi
Stasiun Jenis Jumlah Relatif Relatif INP
/Ha (F)
(KR) (FR)
91,8
Rhizophora stylosa 12 120 28,57 0,4 33,33 6
Rhizophora 98,7
1 mucronata 15 150 35,71 0,3 25,00 5
109,
Avicennia lanata
15 150 35,71 0,5 41,67 38
Jumlah 42 420 100 1,2 100 300
109,
Rhizophora stylosa 20 200 37,74 0,5 29,41 45
Rhizophora 84,4
2 mucronata 13 130 24,53 0,6 35,29 8
106,
Avicennia lanata
20 200 37,74 0,6 35,29 07
Jumlah 53 530 100 1,7 100 300
77,5
Rhizophora stylosa 15 150 25,42 0,5 25 5
Rhizophora 136,
3 mucronata 28 280 47,46 0,8 40 98
85,4
Avicennia lanata
16 160 27,12 0,7 35 7
Jumlah 59 590 100 2 100 300

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 71


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
Nilai kerapatan vegetasi pada stasiun 1 sebanyak 420 individu/Ha, dengan nilai
kerapatan relatif (KR) tertinggi pada jenis Avicennia lanata yaitu 35,71%, pada stasiun 2 nilai
kerapatan sebanyak 530 individu/Ha, dengan nilai kerapatan relatif (KR) tertinggi pada jenis
Rhizophora stylosa sejumlah 37,74%, sedangkan pada stasiun 3 nilai kerapatan sejumlah 590
individu/Ha, dengan nilai kerapatan relatif (KR) tertinggi pada jenis Rhizophora mucronata
sejumlah 47,46%. Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui nilai gabungan INP (Indeks Nilai
Penting) seluruh stasiun disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Indeks Nilai Penting


(Figur 3. Important Value Index)
Hasil analisis vegetasi menunjukan untuk kategori pohon, Indeks Nilai Penting (INP)
tertinggi pada jenis Rhizophora mucronata yaitu 109,27 sedangkan INP terendah pada jenis
Rhizophora stylosa yaitu 91,78. INP suatu jenis dapat menjelaskan terkait peranan jenis tersebut
dalam suatu komunitas, semakin besar nilai INP suatu jenis maka semakin tinggi peranan
jenis tersebut dalam sebuah komunitas. INP juga dapat menggambarkan tingkat
keanekaragaman hayati pada pada suatu ekosistem dan perkembangan ekosistem yang baik
untuk mencapai kestabilan pada tahap klimaks (Kainde et al., 2011)). INP mangrove
menunjukkan kawasan ini didominasi oleh species Rhizophoraceae, species ini mendominasi
wilayah mangrove di Indonesia karena kemampuannya untuk memanfaatkan usur hara,
mineral dan energi dengan baik dibandingkan species lainnya (Hidayatullah M & Pujiono E,
2014) (Bengen DG, 2010).
Banyaknya jumlah individu akan menentukan tingginya nilai kerapatan jenis, begitu
pula sebaliknya jika jumlah individunya sedikit maka nilai kerapatannya rendah. Kerapatan
jenis tertinggi disebabkan oleh subsrat yang cocok, dan kemampuan beradaptasi dengan
kondisi lingkungan (Bacmid et al., 2019). Kondisi akar pohon yang besar merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan kurang optimalnya pertumbuhan (Agustini et al., 2016).
Menurut (Susi et al., 2018) tingginya keterlibatan manusia dan pola adaptasi pada
ekosistem mangrove mengakibatkan terjadinya perbedaan kerapatan pada vegetasi
mangrove. Perbedaan kerapatan dapat mempengaruhi tingkat ketahanan hidup mangrove
karena setiap jenis memiliki tingkat ketahanan hidup yang berbeda (Andronicus, 2017).
Dukungan dari alam pun sangat dibutuhkan untuk menghasilkan kegiatan wisata alam yang
menarik, seperti keadaan lingkungan yang baik, biota yang beragam dan tidak berbahaya
bagi pengunjung, jenis mangrove yang beragam agar dapat sekaligus dijadikan sebagai
wisata edukasi (Zulia, 2019). Dengan adanya 3 jenis mangrove yaitu Rhizophora stylosa,
Rhizophora mucronata, dan Avicennia lanata di kawasan Tanjung Batu, diharapkan dapat
menarik wisatawan untuk melakukan kegiatan ekowisata. Banyaknya jenis mangrove dapat
dijadikan sebagai wisata edukasi untuk wisatawan karena semakin banyak jenis yang ada,
maka semakin banyak pengetahuan yang didapatkan.

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 72


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
3.4 Pasang Surut
Menurut Fandeli (2011), zona dari darat ke arah permukaan laut dalam kajian
ekosistem pesisir dibagi menjadi tiga, yaitu zonasi daratan yang selalu kering (permanently
dry), selanjutnya area yang sesekali terendam air dan area yang tidak terendam, bagian area
ini disebut zona pasang surut (tial zone), dan zona yang ketiga adalah perairan laut yang selalu
terendam air (permanently wet).
Zona pasang surut pada setiap tempat dipermukaan bumi tidak selalu sama, hal ini
dapat disebabkan oleh perbedaan gaya tarik bulan dan matahari di setiap tempat serta
tergantung pada kondisi topografi dasar laut (Muhidin et al., 2020). Hasil pengukuran pasang
surut berdasarkan pada data sekunder dan dijelaskan pada tabel 4.
Tabel 4. Data Pasang Surut
(Table. Tidal Data)
No Pasang Tertinggi (m) Surut Terendah (m) Hasil
1 1,57 0,8 0,77
2 1,63 0,89 0,74
3 1,7 1,02 0,68
4 1,75 0,87 0,88
5 1,75 0,8 0,95
6 1,8 0,65 1,15
7 1,91 0,49 1,42
8 1,88 0,43 1,45
9 1,91 0,35 1,56
10 2 0,37 1,63
11 2,03 0,34 1,69
12 2 0,37 1,63
13 1,95 0,45 1,50
14 1,83 0,53 1,30
Rata-rata 1,24
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan untuk kawasan mangrove Tanjung
Batu terjadi dua kali pasang dan satu kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali
pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda. Sehingga, pasang
surut ini termasuk tipe pasang surut campuran yang condong ke setengah harian (mixed semi
diurnal tide). Pasang surut campuran (mixed), dalam satu hari (24 jam) terjadi pasang dan surut
yang tidak beraturan. Pasang surut campuran ini terbagi dalam dua golongan yaitu pasang
surut campuran yang condong ke setengah harian (mixed semi diurnal tide) dan pasang surut
campuran yang condong ke bentuk harian (mixed diurnal tide) (Muhidin et al., 2020).
Nilai pasang surut pada kawasan Mangrove Tanjung Batu yaitu 1,24 m dan berada
pada kategori aman untuk dijadikan sebagai tempat kegiatan ekowisata. Tingkat keamanan
dan kenyamanan tempat wisata akan berpengaruh pada motivasi wisatawan untuk datang
berkunjung. Webliana et al., (2018) menyatakan pentingnya pemenuhan aspek amenitas dan
aksesibilitas bagi wisatwan karena aspek amenitas dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan
wisatawan, sedangkan pemenuhan aspek aksesibilitas dapat meningkatkan kenyamanan dan
jaminan keselamatan bagi wisatawan
3.5 Objek Biota
Objek biota ekosistem di kawasan Mangrove Tanjung Batu dapat dinikmati dan
memberikan kepuasan tersendiri bagi wisatawan, selain itu kelimpahan jenis biota juga
memberikan nilai lebih pada suatu kawasan ekowisata mangrove. Dari pengamatan yang
dilakukan didapatkan data jenis objek biota masing masing stasiun terdiri dari ikan, udang,
kepiting, moluska, reptile, dan burung. Keberadaan objek biota menunjukan bahwa vegetasi
yang ada dapat mendukung kehidupan berbagai biota. Daya tarik wisata kawasan mangrove

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 73


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
sebenarnya bukan hanya keberadaan vegetasi yang berbeda dengan di daratan bentuk bunga,
buah atau perakaran, namun juga objek biotanya (Qodarriah, 2017).
3.6 Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) Mangrove Tanjung Batu
Setiap kegiatan wisata harus harus memenuhi prasyaratan sumberdaya dan
lingkungan sesuai dengan jenis objek wisata yang akan dikembangkan. Menurut (Pragawati,
2009), kesesuaian lahan dapat diartikan sebagai perbandingan persyaratan penggunaan lahan
yang diinginkan dan kualitas lahan, yang didasarkan pada kemampuan suatu kawasan untuk
mendukung kegiatan pada wilayah tersebut.
Analisis kesesuaian lahan dapat dilakukan untuk mengetahui kesesuaian
pengembangan wisata pada sebuah kawasan tertentu. Penentuan kesesuaian lahan untuk
wisata menggunakan panduan Yulianda (2019) dengan parameter pengamatan ketebalan
mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang surut, dan objek biota. Indeks
Kesesuaian kawasan wisata (IKW) diperoleh dari penjumlahan seluruh nilai pada parameter,
dimana parameter-parameter tersebut mempunyai kriteria tertentu yang menggambarkan
tingkat kesesuaian dan kecocokan kawasan untuk pengembangan aktivitas wisata. Penilaian
Indeks kesesuaian Wisata (IKW) untuk kawasan Tanjung Batu dijelaskan pada tabel 5.
Tabel 5. Matriks Penilaian Kesesuaian Lahan Ekowisata Mangrove Tanjung Batu
(Table. Matrix of land suitability assessment for mangrove tourism)
No Parameter Bobot Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Hasil Skor Bobot Hasil Skor Bobot Hasil Skor Bobot
x x x
Skor Skor Skor
1 Jenis 0,15 Rhizophor 2 0,3 Rhizoph 2 0,3 Rhizoph 2 0,3
mangrove a stylosa, ora ora
Rhizophor stylosa, stylosa,
a Rhizoph Rhizoph
mucronat ora ora
a dan mucrona mucrona
Avicennia ta dan ta dan
lanata Avicenn Avicenn
ia lanata ia lanata
2 Ketebalan 0,38 197.12 1 0,38 194.96 1 0,38 197.37 1 0,38
mangrove
(m)
3 Kerapatan 0,25 42 3 0,75 53 3 0,75 59 3 0,75
mangrove
(100m2)
4 Pasang 0,12 1,24 2 0,24 1,24 2 0,24 1,24 2 0,24
surut
5 Objek 0,1 Ikan,uda 3 0,3 Ikan,ud 3 0,3 Ikan,ud 3 0,3
biota ng,kepiti ang,kep ang,kep
ng, iting, iting,
moluska, molusk molusk
reptile,b a, a,
urung reptile, reptile,
burung burung
Total 1,97 1,97 1,97
Skor Max. >2,5 >2,5 >2,5
Kategori: IKW ≥ 2,5 = Sangat Sesuai; 2,0 ≤ IKW < 2,5 = Sesuai ; 1 ≤ IKW < 2,0 = Tidak Sesuai
; IKW < 1= Sangat Tidak Sesuai

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 74


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
Hasil perhitungan IKW mangrove Tanjung Batu sesuai untuk dikembangan sebagai
kawasan ekowisata. Mangrove Tanjung Batu Desa Sekotong Tengah ditanam pada tahun
2010 pada lahan seluas 8,92 ha. Hasil kajian menunjukan Kawasan Mangrove Tanjung Batu
memiliki keanekaragaman jenis mangrove yang masih tergolong rendah, hal ini kemudian
mendorong pemerintah setempat untuk melaksanakan kegiatan penanaman yang dimulai
pada tahun 2021. Hasil wawancara dengan kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS), lahan
yang disiapkan untuk pengayaan jenis mangrove di kawasan Tanjung Batu seluas 10 Ha.
Kegiatan pengayaan jenis mangrove di Tanjung Batu perlu dilakukan untuk meningkatkan
indeks keragaman jenis, serta meningkatkan nilai ketebalan mangrove yang saat ini masih
cukup rendah yaitu <200m. Pengayaan jenis ini penting untuk dilakukan mengingat Tanjung
Batu dipersiapkan untuk menjadi salah satu wisata edukasi yang diunggulkan pada kawasan
Sekotong Tengah. Menurut (Susi et al., 2018) keberagaman jenis mangrove sangat penting
untuk menunjang aktifitas dan menambah daya tarik pengunjung pada suatu objek wisata.
Hal ini sejalan dengan Sadik et al. (2017) yang menyatakan hal yang menjadi daya tarik bagi
pengunjung untuk melakukan wisata dan kegiatan edukasi yang berhubungan dengan
ekosistem mangrove yaitu keragaman jenis mangrove yang terdapat di kawasan tersebut.
Menurut Sari, dkk. (2015) diperlukan adanya dukungan, perhatian pemerintah, dan
keterlibatan masyarakat dalam pengembangan sarana dan prasarana yang dapat menunjang
pengembangan kegiatan ekowisata mangrove. Masyarakat yang berada di sekitar Ekowisata
Hutan Mangrove perlu didorong untuk selalu terlibat dalam proses pengelolaan penjagaan
dan perlindungan ekosistem mangrove yang ada agar terjaga kelestariannya sehingga dapat
membantu meningkatkan ekonomi masyarakat (Tuwongkesong et al., 2018).
Hasil perhitungan IKW untuk parameter kerapatan menunjukan mangrove pada
kawasan ini memiliki nilai kerapatan yang tinggi, yang mengakibatkan banyaknya jenis biota
yang berasosiasi pada kawasan tersebut. Banyaknya jenis mangrove dapat menunjang
keberagaman biota yang berasosiasi serta menjadi habitat utama biota lainnya (Sadik et al.,
2017). Tingginya nilai kerapatan dapat menciptakan atraksi pendukung lainnya pada
kawasan Tanjung batu. Pilihan atraksi wisata yang dapat direkomenasikan dapat berupa bird
watching dan kegiatan konservasi seperti penanaman mangrove. Kawasan mangrove dapat
menjadi pilihan yang akan digemari oleh para wisatawan, karena dapat menikmati alam yang
indah, udara yang sejuk serta dapat menambah wawasan mengenai lingkungan hidup dan
pentingnya ekosistem mangrove dalam struktur ekosistem pesisir.
4. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan Kawasan Mangrove Tanjung Batu sesuai untuk
dikembangkan sebagai kawasan wisata edukasi di wilayah Sekotong Tengah, berdasarkan
parameter ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang surut dan objek
biota. Nilai indeks kesesuaian wisata kawasan mangrove pada stasiun I, II dan II adalah 1,97.
Pada Kawasan ini, kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang surut dan jenis biota berada
pada kategori baik dengan skor 2-3, sedangkan untuk parameter ketebalan mangrove berada
pada kategori yang rendah dengan skor 1. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan
penanaman untuk tujuan pengayaan sehingga dapat meningkatkan indeks keragaman jenis,
serta meningkatkan nilai ketebalan mangrove yang saat ini masih cukup rendah.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terimkasih kepada Univeristas Mataram yang mendanai penelitian ini
dan Pemerintah Desa Sekotong Tengah, kabupaten Lombok Barat yang memberikan izin dan
berkontribusi penuh pada saat pengambilan data penelitian.
Daftar Pustaka
Alimuna, W. (2009). Pengaruh Aktivitas Masyarakat Terhadap Kerusakan Hutan Mangrove
Di Rarowatu Utara , Bombana Sulawesi Tenggara. Majalah Geografi Indonesia, 23(2)
Agustini, N. T., Ta’alidin, Z., & Dewi, P. (2016). Struktur Komunitas Mangrove Di Desa
Kahyapu Pulau Enggano. Jurnal Enggano, 1(1), 19–31.

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 75


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
Andronicus. (2017). Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Pesisir Desa
Bahoi, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Institut Pertanian Bogor.
Bacmid, N. ., Schaduw, J. N. ., & Warouw, V. (2019). Kajian Kesesuaian Lahan Ekowisata
Mangrove Dimensi Ekologi ( Kasus Pada Pulau Bunaken Bagian Timur, Kelurahan
Alung Banua, Kecamatan Bunaken Kepulauan, Kota Manado). Jurnal Pesisir Dan Laut
Tropis, 7(2).
Bengen DG. (2010). Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu, 37.
Dinas pariwisata Lombok Barat. 2020. Ekowisata Mangrove Desa Sekotong Tengah. Dinas
Pariwisata Kabupaten Lombok Barat | (lombokbaratkab.go.id). Diakses pada tanggal 19 Maret.
2023
Fandeli, C. (2002). Perencanaan Kepariwisataan Alam. Fakultas Kehutanan UGM.
Fandeli, C. (2008). Prinsip - Prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap. Gadjah Mada University
Press.
Fandeli, C. (2011). Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan. Liberty.
Ghufran H, M., & K, K. (2012). Ekosistem Mangrove : Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. Rineka
Cipta.
Hamzah, F., & Setiawan, A. (2010). Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, dan Zn di Hutan
Mangrove Muara Angke. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, 2(2), 41–52.
Hidayatullah M, & Pujiono E. (2014). Struktur dan Komposisi Jenis Hutan Mangrove di Golo
Sepang Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea,
3(2), 151–162.
Hutabarat, A. F. ., Yulianda, A., Fahrudin, S., & Harteti, K. (2009). Pengelolaan pesisir dan laut
secara terpadu.
Irawan, S., Fahmi, R., & Roziqin, A. (2018). Kondisi Hidro-Oseanografi (Pasang Surut, Arus
Laut, Dan Gelombang) Perairan Nongsa Batam. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine
Science and Technology, 11(1), 56. https://doi.org/10.21107/jk.v11i1.4496
Kainde, R. ., P, R. S., S, T. J., & D, F. (2011). Analisis vegetasi hutan lindung gunung tumpa.
Eugenia, 17(3), 224–235.
Kusmayadi, & Sugiarto, E. (2000). Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. PT
Gramedia Pustaka Utama.
Mughofar, A., Mansyukuri, M., & Setyono, P. (2018). Zonasi Dan Komposisi Vegetasi Hutan
Mangrove Pantai Cengkrong Desa Karanggandu Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa
Timur. Journal of Natural Resources and Environmental Management, 8(1), 77–85.
Muhidin, A., Atmawidjaja, R. R., & Riadi, B. (2020). Analisis tipe dan karakteristik pasang surut
di pulau jawa. Universitas Pakuan.
Notohadiprawiro, T., Soekodarmodjo, S., & Sukana, E. (2006). Pengelolaan Kesuburan Tanah dan
Peningkatan Efisiensi Pemupukan.
Nurkhalis. (2019). Pengembangan ekowisata hutan adat di ammatoa kajang sulawesi selatan
nurkhalis. 1–129.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, No 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan
Pedoman Kerusakan Mangrove. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia.
Pragawati, B. (2009). Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Untuk Pengembangan Ekowisata
Bahari Di Pantai Binangun, Kabupaten Rembang,Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor.
Qodarriah, C. (2017). Kesesuaian Dan Daya Dukung Ekowisata Mangrove Ciletuh, Sukabumi,
Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor.
Rusila Noor, Y., Khazali, M., & Suryadiputra, I. N. . (2006). Panduan Pengenalan Mangrove
di Indonesia. PHKA/WI-IP.
Sadik, M., Muhiddin, A. ., & Ukkas, M. (2017). Kesesuaian Ekowisata Mmangrove Ditinjau
Dari Aspek Biogofisik Kawasan Pantai Gonda Di Desa Laliko Kecamatan Cempalagian

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 76


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128
Kabupaten Polewali Mandar. Ilmu Kelautan SPERMONDE Universitas Hasanuddin, 3(2),
25–33.
Saraswati, N. ., & Saraswati, R. (2019). Pemantauan Mangrove Di Teluk Lembar, Lombok
Barat Menggunakan Landsat Tahun 1995 Hingga 2019. Seminar Nasional Penginderaan
Jauh Ke 6.
Sari, D. P., Webliana B, K., & Syaputra, M. (2019). Analisis Vegetasi Di Kawasan Sempadan
Embung Bual, Desa Aik Bual Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal
Belantara, 2(2), 119. https://doi.org/10.29303/jbl.v2i2.178
Sari, I. ., Yoza, D., & Sribudiani, E. (2015). Analisis Kelayakan Ekosistem Mangrove Sebagai
Objek Wisata di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis. Jurnal
Online Mahasiswa (JOM) Bidang Pertanian, 2(1), 1–10.
Alimuna, W. (2009). Pengaruh Aktivitas Masyarakat Terhadap Kerusakan Hutan Mangrove
Di Rarowatu Utara , Bombana Sulawesi Tenggara. Majalah Geografi Indonesia, 23(2).
Bengen DG. (2010). Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu, 37.
Fandeli, C. (2002). Perencanaan Kepariwisataan Alam. Fakultas Kehutanan UGM.
Hidayatullah M, & Pujiono E. (2014). Struktur dan Komposisi Jenis Hutan Mangrove di Golo
Sepang Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan
Wallacea, 3(2), 151–162.
Kainde, R. ., P, R. S., S, T. J., & D, F. (2011). Analisis vegetasi hutan lindung gunung tumpa.
Eugenia, 17(3), 224–235.
Muhidin, A., Atmawidjaja, R. R., & Riadi, B. (2020). Analisis Tipe Dan Karakteristik Pasang
Surut Di Pulau Jawa. Jurnal Online Mahasiswa Bidang Teknik Geodesi, 1(1), 1–10.
Nurkhalis. (2019). Pengembangan ekowisata hutan adat di ammatoa kajang sulawesi selatan
nurkhalis. 1–129.
Supardjo, M. N. (2008). Identifikasi Vegetasi Mangrove di Segoro Anak Selatan, Taman
Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Jurnal Saintek Perikanan, 3(2), 9–15.
Susetyo, B. ., Herlambang, S., & Astina, I. . (2015). Analisis Evaluasi Kesesuaian Lahan
Ekowisata Blok Mangrove Bedul Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Pendidikan Geografi,
20(2), 20–29.
Susi, S., Adi, W., & Sari, S. . (2018). Potensi Kesesuaian Mangrove Sebagai Daerah Ekowista
Di Dusun Tanjung Tedung Sungai Selan Bangka Tengah. Akuatik: Jurnal Sumberdaya
Perairan, 12(1), 65–73.
Tari, K., Siregar, D. S., & Iswahyudi. (2020). Mangrove Kuala Langsa Land Suitability for
Kuala Langsa Mangrove Ecotourism Development. Jurnal Belantara, 3(2), 173–185.
Tuheteru, F. ., & Mahfudz. (2012). Ekologi, Manfaat & Rehabilitasi, Hutan Pantai Indonesia
(M. . Langi (ed.)). Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Tuwongkesong, H., Mandagi, S. V, & Schaduw, J. N. (2018). Kajian ekologis ekosistem
mangrove untuk ekowisata di Bahowo kota Manado. Majalah Geografi Indonesia, 32(2),
177. https://doi.org/10.22146/mgi.36329
Webliana, K., Andi Chairil Ichsan, Irwan Mahakam Lesmono Aji, Maiser Syaputra, Diah
Permata Sari, & Wihelmus Jemarut. (2022). Perencanaan Kawasan Wisata Edukasi
Mangrove Tanjung Batu, Sekotong Tengah. Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA,
5(1), 30–34. https://doi.org/10.29303/jpmpi.v5i1.1150
Webliana, K., Syahputra, M., & Sukma Rini, D. (2018). Analisis Persepsi Dan Atraksi
Mendukung Pengembangan Kawasan Air Terjun Tiu Teja , Lombok Utara. Jurnal
Belantara, 1(2), 123–133.
Yulianda, F. (2019). Ekowisata Perairan. IPB Press.
Zulia, M. (2019). Kesesuaian Dan Daya Dukung Ekowisata Mangrove Di Desa Kurau Dan
Desa Kurau Barat Kabupaten Bangka Tengah. Universitas Bangka Belitung.

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 06 No.01│e-issn:2622-8505│2023 77


Doi: 10.22219/avicennia.v6i1. 22128

You might also like